Share

Bab 3

Kulangkahkan kaki menuju motor kembali, Dahlia sudah hendak masuk kedalam rumah ibu, namun urung dia lakukan. Beruntung Dahlia yang tadi sempat berbincang dengan mbak Yuli, tidak mendengar ucapan ibu.

"Gak ketemu ibu dulu sama mbak Tika?"

"Mbak Tika mungkin sudah di rumah mas Rahmat." Aku memundurkan motor hingga ke tepi jalan, sementara Dahlia mengekor dibelakangku.

"Itu berasnya kenapa diletak diteras mas? Nanti dimakan ayam?"

"Ruang tamu ibu penuh Dek, jadi mas tarok disitu dulu," bohongku.

Aku tuntun motor menuju rumah mas Rahmat yang hanya berjarak 500 meter dari rumah ibu. Dahlia berjalan disamping kananku dengan menjinjing tas yang sudah mulai usang.

Rumah mas Rahmat sudah dipenuhi orang. Dahlia menurunkan bawaan dan langsung berbaur dengan ibu-ibu yang tengah memasak.

"Eh Lia, sini masuk." Terdengar suara mbak Atin--istri mas Rahmat mempersilahkan Dahlia masuk, sementara aku berbaur dengan bapak-bapak yang sedang memasang tarup. Setelahnya aku tak mendengar lagi celoteh ibu-ibu didapur.

Acara aqiqah rencananya akan dilangsungkan ba'da Isya. Sore menjelang Magrib tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya, aku dan bapak-bapak langsung meneduhkan kursi yang terkena iar hujan. Halaman menjadi becek karena air juga ikut masuk hingga bawah tarup.

Mas Joko berinisiatif membuat siring dadakan agar air tak menggenang. Akupun turun tangan ikut membantu. Nasib baik, hujan turun tidak lama. Setelah air surut, kami menyusun kembali kursi-kursi yang akan digunakan caara nanti malam.

Aku ke dapur untuk mencari keberadaan Ridho, tetapi tak kunjung kutemukan. Kulihat Dahlia sedang menggoreng kerupuk.

"Dek, lihat Ridho gak?" tanyaku pada Dahlia, wanita itu menoleh. Matanya sedikit sembab, mungkin karena asap tungku yg digunakannya untuk menggoreng kerupuk.

Disini memang sudah biasa menggunakan tungku kayu jika ada acara, agar menghemat gas. Disamping itu, keberadaan kayu bakar juga masih banyak, tinggal mencari di kebun.

"Tadi pamit mau mandi di rumah Farid mas," jawab Dahlia, tangganya masih sibuk membolak-balikan kerupuk agar tidak gosong. Sesekali dia berdiri dan membalik mie bihun yang sedang dia masak dikuali besar disampingnya.

"Oh, ya udah biaralah dia main disana, kamu kok sendirian goreng kerupuknya? Yang lainnya pada kemana?" Setelah kuperhatikan Dahlia hanya sendiri bekerja didapur, mengerjakan banyak masakan sendiri.

"Pada pulang mas, mau pada mandi dulu katanya."

"Kok gak gantian pulangnya?"

"Gak apa-apa mas, mungkin sebentar lagi mereka pada datang." ujarnya.

"Mas kedepan lagi ya, mau angkut minuman gelas."

"Iya mas." Dahlia menjawab tanpa menoleh. Tangannya masih dengan aktivitasnya tadi. Sesekali Dahlia menyeka keringat yang membajiri wajahnya.

Sebelum aku sambung pekerjaanku, aku pergi kerumah Farid untuk melihat keberadaan Ridho sekalian memantau apakah Ridho sudah mandi atau belum.

Jalanan becek membuatku harus hati-hati dalam melangkah, terkadang aliran tanah yang menjadi genangan memiliki tekstur lembut diatas keras dibawah, jadi jika terpijak bisa membuat kaki tergelincir.

Dirumah Farid, ternyata Ridho sudah mandi, dan sekarang sedang makan nasi berkat dari mas Rahmat.

"Eh mas Guntur," sapa mbak Misna--ibunya Farid.

"Iya Mbak, mau cari Ridho, udah mandi belum ya dia."

"Oh, sudah mas, tadi gantian sama Farid, biarin aja dia disini mas, mau nginap sini katanya."

"Duh nanti malah ngerepotin Mbak," ujarku, merasa tak enak.

"Gak kok Mas," jawab mbak Misna.

Karena Rhido kekeh mau nginap di rumah Farid, akhirnya aku kembali kerumah mas Rahmat untuk melanjutkan persiapan aqiqah.

Setelah selesai persiapan, aku numpang mandi dibelakang, ternyata aku lihat Dahlia masih kerja sendiri tanpa ada yang membantu, sebenarnya kemana ibu-ibu yang lain, padahal tadi kulihat mbak Misna tengah asyik nonton TV.

"Dek, kamu masih sendirian?"

"Iya Mas, mana masih banyak kerjaan. Gak tahu nih pada kemana ibu-ibunya kok gak balik-balik." Dahlia menghela nafasnya. Tampak sekali dia kelelahan.

