Mataku membulat karena spekulasi yang ku ciptakan sendiri. Namun segera kutepis jauh-jauh pikiran itu. Masa iya Bude atau Bu Arini enggak bilang kalau dia bisu?
Karena suasana terus hening, aku juga mau melihat ponselku, biar nggak garing. Tapi ini kan hari pertama aku bekerja. Aku tidak mau memberikan kesan yang buruk karena sibuk dengan ponsel.
Daripada garing sendiri, lebih baik aku mencoba ngobrol sama Pak Darmo.
"Tempatnya jauh ya, Pak?" tanyaku basa-basi.
"Nggak kok Mbak, lima belas menit lagi juga sampai."
"Lha kok mesti berangkat pagi Pak? Memang sudah ada yang buka?" Aku penasaran.
"Memang buka sejak pagi, Mbak. Banyaknya yang main golf pagi, biar nggak panas."
"Ooo ...." Aku menggangguk. Padahal, aku kepinginnya Mas Kenzi menjawab apa gitu, biar enggak garing. Tapi dia bergeming dan tetap mengutak-atik ponselnya.
"Ternyata kamu bawel juga, ya!" Tiba-tiba saja dia bersuara.
Ish, syukurlah ... ternyata dia bisa bicara.
Tapi apa yang dia bilang? Aku bawel?Kenapa kalimat pertama yang keluar dari mulutnya begitu?
"Maaf Mas Kenzi, kata Bu Arini saya memang harus bawel. Saya kan susternya Mas Kenzi."
"Mami ada-ada aja ya, Pak!" cetusnya pada Pak Darmo sambil geleng-geleng kepala.
"Itu bentuk perhatian Ibu Arini, Mas!" sahut Pak Darmo sambil tertawa kecil.
Tampaknya, Mas Kenzi ini orang baik. Sama seperti Bu Arini. Terbukti, seperti tidak ada jarak saat dia berbicara dengan Pak Darmo.
***
Begitu mobil tiba di klub golf, sebelum turun, Mas Kenzi memintaku untuk ikut bersamanya. Sedangkan Pak Darmo, diminta menunggu kami di mobil.
Ini kali pertamaku masuk ke klub golf. Tidak ada yang bisa aku lakukan, kecuali mengekor Mas Kenzi. Takut hilang!
"Kamu ikut saya ke lapangan!" titahnya tanpa menoleh sedikitpun.
Mulai sekarang, aku harus peka. Mana tahu dia tiba-tiba bicara seperti tadi.
"I—iya Mas."
Saat dia berganti pakaian di loker, aku menunggunya untuk beberapa saat. Kalau aku jadi Mas Kenzi, aku milih pakai pakaian golf dari rumah. Biar praktis!
Setelah itu kami berjalan menuju mobil kecil yang akan membawa kami ke lapangan.
Sementara seorang pramu golf wanita bernama Nina, sudah siap berdiri di belakang mobil.Begitu tiba di lapangan, mataku meluas menikmati pemandangan di sini. Jadi begini ya lapangan golf itu? Aku nggak bisa bayangin, bisa jadi berapa kamar ini kalau dibikin kontrakan?
Kata Nina, hari ini lapangan tidak terlalu ramai. Tapi karena masih pagi, ada satu flight yang ada di depan kami.
Saat tengah menunggu giliran, aku mencoba mencairkan suasana."Mas Kenzi, kenapa cuma main sendiri?"
Karena aku melihat pemain lain yang bermain dengan teman-temannya. Sementara dia hanya sendiri.
"Iya, saya hanya ingin latihan untuk menghadapi turnamen besok."
Aku hanya mengangguk saja. Masalah turnamen yang dia terangkan, embuhlah! Yang penting aku sudah manggut-manggut.
Duduk di mobil kecil bersama Mas ganteng yang mirip aktor Korea, bikin aku berdebar terus. Makanya, aku berusaha menutupinya dengan bertanya apa saja.
Mana wanginya kebangetan! Aku yakin, pasti parfum yang dia pakai nggak ada di indoagustus!Aku juga terheran-heran sama Mas Kenzi ini. Main sendiri, bangun pagi-pagi, bikin sibuk orang serumah. Ya ampun ... horang kaya ribetnya setengah mati!
Baru saja aku hendak bertanya lagi, ponsel Mas Kenzi berdering.
"Ya sayang!" ucapnya terdengar manis. Itu pasti dari pacarnya! Uluh-uluh ...
"..."
"Aku golf sendiri!"
"..."
"Cemburu? Aku ajak suster yang kemarin aku bilang."
