Share

PERTEMUAN PERTAMA

"Ada. Tapi dia belum pernah mengenalkannya sama saya. Kenapa, kamu keberatan?"

"Apa saya harus tetap mengikuti Mas Kenzi kalau dia sedang bersama pacarnya Bu?"

"Hmm ... kalau itu, nanti saya tanyakan sama Kenzi. Tapi diluar itu, kamu setuju kan?"

"Saya coba dulu ya, Bu?" jawabku ragu.

Setelah memperkenalkan diri, Bu Arini meminta Bude untuk mengantarku ke kamar. Ini bisa jadi kesempatanku untuk bertanya banyak sama Bude. 

Kamar yang akan aku tempati, harus melewati dapur. Di sampingnya, ada sebuah pintu menuju lorong. Di ujung sana, berjejer sepuluh kamar ukuran kecil.

"Ini ruangan apa to Bude? Kaya kost-kostan?"

"Kan ART di sini banyak, Dis! Ada tujuh sama security dan tukang kebun. Nambah kamu ya jadi delapan!"

"Tujuh? Banyak amat Bude? Ngapain aja?" Aku melongo enggak percaya.

"Satpam dua gantian, tukang kebun satu, tukang cuci satu, tukang bersih-bersih dua, tukang masak satu. Supir ada dua, tapi ndak tinggal di sini. Nah, kalau Bude mu ini ya tukang masak."

"Oalah ... aku kira Bude yang kerjain semua!"

"Bisa encok Bude, Dis!"

"Lha di sinetron-sinetron, rumah besar begitu ARTnya cuma satu Bude!"

"Itu catlog, Nduk!"

Bude tersenyum setengah nyengir.

"Oya, ini beneran apa, aku harus ngasuh Mas Kenzi?"

"Ya bener!"

"Bude kenapa enggak bilang, kalau yang Disty asuh itu bukan bayi?"

"Kalau bilang, apa kamu mau?"

Benar juga.

"Tapi ini namanya penipuan Bude!"

Aku memicingkan mata sambil membereskan tas yang berisi pakaian ke dalam lemari kecil.

"Inget sepuluh juta perbulan lho, Nduk!"

"Oke, bisa diatur Bude!"

"Nah gitu! Sepuluh persen yo? Gaji Bude aja enggak sebesar kamu!'

Aku tertawa mendengar celoteh Bude. Padahal sejak tadi hati gusar enggak karuan. 

Bersamaan dengan itu, ponsel Bude berdering.

"Ya Bu?"

"..."

"Baik, Bu ..."

"Kenapa Bude?"

"Kamu disuruh istirahat Dis, besok pagi-pagi mulai kerja, nemenin Mas Kenzi main golf."

"Apa? main golf???"

***

Semalaman, aku jadi nggak bisa tidur karena terus kepikiran. Bagaimana sikap bayi besar yang akan kuasuh nanti?

Saat hari menjelang pagi, barulah aku bisa tidur, itu pun hanya sebentar, karena Bude membangunkanku untuk salat subuh.

Baru saja aku melipat mukena, Bude Ning sudah mengetuk pintu kamar untuk memastikan. Saat kupersilahkan untuk masuk, dia malah menyembulkan kepalanya di pintu.

"Sudah siap belum, Dis?"

"Jam segini Bude?" Kulirik jam yang baru menunjukan pukul empat lewat lima belas.

"Lha iyo! Sudah nurut saja. Ingat lho Dis, ini hari pertamamu kerja!" kata Bude memperingatkan.

Aku mengangguk. Bingung juga harus bagaimana sekarang. Masalahnya yang aku urus itu bukan bayi! Dan aku belum bertemu Mas Kenzi sejak semalam!

Aku semakin kebingungan saat tak tau harus pakai baju apa.

Kupilih lagi celana panjang, lengkap dengan tunik berwarna hitam yang sudah kupilih semalam, tapi sejak tadi masih ragu untuk langsung mengenakannya. Seumur-umur, aku belum tahu bagaimana keadaan lapangan golf yang sesungguhnya, kecuali dari drama korea yang pernah aku tonton selama ini.

"Ini sarapan sedikit ya, Nduk!" Bude kembali datang sambil menyodorkan piring berisi roti bakar dan segelas teh manis hangat, lalu meletakkannya di atas nakas.

Bude sepertinya lupa kalau aku yang datang dari kampung ini, takkan cukup hanya sarapan roti bakar saja. Aku yang biasa sarapan nasi sepiring penuh, harus tabah dan ikhlas melihat roti yang ukurannya lebih kecil dari telapak tanganku.

***

Saat akan meletakan piring bekas roti di dapur, di sanalah aku bertemu Mas Kenzi untuk pertama kalinya.

"Ini Mas Kenzi, Nduk! Mas Kenzi, ini Adisty." 

Lelaki itu hanya mengangguk sambil menyunggingkn senyum.

Ternyata dia beneran ganteng! Mataku sampai berbinar-binar melihatnya.

Sayang dah punya pacar!

Apa cerita di drama dan film itu bisa mampir ke kehidupan nyata untuk Disty? Seorang pria kaya yang jatuh cinta pada pembantunya?

Fiuh! Adisty Karenia, kamu jangan mimpi!

Manis, itulah kesan yang ditangkap indera penglihatanku. Namun, karena Mas Kenzi belum mengeluarkan sepatah katapun, aku tidak bisa mengenali dia lebih jauh lagi.

"Bawa ini untuk di mobil ya, Dis!" perintah Bude sambil menyerahkan dua kotak berukuran sedang.

"Apa ini Bude?"

"Yang ini cool bag, isinya minuman Mas Kenzi. Yang ini isinya camilan dia, roti bakar yang kayak kamu makan tadi itu, lho!"

"Buat di lapangan Bude?"

"Bukan. Ini buat di jalan. Kalau di lapangan, ya nanti beli disana!"

Wah, bener-bener seperti ngasuh bocah aku ini, bekalnya banyak banget!

***

Di  dalam mobil, Mas Kenzi langsung memilih duduk di tengah. Sementara Pak Darmo, supir pribadi Mas Kenzi memintaku duduk di depan bersamanya. 

Selama perjalanan, tak ada kata yang keluar dari mulut keduanya. Hening ... Mas Kenzi terus saja sibuk dengan ponselnya. Sementara Pak Darmo, fokus dengan jalanan.

Tiba-tiba saja pikiranku tertuju pada satu hal. Ya Allah, apa jangan-jangan Mas Kenzi ini bisu?

Mataku membulat karena spekulasi yang ku ciptakan sendiri. Namun, segera kutepis jauh-jauh pikiran itu. Masa iya Bude atau Bu Arini enggak bilang kalau dia bisu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status