Share

Bab 8

Author: Ayaa Humaira
last update Last Updated: 2022-12-17 07:46:26

"Kamu gak apa-apa Dek?" Tak kujawab pertanyaan mas Guntur. Tanganku masih kuletakan dibawah guyuran air kran.

Hatiku berdebar tidak karuan, dunia ini kadang terasa sempit, dulu ketika mas Rendi pergi begitu saja, sangat sulit aku temukan. Bahkan dirumahnya dia tidak pernah muncul. Orang tuanya pun seakan-akan lupa tetang diriku.

Sekarang dia hadir dan menjadi kakak iparku. Bod0hnya aku tidak menyelidiki keluarga mas Guntur sebelumnya.

"Gak apa-apa Mas, cuma panas sedikit," jawabku, seraya mengoleskan pasta gigi kearea tangan yang terkena air panas.

"Kamu istirahat aja di kamar, biar Mas yang beresin depan sekalian buatkan kopi lagi untuk mas Rendi."

Deg ... Jadi benar yang didepan itu mas Rendi, tadinya aku berharap aku hanya salah lihat dan kebetulan mirip dengan mas Rendi.

Aku menurut dengan perkataan mas Guntur, segera aku ke kamar untuk menenangkan diriku. Tak berapa lama mas Guntur menyusulku ke kamar, dia membawa kotak yang dibungkus dengan kertas kado.

"Ini dari mas Rendi, Dek. Waktu acara pernikahan kita kemarin kan mas Rendi gak bisa datang, jadi dia bawakan ini untuk kita." Aku hanya mengangguk, kemudian Mas Guntur melekatkan kado itu di sudut kamar.

"Masih sakit?" mas Guntur mengelus punggung tanganku.

"Gak, Mas."

"Mereka langsung pulang, mas Rendi besok mau keluar kota lagi," sambung mas Guntur.

"Memangnya suami mbak Tika kerja dimana mas?" Aku berusaha mengulik informasi tetang pernikahan Mbak Tika dan Mas Rendi.

Dulu waktu berpacaran denganku, Mas Rendi mengaku bujang, tetapi Mbak Tika sudah mempunyai anak sebesar Salsa. Salsa sekarang sudah sudah kelas lima SD. Jadi selama ini aku dibohongi Mas Rendi, ternyata dia sudah mempunyai anak dan istri.

"Kerja di perkebunan milik pemerintah, itu kenapa mas Rendi jarang di rumah, dulu mbak Tika kerja di perusahaan yang sama, tapi karena mereka menikah, dengan terpaksa mbak Tika harus resign. Karena gak boleh kerja dalam satu perusahaan," jelas mas Guntur.

"Oh ... Berarti mereka udah lama menikahnya, Mas?" tanyaku memancing.

"Belum, baru dua tahun ini, kalau sama bapaknya Salsa udah lama pisah."

Deg ... Jadi selama ini mas Rendi selingkuh sama mbak Tika. Yaa Allah kenapa hatiku nyeri begini. Astaghfirullah, berkali-kali aku beristighfar didakam hati, meredam gejolak hatiku yang kian memanas.

"Mas, aku tidur dulu ya, sudah ngantuk," pamitku pada mas Guntur kemudian. Aku tak ingin dia mengetahui bagaimana perubahan wajahku saat ini.

"Yah, kok tidur sih, Dek," rengeknya.

"Bukannya mas Guntur malam ini giliran ronda malam?"

"Ah iya, Mas lupa. Yaudah, kamu tidur dulu gih, Mas mau ngopi dulu, biar gak ngantuk nanti."

---

Semenjak aku tahu mas Rendi suami dari mbak Tika, aku selalu menghindari mereka jika mereka datang ke rumah ibu. Hingga akhirnya aku dan mas Guntur bisa pindah ke rumah kami sendiri, rumah yang dibelikan oleh orang tuaku. Bahkah Sampai saat ini ku selalu menghindari mereka.

