"Dasar perempuan hina! Kamu itu SMP aja gak tamat malah sok-sokan menolak pekerjaan. Yang penting itu ada duit, penampilan jadi bagus, makan pun enak. Tidak peduli dengan cara halal atau haram."
"Kalau prinsipnya gitu, kenapa bukan Mbak saja yang jadi wanita simpanan Tuan Edbert?"
"Tyas! Berani kamu mengatakan itu sekali lagi, kupastikan nyawa suami dan anakmu melayang hari ini juga!" Mas Bayu tiba-tiba ada di antara kami.
Aku membuang pandangan sambil berdecih. Mereka seenak jidat mengeluarkan kata-kata juga ancaman karena kami miskin padahal dulu Mas Bayu tidak punya malu meminjam uang pada suamiku dan nekat tidak mau mengembalikan dengan dalih keluarga harus saling membantu.
Sekarang? Mereka memang memberi kami tumpangan juga makan gratis, tetapi aku juga bekerja keras di sini. Semua pekerjaan rumah selesai oleh dua tanganku padahal harus mengurus Lia dan Mas Zaki juga. Tawaran itu bukan untuk membantu, tetapi menjerumuskan.
"Gimana?" Mas Bayu membuyarkan lamunanku.
"Baiklah, malam ini aku akan pikirkan. Besok sudah ada jawaban. Mas tenang saja, asal bisa merahasiakan ini dari Mas Zaki." Aku melemah. Tidak ada pilihan lain.
"Jawab saja sekarang, mau atau tidak, supaya aku bisa beritahu Tuan Edbert! Lumayan kalau kamu ke sana malam ini."
Rahangku mengeras, tetapi sekali lagi hanya bisa diam. Lauk yang sudah masak aku tinggalkan. Sungguh, kepala rasanya mau pecah. Kalau saja dengan bunuh diri bisa memperbaiki keadaan ekonomi kami, aku sudah melakukannya sejak dulu.
Mas Zaki yang sudah dua bulan ini lumpuh juga hanya bisa diam. Mas Bayu itu memang terkenal tempramen, makanya aku khawatir pada ancamannya. Dia juga punya uang untuk membayar preman demi menghabisi kami. Segalanya karena uang bahkan kita baru akan dihargai jika lembaran merah berjejer rapi di dompet.
"Bertengkar sama Mas Bayu dan Mbak Utami lagi, Dek?" tanya suamiku ketika sampai di kamar.
"Iya, Mas. Mereka juga memaksaku menerima tawaran ibu bahkan kalau bisa besok sudah masuk kerja."
"Mas tidak bisa berbuat banyak, keputusan ada di tangan kamu. Hanya saja ...." Mas Zaki menjeda kalimat dengan mengembus napas perlahan. "Hanya saja, tolong dipikirkan lagi. Demi keluarga kecil kita, Dek."
Aku menjatuhkan diri dalam pelukan Mas Zaki yang saat ini duduk di tepi ranjang menemani Lia. Dunia begitu kejam sehingga aku hanya bisa bungkam diperlakukan seperti ini oleh mereka. Suami cacat, kemudian tabungan dirampas mertua serta emas yang tiba-tiba hilang dari kamar kami.
"Mama kenapa, Pa?" Pertanyaan Lia membuatku merhenti menangis.
"Mama tidak apa-apa, Nak. Katanya kangen sama papa," jawab Mas Zaki yang berakhir mengelus kepalaku lembut.
Gadis kecil kami yang baru berumur dua tahun itu sangat peka. Dia bahkan sudah lancar berbicara, sejak itu pula aku selalu berusaha menghindari pertanyaannya ketika tidak sengaja melihat mertua dan ipar mengomel menghina kami.
Mas Zaki mengeratkan pelukannya seolah tidak ingin lepas saja. Aku jadi semakin bimbang untuk menerima tawaran itu, tetapi mau bagimana lagi ... ada keluarga yang harus dinafkahi pun hutang yang minta dilunasi.
***
Malam menyapa, angin sepoi menembus masuk kamar melalui celah ventilasi. Cahaya di ruangan ini sengaja aku buat temaram dengan hanya menyalakan lampu tidur agar kelak jika air mata jatuh, Mas Zaki tidak menyadarinya. Kami duduk bersandar di kepala ranjang, sementara Lia yang sudah terlelap sejak tadi.
"Mas, pekerjaan apa yang Mas larang untukku dan apa yang diperbolehkan?" tanyaku memecah heningnya malam.
"Andai mas sehat, maka tidak ada pekerjaan yang mas izinkan untukmu selain mengurusku dan juga Lia. Namun, takdir yang berkata lain ...."
