Share

Bab 2

Perih rasa hatiku bagai tersayat sembiluh. Beras dua kilo jika untuku dan keluarga bisa dimasak untuk makan dua hari, terkadang lebih. Tapi dengan mata kepalaku sendiri beras yang mungkin sangat berharga itu harus kandas dilahap ayam.

Gajiku bekerja di pabrik roti sebesar satu juta dua ratus ribu rupiah dan di bayarkan setiap satu minggu sekali, jadi aku menerima gaji sebesar 300 ribu per minggu, semua sudah ada post-nya masing-masing, 125 ribu aku sisihkan untuk bayar angsuran. Selebihnya untuk kebutuhan sehari-hari, seperti membeli beras, bayar listrik, air uang saku Ridho dan jika bersisa akan ditabung Dahlia untuk biaya tak terduga, tapi lebih sering kurang daripada lebih.

Aku mempunyai angsuran di bank milik pemerintah, yang aku gunakan untuk biaya wisuda Guruh waktu itu.

"Coba kamu ajukan pinjaman di bank, Tur. Ibu sudah gak ada uang untuk biaya wisuda Guruh."

"Pakai jaminan apa bu? Sertipikat rumah ini kan sudah digadaikan." jawabku waktu itu.

"Kan bisa pakai sertipikat rumahmu," ujar ibu sedikit memaksa.

"Tapi rumah itu milik Dahlia bu, Guntur gak ada hak atas rumah itu, karena rumah itu yang belikan bapaknya Dahlia," kilahku. Aku tidak enak jik harus menggadaikan sertipikat rumah yang kami tinggali, sudah bersyukur orang tua Dahlia memberi rumah untuk kami berteduh

"Kan cuma pinjam Tur, gak dijual! Apa susahnya?" Suara ibu mulai meninggi.

"Maaf Bu, bukannya masih ada uang asuransi bapak? Kan itu bisa digunakan untuk biaya wisuda Guruh, kalau pinjam bank, nanti siapa yang kaan bayar bu? Gaji Guntur kan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja." Aku masih berusaha menolak agar ibu tidak memaksa mengajukan pinjaman.

"Gak usah kamu ungkit-ungkit yang bukan urusan ku Tur, uang asuransi bapakmu itu sepenuhnya untuk ibu, bukan untuk bayar kuliah, yg jdi tanggung jawab adikmu kan kamu, setelah bapakmu meninggal!"

"Mas ... Mas ..." Tepukan Dahlia dibahuku menyadarkanku dari lamunan.

"Iya dek, ada apa?" Aku terperanjat.

"Mas itu gang kerumah kita kelewatan lho, rumah kita kan harusnya belok kanan," ujar Dahlia, seketika aku pijak tuas rem untuk menghentikan laju kuda besiku yang sudah sepuluh tahun menemaniku dan Dahlia.

"Astaghfirullah," ucapku beristighfar.

"Kamu melamun Mas?" tanya Dahlia menelisik.

"Gak kok dek, tadi merhatikan mobil didepan kita jadi gak fokus," kilahku.

"Sama pak, Dodo juga lagi lihatin mobil yg didepan, bagus ya pak?"

"Iy Do, bagus," hatiku lega karena Ridho.

"Kapan ya pak kita bisa beli mobil?" sambung Ridho.

"Doain aja rezeki kita lancar ya," hiburku, aku tidak tahu kapan bisa membeli mobil, jangankan mobil, motor saja sudah dikatakan butut, namun belum mampu menggantinya dengan yang baru.

Motor ini aku beli second dengan cara menyicil, sejak aku dan Dahlia masih pacaran dulu. Sampai sekarang masih kami pakai, beruntung motor ini tidak banyak rewel, mesinnya juga masih bgaus, tetapi modelnya sudah ketinggalan jaman.

Segera kubelokan motorku kearah kanan dimana tempat kami tinggal. Rumah yang dibelikan bapak mertua terletak dipinggiran kota.

Sesampainya dirumah, Ridho langsung berlari kesamping rumah, entah yang anak itu lakukan.

"Kamu ngapain Do?" tanya istriku.

"Mau pipis bu, gak tahan."

"Owalah," suhutku sambil terkekeh. Dibelakang rumah ki memanga ada tempat untuk mencuci baju yang tidak menyatu dengan rumah.

Dahlia mengeluarkan kunci rumah, kemudian memasukan anak kunci pada gembok yang terpasang dipintu.

"Mas, Mas tadi melamun apa?" tanya Dahlia.

"Gak melamun dek," jawabku bohong.

"Ibu ya mas?" tebaknya, wanita yang telah membersamaiku selama delapan tahun selalu bisa menebak apa yang aku pikirkan.

"Gak kok dek," kilahku. "Oh iya tadi mas Rahmat ngundang untuk acara aqiqah minggu depan."