Tak hanya masalah mas Rendi, aku sebenarnya sudah merasa semenjak menikah dengan mas Guntur, sikap ibu perlahan berubah, terlebih ketika bapak mertua meninggalkan karena serangan jantung. Sikap ibu benar-benar berubah bahkan terhadap mas Guntur, anaknya sendiri.

Ibu selalu membandingkan antara mas Guntur dengan kedua saudaranya yang notabene mempunyai harta yang melimpah. Seakan mereka lupa dibalik keberhasilan Guruh, terutama ada tenaga kami yang diperas.

Dari biaya wisuda, biaya untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan asing, hingga biaya pernikahan selalu kami yang dirayu-rayu untuk meminjam uang di bank.

"Setelah bapak kamu meninggal, secera otomatis kewajiban membiayai seluruh kebutuhan Guruh itu ya Guntur, kakak lelakinya." Selalu begitu kata-kata ibu yang membuat kami akhirnya menyetujui untuk meminjam uang di bank.

--

Sore itu aku baru saja selesai mandi, Ridho sudah pergi ke masjid untuk mangaji. Tiba-tiba ibu dan mbak Tika datang, tanpa salam dan semacamnya, mbak Tika langsung masuk kedalam rumah sambil mengumpat.

"Kembalikan beras ibu, gak tahu malu kamu ya! Sudah ngasih malah diambil lagi," teriak mbak Tika sambil menunjuk kewajahku.

"Maksud mbak Tika apa?" Aku benar-benar tak mengerti apa yang mbak Tika biacarakan.

"Gak usah pura-pura gak tahu kamu Lia, pasti kamu kan yang ambil lagi beras dari Guntur kemarin, kamu pasti gak pernah makan beras enak. Makanya kamu ambil lagi beras yang seharusnya untuk ibu," sambung ibu. Ternyata mereka membicarakan sekarung beras yang kemarin kami kasih.

"Oh, beras itu? Maaf bu, bukannya ibu tidak mau menerima beras itu. Karena beras itu sampai pagi, bahkah kena air hujan tidak ibu masukan." Aku mencoba menjelaskan kenapa aku bawa kembali beras itu pulang ke rumah.

"Iya memang, beras itu sengaja ibu kasih untuk ayam. Mana level lidah ibu makan beras ynag biasa untuk ayam makan." Bibir ibu mencebik sambil menyilangkan kedua tangannya kedada.

"Astaghfirullah, Bu. Beras itu beras bagus. Ibu tahu sendiri bagaimana keadaan kami, untuk membelikan beras itu, mas Guntur rela lembur setiap hari agar bisa memberikan ibu sekarung beras yang menurut kami paling mahal dan enak. Agar mas Guntur bisa dianggap oleh ibu, tidak dianak tirikan. Tapi ibu benar-benar tidak menghargai kerja keras mas Guntur demi ibu." Air mataku mulai melaut membayangkan bagaimana capainya mas Guntur bekerja lembur demi ibu.

"Ck, orang misk*n sok-sokan mau beli beras mahal, itu beras hanya cocok untuk makan ayam-ayam ibu, tega kalian beri makan ibu beras untuk makan ayam, hah!" bentak mbak Tika. Air mataku kian meluas mendengar perkataan mbak Tika.

"Mbok jadi orang itu mikir! kalau udah dikasih ngapa diambil lagi!" ujar ibu dengan sorot mata meremahkan.

"Ibu, mbak Tika, ada apa?" Tiba-tiba mas Guntur datang.

"Ini lagi, anak gak berg*na, bisa-bisanya kalian ambil lagi beras yang sudah kalian kasih." bentak ibu sambil menunjuk wajah mas Guntur.

"Memang bukan untuk ibu, untuk ayam-ayam ibu, sengaja ibu suruh kamu tarok diteras, biar ayam Ibu kalau makan gak oerlu ngasih-ngasih lagi."

"Bagaimana ibu bisa berpikir seperti itu, sedangkan ibu tahu sendiri kehidupan kami bagaimana, bahkan membeli beras itu yang khusu kami berikan untuk ibu, hasil dari lemburku selama satu minggu. Tapi Ibu sama sekali tidak menghargai usahaku dan Dahlia," ucap mas Guntur.

