"Kamu sudah gila?!" Ibu melotot tajam.
Aku berdecih. "Bukan aku yang gila, tapi Ibu!"
Kami saling beradu pandang dengan mata menyalak tajam. Aku sungguh ingin menjambak rambut keriting miliknya, lalu membenturkan kepala itu ke tembok sampai pecah. Atau haruskah aku mengambil kunci Inggris agar ada perpaduan musik dengan tengkorak kepalanya? Haha, lucu sekali bahkan aku jadi ingin mendengar perempuan tua ini mengerang kesakitan.
Bibir ibu mertua terangkat ke atas, lalu berjalan mengitariku. Ujung rambut ini dipegangnya dengan lembut, lalu ditarik keras. Sakit sekali, tetapi berusaha aku tahan. Amarah yang kian membuncah membuat tangan kananku mendorong ibu ke belakang.
"Kenapa, Tyas?"
"Aku akan membunuhmu detik ini juga!" geramku, lalu melangkah mendekat.
"Coba saja!" tantangnya dengan seulas senyum.
Namun, ketika jarak kami semakin terkikis, dia langsung duduk di lantai dan bersimpuh memohon agar aku memaafkannya. Air mata itu mengalir deras, bahkan aku sendiri bingung karena ibu memegang kakiku.
"Tyas?!" bentak Mas Zaki. Walau membelakangi pintu, aku bisa tahu suara itu miliknya.
Berarti air mata yang ibu keluarkan itu palsu. Dia kembali bersandiwara di depan Mas Zaki, tentu saja agar suamiku membujuk untuk memenuhi keinginan ibunya. Ah, aku mendesah dalam keputusasaan.
Jika Mas Zaki tahu ibu mau menjadikanku wanita simpanan, tentu saja dia menolak dengan tegas bahkan pergi dari rumah ini. Satu yang membuatku tidak bisa leluasa melangkah, yakni ancaman ibu. Bagiku itu bukan sekadar ancaman karena siapa pun bisa melakukan hal keji demi uang.
"Zaki, tolong ibu, Nak! Tyas mau membunuh ibu karena membujuknya jadi ART Tuan Edbert!" pekik ibu dengan meraung, lalu berlari menghampiri Mas Zaki yang masih terpaku di ambang pintu.
"Apa ini, Tyas? Selama ini kamu selalu baik pada ibu, kenapa sekarang malah mau membunuhnya hanya karena memintamu bekerja? Kalau kamu tidak mau, bilang saja."
Aku tahu Mas Zaki tersulut emosi karena sandiwara ibunya. Entah kenapa aku sangat takut memberitahu kebenaran ini apalagi di depan ibu dan sama sekali tidak ada bukti. Aku mendekat, lalu akhirnya meminta maaf dengan terpaksa pada mereka berdua. Bukan karena kalah, tetapi berusaha berdamai dengan keadaan.
Tangisan Lia menggema, aku gegas melangkah ke kamar. Rupanya dia sudah bangun. Putri kami yang cantik, sayang sekali kalau orangtuanya harus berpisah karena tidak ada kepercayaan lagi. Ujian kali ini berat sekali.
"Mama, Lia takut!" adunya masih menitikkan air mata. Aku memeluk untuk menenangkan.
"Takut kenapa, Sayang?"
"Tadi mimpi tinggal sendiri di rumah gelap." Tangis Lia kembali menggema membuat Mas Zaki menyusul kami ke kamar.
Dia terlihat lelah mendorong kursi roda sendiri, tetapi mau bagaimana lagi? Benar kata ibu, untuk berjalan pun Mas Zaki tidak bisa apalagi untuk bekerja kecuali dia berdiri di lampu merah dengan kardus besar di depannya. No, itu tidak akan pernah terjadi! Kami masih punya harga diri.
"Ibu sudah cerita semuanya, Tyas. Menurut mas, kamu terima saja pekerjaan itu. Mas akan berusaha untuk sembuh supaya bisa kembali menafkahimu juga Lia seperti dulu." Suara Mas Zaki serak, ada linangan air mata yang ditahannya.
Lia yang sudah berhenti menangis aku minta main saja di samping ranjang. Dia menurut, lalu aku memutar badan menghadap Mas Zaki biar lebih nyaman. Tangan kekar yang dulunya sibuk dengan komputer itu aku genggam.
Sekarang pikiran dan hati memberontak karena tidak sejalan. Akan banyak air mata yang tumpah jika aku menolak tawaran itu, tetapi jika menerima mungkin keadaan akan lebih buruk lagi. Saat ini aku harus bisa memilih walau sebenarnya tidak ingin.
