Share

Bab 2

"Kamu sudah gila?!" Ibu melotot tajam.

Aku berdecih. "Bukan aku yang gila, tapi Ibu!"

Kami saling beradu pandang dengan mata menyalak tajam. Aku sungguh ingin menjambak rambut keriting miliknya, lalu membenturkan kepala itu ke tembok sampai pecah. Atau haruskah aku mengambil kunci Inggris agar ada perpaduan musik dengan tengkorak kepalanya? Haha, lucu sekali bahkan aku jadi ingin mendengar perempuan tua ini mengerang kesakitan.

Bibir ibu mertua terangkat ke atas, lalu berjalan mengitariku. Ujung rambut ini dipegangnya dengan lembut, lalu ditarik keras. Sakit sekali, tetapi berusaha aku tahan. Amarah yang kian membuncah membuat tangan kananku mendorong ibu ke belakang.

"Kenapa, Tyas?"

"Aku akan membunuhmu detik ini juga!" geramku, lalu melangkah mendekat.

"Coba saja!" tantangnya dengan seulas senyum.

Namun, ketika jarak kami semakin terkikis, dia langsung duduk di lantai dan bersimpuh memohon agar aku memaafkannya. Air mata itu mengalir deras, bahkan aku sendiri bingung karena ibu memegang kakiku.

"Tyas?!" bentak Mas Zaki. Walau membelakangi pintu, aku bisa tahu suara itu miliknya.

Berarti air mata yang ibu keluarkan itu palsu. Dia kembali bersandiwara di depan Mas Zaki, tentu saja agar suamiku membujuk untuk memenuhi keinginan ibunya. Ah, aku mendesah dalam keputusasaan.

Jika Mas Zaki tahu ibu mau menjadikanku wanita simpanan, tentu saja dia menolak dengan tegas bahkan pergi dari rumah ini. Satu yang membuatku tidak bisa leluasa melangkah, yakni ancaman ibu. Bagiku itu bukan sekadar ancaman karena siapa pun bisa melakukan hal keji demi uang.

"Zaki, tolong ibu, Nak! Tyas mau membunuh ibu karena membujuknya jadi ART Tuan Edbert!" pekik ibu dengan meraung, lalu berlari menghampiri Mas Zaki yang masih terpaku di ambang pintu.

"Apa ini, Tyas? Selama ini kamu selalu baik pada ibu, kenapa sekarang malah mau membunuhnya hanya karena memintamu bekerja? Kalau kamu tidak mau, bilang saja."

Aku tahu Mas Zaki tersulut emosi karena sandiwara ibunya. Entah kenapa aku sangat takut memberitahu kebenaran ini apalagi di depan ibu dan sama sekali tidak ada bukti. Aku mendekat, lalu akhirnya meminta maaf dengan terpaksa pada mereka berdua. Bukan karena kalah, tetapi berusaha berdamai dengan keadaan.

Tangisan Lia menggema, aku gegas melangkah ke kamar. Rupanya dia sudah bangun. Putri kami yang cantik, sayang sekali kalau orangtuanya harus berpisah karena tidak ada kepercayaan lagi. Ujian kali ini berat sekali.

"Mama, Lia takut!" adunya masih menitikkan air mata. Aku memeluk untuk menenangkan.

"Takut kenapa, Sayang?"

"Tadi mimpi tinggal sendiri di rumah gelap." Tangis Lia kembali menggema membuat Mas Zaki menyusul kami ke kamar.

Dia terlihat lelah mendorong kursi roda sendiri, tetapi mau bagaimana lagi? Benar kata ibu, untuk berjalan pun Mas Zaki tidak bisa apalagi untuk bekerja kecuali dia berdiri di lampu merah dengan kardus besar di depannya. No, itu tidak akan pernah terjadi! Kami masih punya harga diri.

"Ibu sudah cerita semuanya, Tyas. Menurut mas, kamu terima saja pekerjaan itu. Mas akan berusaha untuk sembuh supaya bisa kembali menafkahimu juga Lia seperti dulu." Suara Mas Zaki serak, ada linangan air mata yang ditahannya.

