Share

Bab 7

Penulis: Ayaa Humaira
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-16 11:15:16

Dahlia

"Mas Rendi ngapain kesini tadi Dek?" tanya mas Guntur tiba-tiba, diasaat hatiku tengah mengontrol perasaan yang tak menentu.

"Cuma mampir, kangen Ridho katanya Mas, sama kasih jajan untuk Ridho." Berkali-kali aku membenarkan posisi dudukku agar tak begitu kentara jika aku tengah salah tingkah dan gugup.

Mas Rendi, orang yang dulu sangat kucintai dan kuharapkan dia yang menjadi ayah dari anak-anakku, namun nyatanya laki-laki itu pergi sehari sebelum melamarku. Acara lamaran yang sudah aku dan orang tuaku persiapkan harus kandas begitu saja.

Jangan ditanya bagaimana rasa, sudah pasti sakit, bahkan karena kegagalan itu, aku sempat mengurung diri di kamar selama berhari-hari. Aku tidak pernah lagi berbaur dengan tetangga selama berbulan-bulan. Tak hanya itu, akupun menutup diri dari media sosial. Keseharianku hanya kuhabiskan dengan menulis, menulis surat tepatnya.

Setiap hari aku selalu menulis surat untuk mas Rendi, apapun yang aku rasakan aku tulis didalam surat itu. Tapi surat itu tak pernah aku kirim mau mengirimnya kemana pun, aku tidak tahu keterpurukan itu aku lalui hingga setahun lebih.

Hingga akhirnya aku mulai berpikir, bagaimana bisa aku melanjutkan hidup, jika aku terus menutup diri dari lingkungan. Nia--sahabat baikku ketika aku SMA dulu menawariku bekerja di sekolah tempat dia mengajar. Akupun mengiyakan tawaran Nia.

Sebelumnya aku sempat bekerja di sebuah koperasi, namun terpaksa berhenti karena keadaanku yang tidak memungkinkan bekerja pasca kegagalan menikah.

Tak butuh waktu lama aku langsung di terima bekerja di sekolah tempat Nia mengajar. Karena memang di sekolah itu sangat membutuhkan guru Agama.

Hari berikutnya aku sudah bisa mengajar, tugasku mengajar Agama dari kelas satu hingga kelas kelas enam. Begitulah keseharianku sebagai guru honor di SD.

Hingga akhirnya aku bertemu dengan mas Guntur ketika dia tengah mengantar roti ke sekolah, waktu itu ada cara perpisahan kelas enam. Pihak sekolah memesan kue di toko roti haji Mansur yang terkenal enak.

"Maaf mbak, kue-kue ini diletak dimana ya?" Aku celingukan, mencari sumber suara yang mengajakku berbicara.

"Mbak," panggil laki-laki itu lagi.

"Eh iya mas, disitu saja!" Aku menunjuk tempat dimana harus diletakan kue-kue tersebut.

Sebenarnya aku ingin membantu, tetapi pekerjaanku masih menumpuk, mengoreksi hasil ujian siswa kelas sampai kelas lima. Pria berbaju seragam toko itu selalu memperhatikanku, dapat kulihat dari ujung mataku.

"Maaf ya, Mas. Saya tidak bisa membantu, karena pekerjaan saya masih banyak." Akhirnya aku bersuara karena merasa diperhatikan. Mungkin dia mengharapkan bantuanku untuk menurunkan ratusan kotak kue.

"Tidak apa-apa mbak, sebentar lagi teman saya membantu." Aku mengangguk, tak lama memang temannya datang untuk membantu menurunkan kue-kue itu.

"Mbak, maaf ini notanya." Pria itu menyodorkan kertas berisi tulisan pesanan kue.

"Tapi bu bendahara tidak menitipkan uang pada saya," ucapku.

"Ini sudah dibayar lunas kok Mbak, saya hanya menitipkan nota ini saja, karena saya lihat tidak ada orang disini," jawabnya lembut.

"Oh, baik. Terimakasih," balasku, kemudian aku melanjutkan aktivitasku kembali.

"Maaf sekali lagi, Mbak. Boleh minta nomor telfon mbaknya, untuk laporan ke toko nanti, karena biasanya piha costumer servis kami kan menelfon si penerima kue."

