"Aku menyesal menjadi ibu, Mas."
Pernyataanku membuat kepala Mas Haidar bertanduk. Raut tak suka ia tunjukkan saat aku mengeluh."Istighfar, Zara. Kalimat yang baru saja kamu ucapkan adalah kalimat yang banyak orang lain sesalkan. Ada banyak perempuan yang tak bisa melahirkan bayi dari rahimnya sendiri. Banyak sekali yang menginginkan sepertimu. Seharusnya, kamu lebih bersabar dan mempertebal iman. Bukan bicara ngawur seperti ini."Kupandangi langit lewat kaca jendela mobil. Begitulah. Kalau ada sesuatu yang kukeluhkan, Mas Haidar selalu cepat menyalahkanku. Tak pernah sekalipun ia menghibur hati. Di matanya, aku adalah perempuan berhati sempit dan tidak pandai bersyukur.Sementara, ia ingin aku menjadi wanita sempurna. Perempuan yang ikhlas menerima apapun, perempuan tanpa amarah layaknya peran protagonis di sinetron layar kaca. Tak melawan, tak bertindak. Hanya menangis dalam doa.Bukan, aku bukan wanita seperti itu. Layaknya manusia yang banyak dosa, aku adalah manusia biasa. Aku bukan bidadari yang sering Mas Haidar bayangkan eloknya."Apa menurutmu aku kurang sabar dan tak punya iman?" Mataku masih tetap melihat langit yang telanjang. Tak ada gumpalan awan di sana. Hanya hamparan biru yang menjadi atap bumi."Menurutmu?"Sekejap, kuusap kedua mataku yang kembali basah. Bicara dengan lelaki macam Mas Haidar tak akan pernah ada ujungnya. Aku dituntut agar selalu sempurna. Padahal, tak akan pernah bisa."Sudahlah, Zara. Jangan bicara ngalor-ngidul. Banyak zikir saja, kuatkan iman kamu."Sekali lagi, kuusap air mata yang terus berjatuhan. Sampai kapanpun, ia tak akan pernah mengerti. Tenagaku masih belum cukup untuk berdebat dengannya. Tubuhku masih lemas.Sampai di sebuah rumah dengan halaman yang luas, Mas Haidar turun dari mobil. Berjalan memutar menuju pintu mobil sebelah kiri. Ia membuka pintu untukku. Tangannya sudah mendarat di bahuku untuk membopong ke dala."Aku tunggu di sini saja," kataku, sebelum Mas Haidar membawaku ke dalam."Aku di rumah aja. Gak mau merepotkan Ibu," sambungku, membuat tangan Mas Haidar turun kembali."Apa kamu yakin?" Tanyanya ragu. Ada ketakutan terselip di kedua netranya. Entah karena takut istri dan anak-anaknya celaka lagi atau takut pada Ibu bila menduga yang tidak-tidak karena menantunya enggan tinggal di sini.Aku mengangguk sebagai jawaban. Pandangan kuluruskan ke depan. Tak ada semangat untuk tersenyum. Rasanya, hari-hari berikut akan bertambah berat untukku.Lelaki itu berlalu ke dalam rumah orangtuanya untuk mengambil Haura dan Hanum yang ia tititpkan sebelum mengantarku ke rumah bersalin.Ia kembali bersama Ibu dengan masing-masing menggendong bayi."Zara, aduh! Ibu bilang tadi apa? Jangan teledor," serang Ibu sembari mengusap pundakku.Tak bisakah Ibu menunda dulu omelannya? Minimal sampai aku sudah tenang dan tak berselimut amarah. Gejolak api dalam jiwaku tertahan. Dalam diam, kusiram gejolak itu sebisa mungkin."Bener gak nginep aja di rumah Ibu? Ibu takut Haura dan Hanum kenapa-kenapa. Secara, kamu ngurus mereka itu kayak yang gak ikhlas," ucap Ibu, menyimpulkan apa yang sering ia lihat di rumahku kalau berkunjung.Mataku terbelalak. Ia bicara seperti itu di depan Mas Haidar. Hal itu akan menambah Mas Haidar sebal padaku."Aku gak mau merepotkan, Bu," jawabku sembari memaksakan senyum.Kedua bayi itu lalu diberikan padaku. Digendong kanan kiri dengan dua jarik yang berbeda. Setelah berpamitan pada Ibu, kami melesat kembali ke rumah."Bagaimana cara aku turun, Mas?"Mas Haidar lupa, bahwa aku baru saja dari rumah sakit bersalin. Saat ia hanya membuka pintu dan hendak masuk ke