Share

4. Menyesal Jadi Ibu

Samar terdengar suara langkah kaki bersahutan dengan langkah tergesa. Entah ini mimpi atau bukan, untuk membuka mata rasanya berat sekali. Saat sebuah jarum menusuk lenganku, akhirnya aku tersadar. Kuedarkan pandang menuju sekeliling.

Dimana aku? Perlahan, kuingat kembali apa yang terjadi beberapa saat lalu. Kompor yang menyala. Api yang membara. Menciptakan kepulan asap mengudara di dapur. Lalu, Haura dan Hanum yang kuletakkan di atas kasur. Dimana mereka? Seorang bidan dan dua asistennya tengah sibuk menempelkan alat-alat ke tubuhku. Saat ingatanku telah pulih, refleks tubuhku berusaha untuk terangkat. Namun, sayangnya, rasa sakit di bekas jahitan itu merambat. Kepalaku seperti ditimpa batu besar dan dijatuhkan berkali-kali.

"Mbak Zara, tenang, ya. Kami akan obati luka jahitan bekas lahiran kemarin dengan mengulang proses menjahitnya. Sobeknya lumayan besar." Bu bidan mencoba menahanku yabg terus memaksa bangkit dari ranjang periksa.

Setelah kurasakan sakit itu bertambah parah dan salah satu asisten membawa peralatan jahit, akhirnya aku pasrah. Membiarkan bidan menusuk kembali kulit-kulitku yang masih bengkak. Tempo hari saja, saat jahitan pertama kali, aku menjerit kesakitan di tengah-tengah proses karena obat bius telah habis masanya.

"Suami saya mana, Bu?"

"Pak Haidar ada di luar, sedang menunggu. Nanti, setelah selesai saya panggil ke dalam, ya."

Mataku terpejam. Memilih diam di tengah perih yang kian meluas. Tahu, gimana rasanya jika kulit kalian yang terluka, lalu ditusuk lagi berulang kali? Aku tak bisa berpura-pura kuat dengan tidak menangis. Saat itu juga, kedua air mataku membasahi bantal yang tertindih oleh kepala.

Ternyata, menjadi seorang ibu beranak dua makhluk kecil itu tak seindah yang dulu pernah aku bayangkan dengan Mas Haidar. Bermain bersama di bawah sinar matahari pagi. Melihat mereka tersenyum dan membelai pipi saat menyambung hidup lewat ASI. Itu hanya sebagian kecil.

Sisanya, aku harus membereskan seluruh keperluan dua bayi itu sendiri. Membersihkan kotoran mereka secara bergantian. Menangis dalam waktu bersamaan, atau yang satu diam, satunya mulai bertingkah. Menyusui keduanya secara bersamaan.

Tentangku? Tentu saja aku kehilangan kehidupan sendiri. Jika semula aku bebas tidur delapan jam tanpa gangguan, kini untuk tidur satu sampai dua jam pun banyak sekali iklan. Jika biasanya bebas menyantap makanan apa saja sampai tak bersisa, kini makanan bisa habis dalam waktu lama. Ya, seharian. Pagi beli, siang makan, habisnya malam. Jika sebelumnya aku rajin membalas pesan teman-teman, saat ini jauh berbeda. Ucapan selamat dari mereka-pesan dari teman di sosial media-belum ada waktu kubalas semua.

Aku menangis merenungi nasib saat ini. Aku merasa bukan Zara yang dulu. Mudah marah. Mudah menangis karena hal sepele. Sensitif dan mudah tersinggung. Bahkan, larangan-larangan Ibu Ria-mertuaku-itu, kuanggap sebagai kekangan. Hidup di dalam sangkar dengan dua makhluk kecil yang belum bisa apa-apa. Aku merasa terikat dan tersiksa.

"Mbak, jangan banyak gerak dulu, ya. Kalau pun gerak yang ringan-ringan aja. Lukanya kan masih basah," peringat bidan saat ia selesai mengobati luka.

Sudah tak ada lagi jarum yang menusuk kulitku. Kini, hanya sisa perih yang membekas. Ingin sekali untuk menjerit sekeras-kerasnya.

Aku mengangguk, sembari mengusap pipiku yang telah basah. Tak peduli disebut cengeng atau apapun kata mereka. Andai saja luka ini bisa kubagi, aku akan membaginya pada Mas Haidar, biar dia tahu bagaimana rasanya melahirkan dan jadi ibu baru dengan sepasang anak kembar.

"Memangnya Mbak Zara udah ngapain, sih, tadi?" Bidan pun mulai penasaran.

"Saya ketiduran, Bu. Pas bangun, lupa sedang masak air buat mandi Haura dan Hanum. Airnya hampir habis, dan api di kompor merambat ke lap penuh minyak yang saya simpan tak jauh dari panci. Saya juga, sih, yang teledor," jelasku panjang lebar. "Kemudian, saya berusaha memadamkan api, jinjing air dari ember bolak-balik dari kamar mandi ke dapur."

Tentu saja sang bidan terbelalak. Selesai membereskan alat medis yang baru saja ia pakai, ia kembali ke sisiku.

"Jangan lakukan semuanya sendiri, Mbak. Ibu baru melahirkan itu harus banyak istirahat dulu. Apalagi jahitan Mbak banyak. Minta tolong sama suami atau keluarga. Jangan sungkan! Mbak itu masih dalam tahap pemulihan."

Aku hanya tersenyum. Andai saja ia tahu, bagaimana aku melakukan semua hal sendiri. Kehilangan waktu istirahat. Suami tak peduli dengan alasan lelah saat pulang bekerja. Orangtua sedang tak bisa ke sini. Kuhela napas dalam, lalu kulangitkan seribu sabar.