Mungkin karena ragu atau merasa tidak enak sehingga Mas Zaki hanya bisa menggantung kalimatnya. Aku diam, tidak ingin terus bertanya atau hati akan semakin terluka. Selama lima tahun pernikahan kami, tidak ada sesuatu yang disembunyikan. Kami saling menaruh kepercayaan.
Akan tetapi, mulai sekarang aku harus melakukan itu. Menyembunyikan pekerjaan sebagai wanita simpanan demi Mas Zaki dan juga Lia. Kelak ketika aku memiliki tabungan yang cukup, kami akan pindah ke luar kota dan menganggap masa lalu hanya mimpi buruk, tidak pantas diingat apalagi dikenang dan kembali.
"Mas tidak tahu harus ngomong apa, Tyas. Mas malu sebagai kepala rumah tangga yang tinggal di rumah, lalu akan membiarkanmu bekerja keras?" Tanpa diminta, Mas Zaki melanjutkan kalimatnya sendiri.
"Apa Mas setuju aku bekerja di rumah Tuan Edbert?"
"Kalau kamu mau, mas mengizinkan. Ini juga demi Lia dan agar kita tidak lagi dihina."
Aku menoleh dan mendapati Mas Zaki menyeka air mata. Kepalanya menunduk semakin dalam. Pasti dia menyesali kejadian masa lalu ketika aku larang untuk lembur di kantor, tetapi dia nekat. Ketika pulang larut malam ada mobil yang menabraknya sehingga kaki itu tidak lagi mampu menopang berat badan.
"Tawaran ibu akan aku pikirkan, besok harus memberi keputusan. Semoga apa yang menjadi keputusanku adalah yang terbaik, Mas," lirihku menatap lurus ke depan.
Tidak bisa kubayangkan bagaimana terlukanya hati Mas Zaki jika nanti kebenaran terungkap karena aku selalu percaya bahwa sesuatu yang di sembunyikan walau di dalam ketiak pun akan ketahuan juga seiring berjalannya waktu. Lalu apa yang akan terjadi pada kehidupan rumah tangga kami?
Hancur. Ya, itu yang akan terjadi. Kemungkinan besar Lia hidup sebagai anak broken home dan sekali lagi tidak akan ada kebahagiaan untuk hari berikutnya. Akan tetapi, jika menolak tawaran ini mereka akan celaka dan pergi dari dunia ini dalam keadaan mengenaskan.
'Siapapun, tolong bantu aku!' jeritku dalam hati.
"Mas percaya padamu dan semoga ada jalan yang terbaik. Maafkan mas kalau harus istirahat lebih dulu. Kepala rasanya mau pecah."
"Tidak apa-apa, Mas. Tidurlah yang tenang agar besok bisa menyambut pagi dengan damai." Aku berucap tulus sambil menahan perih yang bergejolak.
Hampir satu jam aku menimbang sambil sesekali menatap wajah Mas Zaki dan juga Lia. Tidak ada harta berharga selain keluarga dan aku akan melakukan apa pun demi mereka. Harga diri harus dikembalikan, tidak boleh terus diinjak. Mereka yang menyepelekan akan mendapat balasan di waktu yang tepat.
Aku akan menyusun rencana besok pagi agar semua berjalan lancar. Jika terus berdiri seperti pecundang, mereka akan leluasa memberi pukulan telak berulang kali. Tidak! Kali ini aku sudah harus bertindak sekalipun nyawa menjadi taruhannya.
"Dek?" Aku terjekut, rupanya Mas Zaki masih terjaga.
"Ada apa, Mas?"
"Tidurlah, biar mas ikut tenang. Kalau kamu terjaga sepanjang malam, bagaimana mas bisa terlelap. Kita ada untuk saling melengkapi." Entahlah, aku merasa Mas Zaki menyadari sesuatu.
'Maafkan aku, Mas!' batinku menangis.