dalam, ia kembali sembari mengais Haura untuk ditidurkan di dalam. Kedua kali ia kembali, mengambil alih Hanum untuk direbahkan di samping Haura."Aku langsung berangkat kerja lagi, ya?" Lapor Mas Haidar saat tubuhku berhasil masuk ke dalam rumah saat dipapah olehnya."Haura dan Hanum belum mandi, Mas. Kasihan mereka. Kamu bisa tolong bantu aku, kan?"Sempat menimbang waktu, terlihat wajah Mas Haidar begitu keberatan. Bukannya mau mengganggu waktu kerjanya, hanya saja aku memang sangat membutuhkan bantuan. Mengingat sang istri sedang lahiran, tak ada sedikitpun inisiatif bagi Mas Haidar untuk mengambil cuti. Minimal, satu minggu untuk membantu mengasuh anaknya selagi aku dalam masa pemulihan.Ia hanya ambil libur saat perutku terasa mulas dan terjadi pembukaan. Esoknya, ia kembali bekerja dengan alasan tanggung jawab dan bertambah beban-kedua anakku yang butuh banyak biaya."Atasan kamu kan taunya kamu anter aku ke rumah sakit? Ya, anggap aja satu jam lagi di rumah, masih di rumah sakit," pintaku memelas. Percayalah, mengiba begini harga diriku serasa jatuh. Aku merasa menjadi ibu yang berguna. Atau memang benar kata Ibu kemarin? Aku belum siap menjadi ibu."Tapi, Zara. Kerjaan aku banyak. Belum, sebentar lagi pergantian shift. Aku harus atur orang yang berganti masuk dan keluar," tolaknya halus. Alasan yang masuk akal."Sebentar...saja. Ya? Aku, kan masih lemas.""Zara, coba deh ngertiin aku! Aku dikejar target, Zara.""Sedikit aja, apa gak ada waktu buat aku dan anak-anak?" Aku masih mencoba penawaran."Zara, apa yang aku lakukan ini buat kamu dan anak-anak. Jangan menyimpulkan seolah aku gak ada gunanya!""Mas, sekali ini aja! Bantu aku urus Hanum dan Haura. Mereka itu juga anak kamu. Bukan anak aku doang. Yang bikin kan kita berdua? Kenapa semua tanggungjawab mengasuhnya ditimpakan padaku saja?"Aku naik pitam. Betapa pelitnya Mas Haidar terhadap waktu untuk keluarga. Pergi pagi, pulang petang. Malamnya, waktuku sering dicuri oleh teman-teman sepergaulannya. Alasannya satu, hiburan."Udah aku bilang tadi, kamu nginep aja dulu di rumah Ibu. Di sana Ibu bakal ngebantu, kok. Dasarnya aja kamu yang keras kepala," cela Mas Haidar tanpa bersalah.Aku menahan napas. Meredam gejolak api dalam jiwaku agar tak menyembur keluar. Bagaimana pun, Mas Haidar adalah imamku. Dia tak tahu, betapa tertekannya aku dengan seribu larangan yang Ibu berikan. Aku lebih merasa tenang di sini, tanpa ikut campur darinya-ibu mertua."Sudahlah, Zara. Aku berangkat lagi ke pabrik. Aku gak bisa berlama-lama," pamitnya, membuka pintu dan berlalu tanpa menunggu persetujuan dariku.Kedua tanganku mengepal. Melihat Mas Haidar begitu asyik dengan dunianya sendiri. Ia masih bisa melakukan apapun tanpa gangguan. Sementara, bagaimana dengan aku? Ruang gerak terbatas. Waktu tersita jelas serta mentalku tertindas.Lelaki itu kembali, muncul dari balik pintu dengan setengah badan. Dengan wajah masih sama seperti tadi, tetap datar."Dekatkan diri pada Allah, Zara. Bersabarlah. Aku yakin kamu perempuan kuat. Jangan lemah seperti ini."Saat pintu kembali tertutup, air mataku tumpah tak terkendali.Bersambung...Kedua bayi kecilku tengah bermain saat azan maghrib berkumandang. Aku sengaja memanfaatkan waktu senggang untuk menghabiskan makanan tadi pagi yang kupesan. Siomay tahu ikan tenggiri yang sudah dingin dan sepotong bakso sisa pagi masih tersisa.Awet sekali bila menghabiskan makanan akhir-akhir ini. Lumayan juga, mengirit uang jajanku. Tak lupa, sayur bening daun katuk buatan ibu mertua kuhabiskan sampai tak bersisa. Sepiring nasi yang kupesan dari warteg tersaji bercampur sayur. Syukurku terpanjat kala bisa makan enak tanpa tergesa. Hal ini menjadi momen yang sangat sulit kucari setelah melahirkan. Setelah seluruh piring, mangkuk dan gelas kosong, aku menepikan semuanya ke sudut kamar. Biar saja kubersihkan besok.Dering gawaiku berbunyi, aku segera mengangkatnya. Salam terucap dari lisan Mas Haidar yang berbicara lewat sambungan telepon. Lekas, kujawab salam dengan berbisik agar tak menganggu tidur Haura dan Hanum."Zara, malam ini temen-temen k
