Share

7. Nobar Bola Ganggu Bayi I

"Maafkan Bunda, ya, Sayang. Bunda harusnya ikut temani kalian ke sana," lirih ucapanku berbisik di kedua telinga Haura dan Hanum yang berada dalam dekapan.

Kedua bayiku masih tampak anteng dan bermain. Sesekali mereka memberikan upah pada kelelahanku. Segaris senyum di bibir mereka yang menenangkan. Segera kuganti pakaian bawah Haura saat menyadari lenganku basah. Hanum diletakkan di sebelahnya.

Saat mereka asyik bermain seperti ini, aku merasa menjadi manusia normal. Layaknya seorang ibu yang melimpahkan cinta untuk anaknya. Kuasuh dan belai penuh cinta. Teringat kejadian tadi pagi, saat kumarahi mereka karena terus menangis tanpa henti. Menambah lelah dan pikiran sehingga penuh beban.

Sesal di hati terbit. Harusnya, aku lebih sabar. Tak murka hilang kendali. Terlebih, sempat enggan me nyu sui dan mencubit makhluk tak berdosa itu.

"Maafkan, Bunda, ya, Haura dan Hanum. Bunda tahu, Bunda bukan orang tua yang baik. Tapi, Bunda akan berusaha lebih baik lagi."

Mereka melempar senyum seakan mengerti ungkapan hatiku. Semakin besar sesal karena bertindak bodoh seperti tadi. Kalau Ibu tahu, aku bisa mati.

"Zara, Bu Sri dan teman-temanku mau pulang," lapor Mas Haidar dari balik pintu. Disusul ketiga wanita tagi yang muncul dari balik punggung Mas Haidar. Tentu saja aku kaget.

"Mbak Zara, kami pulang dulu, ya," ucap salah satu wanita muda di belakang Mas Haidar.

Mas Haidar menyuruh mereka masuk ke dalam di kamar agar bisa berpamitan secara langsung. Sementara, untuk teman kerja lelakinya, mereka hanya berpamitan di ambang pintu saja.

"Ini ada hadiah dari kami buat Si Kembar." Bu Sri, tanpa merasa bersalah ataupun mengingat kejadian tadi menyodorkan sebuah amplop putih.

Disusul dua wanita muda yang meletakkan dua bungkus kado ke hadapanku.

"Semoga cepat sehat, ya, Nduk. Banyak istirahat. Jangan stress. Ibu menyusui itu harus bahagia," kelakarnya sembari mengusap lembut punggung tanganku.

Apa Bu Sri tak sadar, bahwa kelakuannya tadi hampir bikin aku stress? Mungkin ini terkesan berlebihan. Namun, kecemasan tak bisa kusembunyikan. Aku takut bayiku kenapa-kenapa.

Sejenak, mereka mengajak Haura dan Hanum berdialog sebagai perpisahan. Hingga akhirnya ketiga wanita itu berlalu meninggalkan rumah kami.

Berikutnya, kado lain berdatangan dari teman-teman Mas Haidar yang lain. Ah, leganya. Akhirnya mereka pergi dari rumah. Bukan maksud mengusir, hanya saja tubuh ini sangat lelah untuk menerima tamu di jam malam.

Lewat pukul sepuluh, Mas Haidar belum juga masuk kamar. Mungkin ia tengah menonton acara bola kesukaannya. Tadi siang, aku membaca berita di internet, klub bola favorit Mas Haidar akan tanding malam ini. Ia pasti tak ingin ketinggalan.

Setelah beberapa kali ganti celana, kedua anakku menangis secara bersamaan. Bibir mereka terbuka mencari sumber ASI untuk melangsungkan kehidupan. Langsung saja ku su sui keduanya.

Sesuai arahan bidan, kedua tanganku mengais Haura dan Hanum dari arah berbeda. Sehingga, jika mereka dalam posisi berdiri bisa berhadapan. Hanya saja, aku tak bisa melakukan aktivitas yang lain. Kedua tanganku diikat. Kedua kakiku menjadi tumpuan badan mereka.

Percayalah, saat seperti ini adalah momen yang sangat indah. Namun, jika terlalu lama tentu saja akan bosan. Merasa menjadi seorang tawanan. Pegal di lenganku tak kuhiraukan. Jua kesemutan di telapak kaki yang mulai menggigit kulit kerasku.

Lebih dari setengah jam mereka menempel di tubuhku, rasanya kelopak mataku mulai berat. Dapat kurasakan mereka masih menyedot ASI yang keluar begitu deras. Berbeda dengan kemarin, seret dan sulit sekali keluar. Malam ini, bagai hujan yang menghujam tanah hingga banjir, kedua anakku akan tidur kekenyangan.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status