Share

BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI
BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI
Author: Ayaa Humaira

Bab 1

Author: Ayaa Humaira
last update Last Updated: 2022-10-26 16:49:39

"Bu, Alhamdulillah ini ada beras bisa untuk tambah-tambah kebutuhan ibu," ucapku seraya meletakkan dua kilo beras diatas meja dekat kompor. Didalam plastik itu juga ada gula satu kilo dan teh satu kotak.

Ibu membuka bungkusan plastik itu, seketika mukanya berubah masam, "kalau gak niat ngasih, lebih baik gak usah ngasih sekalian Tur, ini mah cuma cukup untuk makan sehari!" cela ibu seraya meletakan dengan kasar gula kedalam plastik.

"Mbok ya dicontoh adikmu Guruh, dia kalau ngasih ibu itu minimal satu karung, bukan yang lima kilo tapi yang dua puluh kilo. Belum lagi gula, teh, kopi, perlengkapan mandi juga gak ketinggalan. Udah gitu ninggalin uang lagi. Lah kamu? Jangankan uang, beras aja cuma dua kilo kamu kasih ke ibu, kok kayak ngasih makan ayam aja." sungut ibu.

Aku hanya diam, ada rasa nyeri dalam dadaku, memang nasibku tidak seberuntung Guruh, selepas lulus kuliah dia langsung diterima bekerja di perusahaan asing dengan gaji yang tinggi, sedangkan aku? Aku hanya lulusan SMA yang tak mempunyai pekerjaan tetap.

Dahlia--istriku hanya menatap sendu, tangannya masih sibuk dengan seabrek cucian piring. Dia adalah wanita paling sabar yang pernah aku temui. Dia selalu ringan tangan jika berada di rumah ibu, mencuci baju, cuci piring, bersih-bersih rumah dan banyak lagi. Ibu tidak akan tinggal diam jika melihat Dahlia duduk didepan televisi.

Berbeda dengan Fika--istri Guruh, wanita itu sama sekali tak pernah menyentuh pekerjaan apapun di rumah ibu. Sesekali jika aku lagi tidak mengerjakan apa-apa aku yang membantu Dahlia.

Kami memang tidak tinggal serumah dengan ibu, jarak rumah kami dengan rumah ibu sekitar satu jam perjalanan. Aku jarang berkunjung kerumah ibu, disamping aku tak mau melihat istriku dijadikan pembatu gratisan, sikap ibu yang membedakan dengan dua saudaraku yang lainnya yang membuatku enggan berkunjung.

Kalau tidak Dahlia yang merengek untuk jenguk ibu, mungkin setahun sekali aku berkunjung kesana.

"Istrimu juga itu disuruh kerja, biar gak enak-enakan dirumah, bantu-bantu suami kerja kan gak salah, orang Fika yang suaminya kerja bergaji besar saja masih sibuk kerja, gak nodong gaji suami melulu." sambung ibu tak kalah pedas.

"Dahlia juga kerja bu, tapi memang rezeki kami sudah ditakar sama Allh hanya segini," jawabku membela Dahlia.

Dahlia hanya diam sambil terus fokus dengan pekerjaannya. Sesekali wanita yang telah delapan tahun menemaniku menyeka sudut netranya.

Tak kutanggapi lagi ocehan ibu yang akan memanjang bagai kereta api jika aku terus menanggapinya.

"Setelah cuci piring kita langsung pulang," bisiku ditelinga Dahlia.

"Iya mas," jawabnya singkat.

"Biar mas cari Rhido dulu di lapangan." Kuusap kepala wanitku itu untuk sekedar memberinya penguatan.

Semenjak kepergian bapak, ibu menjadi tanggung jawab kami--anak-anaknya, selain menerima uang pensiun bapak, kami selalu membawakan keperluan ibu, bukan kami, tapi saudaraku lebih tepatnya, karena aku hanya membawa sekedarnya saja, itu menurut ibu, tetapi untuk kami jelas itu sudah cukup untuk disantap tiga atau empat hari. Saudaraku ada dua, Guruh--adik bungsuku dan mbak Tika--kakak tertua.

Bapak meninggal empat tahun yang lalu karena serangan jantung. Dulu ibu tidak sekasar sekarang, karena selalu diingatkan bapak ketika sudah membandingkan kami bertiga.

