"Kenapa nggak masuk?" tegur Ranti membuat. Alana tersentak. Gadis itu segera mengalihkan pandangannya agar tidak ketahuan.
"Ma, ada hal penting yang mau aku omongin."
Ranti mengangguk pelan. Jika boleh dikata, wanita tua itu masih sangat kecewa pada anaknya. Akan tetapi, jika terus mendiamkan Alana, maka besar kemungkinan anak gadisnya akan semakin tertekan dalam dosa masa lalunya.
"Kemarin, semoga Mama mau maafin aku karena sempat marah waktu ditanya tentang Albian. Maaf, Ma, aku nggak berhasil memintanya bertanggungjawab. Aku sudah berusaha sebisa mungkin, tetapi dia tetap menolak bahkan mengusirku dari sana. Mungkin benar, kami bukan jodoh dan aku akan berjuang sendiri untuk menjaga kandungan ini, lalu membesarkannya tanpa ayah," kata Alana yakin begitu mereka duduk berhadapan di kursi ruang tamu.
Tidak ada jawaban, Ranti hanya menatap Alana lekat. Gadis itu ingin menunduk, hanya saja dia penasaran apa yang ada dalam benak sang ibu. Dia tidak tahu kalau sebenarnya Ranti dengan mencoba menguasai diri, mengontrol emosi agar jangan sampai melakukan perbuatan yang bisa berujung penyesalan terbesar dalam hidupnya.
Sebelum Alana, mendiang kakaknya pun pernah mengalami hal serupa. Namun, saat itu semua bukti memberatkannya padahal kenyataan berbanding terbalik dengan berita yang disebar oleh para pembenci. Ranti tidak ingin mental Alana semakin diserang sehingga sulit menentukan keputusan.
"Kenapa Mama diam?"
"Kalau bukan Albian, siapa yang bakal nikahin kamu, Na?"
Luka meraja dalam hati. Alana memejamkan matanya, menghirup udara dalam-dalam agar bisa menelan segala kesedihan yang menggerogoti jiwa. Alana tahu, dia patut disalahkan meskipun sudah pernah menolak untuk melakukan dosa itu dengan mantan kekasihnya.
"Gadis yang tidak lagi suci, apa ada yang mau menerima kekurangan itu? Apalagi kamu dalam keadaan hamil, sulit menemukan .... Ah, tidak, mama bahkan malu melempar kotoran ke wajah orang yang tidak bersalah." Untuk kali ke dua, Ranti membuang napas kasar. Beruntung pihak sekolah belum mengetahui berita itu, jika tidak, mungkin Ranti akan kehilangan pekerjaannya.
Alana tidak bisa menjawab pertanyaan ibunya. Dia sendiri bingung dan masih menerka siapa yang akan menjadi ayah untuk calon bayinya. Beberapa kali terbesit keinginan untuk mengakhiri hidup jika saja Ranti masih memiliki putri yang lain. Penyesalan menghantui, Alana melipat bibir berharap bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaiki segalanya.
Beberapa detik kemudian, pintu rumah mereka terketuk tiga kali. Alana mengerti bahwa kini ibunya sulit untuk beranjak dari kursi. Dengan langkah pelan, dia menuju pintu dan langsung membukanya lebar. Bagaikan jatuh tertimpa tangga, hati Alana semakin berdenyut nyeri begitu melihat Albian berdiri di hadapannya tanpa mengukir senyum.
"Kenapa kamu ke sini, Al?"
"Aku tahu kamu masih ngarep sama aku, tetapi bukan ini yang mau aku sampaikan. Kita harus meluruskan sesuatu agar masalah ini kelar. Aku juga tidak mau terus dituduh tanpa bukti yang kuat. Ah, sebelum itu, kurasa aku harus duduk lebih dulu." Albian tersenyum pongah, lalu melangkah melewati Alana dan duduk du kursi tempat Ranti sebelumnya.
Sementara Ranti, dia memilih untuk duduk di samping Alana. Bagaimana pun, dia adalah seorang ibu dan mustahil untuk membenarkan tindakan Albian sekalipun keduanya sama-sama bersalah. Akan tetapi, dia harus menyimak terlebih dahulu pembicaraan mereka sebelum ikut terjun dalam pembahasan.
"Aku nggak bisa lama-lama di sini, jadi langsung saja, ya, Tan." Albian memberanikan diri menatap mata Ranti, menjeda kalimat dengan helaan napas panjang, kemudian melanjutkan, "kami sudah nggak pacaran. Aku mutusin Alana karena ternyata dia sedang mengandung dan aku nggak yakin kalau anak itu darah dagingku sampai ada bukti paling akurat, misalnya saja Test-DNA. Tapi, kalau Alana nggak mau melahirkan anak tanpa suami, bukankah lebih baik digugurkan saja daripada menjadi buah bibir para tetangga? Ini demi kebaikan Alana sendiri dan sebenarnya tidak ada urusannya sama aku."
Alana menolah sekilas pada ibunya yang hanya tersenyum kecut, kemudian mengalihkan pandangan dan menatap kosong ke ruang keluarga di mana di sana terpajang sebuah bingkai besar berisi foto keluarga. Saat itu Alana yang masih berusia lima tahun digendong oleh ayahnya sementara sang kakak berdiri mendampingi Ranti.
