Share

BAB 6

"Qiraniiiiiii!!!" teriak mama mertua. Mas Fadli tak berkutik melihatku.

"Aaaah, kepalaku pusing, Mas," lirihku.

Aku langsung pura-pura oleng. Kupegang kepalaku selayaknya orang yang lagi pusing dan akan pingsan. Aku berakting berusaha berdiri tegak dan seakan-akan mau jatuh. Kubiarkan tanganku menjalar kemana-mana mencari keseimbangan, menabrak piring dan mangkok yang berjejer di kabinet, dekat sink (wadah tempat mencuci piring).

Criiiing!

Krink!

Mangkok-mangkok itu berjatuhan.

"Berhenti Qirani!!!" teriak Mama mertua.

Aku langsung mematung dan luruh, berjongkok sembari menopang kepalaku. Aku menunduk, sebenarnya sedang menyembunyikan mulutku yang tersenyum senang. 'Mampus' jerit hatiku senang. Dalam hatiku terkekeh jahat. Entah setan mana yang sedang menggerogoti hatiku sekarang.

"Dek! Ya ampun! Diam di situ! Jangan bergerak!" seru Mas Fadli terdengar panik.

Suamiku itu berlari keluar. Rupanya dia memakai sandal dan mengambilkan aku aku sandal juga agar kakiku tidak tertusuk beling. Masih peduli juga kamu ya, Mas? Aku menyeringai dalam wajahku yang kemasukan dalam lututku yang berjongkok.

"Kok bisa kamu begini, Qi?! Bisa habis mangkok, Mama nanti! Ayo! Bangun! Kita ke kamar!" serunya.

Ya elah, dia takut mangkuk itu pecah semua rupanya. Kukira dia peduli. Aah, suami buaya.

"Ooh ya Allah! Qirani! Habis mangkokku kamu pecahkan! Apa tidak bisa kamu bikin aku senang sedikit saja?!"

Aku merasakan tangan Mama mertua mendorong bahuku dengan keras hingga aku tersungkur. Mas Fadli tetap menopangku dengan tegap. Aku pura-pura memejamkan mata di pundak Mas Fadli.

"Udah, Ma. Qiran lagi sakit. Biarin dia rehat dulu," ucap Mas Fadli membelaku.

"Terus ini gimana?!" pekik Mama mertua.

Tidak ada jawaban dari suamiku dan aku merasa lega karena terus dibawa menjauh dari pecahan beling itu.

"Ya Allah! Bagaimana ini?! Ya Allah! Mangkokku! Yang ini?! Ini! Yang bunga ini! Aaaaakkkh! Qiraniiii! Awas kamu nanti, menantu tidak ada guna!"

Mama Mertuaku berteriak bahkan terdengar seperti menangis. Wajar sih dia sesedih itu karena memang tiga mangkok utamanya cantik dan mewah. Hatiku makin puas mendengar omelannya. Toh setelah dua tahun, selama dua tahun aku saja yang memendam perasaan. Sekarang, bolehlah gantian Mama mertua yang kubuat stress.

"Menantu sialan! Sudah tidak bisa membantu malah merusak! Lihat saja, akan kucarikan kamu adik madu!"

Aku hanya mengerucutkan mulutku. Biarkan dia mengomel apa saja, karena hatiku ini sudah kebas. Adik madu katanya? Dikira aku akan takut. Ingin sekali kutimpali dia bahwa menikah dengan anaknya justru membawa kesengsaraan fisik dan batinku. Jelas aku makin kurus dan tak terawat. Dilarang pakai kosmetik karena katanya boros, apalagi mau beli skincare mahal. Mau pakai uang sendiri takut diintrogasi dapat uang darimana. Nanti kalau dia tahu aku punya uang, makin tidak tahu diri pasti dia.

"Pusing banget, ya? Tadi kelihatan baik-baik aja kamu," cecar Mas Fadli memberikan minyak kayu putih padaku. Bukannya aku dibantu mengoleskan minyak kayu putih itu, tapi dia kembali memegang hpnya sembari mengintimidasiku dengan tatapannya.

"Ya gak tahu, Mas. Karena aku lapar juga," timpalku dengan suara rendah.

"Kamu harusnya lebih hati-hati. Kasihan itu Mama kehilangan mangkok-mangkoknya. Nanti kalau dia minta ganti, jatah belanjamu aku hapus sampai waktu yang tidak ditentukan," ucap suamiku itu tanpa ragu.

Melongo aku mendengar ucapannya. Sempat-sempatnya dia berpikir begitu. Benar-benar perhitungan luar biasa. Uang hanya dua ribu lima ratus yang dia mau hitung tiap hari untuk aku bayar ganti rugi. Hahaha, lucu. Andai dia tahu isi rekeningku, sekarang sudah mencapai dua belas juta, pastilah dia akan merampoknya.

