"Maafkan Bunda, ya, Sayang. Bunda harusnya ikut temani kalian ke sana," lirih ucapanku berbisik di kedua telinga Haura dan Hanum yang berada dalam dekapan.
Kedua bayiku masih tampak anteng dan bermain. Sesekali mereka memberikan upah pada kelelahanku. Segaris senyum di bibir mereka yang menenangkan. Segera kuganti pakaian bawah Haura saat menyadari lenganku basah. Hanum diletakkan di sebelahnya.Saat mereka asyik bermain seperti ini, aku merasa menjadi manusia normal. Layaknya seorang ibu yang melimpahkan cinta untuk anaknya. Kuasuh dan belai penuh cinta. Teringat kejadian tadi pagi, saat kumarahi mereka karena terus menangis tanpa henti. Menambah lelah dan pikiran sehingga penuh beban.Sesal di hati terbit. Harusnya, aku lebih sabar. Tak murka hilang kendali. Terlebih, sempat enggan me nyu sui dan mencubit makhluk tak berdosa itu."Maafkan, Bunda, ya, Haura dan Hanum. Bunda tahu, Bunda bukan orang tua yang baik. Tapi, Bunda akan berusaha lebih baik lagi."Mereka melempar senyum seakan mengerti ungkapan hatiku. Semakin besar sesal karena bertindak bodoh seperti tadi. Kalau Ibu tahu, aku bisa mati."Zara, Bu Sri dan teman-temanku mau pulang," lapor Mas Haidar dari balik pintu. Disusul ketiga wanita tagi yang muncul dari balik punggung Mas Haidar. Tentu saja aku kaget."Mbak Zara, kami pulang dulu, ya," ucap salah satu wanita muda di belakang Mas Haidar.Mas Haidar menyuruh mereka masuk ke dalam di kamar agar bisa berpamitan secara langsung. Sementara, untuk teman kerja lelakinya, mereka hanya berpamitan di ambang pintu saja."Ini ada hadiah dari kami buat Si Kembar." Bu Sri, tanpa merasa bersalah ataupun mengingat kejadian tadi menyodorkan sebuah amplop putih.Disusul dua wanita muda yang meletakkan dua bungkus kado ke hadapanku."Semoga cepat sehat, ya, Nduk. Banyak istirahat. Jangan stress. Ibu menyusui itu harus bahagia," kelakarnya sembari mengusap lembut punggung tanganku.Apa Bu Sri tak sadar, bahwa kelakuannya tadi hampir bikin aku stress? Mungkin ini terkesan berlebihan. Namun, kecemasan tak bisa kusembunyikan. Aku takut bayiku kenapa-kenapa.Sejenak, mereka mengajak Haura dan Hanum berdialog sebagai perpisahan. Hingga akhirnya ketiga wanita itu berlalu meninggalkan rumah kami.Berikutnya, kado lain berdatangan dari teman-teman Mas Haidar yang lain. Ah, leganya. Akhirnya mereka pergi dari rumah. Bukan maksud mengusir, hanya saja tubuh ini sangat lelah untuk menerima tamu di jam malam.Lewat pukul sepuluh, Mas Haidar belum juga masuk kamar. Mungkin ia tengah menonton acara bola kesukaannya. Tadi siang, aku membaca berita di internet, klub bola favorit Mas Haidar akan tanding malam ini. Ia pasti tak ingin ketinggalan.Setelah beberapa kali ganti celana, kedua anakku menangis secara bersamaan. Bibir mereka terbuka mencari sumber ASI untuk melangsungkan kehidupan. Langsung saja ku su sui keduanya.Sesuai arahan bidan, kedua tanganku mengais Haura dan Hanum dari arah berbeda. Sehingga, jika mereka dalam posisi berdiri bisa berhadapan. Hanya saja, aku tak bisa melakukan aktivitas yang lain. Kedua tanganku diikat. Kedua kakiku menjadi tumpuan badan mereka.Percayalah, saat