Share

Bab 6. Beragam Tuduhan

"Kenapa nggak masuk?" tegur Ranti membuat. Alana tersentak. Gadis itu segera mengalihkan pandangannya agar tidak ketahuan.

"Ma, ada hal penting yang mau aku omongin."

Ranti mengangguk pelan. Jika boleh dikata, wanita tua itu masih sangat kecewa pada anaknya. Akan tetapi, jika terus mendiamkan Alana, maka besar kemungkinan anak gadisnya akan semakin tertekan dalam dosa masa lalunya.

"Kemarin, semoga Mama mau maafin aku karena sempat marah waktu ditanya tentang Albian. Maaf, Ma, aku nggak berhasil memintanya bertanggungjawab. Aku sudah berusaha sebisa mungkin, tetapi dia tetap menolak bahkan mengusirku dari sana. Mungkin benar, kami bukan jodoh dan aku akan berjuang sendiri untuk menjaga kandungan ini, lalu membesarkannya tanpa ayah," kata Alana yakin begitu mereka duduk berhadapan di kursi ruang tamu.

Tidak ada jawaban, Ranti hanya menatap Alana lekat. Gadis itu ingin menunduk, hanya saja dia penasaran apa yang ada dalam benak sang ibu. Dia tidak tahu kalau sebenarnya Ranti dengan mencoba menguasai diri, mengontrol emosi agar jangan sampai melakukan perbuatan yang bisa berujung penyesalan terbesar dalam hidupnya.

Sebelum Alana, mendiang kakaknya pun pernah mengalami hal serupa. Namun, saat itu semua bukti memberatkannya padahal kenyataan berbanding terbalik dengan berita yang disebar oleh para pembenci. Ranti tidak ingin mental Alana semakin diserang sehingga sulit menentukan keputusan.

"Kenapa Mama diam?"

"Kalau bukan Albian, siapa yang bakal nikahin kamu, Na?"

Luka meraja dalam hati. Alana memejamkan matanya, menghirup udara dalam-dalam agar bisa menelan segala kesedihan yang menggerogoti jiwa. Alana tahu, dia patut disalahkan meskipun sudah pernah menolak untuk melakukan dosa itu dengan mantan kekasihnya.

"Gadis yang tidak lagi suci, apa ada yang mau menerima kekurangan itu? Apalagi kamu dalam keadaan hamil, sulit menemukan .... Ah, tidak, mama bahkan malu melempar kotoran ke wajah orang yang tidak bersalah." Untuk kali ke dua, Ranti membuang napas kasar. Beruntung pihak sekolah belum mengetahui berita itu, jika tidak, mungkin Ranti akan kehilangan pekerjaannya.

Alana tidak bisa menjawab pertanyaan ibunya. Dia sendiri bingung dan masih menerka siapa yang akan menjadi ayah untuk calon bayinya. Beberapa kali terbesit keinginan untuk mengakhiri hidup jika saja Ranti masih memiliki putri yang lain. Penyesalan menghantui, Alana melipat bibir berharap bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaiki segalanya.

Beberapa detik kemudian, pintu rumah mereka terketuk tiga kali. Alana mengerti bahwa kini ibunya sulit untuk beranjak dari kursi. Dengan langkah pelan, dia menuju pintu dan langsung membukanya lebar. Bagaikan jatuh tertimpa tangga, hati Alana semakin berdenyut nyeri begitu melihat Albian berdiri di hadapannya tanpa mengukir senyum.

"Kenapa kamu ke sini, Al?"

"Aku tahu kamu masih ngarep sama aku, tetapi bukan ini yang mau aku sampaikan. Kita harus meluruskan sesuatu agar masalah ini kelar. Aku juga tidak mau terus dituduh tanpa bukti yang kuat. Ah, sebelum itu, kurasa aku harus duduk lebih dulu." Albian tersenyum pongah, lalu melangkah melewati Alana dan duduk du kursi tempat Ranti sebelumnya.

Sementara Ranti, dia memilih untuk duduk di samping Alana. Bagaimana pun, dia adalah seorang ibu dan mustahil untuk membenarkan tindakan Albian sekalipun keduanya sama-sama bersalah. Akan tetapi, dia harus menyimak terlebih dahulu pembicaraan mereka sebelum ikut terjun dalam pembahasan.

