Share

Bab 7. Berujung Adu Mulut

Napas Albian memburu, lelaki itu terlihat sangat gugup. Alana sendiri menunggu jawaban sambil mengepalkan kedua tangannya erat. Seorang lelaki yang sudah menodai kesuciannya, juga datang untuk menghina dan menjatuhkan harga dirinya. Apakah ada kata maaf dari Alana? Mungkin itu sesuatu yang mustahil terjadi.

"Aku nggak mungkin tahu kalau Alana di rumah sendirian kalau saja dia nggak ngasih tahu. Jadi, Alana ngundang aku ke sini bahkan berani bawa aku ke kamarnya. Tentu sebagai lelaki normal, aku tergiur untuk melakukan sesuatu yang lebih terutama Alana tidak melakukan penolakan. Siapa yang mau menyia-nyiakan kesempatan emas? Pemuda di luar sana juga akan melakukannya kalau berduaan dengan gadis seksi dalam kamar. Apa aku benar?"

"Hentikan bualanmu itu, Al. Aku mungkin sudah tidak suci lagi, tetapi kamu harus tahu kalau aku bukan pelacur!" gertak Alana semakin merasa terhina.

Dia menyesal pernah menaruh hati dan kepercayaan pada sosok seperti Albian. Jika saja tahu mereka akan berakhir seperti itu, pasti Alana akan terus menolak ketika diajak pacaran. Dia terlalu perasa sehingga menerima cinta Albian meskipun dia sendiri belum bisa move on dari mantan pacarnya yang meninggal karena kecelakaan.

Bahkan hingga kini, Alana masih sulit percaya dengan tingkah Albian. Benarkah dia seorang Albian yang dulunya selalu mengalah, penuh cinta dan kasih sayang? Ataukah mungkin dia semena-mena setelah mereguk madu yang selama ini Alana jaga? Serendah itukah Alana di mata mantan kekasih yang selama ini dia puja?

"Kamu bisa bilang pengakuanku ini bualan semata kalau saja kamu masih perawan, Na. Lebih baik kamu nenangin diri biar nggak stress amat. Aku mengakhiri hubungan kita dengan baik di depan mama kamu, jangan hubungi atau mencari aku lagi. Cari sendiri kebahagiaanmu, mama kamu nggak mau punya menantu pengangguran, bukan?" Albian tersenyum kecut, lalu menatap sekilas pada Ranti yang menyimpan amarah.

"Ya, aku tidak mau punya menantu pengecut dan pemalas seperti kamu. Sekarang lebih baik kamu pulang, aku nggak sudi ngeliat kamu ada di sini, anak sialan!"

Saat Albian membalikkan badan menuju pintu utama, Ranti segera mengambil sapu yang bersandar di tiang, tidak jauh dari tempat mereka berdiri, kemudian memukul punggung lelaki sialan itu. Dia sangat marah dan harus nekat jika ingin melampiaskannya. Dulu Ranti berpikir untuk memberi restu andai saja Albian serius dengan syarat setelah menikah harus giat bekerja mengingat lelaki itu sudah tidak punya orang tua dan terlihat penyayang. Namun, setelah mendengar kalimat hinaan yang menohok hati, mustahil ada kesempatan kedua.

"Hentikan, Ma. Al bisa mati!" cegah Alana mencengkram lengan ibunya.

"Mama lebih senang dia mati daripada melihat kamu menderita!" balas Ranti lagi. Sayangnya, Albian berhasil lolos dan berlari cepat meninggalkan rumah Alana yang selalu menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.

Ranti membuang napas kasar menatap kepergian Albian. Setelah mengunci pintu utama dua kali, dia langsung menarik tangan anak gadisnya menuju kamar karena khawatir ada tetangga lain yang menguping. Rasa kecewa, marah dan sedih bercampur jadi satu dalam hati Ranti apalagi ketika mendengar dan melihat sendiri anak gadisnya dihinakan oleh sosok yang pernah mengaku cinta.

Wanita tua itu memejamkan matanya beberapa detik sebelum akhirnya menggenggam tangan Alana erat. Dia harus memikirkan cara yang bagus agar bisa menemukan jawaban tanpa harus melukai siapa pun. Ranti memang harus melakukannya jika tidak ingin orang lain menganggap Alana adalah wanita panggilan.

