Kedua bayi kecilku tengah bermain saat azan maghrib berkumandang. Aku sengaja memanfaatkan waktu senggang untuk menghabiskan makanan tadi pagi yang kupesan. Siomay tahu ikan tenggiri yang sudah dingin dan sepotong bakso sisa pagi masih tersisa.
Awet sekali bila menghabiskan makanan akhir-akhir ini. Lumayan juga, mengirit uang jajanku. Tak lupa, sayur bening daun katuk buatan ibu mertua kuhabiskan sampai tak bersisa. Sepiring nasi yang kupesan dari warteg tersaji bercampur sayur.Syukurku terpanjat kala bisa makan enak tanpa tergesa. Hal ini menjadi momen yang sangat sulit kucari setelah melahirkan. Setelah seluruh piring, mangkuk dan gelas kosong, aku menepikan semuanya ke sudut kamar. Biar saja kubersihkan besok.Dering gawaiku berbunyi, aku segera mengangkatnya. Salam terucap dari lisan Mas Haidar yang berbicara lewat sambungan telepon. Lekas, kujawab salam dengan berbisik agar tak menganggu tidur Haura dan Hanum."Zara, malam ini temen-temen kerjaku mau nengok anak kita. Tolong pesankan makanan di online, ya," titah Mas Haidar, langsung disambut pertanyaan olehku."Uangnya gimana, Mas?""Kamu pakai aja dulu yang ada. Nanti juga terganti."Berpikir sejenak, kuingat uang simpanan bekas lahiran kemarin masih ada. Uang risiko pun masih aman. Tak apalah, jika dibelikan makanan untuk sajian tamu. Toh, niat mereka juga baik, ingin melihat kedua anakku yang baru lahir."Beli apa, Mas?" Tanyaku kedua kali."Terserah, atur saja," jawabnya lembut."Berapa orang yang mau ke sini?""Sekitar sepuluh orang, Zara."Setelah percakapan berakhir segera kusentuh ikon bergambar telepon warna merah. Beralih pada aplikasi pesan makan online, dan memilih beberapa menu makanan dan camilan untuk sajian nanti.Telepon berdering kembali. Kali ini dari Jeni, temanku semasa kerja di restoran ramen dulu. Setelah menanyakan kabar dan berbasa-basi sebentar, akhirnya Jeni mengabarkan bahwa besok, teman-teman dari Ramen Oishi Grup akan datang juga menengok kedatangan dua bayi kecilku."Restoran kan tutupnya malam, Jen. Kalian mau ke sini jam berapa?" Tanyaku pada Jeni.Teringat bahwa restoran bekas kerjaku dulu itu, tutup malam sekitar jam sepuluh."Si bos mengizinkan kami buat tutup lebih awal, Za. Katanya, kalau ada waktu, dia juga mau ikut," jawab Jeni bersemangat.Mendengar berita itu, tentu saja aku bahagia karena akan dipertemukan dengan teman-teman seperjuangan dulu."Kutunggu, ya, Jen," tutupku mengakhiri telepon.Saat yang bersamaan, dua bayi mungilku bangun. Mereka seperti janjian untuk membuka mata di waktu yang sama. Waktu yang kurencakan untuk dipakai tidur. Gagal lagi, kan, rencana tidurku.Dua pasang mata mereka yang belum jelas melihat dunia, terarah menuju wajahku. Andai sudah bisa bicara, kira-kira mereka sedang bicara apa, ya?Spontan, bibirku terangkat ke atas. Melihat Haura dan Hanum anteng begini, tak menangis ataupun rewel. Seolah mengerti bahwa ibunya tengah menahan sakit."Tadi, Haura dan Hanum main ke rumah Nenek, ya?" Aku mulai mengajak mereka bercengkerama. Sesekali, punggung telunjukku menyentuh pipi mereka yang gempal.Ada senyum yang terlihat dari bibir mungil Haura. Disusul Hanum, saat telunjukku mengusap mereka secara bergantian."Doakan Bunda agar cepat sehat, ya, Sayang. Bunda udah gak sabar mau ajak Haura dan Hanum jalan-jalan. Kalian juga cepat besar, ya. Biar nanti, tak perlu Bunda gendong. Kalian jalan sambil menggandeng tangan Bunda nanti."Kata bidan, seorang ibu harus sering mengajak bicara bayinya agar bayi tersebut terstimulasi. Bahkan, sedari hamil, aku sering mengajak mereka berbicara. Walau