Share

Bab 4. Korban Perampokan

"Tolong ... tolong." Dari kejauhan terdengar suara seseorang minta tolong. Naya menatapku dengan wajah pucat pasi, nampaknya dia sangat ketakutan.

"Mas, kita harus segera pergi dari sini. Tempat ini tidak aman bagi kita." Naya menarik paksa tanganku untuk segera menjauh pergi dari sini.

Belum selesai Naya berbicara tiba-tiba datang seorang bapak tua menghampiri kami yang masih terpaku di taman kota.

"Nak, bisa minta tolong?" Seorang bapak tua dengan pakaian compang camping datang dengan tergopoh-gopoh, beliau menjumpai kami berdua yang masih kebingungan dengan apa yang terjadi.

"Insya Allah, jika kami mampu, pasti akan kami bantu," ujar Naya sambil menyuruh si bapak itu untuk duduk. 

"Saya dirampok dan ponsel untuk menghubungi anak saya pun diambil oleh mereka." ujarnya sendu.

Tubuhnya gemetar terlihat bulir bening menetes membasahi kedua pipinya.

"Apa yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku dengan menatap manik mata tuanya.

"Saya gak tau mau pulang kemana, Nak. Nomor ponsel anak saya pun saya gak hapal!"

Tidak mungkin juga aku mengajak dia ikut kami, sementara tempat tinggal kami saat ini saja belum jelas.

"Bapak, sudah makan?" tanyaku pada pria yang memakai baju compang camping dan baunya sangat mengganggu indera penciuman. 

"Belum. Saya tadi mau ke rumah anak saya dengan naik taksi. Turun disini sebentar tujuan saya mau berbelanja ke market, membeli oleh-oleh untuk cucu saya. Eh tau-taunya dompet saya raib semua, nasi dan oleh-oleh akhirnya gak jadi saya beli," jelasnya kemudian.

"Jadi Bapak belum makan?" tanyaku memastikan.

Sementara jam sudah menunjukkan angka 17.00 sementara bapak tua tersebut belum makan sesuap pun. Sungguh miris nasibnya.

"Belum. Setiap warung yang bapak datangi, mereka pasti mengusir. Mungkin mereka mengira saya ini perampok yang menyamar menjadi pengemis," ujar bapak yang belakangan aku mengetahui namanya Herman.

"Ya udah. Bapak tunggu disini sebentar ya?" Aku segera berlari ke arah warung nasi dan membeli dua bungkus nasi. Satu bungkus untuk pak Herman dan satu lagi untuk aku dan Naya. Kebetulan kami juga belum makan dari tadi.

Uang di dompet yang tidak seberapa terpaksa kubelikan nasi rendang karena kasihan melihat kakek itu sangat lemah. Sementara untuk kami berdua nasi putih saja sudah cukup.

Setelah membeli dua bungkus nasi dan air minum segera aku kembali ke tempat Naya dan si kakek itu berada.

Mereka berdua masih asyik mengobrol saat aku sampai di taman.

"Ini, Pak. Dimakan. Siap makan saya antar Bapak pulang," ujarku seraya menyodorkan satu bungkus nasi lengkap dengan lauknya.

"Terima kasih, Nak." Beliau meraih bungkusan dengan tangan gemetar.

"Sama-sama. Kami duduk dibawah pohon itu ya, Pak." Jariku menunjuk ke arah bangku yang berada agak jauh dari tempat kami duduk sekarang.

Aku dan Naya sengaja menjauh dari bapak tersebut, karena malu jika bapak itu melihat kami makan nasi putih hanya dengan garam saja.

"Alhamdulillah, semoga besok kita ada rejeki untuk beli nasi padang ya, Sayang." Kulirik wanitaku, dia hanya tersenyum saja.

"Tenang saja, Mas. Bulan depan kita beli ya? Tinggu Adek gajian," cicit Naya. Dia tidak menyadari bahwa buku tabungan dan ATM  sudah dikuasai oleh ibunya.

"Tapi ATM sudah sama ibu. Bagaimana Adek mau belanja?" kelakar aku.

"Oh ya ... ya. Lupa," ucap Naya sembari menepuk jidatnya. Kami pun tertawa serentak. Menertawakan nasib ini tepatnya. Kemudian terdiam tidak berkata apa-apa lagi. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

Dari kejauhan aku melihat di bapak berjalan menuju ke arah kami, tapi tiba-tiba saja beliau terjatuh dan tidak sadarkan. Segera aku berlari ke tempak bapak Herman jatuh.

"Pak ... Pak. Bangun, Pak." Kugoyangkan tubuh bapak itu lembut tetapi tidak ada respon.

Kulihat darah mengucur deras dari kepalanya. Mungkin akibat terbentur dengan batu waktu terjatuh tadi.