Mas Zaki melipat bibir sekilas, lalu kembali bersuara. "Maafkan mas yang memaksamu menjadi tulang punggung keluarga."
"Tidak, mungkin memang seharusnya kita bertukar posisi, Mas. Jika hatiku mantap dan mau menerima tawaran dari ibu, tolong jaga anak kita baik-baik. Didik dia dan selalu doakan agar kelak menikah nanti mendapatkan suami dan mertua yang baik." Aku menyeka air mata.
"Maksud kamu apa, Dek?"
Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan Mas Zaki. Kasihan sekali suamiku ini harus merelakan istrinya menjadi wanita simpanan padahal sepengetahuannya hanya ART. Tangan kekar itu aku cium sangat lama. Perih merebak begitu cepat.
***
Sore hari tepatnya pukul 17.25, Mas Bayu dan istrinya pulang dari kantor. Ya, mereka berdua sama-sama bekerja. Penampilan Mbak Utami seperti artis, dia tidak pernah memakai barang murah. Tinggi semampai dengan kulit putih bersih kadang membuatku sedikit iri.
Aku yang sedang menyapu ditegur kasar. "Nyapu pakai mata! Lihat sepatuku kena debu, kamu tahu harganya berapa?!"
"Maaf, Mbak. Aku gak sengaja."
"Maaf, maaf. Bahkan kalau saja kamu jual suamimu, gak akan mampu membeli sepatuku!" Matanya melotot.
Andai tidak menumpang dan memiliki pekerjaan yang bisa menjamin hidup kami sehari-hari, sudah lama aku meminta Mas Zaki agar mau pergi dari sini. Hidup di kontrakan sempit dan makan seadanya itu lebih baik daripada di rumah megah, tetapi makan hati setiap hari.
"Utami, kamu sudah pulang? Sini sebentar, ibu mau bicara!"
Tanpa basa-basi lagi, Mbak Utami langsung mengikuti ibu. Entah kenapa perempuan licik itu tidak membangkang pada ibu padahal dia juga memiliki segalanya. Apakah ada sesuatu yang diincar di rumah ini?
Ah, daripada terus memikirkan mereka berdua yang bagai ular berbisa, aku menyimpan sapu di tempat semula dan melangkah cepat ke dapur. Kalau bukan aku yang memasak, di rumah ini tidak akan tersedia makanan. Tidak usah disembunyikan lagi, tetangga saja tahu kalau kehadiranku hanya dianggap pembantu gratis di sini.
"Tyas!" panggil Mbak Utami ketika aku sedang menumis ikan. "Kamu benar gak mau kerja di rumah Tuan Edbert? Mau enak-enakan di sini ditanggung aku sama Mas Bayu? Iya?"
"Bukan begitu, Mbak. Cuma aku mau pekerjaan lain atau paling tidak jangan di rumah Tuan Edbert."
Mbak Utami mengambil centong nasi, kemudian melempar ke wajahku. Matanya merah dengan kedua tangan yang terkepal kuat. Mulutnya terus mengeluarkan kata hinaan. Sayang sekali, tidak semua perempuan yang berwajah cantik itu baik.
Aku ingin marah, tetapi masih tidak berdaya. Air mata berusaha aku tahan. Ini bukan kali pertamanya aku diomeli secara blak-blakan bahkan pernah di depan suaminya sendiri dan tidak ada pembelaan karena mereka sama saja. Jodoh memang cerminan diri.
"Tyas," ucap Mbak Utami. Dia melangkah mendekat sehingga bibirnya sangat dekat dengan telingaku. "Tidak apa-apa menjadi wanita simpanan Tuan Edbert, suami cacatmu tidak akan tahu apalagi tetangga kita. Kamu akan kaya, tidak mau?"
"Stres kamu, Mbak!" makiku tidak tahan lagi.
