Share

Bab 3

"Dasar perempuan hina! Kamu itu SMP aja gak tamat malah sok-sokan menolak pekerjaan. Yang penting itu ada duit, penampilan jadi bagus, makan pun enak. Tidak peduli dengan cara halal atau haram."

"Kalau prinsipnya gitu, kenapa bukan Mbak saja yang jadi wanita simpanan Tuan Edbert?"

"Tyas! Berani kamu mengatakan itu sekali lagi, kupastikan nyawa suami dan anakmu melayang hari ini juga!" Mas Bayu tiba-tiba ada di antara kami. 

Aku membuang pandangan sambil berdecih. Mereka seenak jidat mengeluarkan kata-kata juga ancaman karena kami miskin padahal dulu Mas Bayu tidak punya malu meminjam uang pada suamiku dan nekat tidak mau mengembalikan dengan dalih keluarga harus saling membantu.

Sekarang? Mereka memang memberi kami tumpangan juga makan gratis, tetapi aku juga bekerja keras di sini. Semua pekerjaan rumah selesai oleh dua tanganku padahal harus mengurus Lia dan Mas Zaki juga. Tawaran itu bukan untuk membantu, tetapi menjerumuskan.

"Gimana?" Mas Bayu membuyarkan lamunanku.

"Baiklah, malam ini aku akan pikirkan. Besok sudah ada jawaban. Mas tenang saja, asal bisa merahasiakan ini dari Mas Zaki." Aku melemah. Tidak ada pilihan lain.

"Jawab saja sekarang, mau atau tidak, supaya aku bisa beritahu Tuan Edbert! Lumayan kalau kamu ke sana malam ini."

Rahangku mengeras, tetapi sekali lagi hanya bisa diam. Lauk yang sudah masak aku tinggalkan. Sungguh, kepala rasanya mau pecah. Kalau saja dengan bunuh diri bisa memperbaiki keadaan ekonomi kami, aku sudah melakukannya sejak dulu.

Mas Zaki yang sudah dua bulan ini lumpuh juga hanya bisa diam. Mas Bayu itu memang terkenal tempramen, makanya aku khawatir pada ancamannya. Dia juga punya uang untuk membayar preman demi menghabisi kami. Segalanya karena uang bahkan kita baru akan dihargai jika lembaran merah berjejer rapi di dompet.

"Bertengkar sama Mas Bayu dan Mbak Utami lagi, Dek?" tanya suamiku ketika sampai di kamar.

"Iya, Mas. Mereka juga memaksaku menerima tawaran ibu bahkan kalau bisa besok sudah masuk kerja."

"Mas tidak bisa berbuat banyak, keputusan ada di tangan kamu. Hanya saja ...." Mas Zaki menjeda kalimat dengan mengembus napas perlahan. "Hanya saja, tolong dipikirkan lagi. Demi keluarga kecil kita, Dek."

Aku menjatuhkan diri dalam pelukan Mas Zaki yang saat ini duduk di tepi ranjang menemani Lia. Dunia begitu kejam sehingga aku hanya bisa bungkam diperlakukan seperti ini oleh mereka. Suami cacat, kemudian tabungan dirampas mertua serta emas yang tiba-tiba hilang dari kamar kami.

"Mama kenapa, Pa?" Pertanyaan Lia membuatku merhenti menangis.

"Mama tidak apa-apa, Nak. Katanya kangen sama papa," jawab Mas Zaki yang berakhir mengelus kepalaku lembut.

Gadis kecil kami yang baru berumur dua tahun itu sangat peka. Dia bahkan sudah lancar berbicara, sejak itu pula aku selalu berusaha menghindari pertanyaannya ketika tidak sengaja melihat mertua dan ipar mengomel menghina kami.

Mas Zaki mengeratkan pelukannya seolah tidak ingin lepas saja. Aku jadi semakin bimbang untuk menerima tawaran itu, tetapi mau bagimana lagi ... ada keluarga yang harus dinafkahi pun hutang yang minta dilunasi.

***

Malam menyapa, angin sepoi menembus masuk kamar melalui celah ventilasi. Cahaya di ruangan ini sengaja aku buat temaram dengan hanya menyalakan lampu tidur agar kelak jika air mata jatuh, Mas Zaki tidak menyadarinya. Kami duduk bersandar di kepala ranjang, sementara Lia yang sudah terlelap sejak tadi.

