Share

Bab 2

Penulis: Bintu Hasan
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-14 12:00:58

"Kamu sudah gila?!" Ibu melotot tajam.

Aku berdecih. "Bukan aku yang gila, tapi Ibu!"

Kami saling beradu pandang dengan mata menyalak tajam. Aku sungguh ingin menjambak rambut keriting miliknya, lalu membenturkan kepala itu ke tembok sampai pecah. Atau haruskah aku mengambil kunci Inggris agar ada perpaduan musik dengan tengkorak kepalanya? Haha, lucu sekali bahkan aku jadi ingin mendengar perempuan tua ini mengerang kesakitan.

Bibir ibu mertua terangkat ke atas, lalu berjalan mengitariku. Ujung rambut ini dipegangnya dengan lembut, lalu ditarik keras. Sakit sekali, tetapi berusaha aku tahan. Amarah yang kian membuncah membuat tangan kananku mendorong ibu ke belakang.

"Kenapa, Tyas?"

"Aku akan membunuhmu detik ini juga!" geramku, lalu melangkah mendekat.

"Coba saja!" tantangnya dengan seulas senyum.

Namun, ketika jarak kami semakin terkikis, dia langsung duduk di lantai dan bersimpuh memohon agar aku memaafkannya. Air mata itu mengalir deras, bahkan aku sendiri bingung karena ibu memegang kakiku.

"Tyas?!" bentak Mas Zaki. Walau membelakangi pintu, aku bisa tahu suara itu miliknya.

Berarti air mata yang ibu keluarkan itu palsu. Dia kembali bersandiwara di depan Mas Zaki, tentu saja agar suamiku membujuk untuk memenuhi keinginan ibunya. Ah, aku mendesah dalam keputusasaan.

Jika Mas Zaki tahu ibu mau menjadikanku wanita simpanan, tentu saja dia menolak dengan tegas bahkan pergi dari rumah ini. Satu yang membuatku tidak bisa leluasa melangkah, yakni ancaman ibu. Bagiku itu bukan sekadar ancaman karena siapa pun bisa melakukan hal keji demi uang.

"Zaki, tolong ibu, Nak! Tyas mau membunuh ibu karena membujuknya jadi ART Tuan Edbert!" pekik ibu dengan meraung, lalu berlari menghampiri Mas Zaki yang masih terpaku di ambang pintu.

"Apa ini, Tyas? Selama ini kamu selalu baik pada ibu, kenapa sekarang malah mau membunuhnya hanya karena memintamu bekerja? Kalau kamu tidak mau, bilang saja."

Aku tahu Mas Zaki tersulut emosi karena sandiwara ibunya. Entah kenapa aku sangat takut memberitahu kebenaran ini apalagi di depan ibu dan sama sekali tidak ada bukti. Aku mendekat, lalu akhirnya meminta maaf dengan terpaksa pada mereka berdua. Bukan karena kalah, tetapi berusaha berdamai dengan keadaan.

Tangisan Lia menggema, aku gegas melangkah ke kamar. Rupanya dia sudah bangun. Putri kami yang cantik, sayang sekali kalau orangtuanya harus berpisah karena tidak ada kepercayaan lagi. Ujian kali ini berat sekali.

"Mama, Lia takut!" adunya masih menitikkan air mata. Aku memeluk untuk menenangkan.

"Takut kenapa, Sayang?"

"Tadi mimpi tinggal sendiri di rumah gelap." Tangis Lia kembali menggema membuat Mas Zaki menyusul kami ke kamar.

Dia terlihat lelah mendorong kursi roda sendiri, tetapi mau bagaimana lagi? Benar kata ibu, untuk berjalan pun Mas Zaki tidak bisa apalagi untuk bekerja kecuali dia berdiri di lampu merah dengan kardus besar di depannya. No, itu tidak akan pernah terjadi! Kami masih punya harga diri.