"Dasar perempuan hina! Kamu itu SMP aja gak tamat malah sok-sokan menolak pekerjaan. Yang penting itu ada duit, penampilan jadi bagus, makan pun enak. Tidak peduli dengan cara halal atau haram.""Kalau prinsipnya gitu, kenapa bukan Mbak saja yang jadi wanita simpanan Tuan Edbert?""Tyas! Berani kamu mengatakan itu sekali lagi, kupastikan nyawa suami dan anakmu melayang hari ini juga!" Mas Bayu tiba-tiba ada di antara kami.Aku membuang pandangan sambil berdecih. Mereka seenak jidat mengeluarkan kata-kata juga ancaman karena kami miskin padahal dulu Mas Bayu tidak punya malu meminjam uang pada suamiku dan nekat tidak mau mengembalikan dengan dalih keluarga harus saling membantu.Sekarang? Mereka memang memberi kami tumpangan juga makan gratis, tetapi aku juga bekerja keras di sini. Semua pekerjaan rumah selesai oleh dua tanganku padahal harus mengurus Lia dan Mas Zaki juga. Tawaran itu bukan untuk membantu, tetapi menjerumuskan."Gimana?" Mas
Pukul delapan pagi ibu menggedor pintu kamar. Aku sedih karena sampai sekarang hati merasa berat untuk menerima tawaran jahannam itu. Selain berharap ada keajaiban, aku tidak bisa berbuat apa-apa.Rencana sudah aku susun subuh tadi. Aku yakin jika tidak ada orang luar yang campur tangan, semua akan berjalan baik. Ah, sial sekali karena ketukan di pintu belum juga berhenti. Mas Zaki yang sejak tadi memangku Lia memintaku ke luar saja."Ada apa Bu?" tanyaku berusaha tenang.Ibu gegas menyeretku ketika melihat Mas Zaki yang menatap kami. Pasti dia masih berusaha menyembunyikan kebenaran. Kalau saja bukan karena ancaman dari mereka, aku tidak akan mau diperlakukan seperti ini. Namun, lihat saja nanti siapa yang akan tertawa menang."Bagaimana? Kamu setuju dengan tawaran ibu, 'kan?""Tentu saja, Bu. Kenapa aku menolak jika bayarannya banyak. Tuan Edbert orang kaya, tentu saja untuk uang seratus juta itu kecil baginya." Aku menjawab enteng."Apa m
"Aku pergi, Mas. Kamu jangan melakukan pekerjaan berat di kondisi seperti itu," gumamku."Iya, Dek. Mas akan jaga diri untukmu." Mas Zaki tersenyum. Namun, aku bisa merasakan kalau ada luka di baliknya."Aku akan mengurus adik ipar, Tyas. Jadi, kamu tidak usah pusing dan fokuslah bekerja." Mbak Utami mendekat ke arah Mas Zaki. "Zaki itu masih anaknya ibu, kami keluarga dan tidak mungkin membiarkannya kesulitan."Ibu dan Mas Bayu mengangguk setuju. Aku tersenyum menatap mereka, juga kepada Lia. Sekalipun hati tahu betul mereka bersandiwara demi uang, tetap saja aku harus tenang dan dabar. Pintu mobil sudah terbuka, aku masuk beriring air mata yang segera diseka."Mama jangan lama!" pinta Lia dengan senyum polosnya. Anak berusia dua tahun bagaimana mungkin secepat itu mengerti. Huh, entahlah.Dada seperti dihantam batu besar. Aku kesulitan bernapas bahkan untuk membuka mata pun perih sekali. Seandainya waktu bisa berhenti, aku ingin merasakannya. Tangisan Lia yang mulai terdengar membua
"I-iya, Tuan," jawabku lirih dengan kepala yang semakin menunduk. Derap langkah Tuan Edbert semakin dekat, aku meremas jari ketakutan. Entah bagaimana tampangnya, jika wajah dipenuhi jenggut aku bisa saja melompat ketakutan. "Katakan dengan keras, aku bahkan tidak suka pada perempuan yang berbicara tanpa melihat mataku. Angkat wajahmu!" Suara berat itu menembus masuk ke ulu hati menyisakan luka hingga aku hampir menitikkan air mata. Perlahan aku mengangkat wajah menatapnya. Hati berdesir begitu melihat wajah yang terpahat sempurna. Hidung yang menjulang, bibir tipis berhias kumis tipis bahkan sedikit berwarna merah muda. Kulitnya putih tanpa jenggut. Rambutnya kecoklatan bahkan mungkin bisa dibilang serupa pangeran. Tuan Edbert terkesan masih sangat muda, aku tidak bisa menebak umur jika melihat wajahnya. Apakah mungkin kukatakan sembilan belas tahun? Tubuh yang tinggi dengan suara berat tidak cocok dengan wajahnya yang hampir dikata baby face. "Iya, Tuan. A-aku adalah Tyas,"
