Home / Romansa / BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI / Bab 6: Kesepakatan Berdarah

Share

Bab 6: Kesepakatan Berdarah

Author: Ryu Nata
last update Last Updated: 2025-11-19 17:12:33

Keheningan di ruangan pribadi itu terasa berat, hanya diselingi oleh bunyi api yang berderak di perapian. Lord Kael menatap Elara, matanya yang berwarna perak seperti memindai setiap inci jiwanya.

"Harga yang lebih mahal daripada uang," ulang Elara, membiarkan tantangan itu menggantung di udara. "Apa harga yang kau maksud, Kael?"

Kael tersenyum kecil, senyum yang tidak mencapai matanya. "Aku tidak mencari kekuasaan di Istana, Elara. Aku sudah memiliki duniaku sendiri. Yang kubutuhkan adalah kepatuhan mutlak pada saat yang kuminta. Kau harus melakukan apapun yang kuperintahkan, tanpa pertanyaan, asalkan itu tidak mengancam nyawamu atau tahtamu."

Ini adalah permainan berisiko tinggi. Valerian meminta kepatuhan naif karena cinta, sementara Kael meminta kepatuhan mutlak karena kesepakatan. Keduanya adalah bentuk rantai.

"Aku setuju," jawab Elara tanpa ragu. "Tetapi ada syarat timbal balik. Kau harus memprioritaskan keselamatan Wangsa Kaira, dan tidak pernah menggunakan informasiku untuk keuntungan pribadi yang merugikan Wangsa Kaira."

Kael mengulurkan tangan. "Darah dan janji," katanya, formal dan kuno.

Elara membalas uluran tangannya. Perjanjian mereka disegel bukan dengan dokumen kerajaan, melainkan dengan tatapan mata yang penuh perhitungan dan janji balas dendam.

"Selamat datang di dunia gelap, Permaisuri," bisik Kael. "Aku akan segera mengirimkan jaringan informasiku ke Istana Musim Semi. Mereka akan muncul dalam wujud pelayan, penjual rempah, atau bahkan musisi istana. Tak seorang pun boleh tahu bahwa mereka bekerja untukmu."

Elara kembali ke Istana Musim Semi sebelum fajar, tubuhnya kelelahan, tetapi pikirannya terasa hidup. Ia tahu, dengan Kael sebagai sekutu, ia memiliki mata di setiap sudut kota, termasuk di dalam kamar Valerian sendiri.

Keesokan harinya, seperti yang sudah ia ramalkan, Valerian datang membawa hadiah.

"Selamat pagi, Putriku yang cantik," sapa Valerian di ruang tamu, memberikan kotak beludru merah kepada Elara.

"Oh, Yang Mulia, ini tidak perlu!" kata Elara, memasang ekspresi terkejut yang polos. Ia membuka kotak itu. Di dalamnya, Cincin Zamrud dengan ukiran Naga Phoenix berkilauan indah, tampak mematikan.

"Ini adalah janji masa depan kita, Elara. Kau adalah satu-satunya yang pantas memakai ini," kata Valerian, meraih tangan Elara untuk memakaikannya.

"Tunggu, Yang Mulia," Elara menarik tangannya dengan lembut. "Sebelum Anda memakaikannya, saya harus jujur."

Valerian mengerutkan kening. Sedikit kekesalan terlihat di matanya.

"Adik saya, Adelia, ia datang kemarin dan tampak sangat sedih. Ia sangat menginginkan cincin ini," Elara berbisik, berpura-pura merasa bersalah. "Saya tahu, ia seharusnya tidak serakah, tetapi ia adik saya. Bolehkah saya—demi menunjukkan kasih sayang persaudaraan—membiarkannya mencoba cincin ini terlebih dahulu?"

Valerian terdiam sejenak. Jika ia menolak, ia akan terlihat kejam di mata calon Permaisurinya. Jika ia setuju, rencananya untuk membius Elara perlahan akan tertunda.

"Tentu saja," Valerian tersenyum dipaksakan. "Kau sungguh baik hati, Elara. Tapi pastikan ia segera mengembalikannya."

Kau tidak akan pernah mendapatkannya kembali, Valerian, batin Elara.

Saat itu, seorang pelayan Istana Musim Semi masuk.

"Putri, maaf mengganggu. Ada surat dari Jenderal Orion yang baru tiba."

Mendengar nama Orion, Valerian langsung tersentak. Ia tahu Orion adalah ancaman militer terbesar bagi rencananya.

"Serahkan surat itu padaku!" perintah Valerian tajam, melupakan soal cincin.

Pelayan itu ragu, menatap Elara. "Jenderal Orion berpesan, surat ini hanya untuk Yang Mulia Putri Elara atau Kepala Wangsa Kaira."

