"Mamaaa!" Atha terus memanggil ibunya. Dia menepis pegangan tangan polisi. “Biarkan saya ngomong sama Mama, Pak. Sebentar saja. Saya mohon,” izinnya dengan menangkupkan kedua tangan.
“Ya sudah sana jangan lama-lama!” Polisi berbadan tinggi itu mengizinkan.
Atha mengangguk senang. Anak itu berlari dan langsung menghambur mendekap Hani.
Hani yang tidak siap ditubruk sedikit oleng karenanya. Beruntung Panji menahan. Sehingga wanita itu tidak terjatuh.
Untuk mengambil hati Hani, Atha bersujud dan mencium kaki wanita itu.
“Tolong maafkan aku, Ma,” ucap Atha dengan air mata buaya. Persis Hani jika sedang bersandiwara. Anak itu berdiri. Dia mengambil dompetnya. Anak itu menggenggamkannya pada Hani. “Ini uang sama ATM Mama aku balikin.&rdq
SepanjangperjalananPanji hanya membisu. Dia tidak menghiraukan semua perkataan yang Hani lontarkan. Hati kecilnya terus berteriak kalau dia tidak setuju jika harus menjual mobil Avanza-nya. Apalagi Pajero dalam status gadai.Pria itu memilih diam. Karena apa pun alasannya dirinya selalu kalah jika berdebat dengan Hani. Hingga akhirnya mereka sudah sampai di rumah.Saat membuka pagar gerbang, Panji melihat ada mobil Tantri di halaman rumahnya. Hatinya merasa bungah. Karena ada yang akan membelanya. Panji juga tahu Tantri sering menang jika berdebat dengan Hani.Dengan setia dia membimbing Hani turun. Langkah Hani memang sudah membaik. Namun, wanita itu masih terlampau manja untuk berjalan sendiri.“Mbak.” Panji menyapa kakaknya yang sedang duduk.
"Sekarang Pak Panji tiduran dulu,” suruh Pak Ustad sembari mempersilakan, “dan mohon cincin kawin Pak Panji dilepas juga," imbuhnya saat Panji hendak merebahkan tubuh.Panji menurut. Lelaki itu mencopot cincin kawinnya. Dia memberikan benda tersebut pada sang kakak besertaponselnya.Tantri menerima benda berbahan emas putih serta layar tipis tersebut. Perempuan itu menyimpannya pada tas yang ia bawa. Selanjutnya ia menyaksikan apa yang akan dilakukan Pak Ustad pada adiknya.Panji sendiri mulai merebahkan tubuhnya pada karpet berwarna merah tersebut. Dia perlahan menutup mata. Jujur dirinya merasa cukup tegang.Pak Ustad beringsut. Dia duduk di depan kepala Panji. Dirinya tersenyum melihat kegugupan pada tampang pasiennya.“Pak Panji rileks saj
"Sudah jangan terlalu dipikirkan." Tantri menenangkan sang adik, "ayok temui Pak Ustad. Bilang terima kasih sama beliau," suruh Tantri ngemong.Sewaktu Panji mandi Pak Ustad keluar dari mesjid bersama sang istri. Mereka masuk ke rumahnya. Tinggallah Tantri dengan beberapa karyawannya. Wanita itu sempat diajak masuk sama istri Pak Ustad. Namun, Tantri menolak dengan alasan menunggu Panji.“Ayok, Mbak!” Panji mengiyakan dengan anggukan.Keduanya beranjak meninggalkan mesjid. Namun, saat Panji tengah memakai kembali sepatunya ponsel pria itu terdengar berdering kembali.Panji mengecek layar gadgetnya. Dia mendengkus malas. Pria itu hanya diam membiarkan ponsel itu berbunyi tanpa bermaksud untuk mengangkatnya.Tantri menghampiri adiknya. “Kok gak diangkat? Ha
Panji masuk ke kamar. Terlihat Zea sang putri masih tertidur. Mulutnya tengah mengisap dot susu. Pria itu mengelus pelan rambut anak itu.Tiba-tiba mata Panji tertuju pada buffet dalam kamar. Dia teringat jika semua dokumen pentingnya ia taruh sembarangan di salah satu lacinya.Panji bergerak mendekati furniture bergaya minimalis tersebut. Dia sedikit jongkok untuk membuka laci buffet paling bawah. Tampak satu bendel map.Tangan Panji meraih map berwarna hijau tersebut. Terlihat beberapa surat penting seperti sertifikat tanah rumah, toko onderdil, bengkel hingga BPKB Avanza. Semuanya masih lengkap. Hanya kurang BPKB Pajero yang tengah ia gadai pada Banyu.“Aku harus nyembunyiin ini semua. Kalo enggak Hani bisa sembarang gunain surat-surat ini,” tekad Panji yakin.
