Beranda / Fantasi / BAYANGAN DARAH SIREGAR / Bab 21 – Nama yang Kembali Hidup

Share

Bab 21 – Nama yang Kembali Hidup

Penulis: Kaeyaa Avery
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-21 13:30:46

Langit Srigading terlihat lebih cerah dari biasanya saat Rafiandra Siregar kembali berdiri di depan rak tanamannya. Kali ini, tak hanya pot-pot kecil yang tersusun rapi, tapi juga beberapa tanaman eksperimental dari koperasi Purbalingga yang sedang ia uji coba.

Di tangannya, ada dokumen penting: Akta resmi kerja sama kemitraan regional dengan koperasi petani Purbalingga. Stempel pemerintah daerah dan tanda tangan legal sudah lengkap. Nama Rafi bukan lagi sekadar nama di desa—sekarang, itu nama yang mulai diperbincangkan di kalangan pertanian muda nasional.

Raline berdiri di sampingnya, menggenggam laporan media online yang memuat artikel:

“Rafiandra Siregar: Anak Desa Srigading Bangun Ekosistem Pertanian Inovatif dari Limbah Rumah Tangga.”

“Lo sadar nggak, Fi?” kata Raline pelan. “Sekarang lo udah bukan anak yang diremehin lagi.”

Rafi tersenyum tipis. “Gue gak nyari pengakuan. Ta
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 24 – Titik Balik dalam Diam

    Langit mulai meredup ketika Rafiandra Siregar menutup laptop pinjaman dari sekolah dan bersandar di kursi kayu reyot yang ada di ruang tamu. Layar laptop tadi menampilkan ulang presentasi yang ia bawakan dalam kompetisi regional dua hari lalu—kompetisi yang mempertemukannya dengan banyak siswa jenius dari seluruh penjuru provinsi. Kali ini, ia tidak hanya jadi peserta. Ia keluar sebagai juara dua, kalah tipis oleh seorang siswa SMA swasta dari kota besar. Tapi bukan kekalahan yang membekas dalam hati Rafi. Yang membekas adalah tatapan juri saat ia menyampaikan ide bisnisnya. Tatapan penasaran, kagum, dan—yang paling penting—serius. "Kamu punya potensi besar. Jangan berhenti di sini," kata salah satu juri, pria paruh baya yang ternyata CEO perusahaan pertanian teknologi di Jakarta. Kata-kata itu terus terngiang. --- Pagi harinya, Simbo mengetuk pintu kamarnya dan membawa sege

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 23 – Pertemuan yang Tak Pernah Dinanti

    Langit Jakarta mulai gelap saat Rafi melangkah masuk ke restoran di lantai 15 hotel tempatnya menginap. Lampu gantung berkilau di langit-langit, suasana tenang dengan musik lembut mengalun, dan pelayan berseragam berdiri siap menyambut. Namun semua itu terasa samar bagi Rafi. Matanya hanya fokus pada satu meja di sudut ruangan, dekat jendela kaca besar. Di sana, duduk seorang pria paruh baya dengan jas abu-abu rapi, rambut sedikit memutih di pelipis, dan kacamata tipis menghiasi wajahnya yang tegas. Rafi menarik napas panjang sebelum melangkah mendekat. "Silakan duduk," ucap pria itu tanpa senyum, namun suaranya tenang. "Terima kasih, Pak," jawab Rafi pelan, duduk perlahan. Sesaat hening. Hanya suara sendok yang menyentuh gelas dari meja tetangga. Pria itu akhirnya bicara, "Kamu tumbuh jadi pemuda yang berbeda dari yang saya bayangkan. Saya lihat nama kamu di

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 22 – Undangan yang Mengubah Segalanya

