"Kamu kesini besok Nduk, gaji sepuluh juta perbulan itu besar lho! Apalagi, Bu Arini bersedia membayar di awal untuk melunasi hutang almarhum Bapakmu!" bujuk Bude Ning di ujung telepon.
Dia adalah kakak ibukku satu-satunya. Bude sudah lama bekerja di Jakarta, sudah lebih dari sepuluh tahun. Dan aku memang sempat mengatakan padanya kalau aku berencana menjadi TKI untuk melunasi hutang almarhum Bapak.
"Ya sudah Bude, besok Disty kesana ya. Mungkin sampainya sore, karena belum ada persiapan apa-apa," sahutku cepat.
"Tak tunggu lho, Dis!"
"Nggih Bude!"
***
Keesokan harinya saat hari menjelang malam, aku baru sampai di komplek perumahan mewah dan diantar oleh security setempat untuk sampai di rumah milik Bu Arini.
"Assalamualaikum Bude, aku sudah sampai di sini. Keluarlah Bude!" panggilku melalui sambungan telepon.
"Waalaikumusalam, masuk aja lho, Dis! Ada satpam di situ. Sek Bude telepon!"
Ya ampun, Bude mau nyuruh satpam aja telepon dulu. Enggak bisa langsung nyamperin aku aja apa ya?
"Mbak Disty?" tanya seorang lelaki tampan yang mengenakan pakaian security.
Ini satpam? Kenapa dah bisa ganteng begini? Tatapan mataku bahkan tidak berpaling sedikitpun.
"I—iya."
"Masuk Mbak, jangan terpesona begitu ah!"
Glekkk! Pede juga nih orang!
"Dih, jangan geer Mas Prapto!" sahutku cepat untuk menutupi rasa malu.
"Udah ngelak, sok tau pula. Nama saya bukan Prapto Mbak, tapi Adi!" protesnya dengan wajah ngeselin.
"Lha itu name tag kamu?"
"Saya baru kerja di sini, gantiin Bapak saya. Ini yang saya pakai seragam punya Bapak!"
"Ooo ...."
"Ya udah Mbak, ayo saya antar. Sudah ditunggu sama Bu Arini di dalam tuh!"
***
"Namanya Kenzi Wira Yudha. Dia bungsu dari delapan bersaudara, anak saya bersama Almarhum Bapak Wira Yudha.
Kenzi berusia dua puluh lima tahun. Anak lelaki satu-satunya di keluarga ini. Sedangkan ketujuh kakak perempuannya, sudah menikah dan memiliki kehidupan masing-masing," jelas Bu Arini detail.
Aku terbelalak mendengar penjelasan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu. Bahkan, aku sampai mengedipkan kelopak mata. Bukan karena kelilipan, tetapi bingung dengan penjelasan Bu Arini.
Sekitar satu minggu yang lalu, Bude Ning, kakak dari Ibu, menghubungiku dan menawarkan pekerjaan sebagai baby sitter untuk anak majikannya. Dan setelah berunding, kemarin aku memutuskan untuk menerima tawaran dari ini. Tapi, kenapa dia tidak bilang kalau aku harus mengasuh orang dewasa?
Saat pertama kali Bude menawarkan pekerjaan ini aku sempat curiga, kenapa mereka tidak mengambilnya dari yayasan saja?
Namun, Bude terus meyakinkan aku. Kata dia majikannya hanya percaya sama Bude. Terlebih, dia juga bilang bahwa keluargaku sedang membutuhkan uang.Ya, aku memang sedang membutuhkan uang untuk melunasi hutang almarhum Bapak. Dan aku sempat menceritakan semuanya pada Bude untuk mencari solusinya. Kata Bude, Bu Arini bersedia membayarkan hutang dengan gajiku selama lima bulan kedepan.
Hutang Bapak jumlahnya empat puluh juta. Tetapi Bu Arini bersedia membayar lima puluh juta di awal. Sisanya bisa untuk pegangan Ibuku katanya.
Coba, siapa yang bisa menolak mempunyai majikan pengertian begitu?
Apalagi menurut Bude, aku hanya mengurus seorang bayi. Di kampung sudah sering aku mengurus cucunya Bude Ning. Sudah terlatih.Tapi kenapa yang harus ku asuh ternyata lelaki berumur dua puluh lima tahun?Saat aku masih kebingungan, Bu Arini kembali menjelaskan, katanya, Tuan Kenzi ini dulu sangat dimanja oleh kakak-kakaknya. Sampai kakak perempuan terkhirnya, Ayumi menikah bulan lalu, Bu Arini merasa, kini Tuan Kenzi merasa perlu perhatian lebih. Pasalnya, Tuan Kenzi sering menyendiri hingga lupa segalanya.