jawabannya belum kuketahui, tapi mereka mendengar dan meresapinya.Azan isya menggema. Terdengar pula suara beberapa kendaraan yang mendekati halaman rumah. Dugaanku benar, itu adalah Mas Haidar dan kawan-kawannya.Kuraih jilbab instan yang tergeletak di atas bantal. Segera memakai dan merapikan daster yang telah kusut. Mas Haidar membuka pintu rumah yang sengaja tak kukunci. Hirap langkah kaki berjalan dari teras menuju ruang tamu. Pintu kamar terbuka. Muncul Mas Haidar dengan setengah badan dimasukkan ke dalam kamar.Ia menghampiriku, lantas aku menyambar tangan dan mencium punggung tangannya."Wah, kebetulan Haura dan Hanum bangun. Tau mau ada yang nengok, ya," ujar Mas Haidar, mendekat menuju dua bayi kecilku yang tengah membuka mata mereka. Tatapannya lurus menuju pria yang semringah malam ini."Mas, makanannya masih dalam perjalanan. Tungguin, ya." Aku mengingatkan jamuan yang dipesan online.Mas Haidar hanya mengangguk. Matanya tak lepas dari tubuh mungil di hadapan."Aku bawa mereka ke depan, gak apa-apa, ya?" Begitu bersemangatnya Mas Haidar memamerkan anak kembar kami pada teman-temannya.Aku mengangguk. Sebelumnya, kuraih matras berukuran besar sebagai alas Haura dan Hanum nanti berbaring di sana. Mas Haidar terlihat ceria saat Haura dan Hanum digendong secara bergantian ke ruang tamu yang dijejali rekan-rekan kerjanya."Aku di sini aja, ya, Mas. Malas jalan, masih sakit," ungkapku. Lagi, hanya dibalas anggukan olehnya."Jangan ada yang sembarangan cium, ya, Mas. Kalau mau gendong juga hati-hati. Kasihan nanti badan Haura dan Hanum sakit kalau salah gendong," pesan panjangku hanya berbalas sebuah kata."Iya," jawabnya, lalu menutup pintu kamar.Beberapa menit berlalu, akhirnya ada waktu untukku rebahan sejenak. Namun, kenapa hati ini tak tenang menitipkan si kembar pada ayahnya?Hendak menutup kedua mata, suara Hanum dan Haura secara bersamaan membuat mataku urung untuk terpejam. Keduanya menangis entah karena apa. Terpaksa, walaupun sakit aku bangkit dari posisi nyaman, merayap menuju ruang tamu.Betapa kagetnya aku, saat seorang wanita paruh baya tengah menyuapi pisang muli pada kedua anakku yang digendong dua wanita di sebelahnya."Berhenti! Apa ini maksudnya?"Semua pasang mata menoleh pada sumber suara. Seorang wanita muda yang mengais Hanum menatap penampilanku dari atas sampai bawah.Perempuan yang memegang pisang muli itu berhenti. Ia menurunkan pisang yang baru saja dikerok sendok untuk diberikan pada Hanum dan Haura."Ibu memberikan anak saya pisang?" Entah siapa dia, yang jelas dari seragamnya tampak berwibawa.Perempuan berkacamata tebal itu mengangguk seraya menjawab, "Iya. Biar sehat, Nduk. Dulu, anak-anak Ibu juga dikasih pisang waktu usia mereka dua bulan." Tanpa merasa bersalah sedikitpun, ia menjawab dengan senyum lebar."Kok Ibu kasih anak saya pisang gak izin dulu sama mamanya?" Tentu saja aku protes. Bagaimana bisa bayi belum genap satu minggu sudah diberi pisang. Harusnya, pisang itu diberikan saat bayi sudah memulai MP-ASI.Melihatku berkata dengan nada tak enak, Mas Haidar menghampiri dan menyentuh bahuku. Pertanda, ia ingin aku menyudahi sikap yang terkesan tak sopan pada tamu."Pisang itu bahaya buat bayi usia di bawah enam bulan, Bu. Apalagi anak saya baru tiga hari di dunia. Ibu mau anak saya kenapa-kenapa?" Bukannya berhenti, aku malah menjadi.Sebelumnya, aku paling anti berdebat dengan orang. Namun, saat berhubungan dengan kedua anakku, aku tak akan tinggal diam. Bagaimana jika terjadi apa-apa pada bayiku?Ibu itu masih saja bergeming. Memandang pisang di