Beranda / Romansa / BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI / Bab 7 : Reuni dengan Sang Pedang Setia

Share

Bab 7 : Reuni dengan Sang Pedang Setia

Penulis: Ryu Nata
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-19 17:13:44

Ruang kerja Ayahanda, Kepala Wangsa Kaira, terasa pengap oleh ketegangan. Di atas meja mahoni yang berkilauan terhampar peta-peta militer, namun suasana di ruangan itu jauh dari kata damai.

Valerian duduk di samping Ayah Elara, Tuan Kaira, dengan senyum yang dipaksakan. Namun, Elara bisa melihat urat nadi yang berdenyut di pelipisnya. Kedatangan Jenderal Orion—sekutu Wangsa Kaira yang dipaksa pensiun—telah mengganggu semua rencana Valerian.

Tuan Kaira, sebaliknya, tampak bersemangat. "Aku tak sabar mendengar analisis Jenderal Orion, Yang Mulia. Dia adalah satu-satunya yang berani menantang proyek-proyek yang membuang-buang uang. Putriku, Elara, kau yang mengundangnya. Kau pasti melihat manfaatnya, Nak."

"Tentu saja, Ayahanda," jawab Elara lembut. Ia duduk di seberang Valerian. "Saya hanya ingin memastikan bahwa kekayaan Wangsa Kaira digunakan untuk proyek yang benar-benar memperkuat Kekaisaran dan Yang Mulia."

Valerian menyela dengan nada sedikit tajam. "Putri Elara, proyek Benteng Timur sudah ketinggalan zaman. Fokus kita seharusnya adalah jalur laut. Proyek Pelabuhan Selatan menjanjikan keuntungan dagang yang luar biasa—"

"Keuntungan yang tidak bisa dipertahankan jika perbatasan darat kita bocor, Yang Mulia," sela sebuah suara berat yang tiba-tiba.

Pintu terbuka, dan Jenderal Orion masuk.

Orion tampak menua, rambutnya memutih, tetapi sorot matanya yang tajam tetap sama. Ia adalah pedang setia Wangsa Kaira, seorang pria yang menganggap kehormatan lebih berharga dari pada nyawa.

Saat melihat Jenderal Orion, Valerian harus memaksa dirinya untuk tersenyum dan membungkuk hormat. Valerian tahu, di mata Orion, dia hanyalah seorang opportunist muda.

Sementara Orion dan Ayah Elara saling bertukar sapa dengan hangat, Adelia menyelinap masuk dan duduk di sebelah Elara.

"Kakak, lihat!" Adelia berbisik dengan gembira, memperlihatkan cincin Zamrud di jari manisnya. Cincin itu berkilauan memantulkan cahaya.

Elara menatap cincin itu. Racun sudah masuk ke dalam sistemmu, Adikku.

Meski Adelia berusaha tampak ceria, Elara, dengan pengetahuannya yang baru, melihat gejala awal yang halus: kulit Adelia tampak sedikit lebih kusam dari biasanya, dan ada lingkaran hitam samar di bawah matanya, yang gagal disembunyikan riasan. Di kehidupan lalu, Valerian menggunakan racun yang sangat lambat ini untuk melemahkan Elara selama berbulan-bulan, membuatnya terlihat 'sakit' dan 'tidak kompeten'.

"Indah sekali, Adelia," puji Elara tulus. "Valerian pasti sangat menyayangimu, sampai-sampai mengizinkanmu memakai janji pertunangannya."

Adelia tersipu, merasa menang. Elara telah memberinya Cincin Zamrud, dan sekarang Valerian sendiri yang memberikan pujian. Adelia tidak tahu bahwa ia baru saja menerima hukuman matinya sendiri.

Orion mulai mempresentasikan rencananya. Ia membentangkan peta Benteng Timur, berbicara tentang posisi defensif, dan efisiensi anggaran.