Mbak Tika mempunyai suami yang bekerja di perkebunan milik pemerintah, sementara mbak Tika sendiri membuka toko sembako dirumah.

Aku? Tak ada yang bisa dibanggakan dari diriku, aku bersyukur bisa bekerja di pabrik roti milik Pak Haji Mansur. Aku bekerja dari jam delapan pagi hingga jam empat sore. Sementara Dahlia menjadi guru honor di SD tempat kami tinggal.

Di lapangan, Rhido tengah asyik bermain layang-layang, peluhnya membajiri wajahnya yang putih. Kulitnya mewarisi ibunya, sedangkan mata elangnya mewarisi aku, bapaknya.

"Do, udah main layang-layangnya. Kita mau pulang!" seruku pada Rhido.

"Nanggung Pak, masih jam segini," teriaknya

"Ibumu nanti sore mau pengajian," sambungku.

Dengan kesal anak itu menggulung senar layang-layangnya yang masih terbang tinggj. Ridho sebenarnya betah tinggal disini, dulu dia sebagai cucu kesayangan ibu, ketika masih balita, namun seiring berjalannya waktu, ibu lebih menyayangi Sindi--anaknya Guruh. Sementara anak mbak Tika sudah sekolah SMA.

Walaupun kasih sayang ibu terhadap Rhido tak seperti dulu, tetapi anak yang mempunyai tinggi hampir setinggi ibunya itu tetap betah berlama-lama di rumah mbahnya.

Rhido termasuk anak yang tidak pernah memikirkan perkataan orang sampai kehati. Jika mbahnya mulai ngomel, maka dia akan main sampai sore.

Kadang aku yang tidak tega melihat Ridho yang dibedakan dengan cucu ibu yang lain. Waktu itu, ibu pulang dari pasar, kebetulan ada aku, Ridho dan Sindi dirumah ibu, tapi dengan teganya ibu hanya membelikan jajanan untuk Sindi. Sedangkan Ridho sama sekali tidak dibelikan.

"Ridho kan sudah besar, gak perlulah oleh-oleh kalau mbah dari pasar kan?" ucap ibu ketika memberikan jajanan pada Sindi, padalah tangannya sudah menengadah minta bagiannya.

Dengan berat hati, dia tarik kembali tangannya yang sudah terlanjur terulur, dan dia hanya menelan ludah melihat Sindi dengan lahapnya memakan jajanan tersebut.

"Mas Ridho mau?" tanya Sindi dengan mulut penuh makanan. Ridho hanya mengangguk.

"Ini untuk mas Ridho." Sindi mencuil makananya dan memberikan pada Ridho. Kemudian dengan sekali hap, makanan itu sudah habis didalam mulut Ridho.

Hatiku teriris melihat pemandangan itu, air mataku seperti hendak runtuh, namun kutahan dengan sekuat tenaga.

"Mas, pulang yuk, udah mau hujan." Akhirnya kuajak pulang anak lelakiku itu. Terkadang aku memamgginya denga sebutan 'mas', karena dia anak pertama dan berharap bisa memberikan adik untuk Ridho.

Ridho menurut, dia naik keboncengan motor bututku.

"Insyaallah kalau Bapak gajian, Bapak belikan ya." Hiburku. Karena uangku memang tingal sepuluh ribu lagi didompet.

Tin ... Tin ... Suara sapaan dari mas Rahmat membuyarkan lamunanku.

"Tur, dari mana?" tanya mas Rahmat. Mas Rahmat adalah tetangga tidak jauh dari rumah ibu. Dia masih ada hubungan keluarga dari pihak bapak, tapi tidak terlalu dekat.

"Ini jemput Rhido, mas," jawabku, kemudian menghentikan laju motorku didekat motor mas Rahmat.

"Minggu depan anakku yang ketiga mau aqiqah, datang ya, ajak istrimu juga, kalau bisa sehari sebelum hari H, tadi aku kerumah ibumu, tapi kamu gak ada, Dahlia juga gak ada, gak apa-apa ya, aku ngomong disini." sambung mas Rahmat.

"Alah santai aja lho mas, gak apa-apa. Insyaallah kami datang."

