Share

ANGGOTA BARU POISON

Daniah masih berdiri menunggu didepan gerbang sekolah. SMA Persada Bangsa sudah mulai sepi. Gadis berkacamata tipis itu celingak-celinguk, namun kendaraan jemputannya belum juga tiba. Sambil memasang wajah masam, dia berpaling ke halaman sekolah dan terkejut melihat sosok Bayu melangkah keluar gerbang.

"Bayu!" Daniah segera mendekat. Matanya membeliak melihat penampilan cowok itu yang berantakan dan belepotan lumpur.

"Kacamatamu mana?" tanya Daniah. Cowok itu mengangkat kepalanya, namun dia tidak memandang Daniah.   Tanpa menjawab, Bayu mengeluarkan handphonenya, lalu menelpon seseorang.

"Roy, dimana?" tanyanya begitu tersambung.

"...."

"Aku menunggumu di gerbang."

Bayu mematikan handphonenya, lalu berpaling pada Daniah. Gadis itu tertegun. Shit! Tanpa kacamata, wajahnya benar-benar tampan! Mata hazelnya kayak shining! O my God!

"Kenapa kau belum pulang?" pertanyaan Bayu menyentakan gadis itu dari keterpukauan-nya.

"Ada sedikit masalah. Mungkin jemputanku masih setengah jam lagi." jawab Daniah tak lepas-lepas memandangi wajah pemuda itu.

Bayu merasa kurang nyaman dipandangi seperti itu. Dia membuang muka ke samping. "Kenapa memandangku seperti itu?"

"Habis kau tampan sekali! Kenapa musti pakai kacamata sih?!" jawab Daniah blak-blakan.

Bayu menggeleng. "Aku  minus, Daniah. Makanya aku pakai kacamata!"

"Sepertinya kau lebih baik tanpa kacamata, Bay." Daniah terkikik geli.

"Sudahlah!" Bayu menghentikan pembahasan itu, bertepatan saat sebuah  lamborghini hitam mendekat dan berhenti didepan mereka. Bayu membuka pintu mobil. Dia terdiam sesaat, kemudian memandang Daniah.

"Mau nebeng?" tawarnya.

"Boleh?" Mata dibalik kacamata tipis itu berkilau penuh harap.

Bayu tak menjawab, terus masuk ke dalam mobil. Daniah melompat masuk diiringi tawa cerianya.

"Antar gadis ini dulu, Roy. Dimana alamatmu?" Bayu berpaling pada Daniah yang diam-diam memperhatikan sopir Bayu itu. Dia seorang pemuda, mengenakan seragam serba hitam.

"Daniah?" Bayu memanggilnya.

"Eh...apa?"

"Alamatmu dimana?"

Daniah segera menyebut alamatnya. Sopir mobil itu melirik Daniah sebentar dan tersenyum tipis.

O my God! Ganteng juga! Gadis itu rasanya mau jingkrak-jingkrak saat itu juga.

"Sepertinya kau harus cepat-cepat punya pacar, Daniah." Bayu menyindir.

"Eh, kenapa?" gadis itu berpaling menatap Bayu yang menunduk memperhatikan handphonenya.

"Supaya matamu bisa lebih di kontrol," ucap Bayu santai, tak peduli dengan tatapan melotot gadis disampingnya. Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang.

Terdengar suara notifikasi handphone. Daniah melirik Bayu yang sedang menerima panggilan masuk.

"Hallo..."

".........."

"Menurutmu?"

"..............."

"Perbaiki lain kali."

Klik. Pembicaraan diputus sepihak oleh Bayu.

"Siapa, Bay?"

"Seorang teman." jawab pemuda itu pendek.

"Kacamatamu dicuri siapa?"

"Trio Bandit."

"Aku... turut prihatin."

"Lupakan."

Daniah melirik pemuda disampingnya. Entah mengapa dia merasakan ada sebuah hal yang janggal.

"Dimana rumah Nona?" tanya Roy begitu mereka memasuki kompleks perumahan yang disebut Daniah tadi.