Sungguh, Alana tidak habis pikir bahwa Albian akan mengatakan hal itu di depan ibunya. Apakah maksudnya adalah Alana itu gadis nakal yang sudah pernah tidur dengan banyak lelaki? Jika memang itu maksudnya, maka Alana tidak akan tinggal diam. Sayang sekali, dia tidak mengajak Bella untuk mendengarkan pembicaraan mereka.
"Satu yang perlu Tante tahu, Alana sudah tidak gadis waktu aku tidur sama dia. Ya, oke, aku juga salah karena sudah meniduri Alana padahal kami cuma pacaran, tetapi semua orang harus tahu kalau Alana lah yang maksa aku buat nidurin dia. Maaf, mungkin kurang sopan membicarakan hal ini, tetapi kalau terus dibiarkan, maka selamanya akan sulit menemukan titik terang," lanjut Albian enteng.
"Apa katamu, Al? Kamu bilang aku udah nggak gadis lagi waktu kamu tidurin? Katamu aku yang maksa? Kamu sadar nggak, sih–" Ucapan Alana terpotong karena mendapat tamparan yang keras dari ibunya.
Ranti menggertakkan gigi. Bagaimana bisa mereka berdua membahas sesuatu yang menjijikkan di depan orang tua padahal mereka sendiri bukan suami istri? Miris, manusia zaman sekarang sudah tidak lagi punya rasa malu.
"Kamu sendiri yang cerita sama aku, kan? Kamu pacaran sama dia, terus cium-ciuman, peluk-pelukan. Meskipun kamu bilang hanya sebatas itu, apa aku bisa percaya? Bukan hal mustahil kalau kamu bakal melakukan perbuatan kotor itu sebelum pacaran sama aku. Eh, giliran hamil malah menuduh aku padahal bisa saja kamu masih ngelakuin itu sama mantan kamu. Iya, 'kan?"
"Fitnah!" teriak Alana frustrasi.
Dia tidak lagi peduli ada siapa saja di ruang tamu itu karena Alana merasa direndahkan. Dengan beringas, Alana mendorong dan memukul Albian tanpa ampun. Ranti mencoba melerai dengan teriakan, tetapi tidak digubris.
Sialnya, Ranti malah menarik tangan Alana untuk menjauh, tetapi kemudian menampar wajah Albian. Keputusan yang tepat, tidak mungkin dia hanya menghukum putrinya. Meskipun belum diketahui pasti siapa yang menjadi ayah janin itu, tetapi Albian mengaku pernah merusak Alana. Ibu mana yang akan tinggal diam ketika mendengar pengakuan menjijikkan itu?
"Tante jangan marah sama aku doang. Alana yang sudah maksa aku buat nidurin dia. Jadi, sebelum menampar orang, paling tidak, cari tahu dulu pelakunya dan kenapa aku bisa tidur sama dia." Albian mendengus.
"Katakan, kenapa kamu bisa tidur sama Alana?!"
Selesai mandi sore, Alana memilih mengurung diri dalam kamar bersama putra kesayangannya karena Ali sedang terlelap. Merasa jenuh, akhirnya dia membuka aplikasi sosial media. Mulai dari Instag-ram, Face-book hingga aplikasi hijau yang dikenal dengan sebutan Whats-App.Alana membuka story teman-temannya. Mereka memang masih saling menyimpan kontak, tetapi tidak pernah bertukar pesan selain menonton story masing-masing. Terutama Alana yang memang tidak mau mempublish masalahnya ke media sosial.Menyebar masalah ke sosial media bagi Alana itu buruk. Selain mengundang gibah, beberapa dari mereka juga bertanya bukan karena peduli atau ingin memberi solusi melainkan kepo saja. Lagi pula, masalah rumah tangga itu hal privasi.Alana menekan layar ponselnya ketika tiba di story Whats-App milik Rasya. Ada foto mereka berdua di sana dengan caption 'Bidadari Surgaku' yang disertai emotikon love dan bunga mawar merah."Lah, ini bener?" tanya Alana menatap tidak percaya.Entah kenapa, tiba-tiba hat
"Sepertinya, aku harus pergi lagi sebelum perasaan ini tumbuh sangat dalam dan untuk itu aku butuh kamu," jawab Shaka dengan perasaan sedih.Hasna terdiam beberapa saat, kemudian melirik ke kanan dan kiri. Sayang sekali karena tidak ada pembeli agar dia bisa menghindari Shaka.Jujur saja, dia belum bisa membuka hati untuk orang baru. Memang benar kalau saat ini Hasna butuh seseorang untuk menemaninya menjalani hidup. Dia bosan menumpang pada Siti karena selalu dijadikan kambing hitam, dituduh dalang dari setiap masalah yang ada.Hidupnya kacau balau, terkadang Hasna ingin menyerah jika saja iman tidak ada dalam dada. Hasna mendesah kesal, entah mengapa. Saat kembali menatap Shaka, ada rasa iba dalam dirinya. Lelaki itu setengah mati berjuang melupakan Zanna, haruskah dia mengorbankan perasaan sendiri demi membantunya kembali ke hakikat diri?Berat. Hasna rasa tidak mudah mengubah pendirian seseorang. Apalagi sosok seperti Shaka yang setahu Hasna sudah lama alpa dari perintah Tuhan yak
