"Tidak! Aku tidak mau jadi wanita simpanan, Bu!" pekikku di depan ibu mertua sambil menutup wajah dengan telapak tangan.
"Dengarkan ibu, Tyas. Zaki itu cacat, dia gak bisa kerja lagi karena lumpuh total kata dokter. Sementara Tuan Edbert itu orang kaya, dia butuh seseorang di sampingnya," tutur ibu mertua lembut. Aku malah muak mendengarnya.
"Aku tidak peduli!" teriakku, lalu beranjak pergi dari kamar ibu.
Kami masih satu atap karena Mas Zaki tidak pernah mau meninggalkan ibunya sejak dulu, sedangkan bapaknya sudah meninggal setahun yang lalu. Aku tidak bisa berbuat banyak karena rumah ini dibeli bukan hasil dari kerja kerasku.
"Tyas?"
Aku menoleh, suara itu jelas milik Mas Zaki. Tatapan matanya menyiratkan tanda tanya. Aku yakin, dia tidak akan setuju bahkan marah besar jika tahu ibu memaksa menantu sendiri untuk mengkhianati putranya.
Jujur saja, walau sudah lumpuh dan hanya bisa duduk di kursi roda, aku tidak pernah ada niat untuk meninggalkan Mas Zaki apalagi mencoba untuk menikah lagi. Aku tidak mengenal siapa Tuan Edbert yang ibu sebut tadi.
"Iya, Mas? Butuh sesuatu?" tanyaku berusaha menerka apa yang akan dilontarkan Mas Zaki. Pasalnya dia datang dari arah dapur yang letaknya tidak jauh dari kamar ibu.
"Tadi mas dengar suara kamu teriak-teriak. Ada apa, Dek?" Raut wajah Mas Zaki bingung, aku jadi bimbang antara jujur dan tidak.
Rumah yang tidak dilengkapi pengedap suara membuat Mas Zaki bisa mendengar semua. Bisa jadi dia bertanya hanya untuk mengetes apakah istrinya ini masih terbuka atau menyimpan rahasia. Aku mendekat, berusaha mengikis jarak di antara kami.
Air mata berlinang, lalu jatuh membentuk anak sungai. Tanpa mampu kucegah, kini tangisku pecah ketika bersimpuh di hadapan suami sendiri. Bagaimana mungkin aku bekerja sebagai wanita simpanan, sementara dia berjuang untuk sembuh di rumah?
"Tyas?" panggilnya lagi, tangannya mengelus rambutku.
"Ibu, Mas. Ibu memintaku menjadi–"
"Menjadi asisten rumah tangga di rumah Tuan Edbert. Kamu kenal, 'kan? Edbert Addison," sela ibu memotong pembicaraan kami.
Ibu pasti tidak mau kalau Mas Zaki tahu istrinya ingin dipekerjakan sebagai wanita simpanan atau jangan-jangan budak s*x. Astagfirullah, walau bukan lulusan pesantren, tetap saja aku tahu kalau hal itu perbuatan dosa apalagi sudah bersuami.
"Kamu tidak mau jadi asisten rumah tangga, Dek?" Tatapan Mas Zaki berubah sendu. "Maafkan mas hanya bisa duduk di rumah dan tidak menafkahimu, sekarang pun bergantung ke Mas Bayu yang istrinya kerap kali mengomeli kita. Hutang ada di mana-mana. Andai saja ...," lanjut Mas Zaki, tetapi menggantung kalimat akhirnya karena bulir bening itu sudah jatuh membasahi pipi.
Jika sudah seperti ini, aku jadi menimbang-nimbang antara menerima tawaran walau berselimut dosa atau menolak dan tetap terlilit hutang sekaligus mendapat hinaan dari saudara ipar dan mertua sendiri. Benar kata Mas Zaki, kami selalu diomeli laiknya anak kecil ketika meminjam uang sepuluh ribu untuk membeli kebutuhan Lia–anak kami yang masih berusia dua tahun.
