Beranda / Romansa / BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI / Bab 2 : Manisnya Teh, Dinginnya Racun

Share

Bab 2 : Manisnya Teh, Dinginnya Racun

Penulis: Ryu Nata
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-19 17:06:54

Di Aula Teh Bunga Plum, cahaya sore hari menyaring melalui jendela berukir, mewarnai ruangan dengan nuansa emas lembut. Suasana begitu damai, begitu indah, sehingga Elara nyaris lupa bahwa ia sedang duduk di samping seekor ular berbisa yang menunggu waktu untuk menyerang.

Elara mengenakan gaun sutra berwarna coral—pilihan yang paling disukai Valerian karena gaun itu membuatnya tampak lembut dan mudah dikendalikan. Rambutnya dihiasi jepit rambut sederhana, bukan tiara berlian mewah yang akan ia kenakan di Hari Penobatan. Ia sengaja tampil sederhana, memainkan peran kesayangannya yang naif.

Di sampingnya, Putra Mahkota Valerian duduk tegak. Ia adalah pria yang sangat tampan, dengan garis rahang tajam dan mata elang yang sering disalahartikan Elara di masa lalu sebagai intensitas gairah. Kini, mata itu terlihat persis seperti apa adanya: kalkulatif dan kosong.

"Putri Elara terlihat sangat mempesona sore ini," Valerian memulai, suaranya halus seperti madu. Dia meraih tangan Elara yang berada di meja, dan mencium punggung tangannya dengan kehangatan yang menjijikkan.

Elara harus mengerahkan seluruh kekuatan batinnya untuk tidak menarik tangannya dan menampar wajah pria itu. Sentuhan ini—sentuhan yang dulu membuatnya merona dan berbunga-bunga—kini terasa seperti sentuhan mayat.

"Terima kasih, Yang Mulia," jawab Elara, membiarkan senyum polos menghiasi bibirnya. "Saya senang Anda menyukai gaun ini. Saya memilihnya secara khusus."

Aku memilihnya agar kau merasa nyaman saat aku mulai memotong sayapmu, batin Elara dingin.

Valerian tersenyum, matanya memancarkan kepuasan. Dia selalu menyukai wanita yang penurut dan memuja.

"Gaun ini mengingatkanku pada bunga Lily yang mekar di musim semi, begitu murni," katanya, nadanya penuh sanjungan. "Tidak seperti para wanita istana lainnya yang selalu berlomba-lomba memamerkan perhiasan."

Ya, murni. Dan mudah dipetik, bukan?

Elara tahu persis mengapa Valerian memuji kesederhanaannya. Wangsa Kaira adalah wangsa terkaya di Kekaisaran. Dengan menikahinya, Valerian tidak hanya mendapatkan legitimasi politik tetapi juga harta yang tak terhitung jumlahnya. Valerian perlu membuatnya percaya bahwa ia mencintai Elara, bukan kekayaannya.

"Yang Mulia terlalu baik," Elara mengambil cangkir tehnya. Bibi Lin menyajikan tehnya sangat manis, persis seperti yang ia minta. Aroma Green Tea dan gula mendominasi indranya, menenangkan sedikit kebencian yang mendidih di perutnya.

"Aku tidak sabar menunggu hari penobatanmu," Valerian berkata, suaranya sedikit merendah, membuatnya terdengar lebih intim. "Kau akan menjadi Permaisuri terbaik yang pernah dimiliki Kekaisaran. Dan kita akan memerintah bersama."

"Kita akan memerintah bersama." Frasa itu. Elara mengingatnya. Kalimat yang sama yang ia yakini sampai akhir hayatnya, sampai ia menyadari bahwa "memerintah bersama" berarti ia menjadi Permaisuri bayangan tanpa kuasa, sementara Valerian dan Adelia berbagi kekuasaan di balik tirai.

Elara tahu, sebentar lagi Valerian akan membahas rencana Wangsa Kaira untuk membiayai proyek pembangunan pelabuhan militer di Selatan—proyek yang sebenarnya hanya kedok untuk menguras kekayaan wangsa mereka.

"Ayahanda dan pamanda-pamanda saya sangat bersemangat tentang pelabuhan militer itu, Yang Mulia," Elara mendahului, mengalihkan pembicaraan sebelum Valerian sempat memintanya. "Mereka bilang itu akan mengamankan perbatasan kita. Tapi, jujur saja, saya tidak mengerti urusan politik semacam itu."

Elara pura-pura menghela napas, memainkan peran wanita cantik yang tidak peduli politik.

"Saya hanya tahu bahwa jika Anda bahagia, Yang Mulia, maka saya pun bahagia."

Mendengar kata-katanya, Valerian tidak bisa menyembunyikan senyum puasnya. Ekspresi di matanya berubah dari kalkulatif menjadi meremehkan sejenak, sebelum ia segera memasang kembali topeng kasih sayangnya. Dia pikir aku bodoh. Itu bagus.

"Kau memang Permaisuriku," Valerian mencondongkan tubuh. "Tak peduli intrik istana, hatimu selalu fokus padaku."