"Maaf Bu, jadi apa yang harus saya lakukan?" tanyaku kebingungan. Bagaimana tidak bingung kalau yang diasuh lebih tua dariku begitu?
"Lakukan yang seharusnya kamu lakukan, Disty!"
Lha si Ibu!
"Kamu ikuti Kenzi kemana pun dia pergi. Ingatkan makannya, minum suplemen. Bahkan, akhir-akhir ini, tidak jarang dia sering lupa minum!"
Aku kembali terhenyak. Hah? Lupa minum? Dasar horang kaya, masih untung enggak lupa nafas, bisa repot kan, urusannya!
Kulirik bingkai foto keluarga yang terpampang besar disana. Satu-satunya anak lelaki yang ada di foto itu pasti Tuan Kenzi! Ganteng juga sih, mirip Cha Eun Wo! tapi ... kenapa dia masih perlu pengasuhan? Aku terus berbicara sendiri di dalam hati.
"Maaf Bu, tapi Tuan Kenzi ini aktivitasnya apa? Maksud saya, kemana saya harus mengikuti dia setiap harinya?"
"Enggak usah panggil tuan, saya risih dengernya. Kamu bisa panggil dia Mas Kenzi, seperti kami semua di sini ...," pinta Bu Arini.
Kesan yang aku dapat, Bu Arini dan keluarganya pasti orang baik. Terbukti mereka tidak gila hormat. Padahal kalau melihat rumahnya yang megah ini, ditambah jejeran mobil mewah di garasi rumahnya, sudah pasti mereka bukan orang sembarangan.
"Kenzi sedang belajar mengelola salah satu perusahaan milik Almarhum Papinya, Dis. Yang saya mau, kamu memantau dia sampai ke dalam kantor!"
Hah? Ada gitu orang kerja masih dilayani suster? Bukankah ada sekretaris? atau asisten pribadi? Emang dia enggak malu apa kalau kemana-mana harus aku buntuti?
"Kamu pasti bingung ya, Dis?" tanya Bu Arini, seolah tahu pertanyaan yang berputar di kepalaku. "Di kantor, ada sekretaris bernama Tania. Tapi saya kurang yakin. Dia hanya memantau Kenzi di kantor saja, setelah itu Ken akan berkeliaran seorang diri. Sementara saya sibuk."
Duh Bu, Mas Kenzi itu sudah besar. Kenapa juga kalau dia berkeliaran sendiri?
"Maaf Bu, kalau saya lancang. Tapi apa Mas Kenzi punya pacar?"
"Ada. Tapi dia belum pernah mengenalkannya sama saya. Kenapa, kamu keberatan?""Apa saya harus tetap mengikuti Mas Kenzi kalau dia sedang bersama pacarnya Bu?""Hmm ... kalau itu, nanti saya tanyakan sama Kenzi. Tapi diluar itu, kamu setuju kan?""Saya coba dulu ya, Bu?" jawabku ragu.Setelah memperkenalkan diri, Bu Arini meminta Bude untuk mengantarku ke kamar. Ini bisa jadi kesempatanku untuk bertanya banyak sama Bude. Kamar yang akan aku tempati, harus melewati dapur. Di sampingnya, ada sebuah pintu menuju lorong. Di ujung sana, berjejer sepuluh kamar ukuran kecil."Ini ruangan apa to Bude? Kaya kost-kostan?""Kan ART di sini banyak, Dis! Ada tujuh sama security dan tukang kebun. Nambah kamu ya jadi delapan!""Tujuh? Banyak amat Bude? Ngapain aja?" Aku melongo enggak percaya."Satpam dua gantian, tukang kebun satu, tukang cuci satu, tukang bersih-bersih dua, tukang masak satu. Supir ada dua, tapi ndak tinggal di sini. Nah, kalau Bude mu ini ya tukang masak.""Oalah ... aku kira Bu