"Nomor 30, cat biru."

Mobil melaju lambat, dan akhirnya berhenti didepan sebuah rumah besar bercat biru, terlindung dengan pagar besi setinggi orang dewasa.

"Ini?" tanya Bayu.

Daniah mengangguk. "Terimakasih Bay." ucap sang dara yang dibalas senyum tipis Bayu. Daniah bergerak turun dari mobil. Lamborghini hitam itupun berputar kembali. Si gadis masih tegak beberapa lama, dipinggir jalan.

"Mengapa Bayu terlihat sangat berbeda?  Disekolah dia penakut dan culun. Tapi tadi..." Daniah mengerutkan kening. Dia merasa aura dan pembawaan Bayu tadi sangat berbeda dari biasanya. Gadis itu mengangkat bahu dan segera melangkah ke arah gerbang pagar besi rumahnya.

***

Kamis pagi, Rose melangkah masuk ke kelas 11 A untuk meletakkan tasnya. Dia bermaksud keluar kelas karna bosan, namun niatnya terhenti ketika pandangannya membentur sesosok tubuh dipintu kelas.

Sepasang mata yang dilapisi softlens hitam itu melebar.

"Kau?"

Orang yang bersandar didepan pintu itu melangkah mendekati Rose. Dia seorang cowok tinggi, berparas tampan, berambut dan bermata coklat.

"Aku ingin bicara denganmu."

"Kenapa kau bisa ada disini?" Rose melirik seragam Persada Bangsa yang dipakai cowok itu.

"Ikut aku." Cowok itu membalik, Rose segera mengikuti. Dia membawa Rose di taman sekolah yang sedang sepi, di belakang gedung lab fisika.

"Kau berhasil?" tanya cowok berambut coklat itu, sambil melirik Rose. Gadis cantik itu menarik nafas sebentar. "Ya. Dia menerimaku."

"Kerja yang cukup bagus. Tapi aku disini untuk menggantikanmu."

"What?" Rose mengerutkan keningnya. "Atas dasar apa kau menggantikanku?"

"Kau akan masuk ke Poison. Kau tidak bisa mengawasinya lagi."

"Tapi..."

"Ini perintah Putri."

Rose membelalakkan matanya. "Well, sekarang kau mengabdi padanya?"

"Perintah ini untuk kebaikan Yang Mulia." jawab cowok tampan itu dengan tenang.

Rose mengepalkan tangannya. "Baik," angguknya kemudian. "Tapi ini murni perintah Putri, kan? Bukan karna Yang Mulia marah padaku?"

"Yang Mulia tidak marah padamu. Memangnya kau melakukan kesalahan apa?"

Rose terdiam. "Kau masuk kesini sebagai siswa baru?" tanyanya setelah bungkam beberapa saat.

"Lebih tepatnya siswa pindahan."

"Kau memang sangat pintar merekayasa data..."

"Bukankah itu memang kemampuan kita?" cowok berambut coklat itu tersenyum. "Aku akan masuk di kelas Sepuluh IPA B."

"Mengapa tidak di sepuluh A?"

"Sayangnya sepuluh A tidak menerima siswa pindahan."

"Baiklah. Sekarang, tugas itu adalah tanggungjawabmu. Btw, siapa nama barumu di negeri ini?"

"Supiyah."

Rose membelalakkan mata, mulutnya berkedut, tampak jelas dia berusaha menahan tawa. "Kau serius?" gadis itu menahan semburan tawanya yang sudah diujung tenggorokan. Membayangkan seorang cowok tampan, tinggi dan berambut coklat bernama Supiyah, sungguh sesuatu yang  absurd!

"Tentu saja tidak. Aku hanya bercanda, karna kulihat uratmu terlalu tegang. Aku memakai nama asliku."

"Chandra?"

Cowok itu mengangguk. "Sebaiknya kau kembali, aku berfirasat Sapphire akan menemuimu."

"Sapphire atau Ariza?"

"Bukankah sama saja?"

"Tidak. Mereka dua pribadi yang berbeda."

"Sapphire yang akan menemuimu."