Lia yang sudah berhenti menangis aku minta main saja di samping ranjang. Dia menurut, lalu aku memutar badan menghadap Mas Zaki biar lebih nyaman. Tangan kekar yang dulunya sibuk dengan komputer itu aku genggam.

Sekarang pikiran dan hati memberontak karena tidak sejalan. Akan banyak air mata yang tumpah jika aku menolak tawaran itu, tetapi jika menerima mungkin keadaan akan lebih buruk lagi. Saat ini aku harus bisa memilih walau sebenarnya tidak ingin.

Mas Zaki melipat bibir sekilas, lalu kembali bersuara. "Maafkan mas yang memaksamu menjadi tulang punggung keluarga."

"Tidak, mungkin memang seharusnya kita bertukar posisi, Mas. Jika hatiku mantap dan mau menerima tawaran dari ibu, tolong jaga anak kita baik-baik. Didik dia dan selalu doakan agar kelak menikah nanti mendapatkan suami dan mertua yang baik." Aku menyeka air mata.

"Maksud kamu apa, Dek?"

Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan Mas Zaki. Kasihan sekali suamiku ini harus merelakan istrinya menjadi wanita simpanan padahal sepengetahuannya hanya ART. Tangan kekar itu aku cium sangat lama. Perih merebak begitu cepat.

***

Sore hari tepatnya pukul 17.25, Mas Bayu dan istrinya pulang dari kantor. Ya, mereka berdua sama-sama bekerja. Penampilan Mbak Utami seperti artis, dia tidak pernah memakai barang murah. Tinggi semampai dengan kulit putih bersih kadang membuatku sedikit iri.

Aku yang sedang menyapu ditegur kasar. "Nyapu pakai mata! Lihat sepatuku kena debu, kamu tahu harganya berapa?!"

"Maaf, Mbak. Aku gak sengaja."

"Maaf, maaf. Bahkan kalau saja kamu jual suamimu, gak akan mampu membeli sepatuku!" Matanya melotot.

Andai tidak menumpang dan memiliki pekerjaan yang bisa menjamin hidup kami sehari-hari, sudah lama aku meminta Mas Zaki agar mau pergi dari sini. Hidup di kontrakan sempit dan makan seadanya itu lebih baik daripada di rumah megah, tetapi makan hati setiap hari.

"Utami, kamu sudah pulang? Sini sebentar, ibu mau bicara!"

Tanpa basa-basi lagi, Mbak Utami langsung mengikuti ibu. Entah kenapa perempuan licik itu tidak membangkang pada ibu padahal dia juga memiliki segalanya. Apakah ada sesuatu yang diincar di rumah ini?

Ah, daripada terus memikirkan mereka berdua yang bagai ular berbisa, aku menyimpan sapu di tempat semula dan melangkah cepat ke dapur. Kalau bukan aku yang memasak, di rumah ini tidak akan tersedia makanan. Tidak usah disembunyikan lagi, tetangga saja tahu kalau kehadiranku hanya dianggap pembantu gratis di sini.

"Tyas!" panggil Mbak Utami ketika aku sedang menumis ikan. "Kamu benar gak mau kerja di rumah Tuan Edbert? Mau enak-enakan di sini ditanggung aku sama Mas Bayu? Iya?"

"Bukan begitu, Mbak. Cuma aku mau pekerjaan lain atau paling tidak jangan di rumah Tuan Edbert."

Mbak Utami mengambil centong nasi, kemudian melempar ke wajahku. Matanya merah dengan kedua tangan yang terkepal kuat. Mulutnya terus mengeluarkan kata hinaan. Sayang sekali, tidak semua perempuan yang berwajah cantik itu baik.

Aku ingin marah, tetapi masih tidak berdaya. Air mata berusaha aku tahan. Ini bukan kali pertamanya aku diomeli secara blak-blakan bahkan pernah di depan suaminya sendiri dan tidak ada pembelaan karena mereka sama saja. Jodoh memang cerminan diri.

"Tyas," ucap Mbak Utami. Dia melangkah mendekat sehingga bibirnya sangat dekat dengan telingaku. "Tidak apa-apa menjadi wanita simpanan Tuan Edbert, suami cacatmu tidak akan tahu apalagi tetangga kita. Kamu akan kaya, tidak mau?"

"Stres kamu, Mbak!" makiku tidak tahan lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status