Setelah ngobrol sebentar, aku pamit pulang. Sesampainya dirumah ibu, Dahlia sudah bersiap dengan tasnya yang sudah terlihat usang, semenjak menikah denganku, dia belum pernah membeli tas untuk pergi-pergi. Bukan tidak ingin membelikan, tetapi uang yang kami dapat dari bekerja hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan membayar cicilan.

"Sudah siap dek?" tanyaku pada Dahlia yang duduk di teras.

"Sudah mas."

"Aku pamit ibu dulu ya." Dahlia menggangguk.

Aku kebelakang untuk mencari keberadaan ibu. Wanita yang sudah mengiijak usaia 60 tahun itu tengah memanggil ayamnya.

"Ker ... Ker ... Ker."

"Bu Guntur pa ...." Kata-kataku terhenti ketika melihat ibu sedang memberi makan ayam dengan beras yang kubawa tadi.

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 70

    Guruh mendudukan ibunya di kursi khusus pelanggan, "Mbak tolong pangkas habis rambut Ibu saya!""Hah? Jangan! Jangan lakukan itu pada Ibu, Ruh!" Tega kamu Ruh. Darinkecil Ibu sayang-sayanh, udah besar, mentang-mentang kamu udah bisa cari uang sendiri malah mau berbuat seenaknya sama Ibu," Sri masih saja meronta-ronta.Pegawai salon hanya bingung melihat Guruh dan ibunya. Mereka belum berani mendekat. Mereka hanya berbisik-bisik antar sesama karyawan.Sri semakin meronta ketika melihat seseorang di luar salon tampak tengah merekam aksi Guruh yang ingin membotaki rambunya. Wanita paruh baya itu teriak meminta tolong untuk melepasnya dari Guruh."Tolong, anak saya mau membotaki rambut saya," ujar Sri.Pria jangkung itu akhirnya geram melihat seseorang yang tengah merekamnya. Dia bergerak menuju pintu masuk salon dan menghardik perekaman video itu."Apa? Kalian mau memviralkan saya?" Melihat Guruh melotot, orang tersebut langsung mematikan kameranya. Dan tanpa berkata sepatah katapun dia

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 69

    ****Dua tahun kemudian "Sin, Mbah minta ayamnya sedikit saja.""Ngak boleh, kata Mama, Mbah tu cuma boleh makan tempe goreng!" Wanita tua itu hanya menelan ludahnya berkali-kali karena melihat sang cucu menikmati gurihnya ayam krispi. Sudah sangat lama sekali Sri ingin sekali mencicipi ayam berbalut tepung yang renyah itu. Suara krenyes-krenyes di dalam mulut Sindi membuat liur Sri tak mampu ia tahanNamun angan hanya tinggal angan, ketika Sindi sang cucu lebih memilih memberikan sisa ayamnya kepada Cery--kucing kesayangannya dibanding memberikan oada neneknya.Hati Sri berdesir melihat pemandangan itu, teringat kejadian beberapa tahun silam, ketika dia lebih memilih memberikan beras yang dibelikan Guntur anak tengahnya kepada ayam kesayangan."Yaa Allah, apa ini balasan untukku?" Lirih Sri dalam tangisnya.Sudah dua tahun terakhir, Sri tinggal besama Guruh, anak bungsunya. Dan selama itulah dia hanya memakan makanan sisa anak dan menantunya makan. Bahkan lezatnya ayam gorengpun sud

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 68

    "Nah ini orangnya datang." Ternyata di sana ada Fahri dan keluarganya. Apa mereka tengah membicarakan perihal tanah itu?Aku dan Dahlia dipersilahkan masuk oleh Ibunya Nia. Wanita berjilbab instan itu kemudian masuk ke dalam dapur.Di ruang tamu rumah orang tua Nia ada Fahri dan juga kedua orang tuanya. Laki-laki itu menatap sinis ke arahku. Sementara Nia tidak terlihat. Mungkin dia sedang menidurkan bayinya.Beberapa saat kami hanya saling diam. Aupun bingung harus memulai dari mana. Karena aku dan Dahlia merasa tidak enak jika memamg mereka datang untuk membicarakan masalah rumah tangga Nia dan Fahri.Fahri yang tadinya terlihat seperti ingin menerkamku, kini laki-laki itu diam seribu bahasa. Hanya menatap tak suka dengan kehadiranku dan Dahlia."Maaf, Pak. Saya boleh menyusul Ibu ke dapur," ucap Dahlia akhirnya membuka suara"Oh. Silahkan Lia. Itu si Nia lagi di kamar, tadi anaknya rewel," jawab Bapaknya Nia.Dahlia memang sudah akrab dengan orang tua Nia sejak mereka SMA dulu. Da