Aku menarik napas panjang beriring air mata karena dada seperti dihantam batu besar. Kasihan sekali Mas Zaki yang tidak tahu kebenaran ini. Ingin jujur, tetapi teringat ancaman ibu tadi sebelum mengutarakan keinginannya. Aku takut Lia akan dijual pada orang-orang yang mencari tumbal pesugihan.
"Mas, aku ... bukan begitu sebenarnya." Aku menunduk sambil menggigit bibir karena tidak sanggup menyampaikan kebenaran ini. Apalagi mata ibu langsung melotot tadi.
"Kenapa, Dek? Kalau kamu memang berat melakukannya, tidak apa-apa. Mas akan berusaha untuk mencari pekerjaan, demi kamu dan anak kita." Senyum Mas Zaki menyayat hati.
Aku tahu itu bukan ancaman, tetapi kenyataan karena sebelum menikah itu Mas Zaki berjanji pada ayah bahwa dia akan menjagaku hingga akhir hayatnya bahkan tidak membiarkan luka hadir di hati kecil ini walau sebentar. Nyatanya, takdir berkata lain dan memang hidup tidak selalu sesuai rencana.
Ibu mertua tersenyum manis melihatku yang mulai bingung. Aku yakin dia akan sangat bahagia ketika aku memberi anggukan tanda setuju. Tuan Edbert yang katanya kaya pasti memberi ibu banyak uang jika berhasil menemukan wanita simpanan untuknya. Jika benar merasa butuh, kenapa tidak menikah saja dengan sesama lajang?
"Bagaimana, Tyas? Apa kamu setuju dengan tawaran ibu untuk bekerja dengan Tuan Edbert? Lihat saja suamimu, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Jangankan bekerja, berdiri saja tidak sanggup. Siapa yang mau mempekerjakan orang cacat sepertinya?" Ucapan ibu menusuk hati. Aku melihat Mas Zaki membuang pandangan.
"Bukannya tadi Ibu bilang Tuan Edbert mencari wanita–"
"Iya, wanita yang bisa memasak dan bersih-bersih. Kenapa?" Tatapan ibu kini berubah tajam. Aku tahu, ada makna tersendiri di balik itu semua.
Aku mengusap wajah gusar. Sungguh, kali ini berada di pilihan yang sangat sulit. Andai ibu tidak di sini, sudah pasti aku mengatakan yang sebenarnya pada Mas Zaki. Namun, kasihan juga kalau dia kena batunya.
"Dek, jawab ibu!" titah Mas Zaki lembut.
Sifat lembut itulah yang membuatku jatuh cinta pada Mas Zaki dulu. Kami bertemu di depan warkop saat motorku mogok dan dibantu olehnya. Dia lelaki yang bertanggung jawab sampai Tuhan harus mengambil segalanya. Pekerjaan juga harta yang tiba-tiba hilang entah ke mana.
Aku yang manja begitu disayang. Gajinya bahkan tidak pernah disembunyikan, selalu aku yang menyimpan semua. Akan tetapi, ketika dokter bilang bahwa kaki Mas Zaki tidak akan sembuh, paman yang merupakan pemilik perusahaan langsung memecat dengan tidak hormat. Mas Bayu dan istrinya pun berubah kejam padahal sebelumnya kami baik-baik saja dalam satu atap termasuk ibu mertua.
"Biar ibu yang membujuk istrimu, tepatnya meyakinkan." Ibu mertua kembali bersuara.
"Keputusan tetap ada di tangan Tyas, Bu," lirih Mas Zaki.
Ibu tersenyum manis, lalu menuntunku masuk kamarnya. Namun, ketika berada di ruangan yang lumayan besar itu dan pintu tertutup rapat, senyumnya memudar. Aku takut bahkan sangat takut. Perempuan yang selama ini aku anggap ibu ternyata iblis.
"Ibu tidak mau mendengar kata penolakan dari mulutmu, Tyas. Kalau kamu sayang pada suami dan anakmu, maka lakukan pekerjaan itu. Kalau tidak ...." Ibu seperti sengaja menggantung kalimatnya.
