Aster duduk di ujung sofa ruang tamu hotel, mengenakan blus putih sederhana dan celana kain santai. Rambutnya diikat setengah, wajahnya tampak lebih tenang dari hari-hari sebelumnya.
Di hadapannya, Galih duduk bersandar dengan santai, menyentuh tangannya dengan lembut. Aroma kopi hangat dari meja kecil di dekat mereka melengkapi sore yang nyaris sempurna."Aku seneng banget, Mas," bisik Aster sambil menatap Galih lekat-lekat. "Ternyata kamu beneran percaya sama aku."Galih mengangguk, ekspresinya lembut. "Iya, sayang. Aku nggak pernah main-main sama kamu. Aku percaya kamu bukan orang yang akan berkhianat sama aku. Kamu bahkan nggak pernah minta barang-barang mewah selama kita pacaran."Aster menunduk sebentar, bibirnya menyungging senyum getir. "Tapi bukan berarti aku orang baik, Mas. Aku juga punya sisi jahat kok. Apalagi pas denger keluarga kamu ngomongin aku di belakang."Galih menarik napas panjang, wajahnya mEvan menatap cincin berdesain sederhana namun elegan yang tergeletak di atas meja. Kilau permatanya seakan menyimpan banyak rahasia. Tentang kesetiaan, penantian, dan cinta yang tak pernah goyah."Jadi, Mas Galih bakalan ngelamar Aster di konferensi pers sekaligus nyebarin bukti kejahatan Katrina?" tanya Evan, suaranya merendah seiring dengan kekaguman yang tak ia sembunyikan pada kakak sulungnya itu.Galih mengangguk mantap. Ia memutar cincin itu pelan di antara jari-jarinya, seperti sedang menimbang-nimbang takdir. “Iya. Aku udah nyiapin cincin ini dari setahun lalu. Dan sekarang saatnya. Aku nggak mau Ibu terus-terusan dipengaruhi Katrina.”Evan bergumam pelan. “Lagian kok ada cewek kayak gitu, sih? Jelas-jelas dia yang ninggalin kamu duluan, malah dia yang ngemis minta balikan. Pake menghalalkan semua cara lagi.”Galih menghela napas, ekspresinya lebih kelelahan daripada marah. “Ya aku nggak tau apa motifnya. Yang jelas, ke
Saat pintu hotel terbuka dan langkah kaki mereka menuruni anak tangga menuju area parkir, sinar matahari pagi belum sempat menyentuh wajah Aster sepenuhnya ketika tiba-tiba kilatan cahaya membabi buta menyambar dari berbagai arah. Suara teriakan dan sorakan keras meledak seperti petasan yang mengejutkan Aster.“Pak Galih!Tolong jawab! Siapa perempuan di samping Anda?”“Apa benar ini sekretaris yang katanya digosipin jadi selingkuhan Anda?”“Pak Galih! Pak Galih apa benar Anda menginap semalam di kamar yang sama dengan sekretaris Anda?”Aster tertegun. Detik itu juga, tubuhnya terasa membeku, seolah waktu melambat. Matanya membesar, wajahnya pucat pasi. Namun tangan Galih cepat meraih pinggangnya, menariknya erat ke sisi tubuhnya.“Turunkan kamera kalian! Saya nggak akan jawab pertanyaan yang tidak relevan dengan bisnis saya!” tegas Galih, nadanya dingin namun penuh kuasa.Wartawan makin merangsek, ka
Winda menatap tajam ke depan, kedua tangannya mengepal di atas pangkuan, napasnya berderu pelan tapi pasti. Amarah yang dulu sempat mereda kini kembali membara, disulut oleh bisikan licik Katrina yang duduk di sampingnya dengan ekspresi penuh kepuasan."Yakin kamu ngelihat sendiri?" tanya Winda, suaranya dingin seperti angin yang menusuk tulang.Katrina mengangguk mantap. "Iya, Tante. Aku lihat sendiri. Mas Galih nginep di hotel sama Aster. Berduaan aja. Kalau mereka nggak ngelakuin apa-apa, ya mana mungkin nginep bareng?"Winda mendesis pelan. "Dasar perempuan nggak tahu diri. Baru dikasih kepercayaan kerja bareng Galih, sekarang malah makin ngelunjak.""Tante harus kasih pelajaran sama dia. Kalau nggak, nanti nama keluarga Tante dipermalukan," bisik Katrina, menambahkan racun pada bara api yang sudah menyala di hati Winda.Mata Winda menajam, suara hatinya penuh dendam yang dibungkus luka masa lalu. Ia berdiri, langkahnya tegas, dan wajahnya keras bagai tembok yang tak bisa ditembus