    Pagi itu, matahari belum terlalu tinggi saat Rafiandra Siregar berdiri di depan rumah Simbo. Jaket hitam sederhana menutupi kemeja putih bersih yang disetrika rapi. Di tangannya, satu koper kecil berisi dokumen penting dan pakaian untuk dua hari ke depan. Mobil hitam dari panitia Forum Wirausaha Nasional sudah menunggu di depan jalan tanah desa. Simbo mendekat, memeluknya erat. "Jaga diri kamu baik-baik di Jakarta, ya. Jangan lupa makan, dan jangan lupa dari mana kamu berasal," ucap Simbo dengan suara bergetar. "Aku tahu, Simbo. Aku nggak akan lupa. Doain aku sukses ya," jawab Rafi sambil mengecup tangan Simbo. Dari kejauhan, Paman Damar hanya mengangguk pelan, lalu mengangkat tangan sebagai salam. Rafi membalas dengan hormat. Di balik wajah keras pamannya, terselip kebanggaan yang tak pernah diucapkan terang-terangan. Mobil mulai melaju perlahan, meninggalkan tanah merah Srigading dan mengarah ke bandara ter

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 21 – Nama yang Kembali Hidup

    Langit Srigading terlihat lebih cerah dari biasanya saat Rafiandra Siregar kembali berdiri di depan rak tanamannya. Kali ini, tak hanya pot-pot kecil yang tersusun rapi, tapi juga beberapa tanaman eksperimental dari koperasi Purbalingga yang sedang ia uji coba. Di tangannya, ada dokumen penting: Akta resmi kerja sama kemitraan regional dengan koperasi petani Purbalingga. Stempel pemerintah daerah dan tanda tangan legal sudah lengkap. Nama Rafi bukan lagi sekadar nama di desa—sekarang, itu nama yang mulai diperbincangkan di kalangan pertanian muda nasional. Raline berdiri di sampingnya, menggenggam laporan media online yang memuat artikel: “Rafiandra Siregar: Anak Desa Srigading Bangun Ekosistem Pertanian Inovatif dari Limbah Rumah Tangga.” “Lo sadar nggak, Fi?” kata Raline pelan. “Sekarang lo udah bukan anak yang diremehin lagi.” Rafi tersenyum tipis. “Gue gak nyari pengakuan. Ta

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 20 – Ekspansi dan Bayangan Lama

    Pagi di Srigading berjalan seperti biasa, tapi hati Rafi terasa lebih berat dari biasanya. Setelah semalam berdiskusi dengan Paman Damar dan Simbo, ia tahu, ekspansi ini bukan sekadar peluang. Ini ujian. Ia duduk di beranda dengan laptop terbuka, membuka ulang proposal dari koperasi petani di Purbalingga. Tawaran mereka jelas: duplikasi sistem kemitraan Rafi dengan komitmen lahan lebih luas dan kemungkinan masuk ke pasar ekspor dalam dua tahun ke depan. Tapi Rafi belajar satu hal penting sejak pengkhianatan Pak Sabar: jangan buru-buru percaya. --- Raline datang dengan dua gelas susu hangat. “Gue lihat lo dari tadi ngetik doang, Fi. Gak sarapan?” Rafi tersenyum. “Lagi mikir. Kalau sistem kita diadopsi ke luar kota, berarti lo juga harus siap lebih sibuk.” “Gue udah siap. Tapi lo yakin mau ambil ini?” Rafi menatap layar sejenak, lalu m

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 19 – Di Antara Kepercayaan dan Pengkhianata

    Hari-hari awal pelaksanaan pilot project berjalan cepat. Lahan di Srigading berubah drastis. Beberapa petani yang awalnya ragu, kini bergabung setelah melihat hasil dan pemasukan rekan-rekan mereka. Rafi mengatur semuanya: dari distribusi bibit, pencatatan hasil panen, sampai pelaporan ke kantor pusat mitra di Jakarta. Setiap pagi, ia melakukan inspeksi ke lahan. Raline mengatur pemasaran dan sosial media. Mereka jadi tim yang tak terpisahkan. “Gue nggak nyangka ini bisa jalan secepat ini,” ujar Raline saat mereka meninjau lahan sambil membawa clipboard. “Gue juga enggak,” Rafi terkekeh. “Tapi kita nggak boleh terlena. Ini baru separuh jalan.” --- Namun, badai pertama datang tak lama kemudian. Suatu pagi, Paman Damar datang tergesa membawa sebuah dokumen. “Rafi, kamu harus lihat ini. Salah satu petani kita jual hasil panennya ke pihak luar dengan harga di bawah pasar.” Rafi membaca laporan itu dengan rahang mengeras. Nama petani itu tak asing: Pak Sabar, salah satu yang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status