"Tentu," Elara mengangkat cangkirnya. "Untuk Yang Mulia, dan masa depan kita."

Mereka menyesap teh. Manis sekali. Sangat manis sehingga bisa menyembunyikan racun apa pun.

Saat jamuan teh berakhir, Elara mengantar Valerian hingga kereta kudanya.

"Jaga dirimu, Sayang. Aku akan mengirimimu hadiah besok." Valerian mengakhiri pertemuan dengan ciuman singkat di dahinya.

Begitu kereta menjauh dan pintu gerbang Istana Musim Semi tertutup, senyum di wajah Elara langsung lenyap. Ia menyentuh dahinya di mana bibir Valerian mendarat, dan mengusapnya seolah menghilangkan kotoran.

"Dasar aktor murahan," gumamnya. "Kau tidak akan pernah tahu, Valerian, bahwa 'masa depan' yang kau maksud itu adalah takhta yang berdarah dan kematian yang paling menyakitkan bagimu."

Ia berbalik, berjalan menuju kamarnya. Ia harus segera menghubungi Mentor ayahnya, seorang ahli strategi militer yang kini hidup di pengasingan. Mentor itu adalah orang yang akan ia gunakan untuk merebut kembali kekuatan militer dan politik Wangsa Kaira, sebelum Valerian berhasil menghancurkannya.

Namun, saat ia berbelok di koridor, langkahnya terhenti.

Di sana, di bawah payung pohon Gingko yang rimbun, berdiri seorang wanita muda. Wajahnya cantik, dengan mata yang tampak polos dan pakaian yang sedikit lebih mewah dari yang seharusnya.

Adelia. Adik perempuannya yang beracun.

Adelia, sang dalang yang cemburu, yang akan mengkhianati dan membuang Elara setelah semua kekacauan politik diselesaikan.

Adelia menunduk hormat dengan senyum manis. "Kakak Elara. Aku dengar Yang Mulia datang. Maaf, aku tidak bisa menyambutnya."

Elara menatap Adelia. Ia ingat bagaimana wajah ini tersenyum saat ia memohon ampun, dan bagaimana tangan ini, yang sekarang terlihat lembut, telah menulis surat palsu yang memberatkannya.

"Tidak masalah, Adelia," jawab Elara, suaranya lembut, namun matanya memancarkan janji yang mematikan. "Lain kali, kau pasti punya kesempatan."

Ya, kesempatan untuk menjadi target pertama di daftar eksekusiku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 8 : Perayaan Ibu Suri dan Benih Curiga

    Malam itu, Istana Kekaisaran mengadakan perayaan kecil untuk menghormati ulang tahun Ibu Suri—sebuah kewajiban formal yang dihadiri oleh semua bangsawan terkemuka. Elara berdiri di Aula Perjamuan, mengenakan gaun sutra ungu yang anggun, tampak tenang dan ramah, tetapi matanya mengamati semua pergerakan. Di tangannya, ia memegang cangkir arak buah, menjauhkan diri dari kerumunan, membiarkan orang lain mengira ia sedang cemas karena kegagalan proyek Valerian hari itu. "Tampaknya Anda sedang merayakan sesuatu, Putri Elara," sebuah suara lembut berbisik di telinganya. Itu adalah Lord Kael. Dia berpakaian berbeda, mengenakan jubah bangsawan kelas atas berwarna abu-abu gelap dengan aksen perak, dan terlihat seperti seorang Duke dari wilayah kaya. Perubahan drastis dari pakaiannya di rumah teh yang gelap. "Saya merayakan kegagalan, Lord Kael," jawab Elara, tidak berbalik, menjaga suaranya tetap rendah. "Kegagalan itu selalu mendatangkan keuntungan, bukan?" Kael tersenyum. "Informas

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 7 : Reuni dengan Sang Pedang Setia

    Ruang kerja Ayahanda, Kepala Wangsa Kaira, terasa pengap oleh ketegangan. Di atas meja mahoni yang berkilauan terhampar peta-peta militer, namun suasana di ruangan itu jauh dari kata damai. Valerian duduk di samping Ayah Elara, Tuan Kaira, dengan senyum yang dipaksakan. Namun, Elara bisa melihat urat nadi yang berdenyut di pelipisnya. Kedatangan Jenderal Orion—sekutu Wangsa Kaira yang dipaksa pensiun—telah mengganggu semua rencana Valerian. Tuan Kaira, sebaliknya, tampak bersemangat. "Aku tak sabar mendengar analisis Jenderal Orion, Yang Mulia. Dia adalah satu-satunya yang berani menantang proyek-proyek yang membuang-buang uang. Putriku, Elara, kau yang mengundangnya. Kau pasti melihat manfaatnya, Nak." "Tentu saja, Ayahanda," jawab Elara lembut. Ia duduk di seberang Valerian. "Saya hanya ingin memastikan bahwa kekayaan Wangsa Kaira digunakan untuk proyek yang benar-benar memperkuat Kekaisaran dan Yang Mulia." Valerian menyela dengan nada sedikit tajam. "Putri Elara, proyek Bente