"..."
"Video call? tunggu sebentar!"
Mas Kenzi menutup speaker handphone dan mengatakan kalau pacarnya ingin video call denganku.
Ish, kenapa harus video call?
"Dis, pacar saya mau lihat kamu. Namanya Alsha. Ini!"
Mas Kenzi lalu mengarahkan layar ponselnya ke wajahku. Di sana, aku melihat seorang wanita yang terlihat sangat cantik, meski tidak melihatnya secara keseluruhan.
Rambutnya yang berwarna kecoklatan, tampak panjang tergerai selaras dengan wajahnya yang menawan.Yah, nggak ada harapan ini mah, pacarnya cantik begitu! Aku aja sebagai wanita nggak bosan lihatnya!
Aduh Disty, kamu mikir apa lagian!
"Mbak, jadi kamu susternya Kenzi?" tanyanya di seberang sana. Kelihatan banget basa-basinya.
"I—iya." Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Melihat wajah pacar Mas Kenzi membuatku serba salah.
Tapi sepertinya, Mas Kenzi menyadari semuanya."Biasa aja, Mbak. Pacarku ini enggak gigit, iya kan, sayang?"
What? Apa dia bilang? Mbak? Perasaan dari tadi nggak manggil Mbak, giliran ada pacarnya aja, bisa berubah begitu!
"Mbak, jagain pacar aku ya. Jangan sampai lupa makan, apalagi lupa sama aku!" pesannya di seberang sana.
"Iya."
Heeuh
Setelah mereka kembali bicara, Mas Kenzi menyudahi sambungan video karena harus mulai permainan.
Aku pun memerhatikan caranya bermain dan memegang stik golf. Keren banget Mas Kenzi, dia kelihatan tambah ganteng! Duh, sayang pacar orang!
Baru beberapa hole yang dia mainkan, aku udah capek lihatnya. Padahal, sejak tadi aku hanya diam di car, ngobrol sama Nina. Tanya-tanya tentang permainan golf. Setidaknya, walaupun tidak ada kesempatan bermain, aku bisa paham istilah dalam permainan ini.
Sedangkan bayi besarku itu, dia lebih sering jalan di lapangan. Kakinya terbuat dari besi kayaknya, nggak ada capek-capeknya!
"Nin, Pak Kenzi sering main disini?" tanyaku kepo saat sedang berdua bersama Nina, sementara Mas Kenzi sedang ke toilet. Nina ini ternyata seumuran sama aku, jadi kami tidak merasa canggung satu sama lain.
"Sebulan sekali dia pasti main Mbak. Tapi biasanya sama teman-temannya, atau sama pacarnya ...."
"Oooh, begitu ... Terus, Pak Kenzi pernah marah nggak? Atau berbuat nggak sopan gitu?" Aku semakin kepo. Tapi Nina malah diam saja dan tidak menjawab pertanyaanku.
"Kamu itu kalau mau kepo bisa sama saya, nggak usah tanya Nina!" Tiba-tiba terdengar suara Mas Kenzi dari arah belakang.
Duh!
Tiba-tiba saja Mas Kenzi datang dari belakang dan mengambil stik golfnya sendiri. Duh, mau ditaro di mana ini muka? malunya kebangetan, masa ketahuan ghibahin majikan sendiri?"Maaf, Mas," ucapku ragu. Sementara Nina, malah tersenyum sambil turun dari mobil kecil ini. Huh Nina, bilang kek ada Mas Kenzi, pantas saja dia langsung diam dari tadi!"Kok malah minta maaf? Kamu nggak jadi nanya?" sindirnya lagi. Aku diam saja, habis bingung mau jawab apa."Oya, Nin, sepertinya saya main sembilan hole aja ya!" beritahu Mas Kenzi pada Nina.Kenapa hanya sembilan hole? Apa dia mau menyudahi permainan? Jangan-jangan dia udah nggak mood gara-gara aku?Karena kata Nina, sebagian besar pemain golf akan kesulitan kalau konsentrasi dan mood-nya sudah terganggu."Mas Kenzi, saya beneran minta maaf. Saya nggak tahu kalau Mas—" "Ini bukan karena kamu. Saya harus ke kantor siang ini!"Oh ... begitu. Syukurlah!Selama perjalanan ke kantor, aku masih malu karena kejadian tadi. Jadilah suasana kembali hen
