Share

ASAL USUL

“Ih, hidungnya mirip Zahra, bibirnya juga,” ucap salah seorang tetangga yang kini tengah berkunjung ke rumah Pak Sarip.

“Tapi wajahnya enggak mirip banget sama Zahra, mirip siapa, ya?” timpal yang lain.

“Ya mirip Bapaknya lah, orang namanya bikin anak ya berdua. Lahirnya kalo enggak mirip Ibunya ya mirip Bapaknya. Iya enggak, Ra?” jawab Bu Seli yang juga ikut datang.

Zahra hanya terdiam tak menanggapi omongan para tetangganya. Baginya percuma saja menjawab, toh ia tahu mereka datang untuk mencibirnya.

Rumah Pak Sarip yang semula sepi karena selalu ditinggal bekerja di sawah kini menjadi ramai. Para sanak saudara dan tetangga berbondong-bondong datang untuk menengok bayi yang dibawa pulang Zahra. Banyak yang mencibir namun ada juga yang merasa kasihan dengan nasib Zahra.

Zahra dan Bu Sumi pun tak bisa membendung niat para tetangganya. Keduanya tetap mempersilakan masuk sembari terus menguatkan hati untuk mendengarkan suara yang keluar dari mulut mereka.

“Bubar-bubar! Ini bukan muyen. Bayi itu bukan cucuku!” Pak Sarip yang baru pulang dari sawah langsung berteriak sembari mengibaskan cangkul yang dibawanya ke udara.

Sontak hal itu membuat beberapa orang yang tengah mengobrol langsung berlari pergi.

“Sabar, Pak! Eling! Takut ada setan lewat.” Bu Sumi segera berlari menghampiri suaminya dan segera mengambil alih cangkul yang dipegangnya.

“Dia setannya! Dan bayi itu anak setan!”

“Nyebut, Pak! Nyebut!”

Zahra hanya bisa mematung melihat kemarahan Bapaknya. Tak terasa air matanya menitik melihat lelaki yang dulu selalu berkata lembut padanya kini berubah memusuhinya.

Sebagai seorang pekerja serabutan yang hidupnya sebagian besar dihabiskan untuk bekerja membuat Pak Sarip tak terlalu sering berbicara dengan anak-anaknya. Baginya mencukupi semua kebutuhan adalah caranya menunjukkan rasa kasih sayang pada keluarganya.

“Oeeekkk ...”

Suara bayi tiba-tiba terdengar, nampaknya ia tahu jika kehadirannya tak diterima baik oleh sang pemilik rumah.

“Diamkan bayi itu! Bikin pusing saja!” teriak Pak Sarip sebelum berjalan keluar.

Zahra menarik nafas panjang, ia mengambil kain jarik di lemari, menggendong bayinya lalu berjalan ke teras rumah. Hawa yang panas serta suara keras yang baru saja terdengar pasti membuatnya tak nyaman.

“Kamu lihat sendiri kan, Nak? Bapakmu pasti akan marah terus setiap melihat atau mendengar tangis bayi itu,” ujar Bu Sumi.

Zahra hanya bergeming, ia terus mengipasi Amora dengan kertas bekas agar bayi itu sedikit tenang.

“Ibu enggak tahu sampai kapan bisa menahan kemarahan Bapakmu jika bayi itu terus berada di sini.”

“Apa aku harus pergi sekarang, Bu?”

“Kami hanya ingin kamu jujur, Nak. Hanya itu saja.” Bu Sumi mengelus lembut kepala Zahra.

Terlepas dari siapa Ayah bayi itu, jika memang itu anak kandung Zahra, tentu ia akan menerimanya dengan senang hati.

“Duduk, Bu, aku akan cerita semua. Tapi aku mohon setelah Ibu tahu asal-usul bayi ini, Ibu akan ikut membantuku.”

Seketika tubuh Bu Sumi menegang dan jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Bayangannya Zahra menjalani hubungan dengan lelaki, hamil lalu melahirkan seorang diri karena lelaki itu kabur tiba-tiba muncul begitu saja di kepalanya. Meski begitu ia mencoba tenang dan siap mendengarkan cerita anak bungsunya itu.

“Bayi ini bukan anakku, Bu. Aku hanya sedang menyelamatkannya. Sudah berulang kali bayi ini akan di bunuh dan aku selalu berhasil menggagalkannya. Dua hari bayi ini akan dijual dan aku enggak tega terus membawanya pulang.”

Ada kelegaan di hati Bu Sumi saat bayi itu bukan anak kandung Zahra, namun ia juga tak membenarkan tindakan gadis itu yang sok menjadi pahlawan sehingga membuat hidupnya susah.

“Kenapa kamu mau ikut campur urusan orang lain, Nak? Lihat, sekarang kamu jadi dihujat gara-gara bayi ini.”

“Ini bukan bayi orang lain, Bu,” lirih Zahra.

“Lalu?”

“Bayi ini anak Mbak Andin, Bu.”

“Apa?” pekik Bu Sumi sembari membelalakkan mata. Sesaat ia terdiam mencoba mencerna kata yang baru saja keluar dari mulut Zahra.

“Kamu bohong kan, Nak?” tanya Bu Sumi kemudian.

“Aku tahu Ibu pasti enggak percaya, tapi ini adalah salah satu alasan mengapa lebaran kemarin Mbak Andin enggak pulang, dia sedang hamil besar, Bu.”

Pandangan Bu Sumi beralih pada bayi dipangkuan Zahra. Jika dilihat sekilas bayi itu memang sangat mirip dengan Zahra, namun ia lupa jika Zahra dan Andin juga memiliki gurat wajah yang hampir sama sehingga tak menutup kemungkinan jika bayi itu memang anak Andin.

“Tapi siapa yang telah menghamili Mbakmu?”

“Namanya David, Bu. Tapi sayangnya lelaki yang tadinya telah menyanggupi untuk menikahi Mbak Andin, pergi begitu saja entah kemana.”

“Apa cerita itu benar, Nak? Bayi ini anak Andin?”

“Iya, Bu.”

“Bohong! Anak ini pasti Cuma ngarang cerita, Bu!” sahut Pak Sarip yang tiba-tiba keluar dari dalam rumah.

Zahra dan Bu Sumi menoleh bersamaan.

"Jangan coba-coba mengarang cerita, ya! Bapak tahu Mbak mu bukan perempuan bejat kayak kamu. Dia sudah bisa meringankan beban keluarga, membatu menyekolahkan kamu dan sekarang kamu tuduh dia yang melahirkan anak ini? Dasar anak tak tahu diuntung!" Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Zahra.

"Jangan seperti ini, Pak!" Bu Sumi berusaha menahan suaminya.

"Aku tau Bapak tak akan percaya, itulah mengapa aku memilih diam sejak datang. Tapi paling tidak aku sudah berusaha menjelaskan. Bayi ini adalah anak Mbak Andin dan aku sedang berusaha menyelamatkannya."

"Bohong! Jangan percaya, Pak, Bu. Dia bukan anakku! Zahra adalah Ibu bayi itu."

Zahra, Pak Sarip dan Bu Sumi menoleh bersamaan. Ketiganya memandang tajam pada sosok wanita berjaket hitam yang berdiri di belakang mereka. Entah sejak kapan wanita yang sedang dibicarakan hadir ditengah-tengah mereka.

"Mbak Andin?"

"Andini?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status