"Sudahlah, mana berasnya!" potong mbak Tika.

Akupun bangkit dan masuk kedalam untuk mengambil beras yang sudah aku bersihkan. Ibu kemudian bangkit dan mengambil dengan kasar beras ditangan Dahlia.

"Kalau sudah dikasih, jangan diambil lagi, terserah ibu mau diapakan beras ini," sewotnya, kemudian berlalu begitu saja. Tak lama terdengar suara motor mbak Tika menjauh dari rumah.

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 70

    Guruh mendudukan ibunya di kursi khusus pelanggan, "Mbak tolong pangkas habis rambut Ibu saya!""Hah? Jangan! Jangan lakukan itu pada Ibu, Ruh!" Tega kamu Ruh. Darinkecil Ibu sayang-sayanh, udah besar, mentang-mentang kamu udah bisa cari uang sendiri malah mau berbuat seenaknya sama Ibu," Sri masih saja meronta-ronta.Pegawai salon hanya bingung melihat Guruh dan ibunya. Mereka belum berani mendekat. Mereka hanya berbisik-bisik antar sesama karyawan.Sri semakin meronta ketika melihat seseorang di luar salon tampak tengah merekam aksi Guruh yang ingin membotaki rambunya. Wanita paruh baya itu teriak meminta tolong untuk melepasnya dari Guruh."Tolong, anak saya mau membotaki rambut saya," ujar Sri.Pria jangkung itu akhirnya geram melihat seseorang yang tengah merekamnya. Dia bergerak menuju pintu masuk salon dan menghardik perekaman video itu."Apa? Kalian mau memviralkan saya?" Melihat Guruh melotot, orang tersebut langsung mematikan kameranya. Dan tanpa berkata sepatah katapun dia

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 69

    ****Dua tahun kemudian "Sin, Mbah minta ayamnya sedikit saja.""Ngak boleh, kata Mama, Mbah tu cuma boleh makan tempe goreng!" Wanita tua itu hanya menelan ludahnya berkali-kali karena melihat sang cucu menikmati gurihnya ayam krispi. Sudah sangat lama sekali Sri ingin sekali mencicipi ayam berbalut tepung yang renyah itu. Suara krenyes-krenyes di dalam mulut Sindi membuat liur Sri tak mampu ia tahanNamun angan hanya tinggal angan, ketika Sindi sang cucu lebih memilih memberikan sisa ayamnya kepada Cery--kucing kesayangannya dibanding memberikan oada neneknya.Hati Sri berdesir melihat pemandangan itu, teringat kejadian beberapa tahun silam, ketika dia lebih memilih memberikan beras yang dibelikan Guntur anak tengahnya kepada ayam kesayangan."Yaa Allah, apa ini balasan untukku?" Lirih Sri dalam tangisnya.Sudah dua tahun terakhir, Sri tinggal besama Guruh, anak bungsunya. Dan selama itulah dia hanya memakan makanan sisa anak dan menantunya makan. Bahkan lezatnya ayam gorengpun sud

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 68

    "Nah ini orangnya datang." Ternyata di sana ada Fahri dan keluarganya. Apa mereka tengah membicarakan perihal tanah itu?Aku dan Dahlia dipersilahkan masuk oleh Ibunya Nia. Wanita berjilbab instan itu kemudian masuk ke dalam dapur.Di ruang tamu rumah orang tua Nia ada Fahri dan juga kedua orang tuanya. Laki-laki itu menatap sinis ke arahku. Sementara Nia tidak terlihat. Mungkin dia sedang menidurkan bayinya.Beberapa saat kami hanya saling diam. Aupun bingung harus memulai dari mana. Karena aku dan Dahlia merasa tidak enak jika memamg mereka datang untuk membicarakan masalah rumah tangga Nia dan Fahri.Fahri yang tadinya terlihat seperti ingin menerkamku, kini laki-laki itu diam seribu bahasa. Hanya menatap tak suka dengan kehadiranku dan Dahlia."Maaf, Pak. Saya boleh menyusul Ibu ke dapur," ucap Dahlia akhirnya membuka suara"Oh. Silahkan Lia. Itu si Nia lagi di kamar, tadi anaknya rewel," jawab Bapaknya Nia.Dahlia memang sudah akrab dengan orang tua Nia sejak mereka SMA dulu. Da