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 6: Kesepakatan Berdarah

    Keheningan di ruangan pribadi itu terasa berat, hanya diselingi oleh bunyi api yang berderak di perapian. Lord Kael menatap Elara, matanya yang berwarna perak seperti memindai setiap inci jiwanya. "Harga yang lebih mahal daripada uang," ulang Elara, membiarkan tantangan itu menggantung di udara. "Apa harga yang kau maksud, Kael?" Kael tersenyum kecil, senyum yang tidak mencapai matanya. "Aku tidak mencari kekuasaan di Istana, Elara. Aku sudah memiliki duniaku sendiri. Yang kubutuhkan adalah kepatuhan mutlak pada saat yang kuminta. Kau harus melakukan apapun yang kuperintahkan, tanpa pertanyaan, asalkan itu tidak mengancam nyawamu atau tahtamu." Ini adalah permainan berisiko tinggi. Valerian meminta kepatuhan naif karena cinta, sementara Kael meminta kepatuhan mutlak karena kesepakatan. Keduanya adalah bentuk rantai. "Aku setuju," jawab Elara tanpa ragu. "Tetapi ada syarat timbal balik. Kau harus memprioritaskan keselamatan Wangsa Kaira, dan tidak pernah menggunakan informasiku un

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 5 : Lord Kegelapan

    Malam itu, Istana Musim Semi diselimuti oleh keheningan yang menyesatkan. Di luar kamar tidurnya, penjaga kerajaan berpatroli dengan irama yang membosankan—irama yang sudah dihafal Elara di kehidupan sebelumnya. Elara berganti pakaian. Ia meninggalkan sutra mewah dan jubah kerajaan, menggantinya dengan jubah hitam polos dengan tudung besar, pakaian yang biasa dikenakan oleh pedagang pasar malam. Ia menyembunyikan cincin giok kecil pemberian Ayahnya di balik lapisan jubah. Itu adalah jimat pelindung, yang kini ia bawa sebagai pengingat akan apa yang harus ia lindungi. Ia tidak membawa senjata. Senjatanya adalah pengetahuan. Menyelinap keluar dari Istana bagi seorang Putri yang dijaga ketat adalah tindakan bunuh diri, tetapi Elara ingat satu jalan rahasia: terowongan suplai bawah tanah tua yang jarang digunakan, menuju ke gudang penyimpanan rempah-rempah yang berada tepat di luar dinding Istana. Ia pernah menggunakannya saat remaja untuk bertemu dengan anak petani secara diam-diam.

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 4: Strategi Lama dan Sekutu Baru

    Setelah Adelia pergi, dengan bangga membawa misi yang akan menjadi bumerang, Elara segera kembali ke kamarnya. Ia mengunci pintu, memastikan tidak ada pelayan yang menguping. Tidak ada waktu untuk bersantai. Hanya tiga bulan sebelum Wangsa Kaira dihancurkan, dan kunci kehancuran itu terletak pada Proyek Pelabuhan Selatan yang didanai oleh Ayahandanya. Valerian akan menggunakan proyek itu untuk menghabiskan kekayaan Wangsa Kaira, menuduh Ayah Elara menggelapkan dana, dan kemudian merebut sisa hartanya. Di kehidupan pertamanya, Elara, karena cinta, memohon Ayahandanya untuk menyetujui proyek itu. Kini, ia harus menghentikannya. Elara mengeluarkan gulungan peta tua yang disembunyikan di balik ukiran dinding—peta yang dulu ia gunakan untuk bermain di masa kecilnya, tetapi sekarang menyimpan rahasia militer ayahnya. Proyek Pelabuhan Selatan adalah proyek militer yang secara strategis buruk; itu hanya akan membuang-buang uang. Proyek yang benar-benar penting, yang mampu menggandak

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 3: Permainan Adelia dan Cincin Zamrud

    Elara tidak menyukai bagaimana Adelia berdiri. Adiknya berdiri terlalu tegak, tersenyum terlalu manis, dan matanya menyembunyikan perhitungan yang dulu, di kehidupan pertama, tidak pernah Elara sadari. "Kakak Elara, Anda terlihat sangat lelah," kata Adelia, melangkah mendekat dengan langkah anggun yang dipelajari. Ia memegang tangan Elara dengan kehangatan palsu. "Saya sungguh khawatir melihat Anda menemui Putra Mahkota segera setelah bangun tidur." "Khawatir?" tanya Elara, menghela napas lembut, membiarkan ekspresi wajahnya terlihat sedikit rapuh. "Aku baik-baik saja, Adelia. Aku selalu senang melihat Valerian." Tentu saja, Valerian adalah mangsa paling lezat, batin Elara. "Kakakku yang manis, kau selalu terlalu baik," Adelia membelai punggung tangan Elara. Elara ingat gerakan ini. Gerakan yang selalu diikuti oleh permintaan, atau, lebih buruk lagi, oleh pemerasan emosional. Di kehidupan pertama, dua minggu setelah adegan ini, Adelia datang memohon agar Elara membantunya menutu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status