"Ibu sudah cerita semuanya, Tyas. Menurut mas, kamu terima saja pekerjaan itu. Mas akan berusaha untuk sembuh supaya bisa kembali menafkahimu juga Lia seperti dulu." Suara Mas Zaki serak, ada linangan air mata yang ditahannya.

Lia yang sudah berhenti menangis aku minta main saja di samping ranjang. Dia menurut, lalu aku memutar badan menghadap Mas Zaki biar lebih nyaman. Tangan kekar yang dulunya sibuk dengan komputer itu aku genggam.

Sekarang pikiran dan hati memberontak karena tidak sejalan. Akan banyak air mata yang tumpah jika aku menolak tawaran itu, tetapi jika menerima mungkin keadaan akan lebih buruk lagi. Saat ini aku harus bisa memilih walau sebenarnya tidak ingin.

Mas Zaki melipat bibir sekilas, lalu kembali bersuara. "Maafkan mas yang memaksamu menjadi tulang punggung keluarga."

"Tidak, mungkin memang seharusnya kita bertukar posisi, Mas. Jika hatiku mantap dan mau menerima tawaran dari ibu, tolong jaga anak kita baik-baik. Didik dia dan selalu doakan agar kelak menikah nanti mendapatkan suami dan mertua yang baik." Aku menyeka air mata.

"Maksud kamu apa, Dek?"

Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan Mas Zaki. Kasihan sekali suamiku ini harus merelakan istrinya menjadi wanita simpanan padahal sepengetahuannya hanya ART. Tangan kekar itu aku cium sangat lama. Perih merebak begitu cepat.

***

Sore hari tepatnya pukul 17.25, Mas Bayu dan istrinya pulang dari kantor. Ya, mereka berdua sama-sama bekerja. Penampilan Mbak Utami seperti artis, dia tidak pernah memakai barang murah. Tinggi semampai dengan kulit putih bersih kadang membuatku sedikit iri.

Aku yang sedang menyapu ditegur kasar. "Nyapu pakai mata! Lihat sepatuku kena debu, kamu tahu harganya berapa?!"

"Maaf, Mbak. Aku gak sengaja."

"Maaf, maaf. Bahkan kalau saja kamu jual suamimu, gak akan mampu membeli sepatuku!" Matanya melotot.

Andai tidak menumpang dan memiliki pekerjaan yang bisa menjamin hidup kami sehari-hari, sudah lama aku meminta Mas Zaki agar mau pergi dari sini. Hidup di kontrakan sempit dan makan seadanya itu lebih baik daripada di rumah megah, tetapi makan hati setiap hari.

"Utami, kamu sudah pulang? Sini sebentar, ibu mau bicara!"

Tanpa basa-basi lagi, Mbak Utami langsung mengikuti ibu. Entah kenapa perempuan licik itu tidak membangkang pada ibu padahal dia juga memiliki segalanya. Apakah ada sesuatu yang diincar di rumah ini?

Ah, daripada terus memikirkan mereka berdua yang bagai ular berbisa, aku menyimpan sapu di tempat semula dan melangkah cepat ke dapur. Kalau bukan aku yang memasak, di rumah ini tidak akan tersedia makanan. Tidak usah disembunyikan lagi, tetangga saja tahu kalau kehadiranku hanya dianggap pembantu gratis di sini.

"Tyas!" panggil Mbak Utami ketika aku sedang menumis ikan. "Kamu benar gak mau kerja di rumah Tuan Edbert? Mau enak-enakan di sini ditanggung aku sama Mas Bayu? Iya?"

"Bukan begitu, Mbak. Cuma aku mau pekerjaan lain atau paling tidak jangan di rumah Tuan Edbert."

Mbak Utami mengambil centong nasi, kemudian melempar ke wajahku. Matanya merah dengan kedua tangan yang terkepal kuat. Mulutnya terus mengeluarkan kata hinaan. Sayang sekali, tidak semua perempuan yang berwajah cantik itu baik.