tangannya, lalu menunduk tak menjawab. Hanya ada tiga perempuan di sana. Ibu paruh baya dan kedua wanita muda yang menggendong Hanum dan Haura.Melihat reaksiku yang jauh dari dugaan, Mas Haidar menarik lenganku untuk masuk ke dalam kamar. Dengan langkah tertatih, terpaksa aku mengikutinya."Zara, sudahlah. Lagian, Bu Sri itu berpengalaman kok. Anaknya enam, sudah besar semua dan sehat-sehat saja. Malah dia sudah punya cucu," protes Mas Haidar menasihati.Mungkin ia malu karena aku bertindak tak sopan dan gegabah di depan para tamunya. Namun, tak berpikirkah ia tentang kesehatan Haura dan Hanum?"Kalau mau bertindak kayak gitu, ke cucunya aja, Mas. Jangan ke anak kita. Itu lebih gak sopan namanya. Kalau berpengalaman, gak akan sembarangan kasih makan bayi orang.""Ya udah. Tenang, ya. Jangan emosi gitu, dong. Niat Bu Sri, kan, baik. Aku yakin Haura dan Hanum akan baik-baik aja. Cuma baru beberapa suap, kok, makan pisangnya.""Memangnya dia siapa, sih?""Dia atasan aku, Zara. Jadi, jangan berulah. Nanti aku dipecat. Aku akan sampaikan permintaan maafmu untuknya."Pasrah, kuhela napas panjang. Segunung kecemasan melanda relung hati."Cepat bawa Haura dan Hanum kembali ke sini, Mas," suruhku pada Mas Haidar, agar kedua anakku dikembalikan. Aku tak mau mereka melakukan hal lain yang lebih ekstrim dengan dalih 'dulu juga seperti ini.'Mas Haidar mengangguk dan segera kembali pada tamu-tamunya.Bersambung..."Jadi, bagaimana solusinya, Hanin?""Ya, solusinya kamu sendiri. Jadilah orang paling siaga buat istri kamu. Yang dia butuhkan saat ini adalah dukungan dan bantuan. Tolonglah mengerti dengan kehidupannya yang berubah seratus delapan puluh derajat itu. Sudah kukatakan, dokter Zara yang sesungguhnya adalah kamu, suaminya sendiri.""Apa menurut kamu aku kurang mengerti padanya? Uangku selalu kuberikan,"Tut. Tut. Tut.Panggilan tiba-tiba terputus dan layar gawaiku tak lagi menyala. Sial! Baterainya habis.Setelahnya, aku tak bertanya lagi pada Hanin, dia pun sepertinya enggan lagi menghubungi. Namun, kali ini aku mulai berpikir kembali, kapankah bisa kulihat Zara yang penyayang? Yang menimbang anak-anaknya dengan ikhlas tanpa berang. Sebuah perasaan menggangguku kembali. Aku harus berbicara empat mata dengan Hanin, sebagai psikolog ia pasti tahu solusinya bagaimana. Aku tak mau hubunganku dengan Zara akan terus seperti ini.
PoV HaidarKepulangan Zara ke rumah Ibu membuatku lebih tenang. Aku bisa lebih leluasa mengatur waktu istirahat tanpa ada yang memanggil, lalu menyuruh banyak hal. Hanya satu saja yang kurang, hati betapa rindu wajah lucu kedua bayiku. Sayangnya, aku tak bisa melihat mereka setiap hari karena mereka harus tinggal sementara di rumah Ibu.Teman-teman juga tak canggung untuk nonton bareng acara bola saat di rumah tak ada Zara. Mau tidur jam berapapun, tak ada yang protes.Seringkali, kuajak mereka menghabiskan malam untuk taruhan nonton klub bola kesukaan atau main Play Station di ruang tamu.Jangan menduga, jika aku tak cinta dan peduli pada istriku! Dengan keputusanku seperti ini, adalah bukti cinta padanya. Lebih baik kubiarkan ia bersama Ibu, belajar bagaimana baiknya menjadi orang tua, daripada terus bersamaku dengan segunung amarah yang terus dilampiaskan padaku, sebagai imam di hidupnya. Sebab, saat bersamaku, rasanya apapun yang kulakukan sel