****

Rose kembali ke kelasnya, dan mendapati Sapphire sudah tiba dan duduk di bangkunya. Riana dan Saron berada didekatnya.

Sapphire melontarkan senyum tipis ke arah Rose. Gadis berambut coklat itu sesaat kebingungan. Benar kata Chandra, yang dihadapinya sekarang adalah Sapphire, bukan Ariza.

Riana mendekati Rose. Tangannya menyodorkan sebuah bungkusan.

"Apa ini?"

"Tanda resmi bahwa kau telah menjadi bagian dari Poison." Sapphire berdiri dan mendekatinya. Saat itu situasi kelas sedang sepi. Semua siswa berada diluar, dan kebanyakan masih dalam perjalanan menuju sekolah. Ini memang masih sangat pagi.

"Aku mengundangmu nanti malam, untuk peresmian anggota. Nanti Saron yang akan memberitahu alamatnya."

Rose mengangguk, matanya melirik Saron yang tersenyum memandangnya. Rose memperhatikan raut wajah Sapphire sebentar. Raut wajah cantiknya terlihat segar, ceria dan hidup. Berbeda sekali dengan raut yang biasa ditampilkan oleh Ariza. Satu-satunya yang sama dengan pembawaan Ariza adalah caranya memandang orang. Tajam sekali.

"Aku akan datang." Rose mengangguk, dan tanpa sadar membungkuk pada Ketua Poison itu. Riana mengangkat alis, saling lirik dengan Saron, mereka sedikit heran dengan gerak naluriah Rose. Rose seperti sudah terbiasa melakukannya.

"Jangan bersikap begitu. Di Poison semuanya sama. Tidak ada penghormatan berlebihan. Aku bukan seorang putri." kata Sapphire tenang, dibumbui senyum lebar.

Ucapan terakhir Sapphire entah mengapa sedikit menyentakan hati Rose. "Maaf kalo begitu, Sapphire."

"Aku tunggu kedatanganmu malam nanti."

"Tentu."

Sapphire melangkah keluar kelas, entah mau kemana. Riana sigap mengikuti. Hanya Saron yang tinggal. Gadis berambut curly dan ramah itu menghampiri Rose.

"Alamatnya akan kukirim ke WA-mu."

"Baik." Eh, darimana dia dapat nomor WA-ku?

Rose belum sempat bertanya, karna Saron telah melangkah pergi.

***

Sapphire, gadis cantik berambut hitam lepas itu berdiri didepan cermin wastafel-dalam toilet-sekolah dan memperhatikan wajahnya. Dia menyodorkan muka ke depan dan menyentuh kulit pipinya yang kenyal.

"Kuharap saja kau tidak akan membuatku cepat tua dengan ekspresi kakumu, Ariza." gumamnya sambil tersenyum.

Saat itu, seseorang masuk ke dalam toilet. Sapphire melirik lewat pantulan kaca. Seorang gadis manis, berkulit kuning dan berambut pendek sebahu. Wajahnya sangat oriental. Sapphire ingat namanya Zarah. Gadis itu pernah tampil dalam pentas sekolah sebagai vokalis band. Dia dari kelas Sebelas A juga.

Zarah mencuci tangannya, dan mengeluarkan bedak padat dari saku, memperbaiki riasannya.

Sapphire bergegas mencuci tangan dan bermaksud keluar.

"Bagaimana rasanya?"

Sapphire terhenti, dia memandang Zarah sebentar, ingin memastikan ucapan itu diperuntukan pada siapa. Awalnya dia berpikir gadis itu sedang berbicara lewat telpon menggunakan earphone.

Namun Zarah sedang menatapnya lewat cermin didepan mereka.

"Maaf?" tanyà Sapphire dengan alis berkerut.

Gadis itu berputar, menghadap ke arah Sapphire sambil merangkapkan tangannya didepan dada. Tak seperti siswa lain yang mengelak beradu pandang dengan Sapphire, Zarah justru dengan berani menatap mata gadis didepannya.