"Albian terang-terangan ngehina kamu di depan mama. Itu artinya, semua yang dia katakan adalah kebenaran. Betul?"

"Tidak, Ma." Alana menggeleng cepat, air matanya menggenang seketika. "Albian bohong. Aku tidak pernah tidur sama lelaki mana pun dan tentang kehamilan ini, itu karena Albian yang maksa aku."

"Gimana pun, kamu sudah melakukan perbuatan dosa. Sekarang pikir, siapa yang akan menikahimu? Kalau kamu nggak nikah dalam waktu dekat, maka mama yakin kamu bakal jadi bulan-bulanan tetangga atau mungkin diviralin. Setelah anakmu lahir, mereka akan meledeknya sebagai anak haram." Ranti beranjak sambil berkata, "sudahlah, mama pusing mikirinnya!"

"Ma ...." Tapi tidak ada jawaban.

Air mata yang sejak tadi menggenang sudah tidak bisa Alana bendung lagi. Hati dan harapan gadis itu untuk membahagiakan ibunya sudah hancur karena seonggok daging dalam rahimnya. Alana terlalu bodoh sehingga menuruti keinginan Albian untuk melakukannya berulang kali bahkan tanpa pengaman.

Sekarang semua tinggal penyesalan dan sulit untuk memperbaiki segalanya. Albian hanya perlu menikah dengan Alana dan itu akan menghilangkan sedikit beban untuk si gadis. Hanya saja, semua itu sebatas kata andai.

***

"Ngapain kamu nyari Al? Dia nggak ada di rumah. Mungkin lagi jalan-jalan sama pacarnya!" ketus Hesti, tante Albian.

"Aku harus ketemu sama Al, Tan. Ada hal penting yang harus dia tahu."

Ya, si Gadis Malang itu kembali mendatangi rumah Albian di sore hari karena terus tertekan dengan keadaan. Dia selalu dihantui oleh pertanyaan sang ibu dan benar, sulit menemukan lelaki yang mau menikah dengan gadis yang gagal menjaga kesuciannya terutama saat sedang mengandung. Melempar kotoran ke wajah orang lain? Oh Tuhan, Alana bahkan sulit untuk membayangkannya.

"Heh, aku tahu kamu ke sini buat minta dinikahin, 'kan? Makanya jadi orang itu harus bisa menjaga diri. Minimal tidak murahan sama semua laki-laki. Giliran sudah bunting malah ngemis sama Al. Emangnya Al itu siapanya kamu? Orang cuma mantan. Harusnya minta tanggungjawab sama pacar sendiri. Enak aja melibatkan Al!"

Telunjuk Hesti yang mengarah tepat di depan wajah Alana segera Alana tepis kasar. Dia memang melakukan dosa besar, tetapi tidak pantas diperlakukan demikian. Apakah di dunia ini hanya Alana yang melakukan dosa? Omong kosong, mereka bahkan lebih buruk dari para pembunuh bayaran karena senang menyebar berita bohong dan beberapa kali menyebabkan si Buah Bibir depresi.

Setelah mengumpulkan keberanian bermodal rasa nekat, Alana maju selangkah dan memberi tatapan yang tidak kalah tajam pada Hesti. Usia mereka memang terpaut jauh, namun jika sudah direndahkan seperti tadi, apakah masih patut untuk dihargai? Berapa harga diri Hesti? Pertanyaan itu yang kini terngiang dalam benak Alana.

"Harusnya kamu malu sama umur. Sudah setengah abad begitu, tapi kelakuan masih bocah. Aku menghargai orang yang menghargai aku, dan umur tidak bisa menjadi tolak ukur. Nggak usah ngatain aku murahan lah kalau kamu aja dulunya bejat!" balas Alana pedas padahal dia sendiri tidak tahu bagaimana kehidupan Hesti di masa lalu.

"Anak kurang ajar!" Detik selanjutnya Alana berteriak histeris karena Hesti menarik kasar rambutnya.

"Lepaskan!" Teriakan menggema itu menghentikan aktivitas mereka berdua setelah dua menit melakukan aksi tarik-menarik rambut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status