"Kalau tidak?"
"Mereka berdua akan ibu siksa, lalu menjual organ tubuh Zaki, sedangkan anakmu jadi tumbal. Ibu butuh uang, tidak ada salahnya membuang sampah dari rumah ini." Ucapan itu benar-benar menohok hati.
Tega sekali ibu mengatai anak dan cucunya sebagai sampah. Mungkin ini salah satu dari ciri-ciri orang yang buta karena uang. Aku mengepal tangan karena kesal, lalu berteriak, "kenapa bukan ibu saja yang melakukan pekerjaan itu?!"
Satu tamparan berhasil mendarat di pipi kananku. Perih, tetapi belum mengalahkan luka di hati.
"Kamu sudah gila?!" Ibu melotot tajam.Aku berdecih. "Bukan aku yang gila, tapi Ibu!"Kami saling beradu pandang dengan mata menyalak tajam. Aku sungguh ingin menjambak rambut keriting miliknya, lalu membenturkan kepala itu ke tembok sampai pecah. Atau haruskah aku mengambil kunci Inggris agar ada perpaduan musik dengan tengkorak kepalanya? Haha, lucu sekali bahkan aku jadi ingin mendengar perempuan tua ini mengerang kesakitan.Bibir ibu mertua terangkat ke atas, lalu berjalan mengitariku. Ujung rambut ini dipegangnya dengan lembut, lalu ditarik keras. Sakit sekali, tetapi berusaha aku tahan. Amarah yang kian membuncah membuat tangan kananku mendorong ibu ke belakang."Kenapa, Tyas?""Aku akan membunuhmu detik ini juga!" geramku, lalu melangkah mendekat."Coba saja!" tantangnya dengan seulas senyum.Namun, ketika jarak kami semakin terkikis, dia langsung duduk di lantai dan bersimpuh memohon agar aku memaafkannya. Air mata itu mengali
"Dasar perempuan hina! Kamu itu SMP aja gak tamat malah sok-sokan menolak pekerjaan. Yang penting itu ada duit, penampilan jadi bagus, makan pun enak. Tidak peduli dengan cara halal atau haram.""Kalau prinsipnya gitu, kenapa bukan Mbak saja yang jadi wanita simpanan Tuan Edbert?""Tyas! Berani kamu mengatakan itu sekali lagi, kupastikan nyawa suami dan anakmu melayang hari ini juga!" Mas Bayu tiba-tiba ada di antara kami.Aku membuang pandangan sambil berdecih. Mereka seenak jidat mengeluarkan kata-kata juga ancaman karena kami miskin padahal dulu Mas Bayu tidak punya malu meminjam uang pada suamiku dan nekat tidak mau mengembalikan dengan dalih keluarga harus saling membantu.Sekarang? Mereka memang memberi kami tumpangan juga makan gratis, tetapi aku juga bekerja keras di sini. Semua pekerjaan rumah selesai oleh dua tanganku padahal harus mengurus Lia dan Mas Zaki juga. Tawaran itu bukan untuk membantu, tetapi menjerumuskan."Gimana?" Mas
Pukul delapan pagi ibu menggedor pintu kamar. Aku sedih karena sampai sekarang hati merasa berat untuk menerima tawaran jahannam itu. Selain berharap ada keajaiban, aku tidak bisa berbuat apa-apa.Rencana sudah aku susun subuh tadi. Aku yakin jika tidak ada orang luar yang campur tangan, semua akan berjalan baik. Ah, sial sekali karena ketukan di pintu belum juga berhenti. Mas Zaki yang sejak tadi memangku Lia memintaku ke luar saja."Ada apa Bu?" tanyaku berusaha tenang.Ibu gegas menyeretku ketika melihat Mas Zaki yang menatap kami. Pasti dia masih berusaha menyembunyikan kebenaran. Kalau saja bukan karena ancaman dari mereka, aku tidak akan mau diperlakukan seperti ini. Namun, lihat saja nanti siapa yang akan tertawa menang."Bagaimana? Kamu setuju dengan tawaran ibu, 'kan?""Tentu saja, Bu. Kenapa aku menolak jika bayarannya banyak. Tuan Edbert orang kaya, tentu saja untuk uang seratus juta itu kecil baginya." Aku menjawab enteng."Apa m