seperti ini adalah momen yang sangat indah. Namun, jika terlalu lama tentu saja akan bosan. Merasa menjadi seorang tawanan. Pegal di lenganku tak kuhiraukan. Jua kesemutan di telapak kaki yang mulai menggigit kulit kerasku.Lebih dari setengah jam mereka menempel di tubuhku, rasanya kelopak mataku mulai berat. Dapat kurasakan mereka masih menyedot ASI yang keluar begitu deras. Berbeda dengan kemarin, seret dan sulit sekali keluar. Malam ini, bagai hujan yang menghujam tanah hingga banjir, kedua anakku akan tidur kekenyangan.Bersambung..."Jadi, bagaimana solusinya, Hanin?""Ya, solusinya kamu sendiri. Jadilah orang paling siaga buat istri kamu. Yang dia butuhkan saat ini adalah dukungan dan bantuan. Tolonglah mengerti dengan kehidupannya yang berubah seratus delapan puluh derajat itu. Sudah kukatakan, dokter Zara yang sesungguhnya adalah kamu, suaminya sendiri.""Apa menurut kamu aku kurang mengerti padanya? Uangku selalu kuberikan,"Tut. Tut. Tut.Panggilan tiba-tiba terputus dan layar gawaiku tak lagi menyala. Sial! Baterainya habis.Setelahnya, aku tak bertanya lagi pada Hanin, dia pun sepertinya enggan lagi menghubungi. Namun, kali ini aku mulai berpikir kembali, kapankah bisa kulihat Zara yang penyayang? Yang menimbang anak-anaknya dengan ikhlas tanpa berang. Sebuah perasaan menggangguku kembali. Aku harus berbicara empat mata dengan Hanin, sebagai psikolog ia pasti tahu solusinya bagaimana. Aku tak mau hubunganku dengan Zara akan terus seperti ini.
PoV HaidarKepulangan Zara ke rumah Ibu membuatku lebih tenang. Aku bisa lebih leluasa mengatur waktu istirahat tanpa ada yang memanggil, lalu menyuruh banyak hal. Hanya satu saja yang kurang, hati betapa rindu wajah lucu kedua bayiku. Sayangnya, aku tak bisa melihat mereka setiap hari karena mereka harus tinggal sementara di rumah Ibu.Teman-teman juga tak canggung untuk nonton bareng acara bola saat di rumah tak ada Zara. Mau tidur jam berapapun, tak ada yang protes.Seringkali, kuajak mereka menghabiskan malam untuk taruhan nonton klub bola kesukaan atau main Play Station di ruang tamu.Jangan menduga, jika aku tak cinta dan peduli pada istriku! Dengan keputusanku seperti ini, adalah bukti cinta padanya. Lebih baik kubiarkan ia bersama Ibu, belajar bagaimana baiknya menjadi orang tua, daripada terus bersamaku dengan segunung amarah yang terus dilampiaskan padaku, sebagai imam di hidupnya. Sebab, saat bersamaku, rasanya apapun yang kulakukan sel
"Lha, Mbak Zara gak pakai kemben, ya?" Bu Sarinah memandangku dengan dengan lekat.Aku menghela napas. Dari pertama kedatanganku ke sini, beliau memang sering mengomentari apa yang kulakukan. Dari mulai makanan yang disantap, kebiasaan tidur pagi dan siang, masih di luar rumah saat waktu ashar tiba dan larangan-larangan lain yang selalu dihubungkan dengan hal mistis. "Enggak, Bu. Pengap," jawabku santai."Nanti buncit lho perutnya," seru Bu Sarinah heboh sendiri."Mbak Zara, Ibu punya anak tujuh, tapi perut Ibu enggak tuh bergelambir kayak ibu-ibu zaman sekarang. Karena Ibu selalu pakai kemben abis lahiran." Bu Sarinah malah curhat tentang dirinya, aku serasa dipojokkan karena punya pilihan sendiri."Aku biasa olahraga, kok Bu. Nanti, kalau udah bener-bener pulih, aku pasti olahraga. Bukan hanya perut yang harus dijaga, Bu, tapi seluruh badan. Kalau olahraga rutin, bukan hanya perut yang bakal langsing, tapi seluruh badan.""Mba