"Proyek Benteng Timur hanya membutuhkan seperempat dari anggaran Pelabuhan Selatan," tegas Orion. "Sementara itu, pelabuhan selatan adalah proyek ambisius yang tidak akan menghasilkan keuntungan signifikan selama lima tahun. Itu pemborosan!"

Tuan Kaira mengangguk setuju. "Aku selalu menyukai strategi Jenderal."

Valerian merasa tertekan. Jika Wangsa Kaira tidak menginvestasikan uang mereka ke Pelabuhan Selatan, Valerian tidak akan bisa mencurinya.

"Jenderal, apakah Anda yakin proyek ini aman dari korupsi?" Valerian mencoba menyerang.

Orion menghela napas. "Saya selalu memastikan anggaran saya diaudit ketat, Yang Mulia."

Saat itulah Elara memutuskan untuk menyerang balik, menggunakan informasi yang ia dapat dari Kael tadi malam. Elara tahu, Valerian telah menempatkan orangnya sendiri sebagai kepala bendahara di proyek Pelabuhan Selatan.

"Yang Mulia Valerian benar," kata Elara, mengejutkan semua orang dengan suaranya yang tiba-tiba berbobot. "Korupsi adalah masalah nyata."

Valerian menatap Elara, bingung. Apakah gadis ini mendukungnya?

"Saya khawatir," lanjut Elara, suaranya dipenuhi nada kepolosan yang baru belajar politik. "Saya mendengar dari beberapa pedagang, bahwa Kepala Bendahara untuk proyek Pelabuhan Selatan, Tuan Han, memiliki hutang judi yang sangat besar dan baru-baru ini membeli tiga rumah di Distrik Utara. Saya hanya khawatir jika orang yang mengelola keuangan proyek penting Yang Mulia tidak memiliki moral yang baik."

Seluruh ruangan terdiam. Valerian hampir tersedak. Tuan Han adalah orangnya! Bagaimana Elara tahu?

Informasi ini berasal dari Lord Kael, yang sudah mulai bekerja untuknya. Informasi detail, terperinci, dan sangat memalukan.

"Itu... hanya gosip, Putri Elara," Valerian mencoba tersenyum, tetapi wajahnya sudah kehilangan warna.

"Gosip, Yang Mulia?" Elara tersenyum manis. "Ayahanda, mengapa kita tidak meminta Badan Audit Kekaisaran menyelidiki Tuan Han? Jika dia bersih, Yang Mulia akan senang. Jika dia tidak bersih, kita bisa menyelamatkan uang yang sangat banyak."

Tuan Kaira, yang paling peduli dengan kekayaan Wangsanya, langsung setuju. "Ide bagus, Elara! Tentu saja, kita akan menyelidiki Tuan Han segera."

Valerian tahu dia kalah. Jika Tuan Han diselidiki, seluruh rencana Pelabuhan Selatan akan runtuh. Valerian tidak bisa menolak penyelidikan tanpa terlihat curiga.

"Sempurna," kata Valerian, mengatupkan giginya. "Aku sepenuhnya mendukung kejujuran dan audit."

Kau pasti mendukungnya, batin Elara, senyumnya semakin mematikan.

Setelah pertemuan usai, Valerian menarik Elara ke samping. Matanya gelap dan berbahaya.

"Kau lebih tajam dari yang kukira, Elara," Valerian berbisik. "Sejak kapan kau tertarik pada intrik politik dan korupsi?"

Elara menatapnya dengan kepolosan yang sudah ia kuasai. "Saya tertarik pada Anda, Yang Mulia. Dan saya akan melakukan apa pun untuk melindungi kekayaan yang akan kita bagi bersama di masa depan."

Valerian menyeringai, merasa sedikit tenang karena mengira Elara hanya berusaha melindungi uangnya. Dia hanya keras kepala. Dia masih milikku.

Saat Valerian pergi, Elara melirik Adelia, yang kini terlihat pucat dan mengusap kepalanya.