"Ternyata kau lebih lentur dari yang kuduga." Zarah terus berceloteh, membuat kerutan di kening Sapphire bertambah dalam. "Apa maksudmu?"

"Kukira seorang Sapphire yang disebut-sebut sebagai makhluk es tidak akan mau berbicara denganku."

"Bisakah kau bicara tanpa berbelit-belit?" Sapphire masih tegak disana dengan sabar.

"Well, bagaimana rasanya menjadi orang yang dipuja dan disegani? Bagaimana rasanya menjadi... seorang pembantai?" Zarah jelas-jelas menekankan sarkasme dalam ucapannya.

Raut wajah Sapphire sesaat tidak dapat terbaca. Hanya sebentar, mulutnya kemudian membentuk senyum. Dia merangkap tangannya lalu mencondongkan sedikit tubuhnya yang jauh lebih tinggi dari Zarah, "Kau ingin tahu?"

"Aku hanya ingin tahu bagaimana bisa ada gadis tak berhati sepertimu..." Zarah semakin tak terkendali. Wajahnya menampilkan raut jijik yang luarbiasa.

"Daripada memusingkan seorang gadis tak berhati, lebih baik kau berpikir apakah hidupmu akan baik-baik saja setelah berani menyulut api disini ..." suara Sapphire tenang sekali.

"Kau pikir aku takut padamu?"

"Itu bukan urusanku. Kau telah memilih jalanmu saat kau berani menegurku disini."

"Kau benar-benar tak berhati. Kau itu...monster!" Zarah berapi-api.

"Aku tak butuh penilaianmu." Sapphire hendak membalik pergi, namun Zarah masih belum mengakhirinya. "Kau bukan manusia! Jangan kira aku tidak tahu apa yang kau sembunyikan di balik softlens hitam itu, kau monster!"

Sapphire tersengat samar. "Aku rasa tidak apa-apa menjadi monster, asalkan aku tidak pernah merusak hidup orang-orang baik. Daripada..." Dia tersenyum sambil menyugar rambutnya yang panjang."Menjadi seorang munafik berkedok manusia, yang telah menghancurkan kehidupan orang-orang tak bersalah yang tak pernah mengusik kehidupannya."

Ketua Poison yang dituding sebagai monster itu tersenyum sinis, "Aku mungkin monster. Namun aku tidak munafik dan aku adalah orang yang sangat  realistis. Aku hanya bergerak saat merasa diganggu. Dan aku hanya menghancurkan mereka yang pantas dihancurkan! Aku tidak tahu siapa kamu, apa latar belakangmu dengan semua ucapan-ucapan ini. Kalau kau berani merugikanku, kau tahu apa yang akan aku lakukan."

Sapphire melenggang pergi dengan ringan, meninggalkan Zarah yang menggigit bibirnya penuh geram.

"Suatu saat nanti kau akan hancur, Sapphire! Hancur!" dia mengepalkan kedua tangannya dengan kuat, sampai kuku tangannya terasa melukai telapaknya. Sorot matanya bersinar penuh dendam.

Sapphire sendiri  tidak tahu apapun mengenai Zarah, kecuali namanya. Namun dia tidak kaget, sepak terjangnya selama ini tentu menuai banyak musuh, baik itu yang terang-terangan, ataupun terselubung. Dan mungkin Zarah, termasuk diantaranya. Dan itu adalah resiko yang harus dihadapinya.

Riana dapat membaca raut tak biasa di wajah Sapphire ketika gadis itu kembali dari toilet. Sang 'pengawal' merasa tenggorokannya mendadak sepat ketika dia mengeluarkan kalimat sama berulang kali.

"Ada masalah?"

"Zarah, Sebelas A." Sapphire berhenti sejenak. "Awasi dan cari tahu tentang dia."

"Make down?"

Sapphire menggeleng. "Belum saatnya."

"Baik." Riana mengangguk. Dia tahu akan mengutus siapa dalam tugas ini.