I lay my love on youIt's all I wanna doEvery time I breathe I feel brand newYou opened up my heartShow me all your love and walk right throughAs I lay my love on you....Shaka sengaja mendengarkan lagu romansa dari Westlife sebagai gambaran perasaannya saat ini. Memang benar bahwa Alana lah yang membuka hatinya untuk tidak larut mencintai Zanna yang telah tiada. Sayang sekali, dia tidak bisa memiliki wanita itu.Mencintai seseorang yang sudah menikah dan suaminya adalah adik sendiri itu menyakitkan. Shaka diam-diam menghela napas berat tanpa memudarkan senyum di bibirnya. Dia ingin menikmati kesempatan itu dengan bahagia."Andai saja aku pulang lebih cepat dan ketemu sama kamu, aku yakin kita akan menjadi pasangan romantis. Aku nggak bakal ngebiarin Rasya buat nikahin kamu karena kesempatan itu nggak datang dua kali.""Andai saja kita bisa kembali ke masa lalu," gumam Alana membuang pandangan ke arah samping."Bahkan kamu lebih menginginkan aku daripada Rasya. Jelas sekali karen
Sesampainya di rumah, Ranti langsung menemui menantunya yang sedang duduk di samping ayunan Ali sambil menonton YouTube. Melihat kesedihan di wajahnya membuat wanita tua itu mengurungkan niat, kemudian menyerahkan ponselnya pada sang anak."Tadi mama sempat rekam pembicaraan kita di rumah Siti. Kamu kasih sama Rasya sebagai bukti, mama mau balik ke rumah dulu," bisik Ranti, lantas melangkah cepat meninggalkan Alana.Wanita itu melipat bibir. Jujur saja, dia sedikit kesal pada tingkah suaminya yang sangat mudah termakan omongan tetangga. Padahal, dia sudah tahu bagaimana perangai Siti selama ini. Lulusan sarjana, tetapi begitu mudah dikelabui.Alana tidak habis pikir, hatinya pun masih menyimpan perih setelah mendapat tamparan tadi. Kalau saja bukan mau bersikap dewasa, dia pasti sudah balas menampar Rasya. Ah, pikirannya kalut. Kini, pandangan mereka bertemu ... masih terlihat binar cinta di kedua matanya."Dengerin sendiri!" Alana meletakkan ponsel ibunya, kemudian ikut duduk di deka
Rasya tentu tidak mau kalah, dengan cepat dia menyusul Alana ke kamar, kemudian membawanya ke tempat semula dengan sedikit paksaan. Dia bisa saja melanjutkan perdebatan itu dalam kamar, tetapi Ali tidak boleh ditinggal sendirian.Kembali, Rasya membuang napas berat. Ada perasaan sedih dalam hatinya karena dia percaya pada apa yang Siti katakan. Mengingat Shaka pernah menganggap Alana adalah Zanna, maka tidak menutup kemungkinan apa yang diadukan Siti benar adanya dan Alana sedang mencoba untuk lari dari masalah.Apa gunanya bertanya pada Ranti jika dia akan membela anaknya sendiri karena takut kalau Alana menjadi janda di usia muda apalagi pernikahan mereka belum terlalu lama ditambah Ali masih kecil. Memikirkan itu semua semakin menambah pikiran Rasya saja."Kalau kamu nggak percaya, ya sudah.""Hari itu saja aku lihat kamu dipeluk sama Shaka padahal ada banyak pelayan di rumah. Sementara tadi, hanya ada kalian. Setan selalu hadir sebagai orang ketiga saat ada yang berduaan. Okelah a
"Bu Siti tahu dari mana kalau Alana romantis-romantisan?"Siti mengibaskan kipasnya, padahal cuaca biasa saja. "Ya aku lihat sendiri lah. Tahu sendiri kan kalau Hasna kerja di warung mertua kamu, sebagai tante yang baik untuk Hasna dan tetangga baik buat kalian, jadinya beli nasi uduk ke sana. Eh, sebelum kesampean malah liat laki-laki lagi gendong Ali, terus Alana malah senyum-senyum tidak jelas. Agak lama sih posisi mereka kayak gitu, sesekali Alana bercandain Ali. Pokoknya aku nggak bisa gambarin secara gamblang, intinya mereka romantisan. Mungkin karena Hasna sama mertua kamu lagi keluar jadi mereka mikirnya dunia cuma milik berdua. Iya, toh?"Mendengar itu semakin menambah amarah di hati Rasya. Kedua matanya berubah merah, rahang pun mengetat sempurna. Bagaimana mungkin Alana bersikap romantis pada lelaki lain?Satu hal yang membuat Rasya bingung. Dia belum bisa menebak siapa lelaki yang berhasil merebut posisinya. Sejak dulu Rasya sudah berpesan agar Alana tidak pernah tersenyum