"Periksa nadinya, Mas. Semoga masih berdenyut." Aku pun segera memeriksa nadi pak Herman sesuai perintah Naya.

"Ayo kita bawa saja ke rumah sakit. Jangan di lama-lamain, Mas. Takut kehabisan darah," titah Naya dengan wajah pucat. Wanitaku sangat takut jika melihat darah apalagi darah orang yang kecelakaan begini.

"Bentar ya, Mas panggil becak dulu." 

Aku berdiri di bahu jalan menunggu becak. Tidak sampai satu menit ada becak lewat dan aku menyetopnya.

"Bang, di sana ada pasien kecelakaan. Minta tolong antarkan ke rumah sakit terdekat disini." Mohonku pada pria paruh baya itu.

Setelah sampai ke lokasi kejadian, segera kami membawa bapak tua tersebut. Semoga beliau bisa terselamatkan.

"Adek yang mengurus di rumah sakit, ya. Nanti Mas menyusul. Sekarang Mas mau melapor ke kantor polisi dulu." Naya mengangguk setuju. Aku takut juga diseret ke penjara seandainya terjadi apa-apa terhadap bapak tua itu. Takut dituduh sebagai orang yang mencelakai beliau. Walaupun beliau jatuh sendiri, tapi karena tidak ada bukti yang kuat, pasti akan memberatkan aku dan Naya nantinya.

Tidak berapa jauh dari taman kota terdapat kantor pos polisi. Aku melaporkan pada salah satu anggota yang sedang berjaga disitu, kronologi bagaimana bisa berjumpa pak Herman hingga dia pingsan.

Setelah memberikan keterangan di kantor polisi, aku di perbolehkan pulang. Sekarang kasus yang dialami pak Herman sudah ditangani oleh pihak keamanan. Tinggal tunggu saja proses berikutnya.

Keluar dari kantor polisi, aku kembali menuju ke rumah sakit untuk menjumpai Naya dan juga korban perampokan tadi. 

"Bapak, apa kabarnya. Sudah enakan?" tanyaku saat berada di ruang rawat inap rumah sakit tempat pak Herman di rawat.

"Sudah baikan, Nak. Terima kasih banyak atas semua pertolongan kalian terhadap Bapak. Kalau kalian tidak ada entah bagaimana nasib bapak saat ini," ujar lelaki bertubuh gempal itu.

"Jangan ngomong begitu, Pak. Semua itu terjadi atas kehendak Allah, takdir yang mempertemukan kita," ucapku seraya duduk dibibir ranjang.

"Maafkan bapak yamg sudah merepotkan kalian berdua, Nak. Oh iya. Kalian berdua mau kemana membawa-bawa tas sebesar itu?"

"Hmmm." Aku dan Naya saling pandang. Ingin mengatakan yang sejujurnya tetapi hati ini malu. 

"Tadi kami mau mencari rumah sewa, Pak," ucap Naya sambil menarik kursi kecil disisi ranjang pasien dan mendudukkannya.

"Anak Bapak belum dikabari bahwa ayahnya sedang dirawat?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Udah ditelpon sama pihak rumah sakit. Mungkin besok menjelang subuh baru sampai ke sini," jelas lelaki berambut cepak tersebut sembari mengangkat tubuhnya untuk duduk.

"Bapak mau duduk?" tanyaku seraya membantu beliau duduk dan menyender di dinding kamar.

"Bukan, Nak. Bapak mau ke kamar mandi." ujarnya tertunduk. Tangannya masih terpasang infus sehingga menghambat gerak tubuhnya.

"Ayo, saya bantu," tawarku seraya memegang botol infus dan mengangkat setinggi kepala.

"Gak usah, Nak. Bapak masih tahan sampe Arman datang," jawabnya.

"Jangan gitu, Pak. Jangan tahan-tahan kencing, nanti kencing batu," ucapku seraya mengangkat tubuhnya dan membawanya ke kamar mandi, sementara botol infus dipegang oleh Naya.

"Bapak gak enak karena merepotkan kamu terus, Nak," ucapnya.

"Bapak tenang ajalah. Kami gak merasa di repotkan," ujarku seraya menurunkan pak Herman dari gendongan dan menutup pintu kamar mandi.

"Kalau udah siap panggil aja, Pak."

"Iya," jawabnya kemudian.

Setelah keluar dari kamar mandi, Pak Herman kembali tidur. Mungkin pengaruh obat penenang yang diberikan oleh dokter tadi sore.

Tak lama kemudian masuklah ke ruangan seorang lelaki dan dua orang wanita. Seorang wanita tua dan satu lagi masih muda, mungkin juga anaknya.

"Papa. Kenapa bisa begini!" Tangis pilu wanita berjilbab maroon pecah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status