Mataku membulat karena spekulasi yang ku ciptakan sendiri. Namun segera kutepis jauh-jauh pikiran itu. Masa iya Bude atau Bu Arini enggak bilang kalau dia bisu?Karena suasana terus hening, aku juga mau melihat ponselku, biar nggak garing. Tapi ini kan hari pertama aku bekerja. Aku tidak mau memberikan kesan yang buruk karena sibuk dengan ponsel.Daripada garing sendiri, lebih baik aku mencoba ngobrol sama Pak Darmo."Tempatnya jauh ya, Pak?" tanyaku basa-basi."Nggak kok Mbak, lima belas menit lagi juga sampai.""Lha kok mesti berangkat pagi Pak? Memang sudah ada yang buka?" Aku penasaran."Memang buka sejak pagi, Mbak. Banyaknya yang main golf pagi, biar nggak panas.""Ooo ...." Aku menggangguk. Padahal, aku kepinginnya Mas Kenzi menjawab apa gitu, biar enggak garing. Tapi dia bergeming dan tetap mengutak-atik ponselnya."Ternyata kamu bawel juga, ya!" Tiba-tiba saja dia bersuara.Ish, syukurlah ... ternyata dia bisa bicara.Tapi apa yang dia bilang? Aku bawel?Kenapa kalimat pertam
Tiba-tiba saja Mas Kenzi datang dari belakang dan mengambil stik golfnya sendiri. Duh, mau ditaro di mana ini muka? malunya kebangetan, masa ketahuan ghibahin majikan sendiri?"Maaf, Mas," ucapku ragu. Sementara Nina, malah tersenyum sambil turun dari mobil kecil ini. Huh Nina, bilang kek ada Mas Kenzi, pantas saja dia langsung diam dari tadi!"Kok malah minta maaf? Kamu nggak jadi nanya?" sindirnya lagi. Aku diam saja, habis bingung mau jawab apa."Oya, Nin, sepertinya saya main sembilan hole aja ya!" beritahu Mas Kenzi pada Nina.Kenapa hanya sembilan hole? Apa dia mau menyudahi permainan? Jangan-jangan dia udah nggak mood gara-gara aku?Karena kata Nina, sebagian besar pemain golf akan kesulitan kalau konsentrasi dan mood-nya sudah terganggu."Mas Kenzi, saya beneran minta maaf. Saya nggak tahu kalau Mas—" "Ini bukan karena kamu. Saya harus ke kantor siang ini!"Oh ... begitu. Syukurlah!Selama perjalanan ke kantor, aku masih malu karena kejadian tadi. Jadilah suasana kembali hen
"Tadi saya pikir, Mas Kenzi sudah mau tidur, jadi tidak perlu apa-apa lagi."Ya kali perlu di nina boboin kaya bayi!"Daripada ngobrol sama Adi, nanti sore kan, harus ikut saya ketemu Alsha. Lebih baik kamu istirahat, Disty!""Hah? Saya ikut juga?" Aku melongo tak percaya."Mau bagaimana lagi? Itu udah perintah Mami."Makin cool nih Bos, nggak suka ngebantah Maminya! Tapi apa tadi? Nemenin dia pacaran? "Udah sana, istirahat!" perintahnya lagi.Kulangkahkan kaki menuju kamar perlahan. Sambil berjalan, aku terus berpikir. Sepertinya ada yang aneh dengan sikap majikanku itu. Ah ... aku nggak mau kegeeran, takut sudah terbang tinggi, nanti malah dijatuhkan lagi!Lelah. Aku baru saja hendak masuk ke dalam kamar. Tapi saat melewati kamar Bude Ning, aku malah ingin masuk ke sana.Begitu kubuka sedikit pintunya, Bude sedang tiduran sambil mengoleskan balsam di pinggangnya."Kalau sudah tidak kuat bekerja, sebaiknya pulang ke kampung saja Bude, istirahat!" kataku sembari mengambil alih pot ba
"Alsha ada urusan mendadak, Dis!" kata Mas Kenzi memberitahuku. Padahal dari tadi sudah tahu. Mau ketawa malah, tapi sebisa mungkin kutahan."Jadi sekarang pulang lagi, Mas?""Kita belum makan. Bagaimana kalau cari makan di sini dulu?""Makan?"Aduh, gimana ini? Masa makan berdua aja sama Mas Kenzi?Rasanya gimana gitu. Aku takut nggak bisa buka mulut, makan di depan orang ganteng kaya dia."Nggak ajak Pak Darmo sekalian, Mas?" usulku. Semoga saja dia mau ajak Pak Darmo, biar nggak gugup berduaan sama Mas Kenzi."Nih!" Mas Kenzi menyodorkan ponselnya. Dari layarnya terlihat jelas story WA Pak Darmo yang menunjukan aktivitasnya saat ini.Ya ampun ...ternyata diam-diam Pak Darmo alay juga. Masa dia foto selfi bareng semangkuk soto mie? Tapi itu artinya, dia sudah makan siang duluan."Kamu mau makan apa, Disty?" "Apa aja, Mas!""Sushi bagaimana?""Aduh ... enggak ah! Tapi kalau Mas Kenzi mau makan itu ya nggak apa-apa. Saya temenin aja.""Mau steak?""Saya nggak makan daging, Mas.""Te