"Bisa, Mas. Akupun menulis dua belas digit nomor telfonku di kertas yang tidak aku pakai lagi.

"Makasih Mbak, saya permisi."

"Iya," jawabku seraya tersenyum manis. Dari dalam masih bisa kudengar auara mas-mas tadi berbicara, namun aku tak terlalu memperdulikan.

---

Selepas Asar, ponselku berdering dengan nada poliponinik khas ponsel jadul, ternyata nomor baru yang menelfonku. Segera aku pencet tombol bergambar gagang telfon hijau sebelah kiri. Jaman itu sudah ada handphone BB, namun aku belum mampu untuk membelinya.

"Assalamualaikum," sapaku ketika telfon sudah tersambung. Kulembutan selembut mungkin suaraku, karena aku ingat perkataan si kurir roti jika ada costumer servis akan menelfon menanyakan pelayanan.

"Wa'alaikumsalam," jawab seseorang dari seberang telfon.

"Maaf dengan siapa ya?" tanyaku penasaran.

"Saya yang ngantar kue siang tadi Mbak," jawab pria itu lembut.

"Oh iya, Mas. Ada yang bisa saya bantu?"

Ternyata yang menghubungiku pria pengantar kue ke sekolah tadi siang, awalnya dia menanykan bagaimana rasa kuenya. Karena menurut keteranganya, peracik dan pangadon bahan bakunya adalah dia.

Awalnya kami hanya mengobrol masalahan kue yg dia buat, lama kalamaan obrolan kami makin seru, Guntur--nama pria itu. Dan sampai saat ini costumer servis yang dia maksud tidak pernah menelfonku.

Seiring berjalannya waktu, hubunganku dengan mas Guntur makin dekat, dan diapun mengungkapkan keseriusannya untuk meminangku. Sebenarnya aku masih trauma akan kejadian dua tahun silam, tapi kedua orang tuaku selalu memberikan nasehat-nasehat yang membuatku berani menerima mas Guntur.

Mas Guntur membawaku main ke rumahnya, berkenalan dengan keluarganya. Bapak mas Guntur ternyata sudah berpulang beberapa tahun silam. Ibunya menyambut baik diriku sebagai calon keluarganya. Mas Guntur mempunyai adik laki-laki yang masih duduk di bangku SMA, sementara mbak Tika--kakak perempuannya sudah mempunyai dua anak.

Setelah semua sepakat, kami menikah dengan cara sederhana, hanya mengundang tetangga satu RT dan perangkat desa. Aku sendiri yang tidak mau pesta karena alasan trauma.

Mas Guntur juga sudah tahu aku pernah mau menikah tetapi gagal, tapi aku tidak pernah memberitahu dirinya siapa laki-laki itu, bagiku laki-laki pengecut itu sudah mat*.

Satu minggu setelah menikah, aku diboyong ke rumah mertua, awalnya aku menolak tinggal bersama mertua, karena ada adik laki-lakinya yang bukan mahramku. Mas Guntur menyakinkan tinggal dirumah mertua hanya sebentar.

Malam itu, mbak Tika datang bersama suami dan anaknya, Salsa dan Febi. Waktu pernikahan kami kemarin, suami Mbak Tika tidak bisa hadir karena tugas di luar kota.

"Lia, tolong buatkan minum untuk Tika sama suaminya," perintah ibu dengan sedikit berteriak.

"Iy bu," jawabku. Akupun ke dapur untuk membuatkan minum untuk mbak Tika dan suaminya. Sebenarnya rumah Mbak Tika tidak terlalu jauh dari rumah ibu, tapi perlakuan ibu seolah mereka tamu juah yang harus disambut kedatangannya.

Aku hanya positif tinking saja, mungkin karena suami Mbak Tika baru datang dari luar kota.

Tiga gelas teh hangat dan dua gelas kopi hitam sudah siap, segera aku keluar untuk mengantarkan minuman ke ruang tamu.

Aku letak nampan diatas meja, satu persatu kuturunkan. Suami mbak Tika duduk disampingnya dengan wajah menunduk sibuk dengan ponselnya.