Bidan membantuku turun dan memapah pelan keluar ruangan. Di kursi tunggu, Mas Haidar tampak sedang berbicara lewat telepon, entah dengan siapa. Ia segera menutup sambungan saat melihatku telah selesai ditangani.

"Kamu gak apa-apa, Zara?" Wajahnya begitu cemas. Namun, aku teramat kecewa karena panggilan kesayangannya terhadapku benar-benar hilang. Ia tak pernah memanggilku dengan sebutan "Cinta" lagi.

"Mbak Zara harus banyak istirahat, ya, Mas. Jangan terlalu aktif dulu, kasihan tubuhnya masih lemah," pesan bidan terjawab anggukan dan ucapan terima kasih dari suamiku.

Setelah membayar administrasi, Mas Haidar memapahku ke tempat parkir. Sebuah mobil pabrik yang ia gunakan terpampang di sana. Jelas aku merasa bersalah karena mengganggu waktu kerjanya. Terlebih, ia memakai fasilitas kerja untuk kepentingan pribadi.

"Maafkan aku merepotkan, ya, Mas," ujarku lirih, meraih lengan Mas Haidar.

"Gak apa-apa, Zara. Kamu hari ini ke pulang ke rumah ibu aja, ya? Haura sama Hanum sudah kuantarkan ke sana," saran Mas Haidar sembari membuka pintu mobil.

Tinggal di rumah ibu mertua? Itu bukan solusi bagus. Banyak larangan yang diterapkan ibu terkait perempuan yang baru melahirkan. Tentu saja, aku akan semakin tertekan dan terbebani. Makan saja harus diatur. Anggapan mereka masih sangat kolot. Bahkan, makan ikan dan perdagingan saja katanya kurang baik.

"Dulu, Ibu waktu lahirin Haidar, makannya cuma sama garam aja tiap hari. Karena nurut sama orang tua, sembuhnya cepet. Seminggu aja udah sehat lagi," sindirnya padaku suatu waktu yang menurutnya tak bisa menjaga pola makan ibu nifas.

Padahal, bidan sudah menjelaskan panjang lebar terkait nutrisi dan gizi ibu baru melahirkan. Namun, ibu benar-benar tak melek pada zaman. Apalagi, waktu itu ibu lahir oleh dukun beranak tanpa ada jahit-menjahit. Sementara, aku melahirkan sepasang anak kembar dengan dua kali mulas dan bonus banyak jahitan. Tentu, itu berbeda dan kondisi setiap orang tak bisa disamaratakan.

Di perjalanan, akhirnya aku menawar pada Mas Haidar untuk pulang ke rumah saja. Biar Hanum dan Haura, Mas Haidar jemput kembali atau kami singgah dulu sekarang untuk menjemput mereka.

"Lain kali hati-hati, ya. Jangan sampai ketiduran lagi. Fatal, kan, akibatnya? Untung saja masih diberi keselamatan."

Entah bagian mana kalimat Mas Haidar yang menyakiti, aku merasa seperti tersudutkan. Bila dihayati secara kepala dingin, tentu itu adalah kalimat perhatian. Namun, sisi lain dalam diriku menganggap bahwa Mas Haidar menimpakan kesalahan itu padaku.

Andai dia tahu, aku bisa tertidur seperti itu karena kelelahan. Jika sedikit saja dia membantu pekerjaan rumah, tentu aku tak akan kewalahan.

"Jadi aku yang salah?" Nada tinggi saat aku berbicara membuat Mas Haidar menoleh, lalu fokus kembali ke jalanan.

"Mas, andai Mas tahu, aku itu capek ngurus semua sendiri! Kalau aja Mas bisa gantian jagain Haura dan Hanum, ini semua gak akan terjadi." Begitu bergejolak rasa di dada, padahal tak ada sepatah katapun yang menyimpulkan bahwa ini mutlak kesalahanku.

Entahlah, aku merasa ada yang aneh dalam diriku. Sedikit saja orang lain salah bicara, langsung tersinggung. Mudah naik pitam dan terkadang tiba-tiba menangis tanpa sebab. Apalagi, kala Hanum dan Haura berlomba menciptakan alunan tangis merdunya di malam hari, sudahlah mau pecah ini kepala!

"Jadi, maksud kamu ini salah Mas?" Lelaki itu bertanya tanpa menoleh.

Tak menjawab, kurapatkan punggung pada sandaran kursi mobil. Kututup kelopak mata, hingga saat terbuka aliran air itu lolos dari pelupuk mata. Kututup rapat seluruh wajah dengan kedua telapak tangan.

Argh! Ingin rasanya aku menabrakkan diri. Atau, mobil ini tertabrak dan aku mati. Kurasa, aku tak akan sanggup melanjutkan hidup ini. Kalau mati, tentu aku akan terbebas dari tanggungjawab yang Mas Haidar tumpahkan seluruhnya padaku. Biar dia tahu, bagaimana rasanya mengurus dua bayi kecil tanpa bantuan siapapun. Sekali saja rasakan, bagaimana menahan lapar dan menahan keinginan buang air besar hingga ususku melejit menahan sakit.

"Sudahlah, Zara. Akhir-akhir ini, kamu selalu mengacaukan kerjaku. Jangan tambah pusing kepalaku, ya. Kamu, fokus saja pada Haura dan Hanum. Udah, gak usah pikirin apa-apa lagi."

Gampang sekali Mas Haidar bicara seperti itu. Andai bisa bertukar posisi, cobalah sehari saja dia menjadi aku.

"Apa yang kamu tangisi sekarang?" Pertanyaan konyol. Lelaki ini benar-benar bikin naik darah karena tak peka sama sekali.

"Aku menyesal menjadi Ibu, Mas."

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status