"Tadi saya pikir, Mas Kenzi sudah mau tidur, jadi tidak perlu apa-apa lagi."Ya kali perlu di nina boboin kaya bayi!"Daripada ngobrol sama Adi, nanti sore kan, harus ikut saya ketemu Alsha. Lebih baik kamu istirahat, Disty!""Hah? Saya ikut juga?" Aku melongo tak percaya."Mau bagaimana lagi? Itu udah perintah Mami."Makin cool nih Bos, nggak suka ngebantah Maminya! Tapi apa tadi? Nemenin dia pacaran? "Udah sana, istirahat!" perintahnya lagi.Kulangkahkan kaki menuju kamar perlahan. Sambil berjalan, aku terus berpikir. Sepertinya ada yang aneh dengan sikap majikanku itu. Ah ... aku nggak mau kegeeran, takut sudah terbang tinggi, nanti malah dijatuhkan lagi!Lelah. Aku baru saja hendak masuk ke dalam kamar. Tapi saat melewati kamar Bude Ning, aku malah ingin masuk ke sana.Begitu kubuka sedikit pintunya, Bude sedang tiduran sambil mengoleskan balsam di pinggangnya."Kalau sudah tidak kuat bekerja, sebaiknya pulang ke kampung saja Bude, istirahat!" kataku sembari mengambil alih pot ba
"Alsha ada urusan mendadak, Dis!" kata Mas Kenzi memberitahuku. Padahal dari tadi sudah tahu. Mau ketawa malah, tapi sebisa mungkin kutahan."Jadi sekarang pulang lagi, Mas?""Kita belum makan. Bagaimana kalau cari makan di sini dulu?""Makan?"Aduh, gimana ini? Masa makan berdua aja sama Mas Kenzi?Rasanya gimana gitu. Aku takut nggak bisa buka mulut, makan di depan orang ganteng kaya dia."Nggak ajak Pak Darmo sekalian, Mas?" usulku. Semoga saja dia mau ajak Pak Darmo, biar nggak gugup berduaan sama Mas Kenzi."Nih!" Mas Kenzi menyodorkan ponselnya. Dari layarnya terlihat jelas story WA Pak Darmo yang menunjukan aktivitasnya saat ini.Ya ampun ...ternyata diam-diam Pak Darmo alay juga. Masa dia foto selfi bareng semangkuk soto mie? Tapi itu artinya, dia sudah makan siang duluan."Kamu mau makan apa, Disty?" "Apa aja, Mas!""Sushi bagaimana?""Aduh ... enggak ah! Tapi kalau Mas Kenzi mau makan itu ya nggak apa-apa. Saya temenin aja.""Mau steak?""Saya nggak makan daging, Mas.""Te
"Astagfirullah!" Aku memekik ketika bayi besarku itu datang dari belakang tanpa mengenakan atasan. Mungkin dia habis ke toilet. Ada yang sobek, tapi bukan kertas. Ada roti, tapi bukan yang dibakar kaya dipiring yang lagi aku bawa. Duh, mataku ternodai. Ampuni Disty Ibu ...."Biasa aja lihatnya!" imbuhnya sambil mengetuk bahuku dengan handuk kecil yang dipilin.Sadar tengah bertelanjang dada, dengan cepat dia menyambar dan mengenakan kaus dalam berwarna putih."Tapi bukannya hari ini Mas Kenzi mau tour?""Jangan disingkat Adisty, artinya beda!" protesnya dengan nada kesal."Bukan mau disingkat, tapi saya lupa.""Kamu pelupa akut, malah nekat jadi baby sitter saya. Saya nggak jadi ikut tournamen!"Nah kan, itu lagi yang dibahas. Aku nggak bisa bayangin kalau Mas Kenzi ini sampai ngadu sama maminya. Bisa malu aku sama Bu Arini nanti."Lho, kenapa nggak jadi?""Mbak Kanaya melahirkan, saya harus kesana hari ini. Sama kamu juga!""Nggak sama Mbak Alsha?" tanyaku spontan. Duh.Aku jadi ke
Setelah kembali berbincang sebentar, Mas Kenzi mengajakku untuk ikut ke kantornya. Sayang sekali, padahal aku baru saja mulai nyaman bergabung dengan keluarganya.Tidak ada jarak di antara kami, karena semuanya sangat baik. Termasuk Pak Irfan, suami Mbak Kanaya. Kalau suami Mbak Fira dan Mbak Nala, mereka tidak ada di sini karena masih bekerja."Mami masih tinggal di sini beberapa hari lagi ya, Ken," kata Bu Arini saat Mas Kenzi pamit pulang."Jangan lama-lama ya, Mi!" rengeknya manja. Persis seperti anak kecil.Ya ampun, sejak hari pertama bekerja, aku baru lihat dia bisa manja begitu!"Sudah besar Ken, kamu yang seharusnya mengurus Mami. Nggak malu sama Disty?"Aku tersenyum. Lucu juga. Mas Kenzi itu seperti sedang mencari perhatian dari ibu dan ketiga kakaknya."Jangan lupa ingatkan dia ya Dis, Mami khawatir dia lupa makan."Duh, jangan sampai Mas Kenzi cerita masalah kemarin. Bisa malu aku sama Bu Arini. Mataku mengerjap, bersiap menunggu kalimat selanjutnya yang keluar dari Mas