Tentu saja. Aku bahkan bisa melenyapkan keluargamu kalau benar menipuku." Tuan Edbert tersenyum sinis, kemudian kembali berdiri mendekat padaku.Tangan kananku diraihnya, menuntun ke sofa dekat jendela. Kami duduk berhadapan dengan jarak yang sangat dekat. Tangan kekar Tuan Edbert menyibak rambutku, lalu mengelus leher ini sangat lembut."Kita harus terbiasa seperti ini agar kamu tidak malu jika sudah menjadi istriku. Setelah menikah, jangan memanggilku Tuan Edbert lagi. Aku ingin panggilan yang lebih romantis," bisik Tuan Edbert, lalu memberi gigitan kecil di telingaku.Jujur, ini sangat menggelikan. Seorang istri yang telah berkhianat pada suaminya yang lumpuh. Air mata jatuh membasahi pipi. Aku tidak bisa menerima perlakuan lelaki kaya di depanku hanya saja ... entahlah.Tuan Edbert memegang daguku, sehingga wajah kami saling berhadapan. Untuk sesaat aku sadar kalau dia mendekat hendak mencium bibir ini, beruntung aku lekas memalingkan wajah. Sekalipun nanti harus melakukan hal yan
"Aku tidak bisa melihat rona bahagia di wajah Nona ketika bertemu Tuan Edbert. Apa terjadi sesuatu, Nona?" Maria menatapku lekat."Maria, aku mau pipis. Kamar mandinya di mana?" Aku sengaja menghentak-hentakkan kaki di lantai berulang kali agar pelayan itu percaya. Tangannya kemudian menunjuk dengan sopan.Parah, bahkan pintu kamar mandi lebih indah daripada pintu rumahku. Dalam kamar mandi ini tersedia bathtub tanam berwarna putih, juga terdapat tabung kaca lengkap dengan shower dan spa uapnya. Ada dudukan melingkar dari marmer di tengahnya.Kamar mandi yang berlapis marmer motif kaca pada dinding dan lantainya juga semakin mewah dengan hadirnya meja rias yang penuh dengan kosmetik. Ini mungkin terkesan sangat mewah. Aroma yang harum menusuk rongga hidung sehingga mandi pun akan terasa nyaman.Entah bagaimana mewahnya kamar pribadi Tuan Edbert.Setelah mencuci wajah dengan air yang sangat segar, aku kembali ke luar. Maria ternyata masih berdiri di luar. Dia kembali mengambangkan seny
Pertahananku luluh ketika melihat Mas Zaki dengan wajah penuh kerinduan duduk kursi roda yang selalu menemaninya. Dia ada di beranda pintu kamar, seperti habis mandi.Aku langsung menghambur dalam pelukannya. Dinding pemisah yang mereka ciptakan seperti rubuh berkeping-keping.Air mata semakin mengalir deras ketika bayangan Tuan Edbert melintas dalam pikiran. Pengkhianatan itu benar-benar terjadi."Mas kangen sama kamu, Tyas. Mas bahkan berpikir tidak akan melihatmu lagi. Ini kok bisa balik lagi?" Senyum itu merekah sempurna."Aku diberi waktu sepekan, Mas untuk belajar bagaimana bekerja dengan baik. Di rumah Tuan Edbert juga diminta menjaga penampilan sekalipun hanya pelayan."Aku menunduk ketika menjawab takut Mas Zaki melihat kebohongan di mata istrinya.Sayang sekali karena tangan Mas Zaki memegang daguku dan mengangkat wajah ini hingga kami beradu pandang. Kedua alisnya bertaut sempurna. "Tapi di sana kamu nyaman, 'kan?""Iya, Mas. Aku sudah punya teman, namanya Maria. Dia salah
"Uang apa, Bu? Tyas gak ngirim kecuali buat bayar semua utangnya. Dia kan ngutang sama aku juga waktu Zaki kecelakaan itu!" cebik Mbak Utami kesal. Ibu menatap tidak percaya, baru saja aku ingin melangkah ke kamar tiba-tiba tangan ini dicekal kuat oleh mertua. Aku menoleh. "Ada apa, Bu?" "Zaki mana?" "Baru aja mandi tadi, kenapa?" "Lupakan masalah uang, ibu yakin kamu akan memberi jatah padaku nanti. Sekarang jawab dengan jujur, kamu tidak sedang kabur, kan?"Aku menggeleng. "Tidak. Aku tidak kabur, semua demi Mas Zaki dan Lia bukan kalian. Mereka berdua saja yang menganggap aku penting sementara kalian semuanya mata duitan dan Tuan Edbert tahu itu!" Satu tamparan berhasil lolos menyentuh pipiku. Hangat juga perih, tetapi lebih menyakitkan lagi jika kebenaran telah terungkap. Telunjuk ibu mengarah padaku. "Kamu itu menantu durhaka, Tyas! Awas saja kalau ngadu sama Zaki, nyawa kalian akan terancam. Ibu bisa saja melawan suami cacatmu itu, tetapi ada satu alasan sampai membiarkan