"Aku nggak bisa lama-lama di sini, jadi langsung saja, ya, Tan." Albian memberanikan diri menatap mata Ranti, menjeda kalimat dengan helaan napas panjang, kemudian melanjutkan, "kami sudah nggak pacaran. Aku mutusin Alana karena ternyata dia sedang mengandung dan aku nggak yakin kalau anak itu darah dagingku sampai ada bukti paling akurat, misalnya saja Test-DNA. Tapi, kalau Alana nggak mau melahirkan anak tanpa suami, bukankah lebih baik digugurkan saja daripada menjadi buah bibir para tetangga? Ini demi kebaikan Alana sendiri dan sebenarnya tidak ada urusannya sama aku."

Alana menolah sekilas pada ibunya yang hanya tersenyum kecut, kemudian mengalihkan pandangan dan menatap kosong ke ruang keluarga di mana di sana terpajang sebuah bingkai besar berisi foto keluarga. Saat itu Alana yang masih berusia lima tahun digendong oleh ayahnya sementara sang kakak berdiri mendampingi Ranti.

Sungguh, Alana tidak habis pikir bahwa Albian akan mengatakan hal itu di depan ibunya. Apakah maksudnya adalah Alana itu gadis nakal yang sudah pernah tidur dengan banyak lelaki? Jika memang itu maksudnya, maka Alana tidak akan tinggal diam. Sayang sekali, dia tidak mengajak Bella untuk mendengarkan pembicaraan mereka.

"Satu yang perlu Tante tahu, Alana sudah tidak gadis waktu aku tidur sama dia. Ya, oke, aku juga salah karena sudah meniduri Alana padahal kami cuma pacaran, tetapi semua orang harus tahu kalau Alana lah yang maksa aku buat nidurin dia. Maaf, mungkin kurang sopan membicarakan hal ini, tetapi kalau terus dibiarkan, maka selamanya akan sulit menemukan titik terang," lanjut Albian enteng.

"Apa katamu, Al? Kamu bilang aku udah nggak gadis lagi waktu kamu tidurin? Katamu aku yang maksa? Kamu sadar nggak, sih–" Ucapan Alana terpotong karena mendapat tamparan yang keras dari ibunya.

Ranti menggertakkan gigi. Bagaimana bisa mereka berdua membahas sesuatu yang menjijikkan di depan orang tua padahal mereka sendiri bukan suami istri? Miris, manusia zaman sekarang sudah tidak lagi punya rasa malu.

"Kamu sendiri yang cerita sama aku, kan? Kamu pacaran sama dia, terus cium-ciuman, peluk-pelukan. Meskipun kamu bilang hanya sebatas itu, apa aku bisa percaya? Bukan hal mustahil kalau kamu bakal melakukan perbuatan kotor itu sebelum pacaran sama aku. Eh, giliran hamil malah menuduh aku padahal bisa saja kamu masih ngelakuin itu sama mantan kamu. Iya, 'kan?"

"Fitnah!" teriak Alana frustrasi.

Dia tidak lagi peduli ada siapa saja di ruang tamu itu karena Alana merasa direndahkan. Dengan beringas, Alana mendorong dan memukul Albian tanpa ampun. Ranti mencoba melerai dengan teriakan, tetapi tidak digubris.

Sialnya, Ranti malah menarik tangan Alana untuk menjauh, tetapi kemudian menampar wajah Albian. Keputusan yang tepat, tidak mungkin dia hanya menghukum putrinya. Meskipun belum diketahui pasti siapa yang menjadi ayah janin itu, tetapi Albian mengaku pernah merusak Alana. Ibu mana yang akan tinggal diam ketika mendengar pengakuan menjijikkan itu?

"Tante jangan marah sama aku doang. Alana yang sudah maksa aku buat nidurin dia. Jadi, sebelum menampar orang, paling tidak, cari tahu dulu pelakunya dan kenapa aku bisa tidur sama dia." Albian mendengus.

"Katakan, kenapa kamu bisa tidur sama Alana?!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status