"Silahkan, mas! Diminum!" ucapku seraya menyodorkan gelas kopi kehadapannya.

"Iya, terimakasih." Laki-laki itu mendongak dan betapa terkejutnya aku ketika kau tahu pria itu adalah pria yang sama dengan orang telah menyakitiku.

Saking gugupnya aku, hingga kopi yang kupegang jatuh dan tumpah mengenai tanganku.

"Astaghfirullah," teriakku sembari beristighfar.

"Dek, kamu gak apa-apa?" tanya mas Guntur.

"Maaf," ucapku, kemudian aku berlari ke belakang untuk membasuh tanganku yang terkena air kopi panas.

"Dek, kamu gak apa-apa?"

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 70

    Guruh mendudukan ibunya di kursi khusus pelanggan, "Mbak tolong pangkas habis rambut Ibu saya!""Hah? Jangan! Jangan lakukan itu pada Ibu, Ruh!" Tega kamu Ruh. Darinkecil Ibu sayang-sayanh, udah besar, mentang-mentang kamu udah bisa cari uang sendiri malah mau berbuat seenaknya sama Ibu," Sri masih saja meronta-ronta.Pegawai salon hanya bingung melihat Guruh dan ibunya. Mereka belum berani mendekat. Mereka hanya berbisik-bisik antar sesama karyawan.Sri semakin meronta ketika melihat seseorang di luar salon tampak tengah merekam aksi Guruh yang ingin membotaki rambunya. Wanita paruh baya itu teriak meminta tolong untuk melepasnya dari Guruh."Tolong, anak saya mau membotaki rambut saya," ujar Sri.Pria jangkung itu akhirnya geram melihat seseorang yang tengah merekamnya. Dia bergerak menuju pintu masuk salon dan menghardik perekaman video itu."Apa? Kalian mau memviralkan saya?" Melihat Guruh melotot, orang tersebut langsung mematikan kameranya. Dan tanpa berkata sepatah katapun dia

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 69

    ****Dua tahun kemudian "Sin, Mbah minta ayamnya sedikit saja.""Ngak boleh, kata Mama, Mbah tu cuma boleh makan tempe goreng!" Wanita tua itu hanya menelan ludahnya berkali-kali karena melihat sang cucu menikmati gurihnya ayam krispi. Sudah sangat lama sekali Sri ingin sekali mencicipi ayam berbalut tepung yang renyah itu. Suara krenyes-krenyes di dalam mulut Sindi membuat liur Sri tak mampu ia tahanNamun angan hanya tinggal angan, ketika Sindi sang cucu lebih memilih memberikan sisa ayamnya kepada Cery--kucing kesayangannya dibanding memberikan oada neneknya.Hati Sri berdesir melihat pemandangan itu, teringat kejadian beberapa tahun silam, ketika dia lebih memilih memberikan beras yang dibelikan Guntur anak tengahnya kepada ayam kesayangan."Yaa Allah, apa ini balasan untukku?" Lirih Sri dalam tangisnya.Sudah dua tahun terakhir, Sri tinggal besama Guruh, anak bungsunya. Dan selama itulah dia hanya memakan makanan sisa anak dan menantunya makan. Bahkan lezatnya ayam gorengpun sud

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 68

    "Nah ini orangnya datang." Ternyata di sana ada Fahri dan keluarganya. Apa mereka tengah membicarakan perihal tanah itu?Aku dan Dahlia dipersilahkan masuk oleh Ibunya Nia. Wanita berjilbab instan itu kemudian masuk ke dalam dapur.Di ruang tamu rumah orang tua Nia ada Fahri dan juga kedua orang tuanya. Laki-laki itu menatap sinis ke arahku. Sementara Nia tidak terlihat. Mungkin dia sedang menidurkan bayinya.Beberapa saat kami hanya saling diam. Aupun bingung harus memulai dari mana. Karena aku dan Dahlia merasa tidak enak jika memamg mereka datang untuk membicarakan masalah rumah tangga Nia dan Fahri.Fahri yang tadinya terlihat seperti ingin menerkamku, kini laki-laki itu diam seribu bahasa. Hanya menatap tak suka dengan kehadiranku dan Dahlia."Maaf, Pak. Saya boleh menyusul Ibu ke dapur," ucap Dahlia akhirnya membuka suara"Oh. Silahkan Lia. Itu si Nia lagi di kamar, tadi anaknya rewel," jawab Bapaknya Nia.Dahlia memang sudah akrab dengan orang tua Nia sejak mereka SMA dulu. Da