"Berikan padanya," kata Elara, menunjuk pelayan itu. "Valerian, Anda boleh membacanya setelah saya."

Elara mengambil surat itu. Membaca sandi di dalamnya, matanya berbinar. Orion telah membalas, dan ia setuju untuk kembali!

"Ayahandaku mengundangku untuk membahas Benteng Timur, Yang Mulia," Elara mengumumkan, suaranya kini tidak lagi polos, melainkan tegas dan sedikit politis. "Jenderal Orion akan datang untuk presentasi strategi. Ayahanda berpikir ini lebih penting daripada Pelabuhan Selatan yang sangat membuang uang."

Wajah Valerian memucat. Orion kembali? Itu adalah hal yang tidak pernah ia perhitungkan.

"Benteng Timur? Itu adalah proyek kuno yang tidak relevan," Valerian berusaha membantah.

"Begitukah?" Elara mengangkat alisnya. "Jenderal Orion adalah ahli strategi militer terbaik kita, Yang Mulia. Wangsa Kaira harus mendengarkannya. Jika Wangsa Kaira menjadi lebih kuat secara militer, bukankah itu baik untuk Anda juga?"

Valerian terpojok. Menolak saran Orion secara langsung berarti menunjukkan ketidakpercayaannya pada Wangsa Kaira.

"Tentu saja," Valerian memaksakan senyum yang kini terlihat seperti seringai. "Aku akan hadir dalam pertemuan itu, Putri. Untuk mendukung keputusanmu."

Datanglah, Valerian, pikir Elara. Datang dan saksikan bagaimana Wangsa Kaira tidak akan lagi menjadi bankir yang bodoh, tetapi harimau yang siap menerkam.

Pergeseran kekuasaan kecil telah terjadi. Cincin beracun ada di tangan musuhnya yang salah, dan sekutu terkuatnya sudah dalam perjalanan pulang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 8 : Perayaan Ibu Suri dan Benih Curiga

    Malam itu, Istana Kekaisaran mengadakan perayaan kecil untuk menghormati ulang tahun Ibu Suri—sebuah kewajiban formal yang dihadiri oleh semua bangsawan terkemuka. Elara berdiri di Aula Perjamuan, mengenakan gaun sutra ungu yang anggun, tampak tenang dan ramah, tetapi matanya mengamati semua pergerakan. Di tangannya, ia memegang cangkir arak buah, menjauhkan diri dari kerumunan, membiarkan orang lain mengira ia sedang cemas karena kegagalan proyek Valerian hari itu. "Tampaknya Anda sedang merayakan sesuatu, Putri Elara," sebuah suara lembut berbisik di telinganya. Itu adalah Lord Kael. Dia berpakaian berbeda, mengenakan jubah bangsawan kelas atas berwarna abu-abu gelap dengan aksen perak, dan terlihat seperti seorang Duke dari wilayah kaya. Perubahan drastis dari pakaiannya di rumah teh yang gelap. "Saya merayakan kegagalan, Lord Kael," jawab Elara, tidak berbalik, menjaga suaranya tetap rendah. "Kegagalan itu selalu mendatangkan keuntungan, bukan?" Kael tersenyum. "Informas

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 7 : Reuni dengan Sang Pedang Setia

    Ruang kerja Ayahanda, Kepala Wangsa Kaira, terasa pengap oleh ketegangan. Di atas meja mahoni yang berkilauan terhampar peta-peta militer, namun suasana di ruangan itu jauh dari kata damai. Valerian duduk di samping Ayah Elara, Tuan Kaira, dengan senyum yang dipaksakan. Namun, Elara bisa melihat urat nadi yang berdenyut di pelipisnya. Kedatangan Jenderal Orion—sekutu Wangsa Kaira yang dipaksa pensiun—telah mengganggu semua rencana Valerian. Tuan Kaira, sebaliknya, tampak bersemangat. "Aku tak sabar mendengar analisis Jenderal Orion, Yang Mulia. Dia adalah satu-satunya yang berani menantang proyek-proyek yang membuang-buang uang. Putriku, Elara, kau yang mengundangnya. Kau pasti melihat manfaatnya, Nak." "Tentu saja, Ayahanda," jawab Elara lembut. Ia duduk di seberang Valerian. "Saya hanya ingin memastikan bahwa kekayaan Wangsa Kaira digunakan untuk proyek yang benar-benar memperkuat Kekaisaran dan Yang Mulia." Valerian menyela dengan nada sedikit tajam. "Putri Elara, proyek Bente