"Maafkan Bunda, ya, Sayang. Bunda harusnya ikut temani kalian ke sana," lirih ucapanku berbisik di kedua telinga Haura dan Hanum yang berada dalam dekapan.Kedua bayiku masih tampak anteng dan bermain. Sesekali mereka memberikan upah pada kelelahanku. Segaris senyum di bibir mereka yang menenangkan. Segera kuganti pakaian bawah Haura saat menyadari lenganku basah. Hanum diletakkan di sebelahnya.Saat mereka asyik bermain seperti ini, aku merasa menjadi manusia normal. Layaknya seorang ibu yang melimpahkan cinta untuk anaknya. Kuasuh dan belai penuh cinta. Teringat kejadian tadi pagi, saat kumarahi mereka karena terus menangis tanpa henti. Menambah lelah dan pikiran sehingga penuh beban.Sesal di hati terbit. Harusnya, aku lebih sabar. Tak murka hilang kendali. Terlebih, sempat enggan me nyu sui dan mencubit makhluk tak berdosa itu."Maafkan, Bunda, ya, Haura dan Hanum. Bunda tahu, Bunda bukan orang tua yang baik. Tapi, Bunda akan berusaha lebih ba
Lebih dari setengah jam mereka menempel di tubuhku, rasanya kelopak mataku mulai berat. Dapat kurasakan mereka masih menyedot ASI yang keluar begitu deras. Berbeda dengan kemarin, seret dan sulit sekali keluar. Malam ini, bagai hujan yang menghujam tanah hingga banjir, kedua anakku akan tidur kekenyangan.Membayangkan mereka akan tidur lelap setelah ini dan aku akan melakukan hal sama. Aku menguap lebar, tanpa bisa kututup dengan telapak tangan. Kulirik jam yang menggantung di dinding.Pukul sebelas.Akhirnya, sesuai harapan, kedua anakku tidur lelap dan melepaskan lekatan bibir mereka dari tubuhku. Kuletakkan satu-persatu perlahan. Menahan luka jahitan yang akan terasa perih jika bergerak agak jongkok, saat meletakkan bayi.Kurentangkan kaki sembari meregangkan seluruh otot yang mengeras. Pegal sekali! Andai saja punya robot pemijit tubuh, aku akan menjadi orang pertama yang membeli.Saat kelopak mata mulai menutup dan kesadaran hendak b
Penawaran Mas Haidar seperti basa-basi saja. Saat ia bertanya butuh bantuan atau tidak, tubuhnya mematung di ambang pintu. Sedikitpun tak mendekat.Menahan sesuatu yang tercekat di tenggorokan, sekuat mungkin aku berusaha menjawab. "Gak perlu. Bola lebih penting daripada Haura dan Hanum," sahutku ketus.Mas Haidar mengangkat sebelah alisnya. Memandangku bingung."Kenapa jawabnya gitu, Zara? Apa aku gak boleh menghibur diri dari jenuhnya pekerjaan?"Kali ini, Mas Haidar malah berbalik menyerang. Andai dia tahu, setelah Hanum dan Haura lahir, tak ada waktu untukku mengusir jenuh. Berbeda dengan Mas Haidar yang masih bebas dengan aktivitas menyenangkan diri sendiri. Bergaul dengan kawan-kawan tanpa peduli bagaimana keadaan rumah, istri dan anaknya.Mas Haidar tak pernah kehilangan dunianya. Berbeda jauh dengan kehidupanku yang berubah seratus delapan puluh derajat."Silakan aja kalau mau pergi. Aku sudah biasa ditinggal." Berpura-pu