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 67

    Aku tidak peduli dengan jal*ng itu. Dia sudah kuceraikan.""Jangan bercada kamu Fahri!"Fahri melirikku sinis, "sudah jangan banyak bicara! Sekarang katakan kau setuju yang mana?"Aku menatap laki-laki bermata bengis itu sejenak. Sepertinya pria ini tidak bisa di ajak berunding. Percuma saja aku menghubungi Nia, toh dia sudah di cerai dan tanah itu memang belum balik nama atas nama dia.Aku kira hanya dengan surat kuasa, maka semuanya akan beres, ternyata Nia memalsukan surat itu."Aku akan berunding dengan Dahlia terlebih dahulu," jawabku kemudian."Oke, satu hari. Kalau sampai besok belum juga ada keputusan, maka semua yang ada di sini akan aku robohkan rata dengan tanah!""Iya," jawabku. Laki-laki itu bangkit dari duduknya dan keluar tanpa berpamitan.Aku menarik nafas panjang dan kuhembuskan perlahan. Bersamaan dengan itu, Dahlia masuk tanpa Mariam di gendongnnya. Sudah di pastikan anak bayi itu sudah menjadi bahan candaan para karyawan di depan."Mas, ayo pulang!" Tiba-tiba Dahli

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 66

    Guruh bicara tanpa jeda. Nada bicaranya sangat tinggi dan berapi-api. Sementara taku hanya terdiam mendengar penuturan adik bungsuku itu. Apa maksud semua yang di bicarakan Guruh? Aku benar-benar tak mengerti."Maksud kamu apa, Guruh?" bentakku."Halah, nggak usah pura-pura beg0 gitu, Mas. Kurang apa lagi sih Ibu di mata kamu? Di sudah berubah, tapi kamu malah buang Ibu. Kamu mau balas dendam, hah?" teriak Guruh di seberang telepon. Pernyataannya semakin membuatku tak mengerti apa yang sedang terjadi."Hei, Guruh. Jangan belibet. Ngomong yang jelas!" balasku"Memang, kalau dari dulu pembawa sial ya seperti ini!" Tut ... Tut ... Tut. Sambung telepon di putus sepihak. Hampir saja kata-kata kasar keluar dari mulutku. "Astaghfirullah," ucapku sambil mengelus dada, menahan amarah yang sudah sampai ubun-ubun. Dahlia mendekat dan mengusap bahuku pelan, "ada apa, Mas? Kenapa ngomongnya sampai teriak-teriak begitu?""Ini si Guruh, bilang kalau aku buang Ibu. Apalah yang Ibu katakan sama Guru

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 65

    Sepeninggalan Ibu, aku da Dahlia bersiap untuk membuka kedai yg ada di depan rumah. Jam delpan, Mariam sudah tidur serelah di mandikan Dahlia.Bayi berumur tujuh bulan itu memang suka bangun di kala subuh dan akan tidur setelah makan dan mandi pagi. Siang setelah dzuhur bisanya dia akan tidur lagi. Begitulah rutinitasnya setiap hari. Kesempatan itu Dahlia ambil untuk mempersiapkan jualan mie ayam kami. Selesai mempersiapkan jualan, aku langsung berangkat menuju kedai pinggir pantai. Di sana bisanya ramai ketika jam makan siang. Jadi dari jm sepuluh pagi sampai jam sebelas waktunya santai-santai, karena di jam-jam tersebut, pelanggan masih sepi.Jam sembilan kurang aku sudah sampai di kedai pinggir pantai. Di sana beberapa karyawan sudah menunggu. Mereka langsung menurunkan barang yang sudah aku siapakan di rumah. Sembari mengawasi para karyawan, aku membuka laptop untuk mengecak penjualan yang roti milik Haji Mansur. Aku lihat sekilas omset di toko roti milik Haji Mansur mengalami p

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status