Satu musuh melemah, satu rencana gagal, dan satu sekutu kembali. Ini hanyalah awal, dan pertempuran pertamanya telah dimenangkan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 8 : Perayaan Ibu Suri dan Benih Curiga

    Malam itu, Istana Kekaisaran mengadakan perayaan kecil untuk menghormati ulang tahun Ibu Suri—sebuah kewajiban formal yang dihadiri oleh semua bangsawan terkemuka. Elara berdiri di Aula Perjamuan, mengenakan gaun sutra ungu yang anggun, tampak tenang dan ramah, tetapi matanya mengamati semua pergerakan. Di tangannya, ia memegang cangkir arak buah, menjauhkan diri dari kerumunan, membiarkan orang lain mengira ia sedang cemas karena kegagalan proyek Valerian hari itu. "Tampaknya Anda sedang merayakan sesuatu, Putri Elara," sebuah suara lembut berbisik di telinganya. Itu adalah Lord Kael. Dia berpakaian berbeda, mengenakan jubah bangsawan kelas atas berwarna abu-abu gelap dengan aksen perak, dan terlihat seperti seorang Duke dari wilayah kaya. Perubahan drastis dari pakaiannya di rumah teh yang gelap. "Saya merayakan kegagalan, Lord Kael," jawab Elara, tidak berbalik, menjaga suaranya tetap rendah. "Kegagalan itu selalu mendatangkan keuntungan, bukan?" Kael tersenyum. "Informas

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 7 : Reuni dengan Sang Pedang Setia

    Ruang kerja Ayahanda, Kepala Wangsa Kaira, terasa pengap oleh ketegangan. Di atas meja mahoni yang berkilauan terhampar peta-peta militer, namun suasana di ruangan itu jauh dari kata damai. Valerian duduk di samping Ayah Elara, Tuan Kaira, dengan senyum yang dipaksakan. Namun, Elara bisa melihat urat nadi yang berdenyut di pelipisnya. Kedatangan Jenderal Orion—sekutu Wangsa Kaira yang dipaksa pensiun—telah mengganggu semua rencana Valerian. Tuan Kaira, sebaliknya, tampak bersemangat. "Aku tak sabar mendengar analisis Jenderal Orion, Yang Mulia. Dia adalah satu-satunya yang berani menantang proyek-proyek yang membuang-buang uang. Putriku, Elara, kau yang mengundangnya. Kau pasti melihat manfaatnya, Nak." "Tentu saja, Ayahanda," jawab Elara lembut. Ia duduk di seberang Valerian. "Saya hanya ingin memastikan bahwa kekayaan Wangsa Kaira digunakan untuk proyek yang benar-benar memperkuat Kekaisaran dan Yang Mulia." Valerian menyela dengan nada sedikit tajam. "Putri Elara, proyek Bente

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 6: Kesepakatan Berdarah

    Keheningan di ruangan pribadi itu terasa berat, hanya diselingi oleh bunyi api yang berderak di perapian. Lord Kael menatap Elara, matanya yang berwarna perak seperti memindai setiap inci jiwanya. "Harga yang lebih mahal daripada uang," ulang Elara, membiarkan tantangan itu menggantung di udara. "Apa harga yang kau maksud, Kael?" Kael tersenyum kecil, senyum yang tidak mencapai matanya. "Aku tidak mencari kekuasaan di Istana, Elara. Aku sudah memiliki duniaku sendiri. Yang kubutuhkan adalah kepatuhan mutlak pada saat yang kuminta. Kau harus melakukan apapun yang kuperintahkan, tanpa pertanyaan, asalkan itu tidak mengancam nyawamu atau tahtamu." Ini adalah permainan berisiko tinggi. Valerian meminta kepatuhan naif karena cinta, sementara Kael meminta kepatuhan mutlak karena kesepakatan. Keduanya adalah bentuk rantai. "Aku setuju," jawab Elara tanpa ragu. "Tetapi ada syarat timbal balik. Kau harus memprioritaskan keselamatan Wangsa Kaira, dan tidak pernah menggunakan informasiku un