Aku ingin marah, tetapi masih tidak berdaya. Air mata berusaha aku tahan. Ini bukan kali pertamanya aku diomeli secara blak-blakan bahkan pernah di depan suaminya sendiri dan tidak ada pembelaan karena mereka sama saja. Jodoh memang cerminan diri.

"Tyas," ucap Mbak Utami. Dia melangkah mendekat sehingga bibirnya sangat dekat dengan telingaku. "Tidak apa-apa menjadi wanita simpanan Tuan Edbert, suami cacatmu tidak akan tahu apalagi tetangga kita. Kamu akan kaya, tidak mau?"

"Stres kamu, Mbak!" makiku tidak tahan lagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 120

    Mas Bayu sudah dibawa oleh pihak berwajib kemarin sementara Tuan Edbert baru saja dimakamkan. Aku tidak tega melihat Nyonya Aluma terus menangis di atas gundukan tanah itu.Akan tetapi, lebih menyakitkan lagi melihat Maria yang tersenyum padahal matanya menampilkan binar luka. Aku tidak sanggup menyaksikan pemandangan ini."Aku harus kembali ke Detroit untuk memulai lembaran baru. Tenang saja, Islam sudah ada dalam hatiku, aku tidak akan melakukan hal yang dilarang dalam agama," tutur Maria.Mendengar itu aku langsung memeluknya penuh haru. Rasa rindu seketika menyeruak dalam dada padahal aku sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan Maria. Dia perempuan baik, mungkin itu yang bisa menjadi alasan."Terimakasih atas bantuan kamu selama ini, Maria!" balasku.Perempuan itu tersenyum, kemudian menaiki mobil alphard hitam dan meninggalkan lokasi pemakaman yang sudah mulai sepi. Mbak Utami tidak ada di sini karena dia pulang ke rumah orangtuanya mengadu nasib di sana.Sementara ibu m

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 119

    "Ya, dia ibu kita, Zaki.""Kenapa ibu seperti itu?""Aku menyandranya di rumah ini karena sudah menduga banyak kemungkinan. Andai kamu tahu dalam beberapa hari saja dia sudah serusak itu karena aku terus menyuntikkan racun dalam tubuhnya yang tua itu!""Apa?""Sekarang kamu harus memilih antara menyelamatkan ibu kandungmu atau melepas Tyas untukku!" Tuan Edbert melipat kedua tangan di depan dada.Setelah itu matanya memberi isyarat yang tidak kami mengerti pada Mas Bayu. Di detik yang sama lelaki yang menjadi suami Mbak Utami itu mengeluarkan pistol dan mengarahkannya di kepala Bu Yola.Kami semua tercengang. Aku ingin melarang, tetapi bibir terlalu kaku untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Bukan hanya aku, bahkan Mbak Utami pun hanya bisa melotot sembari membekap mulut dengan kedua tangannya."Tidak ada hakmu untuk melakukan ini, Ed! Bu Yola adalah ibumu sementara Tyas adalah istri dari kakak kandung kamu!" sentak Maria dengan emosi yang meluap-luap."Kenapa aku tidak memiliki hak? K

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 118

    "Tidak, kamu salah! Aluma sendiri yang tidak pernah menginginkan anak dariku makanya aku sampai mencari istri simpanan," elak Tuan Edbert."Bagaimana mungkin dia tidak menginginkan anak dari lelaki yang dia cintai, Ed. Apa kamu lupa kalau Aluma merebut kamu dariku?""Dia hanya menginginkan aku, tetapi tidak sampai memiliki anak.""Dia menginginkan anak darimu, Ed. Aluma tidak ingin perempuan lain melahirkan anakmu," selaku.Tuan Edbert membuang pandangan. Dia bersikukuh kalau Nyonya Aluma sama sekali tidak mau melahirkan anak karena bisa merusak postur tubuhnya yang indah.Sementara itu aku terus menentang karena yakin Nyonya Aluma sebenarnya ingin, tetapi Tuan Edbert yang selalu menolak. Bagaimana pun lelaki itu tidak pernah mencintai istrinya.Padahal memang bagus mencintai lelaki yang memikat hati, tetapi lebih bagus lagi mencintai lelaki yang telah menikahi kita. Cinta itu agung dan luas maknanya, tidak boleh disalahgunakan oleh mereka yang hanya mengedepankan ego dan nafsu belaka