***

Daniah berjalan menuju perpustakaan untuk mengembalikan buku yang dipinjamnya, dia mengajak Bayu, namun cowok  itu belum berniat mengembalikan buku sekarang. Dia masih asyik menyelesaikan bacaannya dan berjanji menyusul sebentar lagi. Gadis itu menyetor bukunya dan segera mengisi daftar keterangan peminjam untuk mengonfirmasi dirinya sudah memulangkan buku pinjamannya.

Daniah siap melangkah keluar, namun matanya yang jeli itu menangkap sesosok tubuh tinggi yang sedang bersandar pada sebuah rak, memegang sebuah buku dan tersenyum segar ke arahnya. Si kacamata tipis balas tersenyum. Sosok itu adalah seorang cowok tampan berambut coklat. Daniah terpesona dengan ketampanannya, meski dia mengakui Bayu masih 'sedikit unggul' dibanding rambut coklat ini. Cowok ini memiliki aura ceria yang bersahabat, mungkin itulah yang membuat dia lebih shining.

"Hai," tanpa disangka si tampan itu menyapanya.

Daniah menoleh ke belakang. Tidak ada orang lain. Bu Linda juga sedang ke kantor mengikuti rapat, jadi di ruangan itu hanya ada mereka berdua.

"Kau menyapaku?" tanya gadis berkacamata itu ragu.

Cowok itu tertawa. Dia menyimpan buku itu kembali pada rak dan mendekat.

"Chandra," si rambut coklat ini mengulurkan tangan. "Kamu?"

Daniah tertegun. Wow. Sangat jarang ada cowok ganteng minta kenalan dengannya.

Gadis itu menyambuti tangan Chandra dengan semangat. "Dwi Daniah Fransiska. Panggil saja Daniah."

"Sepertinya aku akan lebih suka memanggilmu Dwi." Chandra tersenyum lebar. Daniah makin meleleh!

"Kenapa?"

"Biar kesannya beda dengan yang lain."

"Oh ya?" Daniah menyengir, "Terserah kamu saja. Dari kelas berapa? Kayaknya aku baru melihatmu..."

"Aku dari Sepuluh B, baru pindah hari ini."

"Kenapa bisa pindah?"

Chandra mengerutkan keningnya samar. "Kebetulan, keluargaku juga harus pindah didaerah sini."

Daniah ber-oh pendek. Diliriknya rak yang tadi disandari Chandra.

"Suka cerita fiksi ya?"

"Hm," Chandra mengangkat bahu. "Terkadang apa yang dianggap fiksi dan fantasi benar-benar ada,"

"Contohnya?"

Chandra berpura-pura memasang pose berpikir. "Mungkin tentang sebuah negeri antah berantah yang berada dalam portal?" cowok itu tertawa. Daniah tersenyum. "Sekalian saja, jini oh jini dalam rumah kerangnya..."

Chandra terkikik geli. "Kau lucu juga ya." "Kau orang pertama yang mengatakan itu..."

"Benarkah?" Chandra membulatkan matanya. "Kalau begitu aku memecah rekor MURI dalam kategorimu."

"Berlebihan." Daniah tak tahan untuk tersenyum. Selagi mereka bercakap-cakap, Bayu masuk ke ruangan itu sambil membawa salah satu buku yang dipinjamnya kemarin. Dia tidak menghiraukan Chandra dan Daniah, terus ke rak, mengembalikan buku, dan mengisi keterangan dalam daftar peminjam.

"Dia temanku, mari kukenalkan." Daniah menarik tangan Bayu. Chandra tersenyum, dia mengulurkan tangannya.

"Chandra."

"Bayu." Cowok yang sudah memakai kacamata baru itu mendongak sebentar lalu menunduk lagi.

"Ehm.. Apa kalian sudah makan? Kurasa jam kosong masih cukup panjang karna guru sedang rapat. Mau ke kantin?"

"Sepertinya tid..."

"Tentu saja." Daniah berucap cepat sebelum Bayu menyelesaikan kalimatnya.

Chandra tersenyum. "Tenang, aku yang bayar!" ujarnya sambil melirik Bayu yang tak berdaya diseret oleh Daniah.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status