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 6: Kesepakatan Berdarah

    Keheningan di ruangan pribadi itu terasa berat, hanya diselingi oleh bunyi api yang berderak di perapian. Lord Kael menatap Elara, matanya yang berwarna perak seperti memindai setiap inci jiwanya. "Harga yang lebih mahal daripada uang," ulang Elara, membiarkan tantangan itu menggantung di udara. "Apa harga yang kau maksud, Kael?" Kael tersenyum kecil, senyum yang tidak mencapai matanya. "Aku tidak mencari kekuasaan di Istana, Elara. Aku sudah memiliki duniaku sendiri. Yang kubutuhkan adalah kepatuhan mutlak pada saat yang kuminta. Kau harus melakukan apapun yang kuperintahkan, tanpa pertanyaan, asalkan itu tidak mengancam nyawamu atau tahtamu." Ini adalah permainan berisiko tinggi. Valerian meminta kepatuhan naif karena cinta, sementara Kael meminta kepatuhan mutlak karena kesepakatan. Keduanya adalah bentuk rantai. "Aku setuju," jawab Elara tanpa ragu. "Tetapi ada syarat timbal balik. Kau harus memprioritaskan keselamatan Wangsa Kaira, dan tidak pernah menggunakan informasiku un

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 5 : Lord Kegelapan

    Malam itu, Istana Musim Semi diselimuti oleh keheningan yang menyesatkan. Di luar kamar tidurnya, penjaga kerajaan berpatroli dengan irama yang membosankan—irama yang sudah dihafal Elara di kehidupan sebelumnya. Elara berganti pakaian. Ia meninggalkan sutra mewah dan jubah kerajaan, menggantinya dengan jubah hitam polos dengan tudung besar, pakaian yang biasa dikenakan oleh pedagang pasar malam. Ia menyembunyikan cincin giok kecil pemberian Ayahnya di balik lapisan jubah. Itu adalah jimat pelindung, yang kini ia bawa sebagai pengingat akan apa yang harus ia lindungi. Ia tidak membawa senjata. Senjatanya adalah pengetahuan. Menyelinap keluar dari Istana bagi seorang Putri yang dijaga ketat adalah tindakan bunuh diri, tetapi Elara ingat satu jalan rahasia: terowongan suplai bawah tanah tua yang jarang digunakan, menuju ke gudang penyimpanan rempah-rempah yang berada tepat di luar dinding Istana. Ia pernah menggunakannya saat remaja untuk bertemu dengan anak petani secara diam-diam.

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 4: Strategi Lama dan Sekutu Baru

    Setelah Adelia pergi, dengan bangga membawa misi yang akan menjadi bumerang, Elara segera kembali ke kamarnya. Ia mengunci pintu, memastikan tidak ada pelayan yang menguping. Tidak ada waktu untuk bersantai. Hanya tiga bulan sebelum Wangsa Kaira dihancurkan, dan kunci kehancuran itu terletak pada Proyek Pelabuhan Selatan yang didanai oleh Ayahandanya. Valerian akan menggunakan proyek itu untuk menghabiskan kekayaan Wangsa Kaira, menuduh Ayah Elara menggelapkan dana, dan kemudian merebut sisa hartanya. Di kehidupan pertamanya, Elara, karena cinta, memohon Ayahandanya untuk menyetujui proyek itu. Kini, ia harus menghentikannya. Elara mengeluarkan gulungan peta tua yang disembunyikan di balik ukiran dinding—peta yang dulu ia gunakan untuk bermain di masa kecilnya, tetapi sekarang menyimpan rahasia militer ayahnya. Proyek Pelabuhan Selatan adalah proyek militer yang secara strategis buruk; itu hanya akan membuang-buang uang. Proyek yang benar-benar penting, yang mampu menggandak

  • BALAS DENDAM SANG PERMAISURI ABADI    Bab 3: Permainan Adelia dan Cincin Zamrud

    Elara tidak menyukai bagaimana Adelia berdiri. Adiknya berdiri terlalu tegak, tersenyum terlalu manis, dan matanya menyembunyikan perhitungan yang dulu, di kehidupan pertama, tidak pernah Elara sadari. "Kakak Elara, Anda terlihat sangat lelah," kata Adelia, melangkah mendekat dengan langkah anggun yang dipelajari. Ia memegang tangan Elara dengan kehangatan palsu. "Saya sungguh khawatir melihat Anda menemui Putra Mahkota segera setelah bangun tidur." "Khawatir?" tanya Elara, menghela napas lembut, membiarkan ekspresi wajahnya terlihat sedikit rapuh. "Aku baik-baik saja, Adelia. Aku selalu senang melihat Valerian." Tentu saja, Valerian adalah mangsa paling lezat, batin Elara. "Kakakku yang manis, kau selalu terlalu baik," Adelia membelai punggung tangan Elara. Elara ingat gerakan ini. Gerakan yang selalu diikuti oleh permintaan, atau, lebih buruk lagi, oleh pemerasan emosional. Di kehidupan pertama, dua minggu setelah adegan ini, Adelia datang memohon agar Elara membantunya menutu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status