Panji mengajak Zea memutari jalan kompleks. Sudah lama pria itu tidak melakukan hal sesantai ini. Semenjak menikah dengan Hani, kehidupannya terasa amat sibuk. Setiap hari yang dikejar adalah uang.Sementara dulu saat masih menikah dengan Layla, kehidupannya lumayan adem dan harmonis. Setiap pagi atau sore Panji akan mengajak kedua putranya untuk lari pagi memutari kompleks. Lalu berhenti di taman kompleks untuk beristirahat.Sekarang sudah hampir enam tahun kegiatan tersebut tidak lagi dilakukan oleh Panji. Apalagi kini kedua putranya juga sudah tidak lagi tinggal bersama. Sementara dengan Atha, anak itu hanya mau bicara dengan Panji kalau lagi butuh uang saja.“Eh ... Pak Panji. Baru kelihatan lagi nih. Ke mana aja selama ini gak pernah muncul?” Salah seorang tetangga Panji menyapa pria itu.
"Apa gak ada permintaan lain selain Ijah, Yang?” tanya Banyu terdengar keberatan, “masalahnya saat ini Ijah kan masih berstatus sebagai ART-nya Panji. Coba deh ganti minta yang lain. Eum ... bagaimana kalo kita pergi berlibur mau?” Banyu mencoba memberikan penawaran.Layla menggeleng lemah. “Aku gak ingin apa-apa saat ini. Aku cuma pengen dipijat sama Ijah dan makan empal buatannya,” tuturnya dengan wajah sendu.Banyu meniup rambut yang menutupi sebagian dahinya. “Masa iya ngidam Ijah. Ibu hamil lain mah ngidamnya makanan apa atau benda apa gitu,” keluhnya tidak habis pikir.“Aku juga ngidam makanan kok ... makanan buatannya Ijah,” sahut Layla membela diri.“Tapi kalo Bik Ijah disuruh kerja di sini kasihan Zea, Bun.” Kenzi angkat bicara, &ldquo
"Mamaaa!”Teriakan Zea yang melengking membuat Hani terlonjak. Wanita itu langsung menderap langkah meraih pintu. Sayang kakinya yang terkilir kemarin membuat gerakannya lambat.“Aaa!”Hati Hani makin ciut mendengar sang putri terus menjerit. Dia memaksakan kakinya menganyun cepat. Begitu tiba di dapur, Hani dibuat melongo menyaksikan keadaan yang ada.Api pada kompor menyala dengan besar. Berkobar hebat sehingga menghanguskan penggorengan yang sudah dalam posisi miring. Minyak tampak mengalir dari wajan tersebut.Sementara nyali api sudah membumbung tinggi. Bahkan telah menjilat kabinet dapur atas. Di lantai, Zea tampak duduk dengan tangan dan lengan yang memerah. Beberapa butir nugget berserakan bersama sodet.
Semalam hujan membungkus kota. Menyisakan hawa dingin yang menusuk tulang. Rasanya begitu nikmat jika harus bergelung di bawah selimut.Namun, adzan subuh sudah berkumandang. Panji yang tengah memeluk guling terpaksa membuka mata. Dulu dia akan menarik selimut dan menutup telinga begitu mendengar panggilan sholat tersebut. Sekarang tidak lagi.Panji menggeliat sebentar. Dia mengerang kecil untuk menghalau rasa malas. Pria itu terduduk beberapa saat guna mengumpulkan segenap nyawanya dulu.Manik Panji menoleh ranjang di sebelahnya. Tempat tidur yang dulu biasa dipakai Azriel, sekarang sedang ditempati oleh Zea. Gadis cilik itu tidur terlentang.Walau pun hawa terasa dingin, dari semalam Zea tidak mau diberi selimut. Anak itu takut jika kain tebal tersebut mengenai luka bakar di tangan ataupun kakinya. Pa