Langkah kaki Aster terdengar ringan saat ia menyusuri balkon lantai atas kantor. Rambutnya yang dikuncir setengah tertiup pelan oleh angin sore. Sinar matahari yang condong dari barat menyinari sebagian wajahnya, memberikan rona hangat pada pipi yang mulai merona karena langkah cepatnya.Ia mendapati Galih berdiri berdampingan dengan Fariz, keduanya terlihat serius tapi tenang, seolah baru saja melepaskan beban berat dari bahu mereka.“Mas Gal, aku cariin dari tadi, ternyata di sini," ucap Aster seraya mendekat, membawa map berisi dokumen di tangan.Galih menoleh dan senyumnya merekah begitu melihat wajah yang tak pernah gagal menenangkan hatinya. "Ada apa, sayang?"“Ini harus ditandatangani biar langsung dikirim ke klien kita. Kerja sama dengan Pak Marc," kata Aster sambil menyerahkan map itu.Galih mengangguk dan mengambil dokumen tersebut, membuka halaman pertama dan segera menandatanganinya dengan pena yang se
Usai rapat direksi selesai malam itu, lampu balkon hotel di Bandung temaram, menghadap ke taman kecil dengan gemericik air dari kolam buatan. Aster dan Galih duduk berdampingan di bangku rotan beralas empuk. Hawa dingin kota mulai turun, tapi tangan mereka saling menggenggam, menghangatkan satu sama lain.Aster menyandarkan kepalanya di bahu Galih. Suaranya lembut, nyaris seperti bisikan."Makasih banyak ya, Mas. Aku nggak tau harus gimana kalau nggak ada kamu."Galih merangkul bahunya, mengusap pelan lengan Aster. Ada ketulusan di matanya, dan rasa lega yang belum lama muncul setelah rapat direksi tadi."Aku juga, sayang. Kamu bukan cuma pacar, tapi partner. Satu-satunya orang yang bisa aku percaya sepenuhnya."Aster terdiam sejenak. Pikirannya kembali ke momen-momen penuh tekanan, saat nama baiknya dicemarkan, saat dia merasa sendirian. Tapi kini, semuanya terasa jauh. Sudah melewati badai.“Aku nggak nyangka kalo dia sejahat itu," katanya dengan nada lirih.Galih menatap wajahnya.
"Tante tahu nggak? Aster menggelapkan uang perusahaan buat kepentingan pribadinya. Padahal keliatannya dia biasa aja, sok polos, ternyata dia juga maling," kata Katrina."Beneran? Kok Tante nggak tahu kabar itu?""Ya jelas Tante nggak tahu. Galih udah ngasih Surat Peringatan ke Aster. Dia pasti nggak mau kalau nama Aster jadi jelek di mata Tante. Karena dia sendiri emang belum bisa lepas dari cewek genit itu."Winda mengepalkan tangan. "Ini nggak bisa dibiarin. Tante harus kasih pelajaran lagi sama anak itu."***Pagi itu langit mendung menyelimuti kota. Hawa kantor pun terasa lebih dingin dari biasanya, bukan hanya karena cuaca, tapi juga karena ketegangan yang diam-diam menyusup di balik rutinitas kerja. Di ruang resepsionis lantai dua, suara hak sepatu yang menghentak-hentak terdengar semakin mendekat. Beberapa karyawan menoleh dan langsung saling melirik ketika menyadari siapa yang datang.W