"Mas, pekerjaan apa yang Mas larang untukku dan apa yang diperbolehkan?" tanyaku memecah heningnya malam.

"Andai mas sehat, maka tidak ada pekerjaan yang mas izinkan untukmu selain mengurusku dan juga Lia. Namun, takdir yang berkata lain ...."

Mungkin karena ragu atau merasa tidak enak sehingga Mas Zaki hanya bisa menggantung kalimatnya. Aku diam, tidak ingin terus bertanya atau hati akan semakin terluka. Selama lima tahun pernikahan kami, tidak ada sesuatu yang disembunyikan. Kami saling menaruh kepercayaan.

Akan tetapi, mulai sekarang aku harus melakukan itu. Menyembunyikan pekerjaan sebagai wanita simpanan demi Mas Zaki dan juga Lia. Kelak ketika aku memiliki tabungan yang cukup, kami akan pindah ke luar kota dan menganggap masa lalu hanya mimpi buruk, tidak pantas diingat apalagi dikenang dan kembali.

"Mas tidak tahu harus ngomong apa, Tyas. Mas malu sebagai kepala rumah tangga yang tinggal di rumah, lalu akan membiarkanmu bekerja keras?" Tanpa diminta, Mas Zaki melanjutkan kalimatnya sendiri.

"Apa Mas setuju aku bekerja di rumah Tuan Edbert?"

"Kalau kamu mau, mas mengizinkan. Ini juga demi Lia dan agar kita tidak lagi dihina."

Aku menoleh dan mendapati Mas Zaki menyeka air mata. Kepalanya menunduk semakin dalam. Pasti dia menyesali kejadian masa lalu ketika aku larang untuk lembur di kantor, tetapi dia nekat. Ketika pulang larut malam ada mobil yang menabraknya sehingga kaki itu tidak lagi mampu menopang berat badan.

"Tawaran ibu akan aku pikirkan, besok harus memberi keputusan. Semoga apa yang menjadi keputusanku adalah yang terbaik, Mas," lirihku menatap lurus ke depan.

Tidak bisa kubayangkan bagaimana terlukanya hati Mas Zaki jika nanti kebenaran terungkap karena aku selalu percaya bahwa sesuatu yang di sembunyikan walau di dalam ketiak pun akan ketahuan juga seiring berjalannya waktu. Lalu apa yang akan terjadi pada kehidupan rumah tangga kami?

Hancur. Ya, itu yang akan terjadi. Kemungkinan besar Lia hidup sebagai anak broken home dan sekali lagi tidak akan ada kebahagiaan untuk hari berikutnya. Akan tetapi, jika menolak tawaran ini mereka akan celaka dan pergi dari dunia ini dalam keadaan mengenaskan.

'Siapapun, tolong bantu aku!' jeritku dalam hati.

"Mas percaya padamu dan semoga ada jalan yang terbaik. Maafkan mas kalau harus istirahat lebih dulu. Kepala rasanya mau pecah."

"Tidak apa-apa, Mas. Tidurlah yang tenang agar besok bisa menyambut pagi dengan damai." Aku berucap tulus sambil menahan perih yang bergejolak.

Hampir satu jam aku menimbang sambil sesekali menatap wajah Mas Zaki dan juga Lia. Tidak ada harta berharga selain keluarga dan aku akan melakukan apa pun demi mereka. Harga diri harus dikembalikan, tidak boleh terus diinjak. Mereka yang menyepelekan akan mendapat balasan di waktu yang tepat.

Aku akan menyusun rencana besok pagi agar semua berjalan lancar. Jika terus berdiri seperti pecundang, mereka akan leluasa memberi pukulan telak berulang kali. Tidak! Kali ini aku sudah harus bertindak sekalipun nyawa menjadi taruhannya.

"Dek?" Aku terjekut, rupanya Mas Zaki masih terjaga.

"Ada apa, Mas?"

"Tidurlah, biar mas ikut tenang. Kalau kamu terjaga sepanjang malam, bagaimana mas bisa terlelap. Kita ada untuk saling melengkapi." Entahlah, aku merasa Mas Zaki menyadari sesuatu.

'Maafkan aku, Mas!' batinku menangis.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status