"Aqiqah-nya Ceril ya Mas?" tanya Dahli. Sambil mengeluarkan pucuk ubi yang dia petik dari belakang rumah ibu. katanya daripada gak ada yang metik. Padahal memang kami kekurangan bahan masakan. Dibelakang rumah juga aku dan Dahlia banyak menanam sayuran untuk penopang jika kebutuhan makan kehabisan uang.

"Iya, anaknya yang bontot."

"Kebetulan gajiku minggu depan cair mas, jadi bisa bawain ibu sekarung beras, pasti ibu sangat senang."

"Gaji kamu, kamu simpan aja dek, nanti mas biar minta lemburan sama haji Mansur, biar bisa belikan ibu sekarung beras."

Mata Dahlia berkaca-kaca, aku tahu, pasti dia tidak akan terima suaminya direndahkan seperti itu oleh ibunya sendiri, maka dari itu dia berusaha memberikan yang berbaik untukku dan ibu.

Walaupun perlakuan ibu terhadap Dahlia kadang semena-mena, tak serta merta wanita berusia 32 tahun itu membenci ibu, bahkan dirinyalah yang selalu membujukku untuk memaklumi sifat ibu. Katanga orang yang sudah tua itu terkadang sifatnya seperti anak kecil lagi.

---

Sudah tiga hari ini aku minta jatah lembur ke haji Mansur. Satu hari lembur dibayar 20 ribu, kalau satu minggu full lembur, aku bisa mendapatkan 140 ribu. Dengan uang itu aku bisa membawakan ibu beras 10 kilo saat acara aqiqah ditempat mas Rahmat.

Terkadang begitu harus aku paksakan membawa sesuatu ketika mampir ke rumah ibu, kalau tidak, sepanjang hari ibu akan menyindirku dan Dahlia.

Sabtu malam aku pulang dengan perasaan senang, walaupun hanya bisa membawa pulang uang kembur 100 ribu, karena jatah lembur kali ini hanya 5 hari.

Segera aku mampir di toko grosiran di depan gang masuk rumahku. Sengaja aku beli di toko grosiran agar bisa mendapatkan harga miring, walaupun hanya selisih dua ribu dari swalayan, lumayan bisa untuk membelikan Ridho jajan sisanya.

Sekarung beras berisi 10 kg sudah berada diatas motorku, sisa 5 ribu aku belikan ciki untuk Ridho dan 1 bungkus roti sisir kesukaan Dahlia.

"Assalamualaikum," ucapku ketika sudah sampai didepan pintu.

"Wa'alaikumsalam." jawab suara laki-laki kecil dari balik pintu.

"Ye ... Jajan," teriak Ridho melihat tanganku menenteng jajanan.

"Ibu mana?" tanyaku.

"Ada didalam pak." Ridho langsung duduk didepan TV sambil menyemil jajanan yang kuberi.

Di dapur, Dahlia tengah memasukan gula, kopi, mie bihun dan minyak untuk dibawa ke rumah mas Rahmat. Begitulah di desa tempat tinggal ibu, jika ada yang punya hajat, yang bantu masak atau rewang biasanya membawa sembako seikhlasnya.

"Eh mas, aku gak denger mas masuk," Dahlia sedikit terperanjat, kemudian meraih tanganku untuk dia cium.

"Alhamdulillah, mas udah beli beras untuk ibu, semoga ibu mau nerima ya dek," ucapku. Seraya menurunkan satu karung beras didekat Dahlia duduk.

Paginya kami sudah siap diatas motor, Ridho duduk ditengah, biasanya dia duduk didepan, karena didepan penuh dengan belanjaan, jadi dengan terpaksa dia duduk ditengah. Motor bututku melaju dengan pelan, karena beban diatasnya cukup berat.

Dirumah ibu ternyata sudah ada mbak Tika dan mas Rendi, sementara mobil Guruh belum kelihatan, mungkin dia masih dijalan.

"Bawa apa Tur?" Todong ibu saat aku baru saja turun dari motor.

Dengan senyum terkembang aku menurunkan sekarung beras dari atas motor, "ini bu, Guntur bawakan ibu sekarung beras," jawabku sumringah.

Ibu hanya melirik kearah benda yang kubawa, "tarok situ aja!" Ibu menunjuk sudut teras rumahnya. "Tika sudah bawakan ibu 20 kilo beras premium, makan beras merk itu bisa sakit gigi," ucapnya sambil berlalu masuk kedalam rumah.

Rasa sesak didada kembali menghimpit. Kuletakkan sekarung beras itu sesuai perintah ibu, kemudian aku melongok kedalam rumah untuk melihat mbak Tika, namun diruang tamu sungguh pemandangan yang membuat semakin sakit.

Disana ada dua karung beras premium dengan harga dua kali dari yang kubeli, disebalahnya berjejer makanan ringan, perlengkapan mandi, sembako dan masih banyak belanjaan lainnya yang tak mampu kubeli.

"Dek, langsung ke rumah mas Rahmat aja."

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status