"Fadli! Keluar kamu! Bantu bereskan bekas kerusakan yang dibuat istrimu!" teriak Mama mertua.

"Lanjut lah, Ma! Aku ada kerjaan ini!"

Mas Fadli menjawab teriakan ibunya sembari memainkan hp. Kerjaan main game adalah faktanya. Aku makin menenggelamkan diriku dalam selimut. Cintanya suamiku sebatas dia mengeluarkanku dari tumpukan beling agar aku tidak terus menambah tumpukan beling yang lain.

"Punya anak dan menantu tidak ada yang becus! Bikin susah saja!" omel Mama mertua kembali menyambung.

Terdengar suara motor berhenti di depan. Jelas itu suara motor bapak mertua dan Nita. Entah darimana mereka sampai bisa bersamaan begitu. Mama mertuaku kembali berteriak lebih kencang. Aku tahu, pastilah mencari perhatian suaminya.

"Menantumu itu, Pak! Dia yang memecahkan mangkok-mangkokku! Memang tidak becus dia! Semua wanita bersuami pernah hamil, tapi tidak sesial dia!"

"Ya Allah, Ma. Jaga omonganmu. Tidak baik berkata buruk begitu pada menantu kita. Kasihan, namanya hamil muda. Syukur-syukur dia gak dirawat di rumah sakit. Itu kan contohnya, Bu Bidan Indri, hamil muda sampai-sampai rumah sakit jadi rumah keduanya kan itu. Padahal dia seorang bidan."

Aku yang curi dengar ucapan Bapak mertua jadi terharu sampai malu sendiri. Heran, justru mertua laki-laki lebih punya empati, padahal harusnya sesama perempuan saling memahami. Harusnya begitu, sih teori woman suport woman. Tapi fakta di lapangan, kebanyakan perempuan yang menghancurkan sesama kaumnya sendiri.

"Alah! Bela terus anak orang, kamu Pak! Bidan Indri itu orang kaya, masuk rumah sakit seperti lagi nginap di hotel. Laah modelan mantumu mau sakit? Bayar pakai daun. Cih!"

"Jangan begitu, Ma. Repetanmu itu sama sekali tidak enak didengar telinga. Sudah. Jangan bicara lagi atau aku akan tidur di sekolah saja. Pusing dengar perempuan kalau sudah ngomel."

Terdengar pintu ditutup kencang oleh bapak mertuaku. Huuft. Bagaimana bisa modelan seperti Mama mertuaku itu dapat laki-laki sebaik Bapak mertua, ya? Aku menggigit selimutku sendiri karena hati sedang tak karuan. Kudengar Nita membantu ibunya membereskan dapur.

"Coba Dewi jadi mantu Mama, Nit, gak akan punya mantu payah seperti sekarang," lanjut Mama mertua tidak selesai-selesai.

"Ya, Mama memang apes," timpal Nita terdengar santai.

"Ya, apes betul. Dipelet pakai apa Abangmu, ya?"

Entah apa tanggapan dari mulutnya Nita karena suara mereka beradu dengan gemerincing beling yang sedang dikumpulkan dan piring yang sedang digeletakkan setelah dibasuh. Suara air yang sedang mengucur deras mendominasi. Aku menghela napasku dengan sangat berat. Apa mereka tidak tahu, aku juga apes bisa jadi bagian dari keluarga ini. Aku menoleh ke arah Mas Fadli yang tengah asik dengan ponselnya. Apa dia tidak dengar bagaimana sumpah serapah dan gunjingan ibu dan adiknya itu? Sampai begitu santai dan tenang mimik wajahnya.

"Mas, kamu dengar tidak semua ucapan Mama dan Nita?"

Mas Fadli hanya mendehem. Aku bertanya lagi, sekarang dia mendecak. Sepertinya mulai kesal. Kembali kuulangi pertanyaan yang sama.

"Apa sih kamu, Qi! Ganggu saja. Memang benar kata ibuku, kamu memang bawa apes! Kalah kan aku ini?! Haiish!"

Mas Fadli meletakkan begitu saja hpnya di atas lantai hingga bergeser keras bahkan sekarang berada tak jauh dari mataku. Jelas aku membaca kata OVER di layar ponselnya. Ternyata dia dengar semua ucapan ibunya tapi dia memilih abai.

Kukuatkan genggaman tanganku menahan agar mulutku dan kakiku tidak menendang pria yang kusebut suami ini. Aku tidak ingin sandiwaraku diketahui.

Tiba-tiba ponsel yang tak jauh dariku itu berdering dan muncul foto wanita yang sedang memanggilnya. Aku kenal betul foto itu. Foto dengan penampilan yang sama dengan yang baru-baru kulihat. Dia adalah Nilam, istri Zulkifli.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status