"Astagfirullah!" Aku memekik ketika bayi besarku itu datang dari belakang tanpa mengenakan atasan. Mungkin dia habis ke toilet. Ada yang sobek, tapi bukan kertas. Ada roti, tapi bukan yang dibakar kaya dipiring yang lagi aku bawa. Duh, mataku ternodai. Ampuni Disty Ibu ...."Biasa aja lihatnya!" imbuhnya sambil mengetuk bahuku dengan handuk kecil yang dipilin.Sadar tengah bertelanjang dada, dengan cepat dia menyambar dan mengenakan kaus dalam berwarna putih."Tapi bukannya hari ini Mas Kenzi mau tour?""Jangan disingkat Adisty, artinya beda!" protesnya dengan nada kesal."Bukan mau disingkat, tapi saya lupa.""Kamu pelupa akut, malah nekat jadi baby sitter saya. Saya nggak jadi ikut tournamen!"Nah kan, itu lagi yang dibahas. Aku nggak bisa bayangin kalau Mas Kenzi ini sampai ngadu sama maminya. Bisa malu aku sama Bu Arini nanti."Lho, kenapa nggak jadi?""Mbak Kanaya melahirkan, saya harus kesana hari ini. Sama kamu juga!""Nggak sama Mbak Alsha?" tanyaku spontan. Duh.Aku jadi ke
Setelah kembali berbincang sebentar, Mas Kenzi mengajakku untuk ikut ke kantornya. Sayang sekali, padahal aku baru saja mulai nyaman bergabung dengan keluarganya.Tidak ada jarak di antara kami, karena semuanya sangat baik. Termasuk Pak Irfan, suami Mbak Kanaya. Kalau suami Mbak Fira dan Mbak Nala, mereka tidak ada di sini karena masih bekerja."Mami masih tinggal di sini beberapa hari lagi ya, Ken," kata Bu Arini saat Mas Kenzi pamit pulang."Jangan lama-lama ya, Mi!" rengeknya manja. Persis seperti anak kecil.Ya ampun, sejak hari pertama bekerja, aku baru lihat dia bisa manja begitu!"Sudah besar Ken, kamu yang seharusnya mengurus Mami. Nggak malu sama Disty?"Aku tersenyum. Lucu juga. Mas Kenzi itu seperti sedang mencari perhatian dari ibu dan ketiga kakaknya."Jangan lupa ingatkan dia ya Dis, Mami khawatir dia lupa makan."Duh, jangan sampai Mas Kenzi cerita masalah kemarin. Bisa malu aku sama Bu Arini. Mataku mengerjap, bersiap menunggu kalimat selanjutnya yang keluar dari Mas
"Jadi bagaimana, mau kan saya ajak jalan?" tanya Adi kembali memastikan. Karena sejak tadi, pikiranku masih bercabang-cabang. "Kapan?" "Kalau sekadar makan bakso, sekarang juga boleh." "Saya nggak suka bakso." "Cari makanan lain yang kamu suka 'kan bisa?" Ternyata Adi beneran niat. Dia terus saja mencari cara agar aku menyanggupinya. "Bukannya kamu lagi jaga?" Aku menoleh untuk menghilangkan rasa gugup. Karena setiap kali bicara, Adi selalu menatapku dengan lekat. Entah kenapa wajah Adi sekarang berubah lebih ganteng dua kali lipat daripada Mas Kenzi. Bisa jadi karena mau ngajak aku jalan, jadi tambah ganteng. Atau karena Mas Kenzi habis marah-marah jadi gantengnya berkurang? Aduh, Adisty! Kenapa perasaan ini cepat sekali berubah? "Gampang, tuh lihat!" Adi menunjuk Pak Bambang yang baru saja berganti pakaian dan keluar dari pintu belakang. "Pak Bambang kan, sudah mau pulang?" "Saya bisa ganti pakai uang rokok." "Kalau Mas Kenzi cari gimana?" Aku terus saja berkelit mencar