Pukul delapan pagi ibu menggedor pintu kamar. Aku sedih karena sampai sekarang hati merasa berat untuk menerima tawaran jahannam itu. Selain berharap ada keajaiban, aku tidak bisa berbuat apa-apa.Rencana sudah aku susun subuh tadi. Aku yakin jika tidak ada orang luar yang campur tangan, semua akan berjalan baik. Ah, sial sekali karena ketukan di pintu belum juga berhenti. Mas Zaki yang sejak tadi memangku Lia memintaku ke luar saja."Ada apa Bu?" tanyaku berusaha tenang.Ibu gegas menyeretku ketika melihat Mas Zaki yang menatap kami. Pasti dia masih berusaha menyembunyikan kebenaran. Kalau saja bukan karena ancaman dari mereka, aku tidak akan mau diperlakukan seperti ini. Namun, lihat saja nanti siapa yang akan tertawa menang."Bagaimana? Kamu setuju dengan tawaran ibu, 'kan?""Tentu saja, Bu. Kenapa aku menolak jika bayarannya banyak. Tuan Edbert orang kaya, tentu saja untuk uang seratus juta itu kecil baginya." Aku menjawab enteng."Apa m
"Aku pergi, Mas. Kamu jangan melakukan pekerjaan berat di kondisi seperti itu," gumamku."Iya, Dek. Mas akan jaga diri untukmu." Mas Zaki tersenyum. Namun, aku bisa merasakan kalau ada luka di baliknya."Aku akan mengurus adik ipar, Tyas. Jadi, kamu tidak usah pusing dan fokuslah bekerja." Mbak Utami mendekat ke arah Mas Zaki. "Zaki itu masih anaknya ibu, kami keluarga dan tidak mungkin membiarkannya kesulitan."Ibu dan Mas Bayu mengangguk setuju. Aku tersenyum menatap mereka, juga kepada Lia. Sekalipun hati tahu betul mereka bersandiwara demi uang, tetap saja aku harus tenang dan dabar. Pintu mobil sudah terbuka, aku masuk beriring air mata yang segera diseka."Mama jangan lama!" pinta Lia dengan senyum polosnya. Anak berusia dua tahun bagaimana mungkin secepat itu mengerti. Huh, entahlah.Dada seperti dihantam batu besar. Aku kesulitan bernapas bahkan untuk membuka mata pun perih sekali. Seandainya waktu bisa berhenti, aku ingin merasakannya. Tangisan Lia yang mulai terdengar membua
"I-iya, Tuan," jawabku lirih dengan kepala yang semakin menunduk. Derap langkah Tuan Edbert semakin dekat, aku meremas jari ketakutan. Entah bagaimana tampangnya, jika wajah dipenuhi jenggut aku bisa saja melompat ketakutan. "Katakan dengan keras, aku bahkan tidak suka pada perempuan yang berbicara tanpa melihat mataku. Angkat wajahmu!" Suara berat itu menembus masuk ke ulu hati menyisakan luka hingga aku hampir menitikkan air mata. Perlahan aku mengangkat wajah menatapnya. Hati berdesir begitu melihat wajah yang terpahat sempurna. Hidung yang menjulang, bibir tipis berhias kumis tipis bahkan sedikit berwarna merah muda. Kulitnya putih tanpa jenggut. Rambutnya kecoklatan bahkan mungkin bisa dibilang serupa pangeran. Tuan Edbert terkesan masih sangat muda, aku tidak bisa menebak umur jika melihat wajahnya. Apakah mungkin kukatakan sembilan belas tahun? Tubuh yang tinggi dengan suara berat tidak cocok dengan wajahnya yang hampir dikata baby face. "Iya, Tuan. A-aku adalah Tyas,"
Tentu saja. Aku bahkan bisa melenyapkan keluargamu kalau benar menipuku." Tuan Edbert tersenyum sinis, kemudian kembali berdiri mendekat padaku.Tangan kananku diraihnya, menuntun ke sofa dekat jendela. Kami duduk berhadapan dengan jarak yang sangat dekat. Tangan kekar Tuan Edbert menyibak rambutku, lalu mengelus leher ini sangat lembut."Kita harus terbiasa seperti ini agar kamu tidak malu jika sudah menjadi istriku. Setelah menikah, jangan memanggilku Tuan Edbert lagi. Aku ingin panggilan yang lebih romantis," bisik Tuan Edbert, lalu memberi gigitan kecil di telingaku.Jujur, ini sangat menggelikan. Seorang istri yang telah berkhianat pada suaminya yang lumpuh. Air mata jatuh membasahi pipi. Aku tidak bisa menerima perlakuan lelaki kaya di depanku hanya saja ... entahlah.Tuan Edbert memegang daguku, sehingga wajah kami saling berhadapan. Untuk sesaat aku sadar kalau dia mendekat hendak mencium bibir ini, beruntung aku lekas memalingkan wajah. Sekalipun nanti harus melakukan hal yan
