Penawaran Mas Haidar seperti basa-basi saja. Saat ia bertanya butuh bantuan atau tidak, tubuhnya mematung di ambang pintu. Sedikitpun tak mendekat.
Menahan sesuatu yang tercekat di tenggorokan, sekuat mungkin aku berusaha menjawab. "Gak perlu. Bola lebih penting daripada Haura dan Hanum," sahutku ketus.Mas Haidar mengangkat sebelah alisnya. Memandangku bingung."Kenapa jawabnya gitu, Zara? Apa aku gak boleh menghibur diri dari jenuhnya pekerjaan?"Kali ini, Mas Haidar malah berbalik menyerang. Andai dia tahu, setelah Hanum dan Haura lahir, tak ada waktu untukku mengusir jenuh. Berbeda dengan Mas Haidar yang masih bebas dengan aktivitas menyenangkan diri sendiri. Bergaul dengan kawan-kawan tanpa peduli bagaimana keadaan rumah, istri dan anaknya.Mas Haidar tak pernah kehilangan dunianya. Berbeda jauh dengan kehidupanku yang berubah seratus delapan puluh derajat."Silakan aja kalau mau pergi. Aku sudah biasa ditinggal." Berpura-puPerih di bekas luka jahit tiba-tiba menggerogoti kulit. Semakin pecah tangisanku, luka itu semakin menggigit. "Aaarrrghhhh!"Badanku luruh di lantai saat itu juga. Punggungku yang lemas bersandar pada pintu. Berkali, kuketuk keras pintu oleh kepala bagian belakang. Biar saja mati saat ini juga, ketimbang harus mereguk sendiri derita.Semakin kencang gamparan kepalaku di pintu. Tiba-tiba kepalaku mulai berputar. Ya Allah.. apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus membunuh kedua bayiku untuk mengakhiri derita ini?Ayah, Ibu. Cepatlah datang ke sini. Aku butuh kalian. Aku membatin dalam isakan yang terus berkumandang. Haura dan Hanum tak jua berhenti menangis.Habis tenaga, rasanya aku pasrah. Kuletakkan Haura dan Hanum di lantai. Tak peduli dingin dan angin yang menyelinap dari celah pintu. Mereka terus meraung entah mau apa.Kupejamkan mata. Merenungi kehidupan yang terasa menyiksa. Salah apa aku, Tuhan? Sehingga Engkau menghuku
Setelah begadang semalaman, kelopak mataku sudah tak bisa ditahan lagi. Fajar mulai terbit dari ufuk timur. Jam-jam dimana kedua bayiku tidur nyenyak setelah terjaga hingga dinihari.Mengurus dua bayi sendirian seringkali membuatku lupa melakukan hal-hal penting lain di rumah. Seperti yang terjadi kemarin, saat Ibu menyuruhku untuk makan. Tak sempat menanak nasi ataupun mengolah makanan. Kalaupun ingat, rasanya tubuhku tak akan kuat.Empat hari terakhir, kuisi perut dengan memesan makanan online. Walaupun tak masalah bagi Mas Haidar, tetap saja mulut Ibu tak diam. Beberapa kali dia menasihatiku, jangan jadi perempuan malas dan manja. Menjadikan alasan melahirkan sebagai senjata agar semuanya serba instan. Padahal, kondisi Ibu dulu saat melahirkan, tentu berbeda dengan apa yang kualami sekarang.Saat kubaringkan tubuh di atas kasur, layar gawaiku bergetar. Sebuah pesan masuk, dari Ibu.[Zara, hari ini Ibu gak bisa main sama cucu-cucu Ibu. Ada bupat
"Maaf, Zara. Aku ketiduran di rumah Tio."Sudah kuduga. Kebiasaan dari bujangannya tak pernah hilang. Waktu hamil pun, bukan sekali dua kali Mas Haidar tertidur di rumah temannya karena keasyikan ngobrol dengan mereka. Kadang tertidur, pulang pagi. Dulu, selalu kumaklumi. Namun, saat ini dia telah mempunyai seorang anak yang masih bayi. Apa masih pantas bersikap layaknya bujang?Tubuhku luruh di atas kursi. Kepalaku terasa berdenyut sekali karena tidur terganggu. Mas Haidar masuk ke dapur, lalu membuka tudung saji. Dirinya garuk-garuk kepala sambil celingukan ke lemari."Gak ada nasi, Za?" Teriaknya dari arah dapur.Mungkin, pertanyaan Mas Haidar adalah wajar. Entah mengapa, jiwaku begitu bergejolak saat ia pulang menginap dari rumah Tio, lalu menanyakan nasi padaku. Jelas-jelas, aku kesulitan untuk memasak."Minta aja sama Tio, aku gak masak," jawabku ketus.Mas Haidar berbalik ke ruang tamu. Dia duduk di kursi lain di sampingku
Kuputuskan untuk mengistirahatkan tubuh. Menjauhi perdebatan yang Mas Haidar pun enggan melanjutkan.Kuedarkan mata ke sekeliling rumah. Piring dan mangkuk berserakan. Debu di lantai menebal. Cucian menumpuk di keranjang yang tersimpan di sudut dapur. Mumpung bayiku tengah tertidur, lebih baik aku kerjakan semuanya.Namun, saat langkahku terasa menyiksa karena letihnya tubuh, aku urung bergerak. Bagaimana pun, aku harus menunaikan hak mata untuk terlelap. Kupandangi wajahku di cermin kecil yang tersimpan di atas kepala Haura. Kantung mataku menebal. Kulitku juga tampak tak segar. Sebelum memejamkan mata, aku mengirimkan pesan pada Mas Haidar yang berada di teras. Untuk mengampirinya akan sangat merepotkan. [Makanan sudah kupesan. Kamu makan duluan aja. Punyaku, simpan di atas meja.]Pesan langsung terbaca. Tak ada balasan dari Mas Haidar. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk. Aku segera membukanya.[Hai, Zara. Ini aku Jeni