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 67

    Aku tidak peduli dengan jal*ng itu. Dia sudah kuceraikan.""Jangan bercada kamu Fahri!"Fahri melirikku sinis, "sudah jangan banyak bicara! Sekarang katakan kau setuju yang mana?"Aku menatap laki-laki bermata bengis itu sejenak. Sepertinya pria ini tidak bisa di ajak berunding. Percuma saja aku menghubungi Nia, toh dia sudah di cerai dan tanah itu memang belum balik nama atas nama dia.Aku kira hanya dengan surat kuasa, maka semuanya akan beres, ternyata Nia memalsukan surat itu."Aku akan berunding dengan Dahlia terlebih dahulu," jawabku kemudian."Oke, satu hari. Kalau sampai besok belum juga ada keputusan, maka semua yang ada di sini akan aku robohkan rata dengan tanah!""Iya," jawabku. Laki-laki itu bangkit dari duduknya dan keluar tanpa berpamitan.Aku menarik nafas panjang dan kuhembuskan perlahan. Bersamaan dengan itu, Dahlia masuk tanpa Mariam di gendongnnya. Sudah di pastikan anak bayi itu sudah menjadi bahan candaan para karyawan di depan."Mas, ayo pulang!" Tiba-tiba Dahli

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 66

    Guruh bicara tanpa jeda. Nada bicaranya sangat tinggi dan berapi-api. Sementara taku hanya terdiam mendengar penuturan adik bungsuku itu. Apa maksud semua yang di bicarakan Guruh? Aku benar-benar tak mengerti."Maksud kamu apa, Guruh?" bentakku."Halah, nggak usah pura-pura beg0 gitu, Mas. Kurang apa lagi sih Ibu di mata kamu? Di sudah berubah, tapi kamu malah buang Ibu. Kamu mau balas dendam, hah?" teriak Guruh di seberang telepon. Pernyataannya semakin membuatku tak mengerti apa yang sedang terjadi."Hei, Guruh. Jangan belibet. Ngomong yang jelas!" balasku"Memang, kalau dari dulu pembawa sial ya seperti ini!" Tut ... Tut ... Tut. Sambung telepon di putus sepihak. Hampir saja kata-kata kasar keluar dari mulutku. "Astaghfirullah," ucapku sambil mengelus dada, menahan amarah yang sudah sampai ubun-ubun. Dahlia mendekat dan mengusap bahuku pelan, "ada apa, Mas? Kenapa ngomongnya sampai teriak-teriak begitu?""Ini si Guruh, bilang kalau aku buang Ibu. Apalah yang Ibu katakan sama Guru

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 65

    Sepeninggalan Ibu, aku da Dahlia bersiap untuk membuka kedai yg ada di depan rumah. Jam delpan, Mariam sudah tidur serelah di mandikan Dahlia.Bayi berumur tujuh bulan itu memang suka bangun di kala subuh dan akan tidur setelah makan dan mandi pagi. Siang setelah dzuhur bisanya dia akan tidur lagi. Begitulah rutinitasnya setiap hari. Kesempatan itu Dahlia ambil untuk mempersiapkan jualan mie ayam kami. Selesai mempersiapkan jualan, aku langsung berangkat menuju kedai pinggir pantai. Di sana bisanya ramai ketika jam makan siang. Jadi dari jm sepuluh pagi sampai jam sebelas waktunya santai-santai, karena di jam-jam tersebut, pelanggan masih sepi.Jam sembilan kurang aku sudah sampai di kedai pinggir pantai. Di sana beberapa karyawan sudah menunggu. Mereka langsung menurunkan barang yang sudah aku siapakan di rumah. Sembari mengawasi para karyawan, aku membuka laptop untuk mengecak penjualan yang roti milik Haji Mansur. Aku lihat sekilas omset di toko roti milik Haji Mansur mengalami p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status