PoV Zara"Ya ampun, Zara. Jangan tidur siang, gak baik buat ibu menyusui!"Aku tersentak saat hampir saja benar-benar terlelap. Rasa pusing mendera seluruh bagian kepala. Seperti biasa, semalaman Haura dan Hanum terus menangis, entah karena apa. Sempat berkonsultasi dengan bidan, dia berkata kemungkinan kedua bayiku kena kolik. Mereka mau tidur dan terlelap setelah adzan subuh. Setelahnya pun harus tetap dibangunkan untuk diberi ASI selama dua jam sekali."Ibu, aku semalam cuma tidur sebentar. Sejam aja gak nyampe. Aku butuh istirahat," protesku lemas karena kedua mataku juga sudah sangat berat."Lha, emang semua ibu melahirkan itu biasanya kurang tidur, Zara. Nanti, anak udah gede bisa puas-puasin lagi tidur seharian. Jangan kebluk, kamu!""Aku kan harus sehat juga, Bu. Kalau kurang istirahat nanti sakit, pengaruh juga sama Haura dan Hanum." Aku mencoba mengeluarkan pendapat sendiri. Faktanya, jika tidur kurang, badan akan terasa lemas d
Mereka ini ada-ada saja. Kenapa kelakuanku dikait-kaitkan dengan hal mistis?Seandainya dibandingkan, aku lebih memilih mendatangi psikolog tadi ketimbang Ustadz Samsul. Hanin, sesama perempuan enak untuk diajak bicara. Setidaknya, ada telinga yang bersedia mendengar keluh kesahku. Tidak seperti Mas Haidar, telinga saja ia tutup kala aku berkeluh. Selalu ada senjata untuk menghentikan kesahku, yaitu kalimat 'aku kurang iman dan kurang sabar.'Akhirnya, kami pulang kembali ke rumah tepat setelah adzan zuhur masjid terdekat usai dikumandangkan. "Tadinya Ibu mau nginap di sini, tapi Ibu gak bisa ninggalin kegiatan desa, Haidar. Sebagai ketua ibu-ibu PKK, Ibulah yang bertanggungjawab."Terdengar perbincangan Mas Haidar dan Ibu di ruang tamu saat aku berbaring di atas kasur tengah menyusui Haura dan Hanum secara bersamaan."Bagaimana kalau Zara tinggal di rumah Ibu dulu, Haidar? Selain Zara akan terbantu, Ibu bisa memantau kedua cucu Ibu. Set
PoV Zara"Ngapain Mas bawa aku ke sini?" Aku protes saat memasuki pekarangan rumah Ustad Samsul, ustadz yang terkenal dengan berbagai macam pengobatan, terlebih orang yang sakit karena bersangkut-paut dengan ilmu gaib."Ketemu teman lagi? Sejak kapan Mas berteman dengan Ustadz Samsul?" "Zara, kamu itu harus diobati. Ibu jelaskan, ya. Kamu itu ketempelan makhluk gaib. Makanya, kemarin sampai tega membuang cucu Ibu, Haura dan Hanum, anak kandung kamu sendiri," sahut Ibu, menyambar pertanyaan yang semula kutujukan untuk Mas Haidar.Aku tahu, perempuan yang bernama Hanin tadi bukanlah istri dari teman Mas Haidar. Dia seorang psikolog. Aku hanya diam saja tatkala Mas Haidar dan Ibu meninggalkan kami untuk mengobrol empat mata. Lagipula, aku memang butuh teman bercerita. Jadi, tak ada salahnya jika aku mengungkapkan pada psikolog itu, bukan? Kurasa, dia tak akan menghakimiku seperti ibu atau para tetangga. Sayangnya, Mas Haidar dan Ibu mengir