Nampaknya Mas Haidar sempat menimbang waktu. Ia melirik arloji di pergelangan tangannya."Aku gak lama kok, Zara.""Emangnya bantu gendong Haura atau Hanum menghabiskan waktu berapa jam, Mas?" Tembakku, bertambah sebal padanya."Dalam dua puluh empat jam, apa kamu sempat menyisihkan waktu untuk mereka?""Jangan sampai Haura dan Hanum kehilangan sosok ayah dalam hidupnya!"Aku melayangkan teguran bertubi-tubi. Tak peduli dosa yang akan kudapatkan karena membentak suami, batin ini terlanjur gondok."Kalau begini jadinya, buat apa kamu jadi ayah, Mas? Gendong mereka aja, anti sekali!"Mas Haidar masih saja bergeming di tempat. Beberapa detik kemudian, akhirnya dia maju beberapa langkah. Mengambil Hanum yang semula berada dalam gendonganku sebelah kiri.Gerakannya mengikutiku. Saat kuayunkan Haura ke kanan dan kiri, Mas Haidar melakukan hal yang sama. Nampak sekali saat ia menggendong masih kaku. Bisa terhitung jari
"Zara, kamu sedang apa? Masih lama? Aku mau berangkat, lho." Terdengar suara Mas Haidar di balik pintu kamar mandi yang tertutup rapat.Di dalam ruangan kecil luas satu meter ini, aku tengah duduk di atas kloset sembari memainkan gawai. Sekadar melihat postingan orang yang berlomba memamerkan kepunyaannya."Aku mulas, Mas. Sebentar lagi. Sakit ini juga," sahutku dari dalam, pura-pura mengaduh sekaligus menahan tawa.Kubiarkan ayah dari anak-anakku itu mengasuh Hanum dan Haura di kamar sendirian. Kalau menangis, itu urusannya. Aku cuma mau memberikan dia pelajaran.Saat tangis salah satu dari mereka terdengar, aku merasa menjadi ibu yang keterlaluan. Membiarkan mereka bersama seorang lelaki yang tak paham bagaimana caranya mengurus bayi. Namun, bukankah awalnya aku juga begitu? Karena sudah terbiasa dan memberanikan diri, akhirnya bisa."Zara, Haura pup," lapor Mas Haidar sedikit berteriak.Ya ampun! Aku kira menangis karena apa.
Belum selesai pekerjaan yang baru saja kusentuh beberapa menit lalu, kedua anakku menangis secara bersamaan. Tiba-tiba, aku merasa dongkol. Kenapa mereka selalu kompak dalam hal menangis? Tanganku cuma ada dua. Kalau bisa menawar, janganlah bersamaan terus seperti itu.Tergesa mencuci beras, kumasukkan beberapa sendok ke dalam dua botol susu berbeda. Mematikan air yang telah mendidih, dan menuangkannya ke dalam botol bercampur air dingin. Setelahnya, kunanak nasi ke dalam magic com.Kembali ke kamar dengan perasaan getir karena membiarkan Haura dan Hanum menangis terlalu lama. Saat kugendong Haura, tersadar bahwa celananya lengket dan basah. Aku menghela napas kasar. Baru saja dimandikan, dua bocah ini sudah mengotori diri mereka lagi. Ya, keduanya pup secara bersamaan. Kompak banget, kan?Kepalaku mulai pening mendengar tangis yang melengking. Terlebih, saat melihat tekstur kotoran kedua bayiku yang agak keras dan hanya keluar sedikit. Mereka mengejan dan
Setelah melakukan semua saran Mama, aku kembali memeluk kedua bayiku. Namun, tak ada perubahan pada keduanya. Seakan lupa bahwa akupun masih belum pulih, terus kutimbang sembari melantunkan lagu Nina Bobo seperti yang sering Mama lakukan dulu padaku.Sempat kuhubungi nomor Mas Haidar, tetapi malah tidak aktif. Mencoba menelepon Tio, lajang itu tak mengangkat telepon dariku. Kuurai keperihan lewat tangis tak berkesudahan. Bingung. Aku harus bagaimana? Bukan aku saja yang menderita, tetapi Haura dan Hanum merasakan hal sama.Pikiranku mulai melayang kembali. Sepertinya, aku memang benar-benar harus memberikan kedua bayiku ke panti asuhan atau kepada orang yang sudah siap menjadi calon ibu. Aku memang ibu yang tak berguna.Rasanya ingin menyerah saja. Haura dan Hanum seperti sedang berlomba untuk merusak gendang telingaku. Ingin sekali membawanya ke bidan, tapi apakah harus sendirian? Jalanku masih gontai, merayap seperti kura-kura. Perih sekali di kulitku, m