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 117

    Kembali aku merasa lega ketika Tuan Edbert kembali ke kamar utamanya. Dia pasti bahagia karena sudah melakukan permainan selama dua jam lebih menurut cerita Nyonya Aluma yang kini bersembunyi di kamar sebelah.Dia mengaku lelah dan lekas tidur, untung saja tadi malam dia tidak ketiduran sampai pagi atau Tuan Edbert akan marah besar. Aku kasihan karena ternyata perempuan itu menunggu fajar.Untung saja Tuan Edbert tidak banyak bertanya ketika melihatku sudah duduk di meja rias padahal baru pukul enam pagi. Aku tidak mandi melainkan hanya mencuci muka saja karena khawatir dia menyusul dan mengulangi permainan tadi malam."Nona, ada seseorang yang mencari Anda!" kata salah seorang pelayan."Siapa?""Aku melihat Maria, Utami dan seorang lelaki, Nona." Pelayan itu menjawab dengan suara pelan.Aku langsung beranjak dari tempat duduk untuk menemui mereka. Tidak butuh waktu lama karena aku menuruni anak tangga dengan langkah tergesa. Mas Zaki sepertinya rindu berat sehingga langsung membawaku

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 116

    PoV Tyas AryaniBahkan hingga matahari sudah berada di ufuk barat pun aku tetap tidak menemukan ide untuk pergi dari sini. Terutama karena Mbak Utami sudah tidak bekerja sebagai pelayan. Ingin mengobrol dengan Mas Bayu juga enggan.Entah Tuan Edbert ada di mana karena sejak tadi aku menolak ke luar kamar ketika dipanggil pelayan untuk makan siang. Mereka malah langsung membawa makanan itu ketika aku perintahkan.Rasa malas beranjak menguasai jiwa. Bahkan untuk menoleh pun aku enggan. Akan tetapi, ketukan di pintu berhasil membuatku terusik."Pergi atau kuhabisi kau!" teriakku penuh emosi."Keluar jika kamu berani!" sentak suara itu.Aku terkejut bukan main. Ternyata Nyonya Aluma kembali datang padahal aku berharap dia sudah meninggal dunia. Kedatangannya ke sini begitu menganggu, dengan cepat aku beranjak melangkah cepat menujunya.Mata kami saling beradu. Kini tidak ada rasa takut dalam jiwa ketika bertemu Nyonya Aluma. Sekalipun dia tetap sekeji dulu, aku tidak akan mundur walau sel

  • BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN   Bab 115

    Setelah kepergian Zaki, Utami lekas membuka pintu kamar itu dan menyambar ponsel yang tergeletak manja di nakas. Dia mulai mengotak-atik kontak mencari nama Maria di sana. Tidak lama karena hanya ada sedikit kontak, itu pun tertera dengan nama Veriel Maria. Untung saja nama itu pernah didengar langsung oleh Utami. Dia menyalin kontak Maria ke dalam ponselnya, kemudian melakukan panggilan telepon. Hanya berdering, tanpa ada jawaban. Namun, Utami tidak ingin putus asa sehingga dia terus menelepon. "Halo?" sapa Maria di balik telepon setelah panggilan ke delapan. "Ini Maria, kan? Aku Utami." "Ada apa?" "Kamu harus membantuku menemukan Tyas. Apa kamu bisa ke sini sekarang? Aku tidak bisa menjelaskannya via telepon. Aku mohon." "Ke mana?" "Rumah ibu mertuaku." Sedikit lama mereka berbincang sebelum akhirnya menutup telepon. Utami bernapas lega begitu Maria setuju akan membantu sampai menemukan titik terang. Dua jam menunggu dengan gamang, akhirnya Maria datang juga. Dia cantik sep

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status