Share

5. Katanya, Aku Kurang Iman

"Aku menyesal menjadi ibu, Mas."

Pernyataanku membuat kepala Mas Haidar bertanduk. Raut tak suka ia tunjukkan saat aku mengeluh.

"Istighfar, Zara. Kalimat yang baru saja kamu ucapkan adalah kalimat yang banyak orang lain sesalkan. Ada banyak perempuan yang tak bisa melahirkan bayi dari rahimnya sendiri. Banyak sekali yang menginginkan sepertimu. Seharusnya, kamu lebih bersabar dan mempertebal iman. Bukan bicara ngawur seperti ini."

Kupandangi langit lewat kaca jendela mobil. Begitulah. Kalau ada sesuatu yang kukeluhkan, Mas Haidar selalu cepat menyalahkanku. Tak pernah sekalipun ia menghibur hati. Di matanya, aku adalah perempuan berhati sempit dan tidak pandai bersyukur.

Sementara, ia ingin aku menjadi wanita sempurna. Perempuan yang ikhlas menerima apapun, perempuan tanpa amarah layaknya peran protagonis di sinetron layar kaca. Tak melawan, tak bertindak. Hanya menangis dalam doa.

Bukan, aku bukan wanita seperti itu. Layaknya manusia yang banyak dosa, aku adalah manusia biasa. Aku bukan bidadari yang sering Mas Haidar bayangkan eloknya.

"Apa menurutmu aku kurang sabar dan tak punya iman?" Mataku masih tetap melihat langit yang telanjang. Tak ada gumpalan awan di sana. Hanya hamparan biru yang menjadi atap bumi.

"Menurutmu?"

Sekejap, kuusap kedua mataku yang kembali basah. Bicara dengan lelaki macam Mas Haidar tak akan pernah ada ujungnya. Aku dituntut agar selalu sempurna. Padahal, tak akan pernah bisa.

"Sudahlah, Zara. Jangan bicara ngalor-ngidul. Banyak zikir saja, kuatkan iman kamu."

Sekali lagi, kuusap air mata yang terus berjatuhan. Sampai kapanpun, ia tak akan pernah mengerti. Tenagaku masih belum cukup untuk berdebat dengannya. Tubuhku masih lemas.

Sampai di sebuah rumah dengan halaman yang luas, Mas Haidar turun dari mobil. Berjalan memutar menuju pintu mobil sebelah kiri. Ia membuka pintu untukku. Tangannya sudah mendarat di bahuku untuk membopong ke dala.

"Aku tunggu di sini saja," kataku, sebelum Mas Haidar membawaku ke dalam.

"Aku di rumah aja. Gak mau merepotkan Ibu," sambungku, membuat tangan Mas Haidar turun kembali.

"Apa kamu yakin?" Tanyanya ragu. Ada ketakutan terselip di kedua netranya. Entah karena takut istri dan anak-anaknya celaka lagi atau takut pada Ibu bila menduga yang tidak-tidak karena menantunya enggan tinggal di sini.

Aku mengangguk sebagai jawaban. Pandangan kuluruskan ke depan. Tak ada semangat untuk tersenyum. Rasanya, hari-hari berikut akan bertambah berat untukku.

Lelaki itu berlalu ke dalam rumah orangtuanya untuk mengambil Haura dan Hanum yang ia tititpkan sebelum mengantarku ke rumah bersalin.

Ia kembali bersama Ibu dengan masing-masing menggendong bayi.

"Zara, aduh! Ibu bilang tadi apa? Jangan teledor," serang Ibu sembari mengusap pundakku.

Tak bisakah Ibu menunda dulu omelannya? Minimal sampai aku sudah tenang dan tak berselimut amarah. Gejolak api dalam jiwaku tertahan. Dalam diam, kusiram gejolak itu sebisa mungkin.

"Bener gak nginep aja di rumah Ibu? Ibu takut Haura dan Hanum kenapa-kenapa. Secara, kamu ngurus mereka itu kayak yang gak ikhlas," ucap Ibu, menyimpulkan apa yang sering ia lihat di rumahku kalau berkunjung.

Mataku terbelalak. Ia bicara seperti itu di depan Mas Haidar. Hal itu akan menambah Mas Haidar sebal padaku.

"Aku gak mau merepotkan, Bu," jawabku sembari memaksakan senyum.