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 5 : Lord Kegelapan

    Malam itu, Istana Musim Semi diselimuti oleh keheningan yang menyesatkan. Di luar kamar tidurnya, penjaga kerajaan berpatroli dengan irama yang membosankan—irama yang sudah dihafal Elara di kehidupan sebelumnya. Elara berganti pakaian. Ia meninggalkan sutra mewah dan jubah kerajaan, menggantinya dengan jubah hitam polos dengan tudung besar, pakaian yang biasa dikenakan oleh pedagang pasar malam. Ia menyembunyikan cincin giok kecil pemberian Ayahnya di balik lapisan jubah. Itu adalah jimat pelindung, yang kini ia bawa sebagai pengingat akan apa yang harus ia lindungi. Ia tidak membawa senjata. Senjatanya adalah pengetahuan. Menyelinap keluar dari Istana bagi seorang Putri yang dijaga ketat adalah tindakan bunuh diri, tetapi Elara ingat satu jalan rahasia: terowongan suplai bawah tanah tua yang jarang digunakan, menuju ke gudang penyimpanan rempah-rempah yang berada tepat di luar dinding Istana. Ia pernah menggunakannya saat remaja untuk bertemu dengan anak petani secara diam-diam.

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 4: Strategi Lama dan Sekutu Baru

    Setelah Adelia pergi, dengan bangga membawa misi yang akan menjadi bumerang, Elara segera kembali ke kamarnya. Ia mengunci pintu, memastikan tidak ada pelayan yang menguping. Tidak ada waktu untuk bersantai. Hanya tiga bulan sebelum Wangsa Kaira dihancurkan, dan kunci kehancuran itu terletak pada Proyek Pelabuhan Selatan yang didanai oleh Ayahandanya. Valerian akan menggunakan proyek itu untuk menghabiskan kekayaan Wangsa Kaira, menuduh Ayah Elara menggelapkan dana, dan kemudian merebut sisa hartanya. Di kehidupan pertamanya, Elara, karena cinta, memohon Ayahandanya untuk menyetujui proyek itu. Kini, ia harus menghentikannya. Elara mengeluarkan gulungan peta tua yang disembunyikan di balik ukiran dinding—peta yang dulu ia gunakan untuk bermain di masa kecilnya, tetapi sekarang menyimpan rahasia militer ayahnya. Proyek Pelabuhan Selatan adalah proyek militer yang secara strategis buruk; itu hanya akan membuang-buang uang. Proyek yang benar-benar penting, yang mampu menggandak

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 3: Permainan Adelia dan Cincin Zamrud

    Elara tidak menyukai bagaimana Adelia berdiri. Adiknya berdiri terlalu tegak, tersenyum terlalu manis, dan matanya menyembunyikan perhitungan yang dulu, di kehidupan pertama, tidak pernah Elara sadari. "Kakak Elara, Anda terlihat sangat lelah," kata Adelia, melangkah mendekat dengan langkah anggun yang dipelajari. Ia memegang tangan Elara dengan kehangatan palsu. "Saya sungguh khawatir melihat Anda menemui Putra Mahkota segera setelah bangun tidur." "Khawatir?" tanya Elara, menghela napas lembut, membiarkan ekspresi wajahnya terlihat sedikit rapuh. "Aku baik-baik saja, Adelia. Aku selalu senang melihat Valerian." Tentu saja, Valerian adalah mangsa paling lezat, batin Elara. "Kakakku yang manis, kau selalu terlalu baik," Adelia membelai punggung tangan Elara. Elara ingat gerakan ini. Gerakan yang selalu diikuti oleh permintaan, atau, lebih buruk lagi, oleh pemerasan emosional. Di kehidupan pertama, dua minggu setelah adegan ini, Adelia datang memohon agar Elara membantunya menutu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status