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 67

    Aku tidak peduli dengan jal*ng itu. Dia sudah kuceraikan.""Jangan bercada kamu Fahri!"Fahri melirikku sinis, "sudah jangan banyak bicara! Sekarang katakan kau setuju yang mana?"Aku menatap laki-laki bermata bengis itu sejenak. Sepertinya pria ini tidak bisa di ajak berunding. Percuma saja aku menghubungi Nia, toh dia sudah di cerai dan tanah itu memang belum balik nama atas nama dia.Aku kira hanya dengan surat kuasa, maka semuanya akan beres, ternyata Nia memalsukan surat itu."Aku akan berunding dengan Dahlia terlebih dahulu," jawabku kemudian."Oke, satu hari. Kalau sampai besok belum juga ada keputusan, maka semua yang ada di sini akan aku robohkan rata dengan tanah!""Iya," jawabku. Laki-laki itu bangkit dari duduknya dan keluar tanpa berpamitan.Aku menarik nafas panjang dan kuhembuskan perlahan. Bersamaan dengan itu, Dahlia masuk tanpa Mariam di gendongnnya. Sudah di pastikan anak bayi itu sudah menjadi bahan candaan para karyawan di depan."Mas, ayo pulang!" Tiba-tiba Dahli

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 66

    Guruh bicara tanpa jeda. Nada bicaranya sangat tinggi dan berapi-api. Sementara taku hanya terdiam mendengar penuturan adik bungsuku itu. Apa maksud semua yang di bicarakan Guruh? Aku benar-benar tak mengerti."Maksud kamu apa, Guruh?" bentakku."Halah, nggak usah pura-pura beg0 gitu, Mas. Kurang apa lagi sih Ibu di mata kamu? Di sudah berubah, tapi kamu malah buang Ibu. Kamu mau balas dendam, hah?" teriak Guruh di seberang telepon. Pernyataannya semakin membuatku tak mengerti apa yang sedang terjadi."Hei, Guruh. Jangan belibet. Ngomong yang jelas!" balasku"Memang, kalau dari dulu pembawa sial ya seperti ini!" Tut ... Tut ... Tut. Sambung telepon di putus sepihak. Hampir saja kata-kata kasar keluar dari mulutku. "Astaghfirullah," ucapku sambil mengelus dada, menahan amarah yang sudah sampai ubun-ubun. Dahlia mendekat dan mengusap bahuku pelan, "ada apa, Mas? Kenapa ngomongnya sampai teriak-teriak begitu?""Ini si Guruh, bilang kalau aku buang Ibu. Apalah yang Ibu katakan sama Guru

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 65

    Sepeninggalan Ibu, aku da Dahlia bersiap untuk membuka kedai yg ada di depan rumah. Jam delpan, Mariam sudah tidur serelah di mandikan Dahlia.Bayi berumur tujuh bulan itu memang suka bangun di kala subuh dan akan tidur setelah makan dan mandi pagi. Siang setelah dzuhur bisanya dia akan tidur lagi. Begitulah rutinitasnya setiap hari. Kesempatan itu Dahlia ambil untuk mempersiapkan jualan mie ayam kami. Selesai mempersiapkan jualan, aku langsung berangkat menuju kedai pinggir pantai. Di sana bisanya ramai ketika jam makan siang. Jadi dari jm sepuluh pagi sampai jam sebelas waktunya santai-santai, karena di jam-jam tersebut, pelanggan masih sepi.Jam sembilan kurang aku sudah sampai di kedai pinggir pantai. Di sana beberapa karyawan sudah menunggu. Mereka langsung menurunkan barang yang sudah aku siapakan di rumah. Sembari mengawasi para karyawan, aku membuka laptop untuk mengecak penjualan yang roti milik Haji Mansur. Aku lihat sekilas omset di toko roti milik Haji Mansur mengalami p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status