"Apa lagi yang belum dek? Biar mas bantu."

"Bungkusin nasi belum Mas."

"Duh Mmas gak bisa kalau bungkusin nasi, coba mas tanya sama Mbak Atin atau mas Rahmat dulu dek."

Tanpa menunggu jawaban dari Dahlia, akupun ke rumah utama dimana Mbak Atin berada.

"Mbak, itu kemana ibu-ibunya kok Dahlia masak sendiri dibelakang."

Mbak Atin mengeryitkan dahinya, "Lho masa toh Tur, tadi masih rame pas aku kebelakang."

"Iya mbak, katanya pada pulang mau mandi, tapi sampai sekarang gak balik-balik lagi, kata Dahlia masih banyak kerjaan. Aku mau bantu, tapi gak ngerti kerjaan dapur."

"Yaa Allah, coba aku telfon mamak dulu Tur."

Mbak Atin meraih gawai yang diletak disamping box bayinya. Kemudian menekan tombol nomor telepon, tak berapa lama suara khas ibu-ibu terdengar dari sebrang.

"Ngapa Tin?" Suara bu Harni terdengar, karena mbak Atin menyalakan speakernya.

"Mamak dimana? Kok dapur cuma ada Dahlia?"

"Dirumah Tin, nanti mamak kesana sesudah Magrib ya "

"Lho, kerjaan belum selesai kata Dahlia mak, dia sudah kelelahan dari tadi masak sendiri."

"Kata Tika tadi sudah semua, tinggal nyusun jajanan dipiring aja, tadi dia wa di grup RT katanya datang habis Magrib aja."

Deg ... Seketika aku menajamkan pendengaran untuk mendengarkan obrolan mbak Atin dengan ibunya.

"Halah, mbak Tika kok dipercaya, sengaja dia mau ngerjain Lia itu, mamak kesini ya, aku masih lemes soalnya mau bantu-bantu."

"Owalah, Tika! ya ya, mamak kesanan." Terdengar bu Harni menggerutu.

Setelah mbak Atin menutup telfonnya, segera aku bertanya mengenai mbak Tika, apa maksudnya dengan kata-kata sudah biasa.

"Mbak, maksud mbak Atin tadi gimana ya? Mbak Tika sengaja ngerjain Dahlia?" Emosiku sudah mulai tersulut, mendengar Dahlia dikerjai.

"Eh Tur, kamu masih disini?"

"Iya Mbak, kan aku nunggu kabar ibu-ibu yang bantu Dahlia."

"Eh gak, kan mbakmu itu suka galak sama Dahlia." Aku hanya tersenyum masam, lalu kutinggalkan mbak Atin dengan anaknya yang sedang tidur didepan TV.

Apa iya mbak Tika segitunya sampai membuat Dahlia kewalahan sendiri, kalau kerjaannya gak beres kan mbak Atin juga yang malu.

Aku lanjutkan rencanaku untuk mandi, dibelakang sudah ada mbak Yuli, tetangga sebelah mbak Atin. Terdengar mereka tengah berbincang.

"Masa to Mbak, mbak Tika bilang gitu? Kalau tamu udah datang tapi disini belum beres kan yang malu bukan aku, tapi mbak Atin, dia niatnya mau ngerjain aku tapi imbasny pasti ke mbak Atin sama mas Rahmat," ucap Dahlia disela-sela aktivitasnya.

"Iya lho Li, ini lihat chatingan-nya." terlihat mbak Yuli menunjukkan gawainya.

Aku hanya memperhatikan mereka dari juah. Sebenarnya ada apa dengan mbakku itu, selama ini Dahlia tidak pernah membuat salah apapun sama mbak Tika.

Kutinggalkan mereka yang masih berbincang, tak enak rasanya mendengar pembicaraan orang apalagi ibu-ibu.

Malamnya aqiqah berjalan dengan lancar, hingga acara selesai, baik ibu dan mbak Tika apalagi Fika tak lagi muncul untuk bantu-bantu. Hanya mas Rendi dan Guruh yang datang memenuhi undangan mas Rahmat.

Pukul sembilan malam, hujan mulai turun lagi, aku memutuskan untuk menginap disini, karena malas kalau menginap dirumah ibu, pasti ada mbak Tika dan Fika, otomatis Dahlia semakin terpojok disana nanti.

Setelah subuh aku jemput Ridho dirumah Farid, karena harus pulang ke rumah, pukul tujuh aku masuk kerja.

Dahlia sudah siap, mbak Atin membawakan banyak sekai makanan sisa acara semalam. Kami pulang saat matahari belum muncul kepermukaan.

"Mas, mampir kerumah ibu dulu, aku mau kasih jajanan ini sekalian pamit."

"Iya dek," jawabku singkat.

Rumah ibu ternyata masih sepi, hanya ayamnya yang sudah berisik, ayam-ayam ibu memamg tidak pernah dimasukan kekandang.

Ayam-ayam itu tengah memakan susuatu dirteras. Semakin mendekat aku baru sadar jika yang dimakan unggas itu adalah beras yang kami bawa kemrin.

"Astaghfirullah," gumam Dahlia.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status