"Aku tidak bisa melihat rona bahagia di wajah Nona ketika bertemu Tuan Edbert. Apa terjadi sesuatu, Nona?" Maria menatapku lekat."Maria, aku mau pipis. Kamar mandinya di mana?" Aku sengaja menghentak-hentakkan kaki di lantai berulang kali agar pelayan itu percaya. Tangannya kemudian menunjuk dengan sopan.Parah, bahkan pintu kamar mandi lebih indah daripada pintu rumahku. Dalam kamar mandi ini tersedia bathtub tanam berwarna putih, juga terdapat tabung kaca lengkap dengan shower dan spa uapnya. Ada dudukan melingkar dari marmer di tengahnya.Kamar mandi yang berlapis marmer motif kaca pada dinding dan lantainya juga semakin mewah dengan hadirnya meja rias yang penuh dengan kosmetik. Ini mungkin terkesan sangat mewah. Aroma yang harum menusuk rongga hidung sehingga mandi pun akan terasa nyaman.Entah bagaimana mewahnya kamar pribadi Tuan Edbert.Setelah mencuci wajah dengan air yang sangat segar, aku kembali ke luar. Maria ternyata masih berdiri di luar. Dia kembali mengambangkan seny
Pertahananku luluh ketika melihat Mas Zaki dengan wajah penuh kerinduan duduk kursi roda yang selalu menemaninya. Dia ada di beranda pintu kamar, seperti habis mandi.Aku langsung menghambur dalam pelukannya. Dinding pemisah yang mereka ciptakan seperti rubuh berkeping-keping.Air mata semakin mengalir deras ketika bayangan Tuan Edbert melintas dalam pikiran. Pengkhianatan itu benar-benar terjadi."Mas kangen sama kamu, Tyas. Mas bahkan berpikir tidak akan melihatmu lagi. Ini kok bisa balik lagi?" Senyum itu merekah sempurna."Aku diberi waktu sepekan, Mas untuk belajar bagaimana bekerja dengan baik. Di rumah Tuan Edbert juga diminta menjaga penampilan sekalipun hanya pelayan."Aku menunduk ketika menjawab takut Mas Zaki melihat kebohongan di mata istrinya.Sayang sekali karena tangan Mas Zaki memegang daguku dan mengangkat wajah ini hingga kami beradu pandang. Kedua alisnya bertaut sempurna. "Tapi di sana kamu nyaman, 'kan?""Iya, Mas. Aku sudah punya teman, namanya Maria. Dia salah
"Uang apa, Bu? Tyas gak ngirim kecuali buat bayar semua utangnya. Dia kan ngutang sama aku juga waktu Zaki kecelakaan itu!" cebik Mbak Utami kesal. Ibu menatap tidak percaya, baru saja aku ingin melangkah ke kamar tiba-tiba tangan ini dicekal kuat oleh mertua. Aku menoleh. "Ada apa, Bu?" "Zaki mana?" "Baru aja mandi tadi, kenapa?" "Lupakan masalah uang, ibu yakin kamu akan memberi jatah padaku nanti. Sekarang jawab dengan jujur, kamu tidak sedang kabur, kan?"Aku menggeleng. "Tidak. Aku tidak kabur, semua demi Mas Zaki dan Lia bukan kalian. Mereka berdua saja yang menganggap aku penting sementara kalian semuanya mata duitan dan Tuan Edbert tahu itu!" Satu tamparan berhasil lolos menyentuh pipiku. Hangat juga perih, tetapi lebih menyakitkan lagi jika kebenaran telah terungkap. Telunjuk ibu mengarah padaku. "Kamu itu menantu durhaka, Tyas! Awas saja kalau ngadu sama Zaki, nyawa kalian akan terancam. Ibu bisa saja melawan suami cacatmu itu, tetapi ada satu alasan sampai membiarkan
Sambil menggendong Lia di pangkuan, aku terus memikirkan cara menyampaikan permintaan cerai agar Mas Zaki tidak tersinggung. Bagaimana pun juga tentu hal ini mengundang kecurigaan.Lelaki itu menatapku lekat penuh cinta dan kerinduan. Hati semakin bimbang, apalagi saat ini dia lumpuh, besar kemungkinan hadir prasangka lain dalam hatinya."Mas, aku ...." Kalimat itu sangat sulit untuk keluar."Kenapa, Dek?""Ada satu syarat, Mas untuk menjadi asisten di rumah Tuan Edbert. Mungkin kamu tidak akan setuju. Aku hanya mencoba menyampaikan siapa tahu ada solusi." Terpaksa aku memulai sebuah kebohongan."Syarat apa?"Aku menelan saliva. "Itu, Mas. Semua pekerja di sana diharuskan belum menikah atau tidak berkeluarga karena nanti kalau kerja bisa gagal fokus." Entah ini logis, aku hanya berharap Mas Zaki mengerti."Lalu?""Mas." Lelaki itu diam, mungkin mencoba menunggu kejelasan dengan sabar. "Apa Mas mau menceraikan aku demi pekerjaan–""Tidak!" tegasnya.Lia kubiarkan duduk di lantai memint