Perih di bekas luka jahit tiba-tiba menggerogoti kulit. Semakin pecah tangisanku, luka itu semakin menggigit. "Aaarrrghhhh!"Badanku luruh di lantai saat itu juga. Punggungku yang lemas bersandar pada pintu. Berkali, kuketuk keras pintu oleh kepala bagian belakang. Biar saja mati saat ini juga, ketimbang harus mereguk sendiri derita.Semakin kencang gamparan kepalaku di pintu. Tiba-tiba kepalaku mulai berputar. Ya Allah.. apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus membunuh kedua bayiku untuk mengakhiri derita ini?Ayah, Ibu. Cepatlah datang ke sini. Aku butuh kalian. Aku membatin dalam isakan yang terus berkumandang. Haura dan Hanum tak jua berhenti menangis.Habis tenaga, rasanya aku pasrah. Kuletakkan Haura dan Hanum di lantai. Tak peduli dingin dan angin yang menyelinap dari celah pintu. Mereka terus meraung entah mau apa.Kupejamkan mata. Merenungi kehidupan yang terasa menyiksa. Salah apa aku, Tuhan? Sehingga Engkau menghuku
Setelah begadang semalaman, kelopak mataku sudah tak bisa ditahan lagi. Fajar mulai terbit dari ufuk timur. Jam-jam dimana kedua bayiku tidur nyenyak setelah terjaga hingga dinihari.Mengurus dua bayi sendirian seringkali membuatku lupa melakukan hal-hal penting lain di rumah. Seperti yang terjadi kemarin, saat Ibu menyuruhku untuk makan. Tak sempat menanak nasi ataupun mengolah makanan. Kalaupun ingat, rasanya tubuhku tak akan kuat.Empat hari terakhir, kuisi perut dengan memesan makanan online. Walaupun tak masalah bagi Mas Haidar, tetap saja mulut Ibu tak diam. Beberapa kali dia menasihatiku, jangan jadi perempuan malas dan manja. Menjadikan alasan melahirkan sebagai senjata agar semuanya serba instan. Padahal, kondisi Ibu dulu saat melahirkan, tentu berbeda dengan apa yang kualami sekarang.Saat kubaringkan tubuh di atas kasur, layar gawaiku bergetar. Sebuah pesan masuk, dari Ibu.[Zara, hari ini Ibu gak bisa main sama cucu-cucu Ibu. Ada bupat
"Maaf, Zara. Aku ketiduran di rumah Tio."Sudah kuduga. Kebiasaan dari bujangannya tak pernah hilang. Waktu hamil pun, bukan sekali dua kali Mas Haidar tertidur di rumah temannya karena keasyikan ngobrol dengan mereka. Kadang tertidur, pulang pagi. Dulu, selalu kumaklumi. Namun, saat ini dia telah mempunyai seorang anak yang masih bayi. Apa masih pantas bersikap layaknya bujang?Tubuhku luruh di atas kursi. Kepalaku terasa berdenyut sekali karena tidur terganggu. Mas Haidar masuk ke dapur, lalu membuka tudung saji. Dirinya garuk-garuk kepala sambil celingukan ke lemari."Gak ada nasi, Za?" Teriaknya dari arah dapur.Mungkin, pertanyaan Mas Haidar adalah wajar. Entah mengapa, jiwaku begitu bergejolak saat ia pulang menginap dari rumah Tio, lalu menanyakan nasi padaku. Jelas-jelas, aku kesulitan untuk memasak."Minta aja sama Tio, aku gak masak," jawabku ketus.Mas Haidar berbalik ke ruang tamu. Dia duduk di kursi lain di sampingku
Kuputuskan untuk mengistirahatkan tubuh. Menjauhi perdebatan yang Mas Haidar pun enggan melanjutkan.Kuedarkan mata ke sekeliling rumah. Piring dan mangkuk berserakan. Debu di lantai menebal. Cucian menumpuk di keranjang yang tersimpan di sudut dapur. Mumpung bayiku tengah tertidur, lebih baik aku kerjakan semuanya.Namun, saat langkahku terasa menyiksa karena letihnya tubuh, aku urung bergerak. Bagaimana pun, aku harus menunaikan hak mata untuk terlelap. Kupandangi wajahku di cermin kecil yang tersimpan di atas kepala Haura. Kantung mataku menebal. Kulitku juga tampak tak segar. Sebelum memejamkan mata, aku mengirimkan pesan pada Mas Haidar yang berada di teras. Untuk mengampirinya akan sangat merepotkan. [Makanan sudah kupesan. Kamu makan duluan aja. Punyaku, simpan di atas meja.]Pesan langsung terbaca. Tak ada balasan dari Mas Haidar. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk. Aku segera membukanya.[Hai, Zara. Ini aku Jeni