"Jadi bagaimana, mau kan saya ajak jalan?" tanya Adi kembali memastikan. Karena sejak tadi, pikiranku masih bercabang-cabang. "Kapan?" "Kalau sekadar makan bakso, sekarang juga boleh." "Saya nggak suka bakso." "Cari makanan lain yang kamu suka 'kan bisa?" Ternyata Adi beneran niat. Dia terus saja mencari cara agar aku menyanggupinya. "Bukannya kamu lagi jaga?" Aku menoleh untuk menghilangkan rasa gugup. Karena setiap kali bicara, Adi selalu menatapku dengan lekat. Entah kenapa wajah Adi sekarang berubah lebih ganteng dua kali lipat daripada Mas Kenzi. Bisa jadi karena mau ngajak aku jalan, jadi tambah ganteng. Atau karena Mas Kenzi habis marah-marah jadi gantengnya berkurang? Aduh, Adisty! Kenapa perasaan ini cepat sekali berubah? "Gampang, tuh lihat!" Adi menunjuk Pak Bambang yang baru saja berganti pakaian dan keluar dari pintu belakang. "Pak Bambang kan, sudah mau pulang?" "Saya bisa ganti pakai uang rokok." "Kalau Mas Kenzi cari gimana?" Aku terus saja berkelit mencar
"Ya, Mas Kenzi!" sahutku dari luar kamar.Segera kusampaikan perintahnya kepada Bude yang masih berada di dapur. Sepertinya, makan sebelum tidur sudah menjadi kebiasaannya.Sambil menahan kantuk, aku menemani Bude menyiapkan pesanan nasi goreng itu, sampai Mas Kenzi datang untuk menyantapnya."Maaf, saya tahu kamu pasti kaget tadi," katanya sambil makan nasi goreng buatan Bude."Nggak perlu minta maaf Mas Kenzi, saya ngerti." Lagipula, tidak ada urusannya denganku. Toh, aku hanya menuruti perintah Bude saat itu."Saya cuma mau kamu tahu, kalau saya nggak mungkin melakukan sesuatu sama Alsha, apalagi di rumah ini," jelasnya lagi tanpa kuminta. "Saat saya mengajak kamu ke rumah Mbak Kanaya, kamu pasti sudah tahu kalau keluarga saya itu nggak ada yang menyukai Alsha."Ini yang aku tunggu-tunggu. Aku sudah kepo setengah mati sejak kemarin mengetahui tentang bagaimana hubungan Mas Kenzi dan Mbak Alsha sebenarnya. Tapi, apa dia benar-benar ingin menceritakan semuanya padaku?"Kenapa, Mas?
Pesan dari Mas Kenzi semakin membuatku penasaran dan terus memikirkannya. Kenapa jadi aku yang sakit hati melihat dia terluka?Berpikir realistis Adisty, kamu tak lebih dari seorang pengasuh!***Jam setengah enam pagi, aku dan Mas Kenzi sudah berada di lapangan golf. Saat berada di restoran, Mas Kenzi mengenalkan aku pada seorang temannya."Ini Rico, teman saya."Mas Rico mengulurkan tangannya lebih dulu.Seperti waktu itu, Mas Kenzi meminta Nina yang menjadi caddy-nya. Sedangkan Pak Rico, dia memilih caddy laki-laki untuk membantunya dalam permainan kali ini.Dari Nina, aku tahu kalau Pak Rico juga cukup sering main di sini. Dia juga masih belum menikah seperti Mas Kenzi.Sejak pertama bertemu, aku merasa Pak Rico terus memerhatikanku. Bukan kegeeran, hanya saja, aku jadi merasa tidak nyaman."Dis, boleh saya minta nomor handphone kamu?" tanya Pak Rico saat Mas Kenzi berada di tengah lapangan.Seharusnya, tadi Mas Kenzi membiarkan aku menunggu bersama Pak Darmo saja di mobil. Darip