"Lha, Mbak Zara gak pakai kemben, ya?" Bu Sarinah memandangku dengan dengan lekat.Aku menghela napas. Dari pertama kedatanganku ke sini, beliau memang sering mengomentari apa yang kulakukan. Dari mulai makanan yang disantap, kebiasaan tidur pagi dan siang, masih di luar rumah saat waktu ashar tiba dan larangan-larangan lain yang selalu dihubungkan dengan hal mistis. "Enggak, Bu. Pengap," jawabku santai."Nanti buncit lho perutnya," seru Bu Sarinah heboh sendiri."Mbak Zara, Ibu punya anak tujuh, tapi perut Ibu enggak tuh bergelambir kayak ibu-ibu zaman sekarang. Karena Ibu selalu pakai kemben abis lahiran." Bu Sarinah malah curhat tentang dirinya, aku serasa dipojokkan karena punya pilihan sendiri."Aku biasa olahraga, kok Bu. Nanti, kalau udah bener-bener pulih, aku pasti olahraga. Bukan hanya perut yang harus dijaga, Bu, tapi seluruh badan. Kalau olahraga rutin, bukan hanya perut yang bakal langsing, tapi seluruh badan.""Mba
PoV Zara"Ya ampun, Zara. Jangan tidur siang, gak baik buat ibu menyusui!"Aku tersentak saat hampir saja benar-benar terlelap. Rasa pusing mendera seluruh bagian kepala. Seperti biasa, semalaman Haura dan Hanum terus menangis, entah karena apa. Sempat berkonsultasi dengan bidan, dia berkata kemungkinan kedua bayiku kena kolik. Mereka mau tidur dan terlelap setelah adzan subuh. Setelahnya pun harus tetap dibangunkan untuk diberi ASI selama dua jam sekali."Ibu, aku semalam cuma tidur sebentar. Sejam aja gak nyampe. Aku butuh istirahat," protesku lemas karena kedua mataku juga sudah sangat berat."Lha, emang semua ibu melahirkan itu biasanya kurang tidur, Zara. Nanti, anak udah gede bisa puas-puasin lagi tidur seharian. Jangan kebluk, kamu!""Aku kan harus sehat juga, Bu. Kalau kurang istirahat nanti sakit, pengaruh juga sama Haura dan Hanum." Aku mencoba mengeluarkan pendapat sendiri. Faktanya, jika tidur kurang, badan akan terasa lemas d
Mereka ini ada-ada saja. Kenapa kelakuanku dikait-kaitkan dengan hal mistis?Seandainya dibandingkan, aku lebih memilih mendatangi psikolog tadi ketimbang Ustadz Samsul. Hanin, sesama perempuan enak untuk diajak bicara. Setidaknya, ada telinga yang bersedia mendengar keluh kesahku. Tidak seperti Mas Haidar, telinga saja ia tutup kala aku berkeluh. Selalu ada senjata untuk menghentikan kesahku, yaitu kalimat 'aku kurang iman dan kurang sabar.'Akhirnya, kami pulang kembali ke rumah tepat setelah adzan zuhur masjid terdekat usai dikumandangkan. "Tadinya Ibu mau nginap di sini, tapi Ibu gak bisa ninggalin kegiatan desa, Haidar. Sebagai ketua ibu-ibu PKK, Ibulah yang bertanggungjawab."Terdengar perbincangan Mas Haidar dan Ibu di ruang tamu saat aku berbaring di atas kasur tengah menyusui Haura dan Hanum secara bersamaan."Bagaimana kalau Zara tinggal di rumah Ibu dulu, Haidar? Selain Zara akan terbantu, Ibu bisa memantau kedua cucu Ibu. Set
PoV Zara"Ngapain Mas bawa aku ke sini?" Aku protes saat memasuki pekarangan rumah Ustad Samsul, ustadz yang terkenal dengan berbagai macam pengobatan, terlebih orang yang sakit karena bersangkut-paut dengan ilmu gaib."Ketemu teman lagi? Sejak kapan Mas berteman dengan Ustadz Samsul?" "Zara, kamu itu harus diobati. Ibu jelaskan, ya. Kamu itu ketempelan makhluk gaib. Makanya, kemarin sampai tega membuang cucu Ibu, Haura dan Hanum, anak kandung kamu sendiri," sahut Ibu, menyambar pertanyaan yang semula kutujukan untuk Mas Haidar.Aku tahu, perempuan yang bernama Hanin tadi bukanlah istri dari teman Mas Haidar. Dia seorang psikolog. Aku hanya diam saja tatkala Mas Haidar dan Ibu meninggalkan kami untuk mengobrol empat mata. Lagipula, aku memang butuh teman bercerita. Jadi, tak ada salahnya jika aku mengungkapkan pada psikolog itu, bukan? Kurasa, dia tak akan menghakimiku seperti ibu atau para tetangga. Sayangnya, Mas Haidar dan Ibu mengir