Kedua bayi itu lalu diberikan padaku. Digendong kanan kiri dengan dua jarik yang berbeda. Setelah berpamitan pada Ibu, kami melesat kembali ke rumah.

"Bagaimana cara aku turun, Mas?"

Mas Haidar lupa, bahwa aku baru saja dari rumah sakit bersalin. Saat ia hanya membuka pintu dan hendak masuk ke dalam, ia kembali sembari mengais Haura untuk ditidurkan di dalam. Kedua kali ia kembali, mengambil alih Hanum untuk direbahkan di samping Haura.

"Aku langsung berangkat kerja lagi, ya?" Lapor Mas Haidar saat tubuhku berhasil masuk ke dalam rumah saat dipapah olehnya.

"Haura dan Hanum belum mandi, Mas. Kasihan mereka. Kamu bisa tolong bantu aku, kan?"

Sempat menimbang waktu, terlihat wajah Mas Haidar begitu keberatan. Bukannya mau mengganggu waktu kerjanya, hanya saja aku memang sangat membutuhkan bantuan. Mengingat sang istri sedang lahiran, tak ada sedikitpun inisiatif bagi Mas Haidar untuk mengambil cuti. Minimal, satu minggu untuk membantu mengasuh anaknya selagi aku dalam masa pemulihan.

Ia hanya ambil libur saat perutku terasa mulas dan terjadi pembukaan. Esoknya, ia kembali bekerja dengan alasan tanggung jawab dan bertambah beban-kedua anakku yang butuh banyak biaya.

"Atasan kamu kan taunya kamu anter aku ke rumah sakit? Ya, anggap aja satu jam lagi di rumah, masih di rumah sakit," pintaku memelas. Percayalah, mengiba begini harga diriku serasa jatuh. Aku merasa menjadi ibu yang berguna. Atau memang benar kata Ibu kemarin? Aku belum siap menjadi ibu.

"Tapi, Zara. Kerjaan aku banyak. Belum, sebentar lagi pergantian shift. Aku harus atur orang yang berganti masuk dan keluar," tolaknya halus. Alasan yang masuk akal.

"Sebentar...saja. Ya? Aku, kan masih lemas."

"Zara, coba deh ngertiin aku! Aku dikejar target, Zara."

"Sedikit aja, apa gak ada waktu buat aku dan anak-anak?" Aku masih mencoba penawaran.

"Zara, apa yang aku lakukan ini buat kamu dan anak-anak. Jangan menyimpulkan seolah aku gak ada gunanya!"

"Mas, sekali ini aja! Bantu aku urus Hanum dan Haura. Mereka itu juga anak kamu. Bukan anak aku doang. Yang bikin kan kita berdua? Kenapa semua tanggungjawab mengasuhnya ditimpakan padaku saja?"

Aku naik pitam. Betapa pelitnya Mas Haidar terhadap waktu untuk keluarga. Pergi pagi, pulang petang. Malamnya, waktuku sering dicuri oleh teman-teman sepergaulannya. Alasannya satu, hiburan.

"Udah aku bilang tadi, kamu nginep aja dulu di rumah Ibu. Di sana Ibu bakal ngebantu, kok. Dasarnya aja kamu yang keras kepala," cela Mas Haidar tanpa bersalah.

Aku menahan napas. Meredam gejolak api dalam jiwaku agar tak menyembur keluar. Bagaimana pun, Mas Haidar adalah imamku. Dia tak tahu, betapa tertekannya aku dengan seribu larangan yang Ibu berikan. Aku lebih merasa tenang di sini, tanpa ikut campur darinya-ibu mertua.

"Sudahlah, Zara. Aku berangkat lagi ke pabrik. Aku gak bisa berlama-lama," pamitnya, membuka pintu dan berlalu tanpa menunggu persetujuan dariku.

Kedua tanganku mengepal. Melihat Mas Haidar begitu asyik dengan dunianya sendiri. Ia masih bisa melakukan apapun tanpa gangguan. Sementara, bagaimana dengan aku? Ruang gerak terbatas. Waktu tersita jelas serta mentalku tertindas.

Lelaki itu kembali, muncul dari balik pintu dengan setengah badan. Dengan wajah masih sama seperti tadi, tetap datar.

"Dekatkan diri pada Allah, Zara. Bersabarlah. Aku yakin kamu perempuan kuat. Jangan lemah seperti ini."

Saat pintu kembali tertutup, air mataku tumpah tak terkendali.

Bersambung...

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status