"Aku pergi, Mas. Kamu jangan melakukan pekerjaan berat di kondisi seperti itu," gumamku."Iya, Dek. Mas akan jaga diri untukmu." Mas Zaki tersenyum. Namun, aku bisa merasakan kalau ada luka di baliknya."Aku akan mengurus adik ipar, Tyas. Jadi, kamu tidak usah pusing dan fokuslah bekerja." Mbak Utami mendekat ke arah Mas Zaki. "Zaki itu masih anaknya ibu, kami keluarga dan tidak mungkin membiarkannya kesulitan."Ibu dan Mas Bayu mengangguk setuju. Aku tersenyum menatap mereka, juga kepada Lia. Sekalipun hati tahu betul mereka bersandiwara demi uang, tetap saja aku harus tenang dan dabar. Pintu mobil sudah terbuka, aku masuk beriring air mata yang segera diseka."Mama jangan lama!" pinta Lia dengan senyum polosnya. Anak berusia dua tahun bagaimana mungkin secepat itu mengerti. Huh, entahlah.Dada seperti dihantam batu besar. Aku kesulitan bernapas bahkan untuk membuka mata pun perih sekali. Seandainya waktu bisa berhenti, aku ingin merasakannya. Tangisan Lia yang mulai terdengar membua
"I-iya, Tuan," jawabku lirih dengan kepala yang semakin menunduk. Derap langkah Tuan Edbert semakin dekat, aku meremas jari ketakutan. Entah bagaimana tampangnya, jika wajah dipenuhi jenggut aku bisa saja melompat ketakutan. "Katakan dengan keras, aku bahkan tidak suka pada perempuan yang berbicara tanpa melihat mataku. Angkat wajahmu!" Suara berat itu menembus masuk ke ulu hati menyisakan luka hingga aku hampir menitikkan air mata. Perlahan aku mengangkat wajah menatapnya. Hati berdesir begitu melihat wajah yang terpahat sempurna. Hidung yang menjulang, bibir tipis berhias kumis tipis bahkan sedikit berwarna merah muda. Kulitnya putih tanpa jenggut. Rambutnya kecoklatan bahkan mungkin bisa dibilang serupa pangeran. Tuan Edbert terkesan masih sangat muda, aku tidak bisa menebak umur jika melihat wajahnya. Apakah mungkin kukatakan sembilan belas tahun? Tubuh yang tinggi dengan suara berat tidak cocok dengan wajahnya yang hampir dikata baby face. "Iya, Tuan. A-aku adalah Tyas,"
Tentu saja. Aku bahkan bisa melenyapkan keluargamu kalau benar menipuku." Tuan Edbert tersenyum sinis, kemudian kembali berdiri mendekat padaku.Tangan kananku diraihnya, menuntun ke sofa dekat jendela. Kami duduk berhadapan dengan jarak yang sangat dekat. Tangan kekar Tuan Edbert menyibak rambutku, lalu mengelus leher ini sangat lembut."Kita harus terbiasa seperti ini agar kamu tidak malu jika sudah menjadi istriku. Setelah menikah, jangan memanggilku Tuan Edbert lagi. Aku ingin panggilan yang lebih romantis," bisik Tuan Edbert, lalu memberi gigitan kecil di telingaku.Jujur, ini sangat menggelikan. Seorang istri yang telah berkhianat pada suaminya yang lumpuh. Air mata jatuh membasahi pipi. Aku tidak bisa menerima perlakuan lelaki kaya di depanku hanya saja ... entahlah.Tuan Edbert memegang daguku, sehingga wajah kami saling berhadapan. Untuk sesaat aku sadar kalau dia mendekat hendak mencium bibir ini, beruntung aku lekas memalingkan wajah. Sekalipun nanti harus melakukan hal yan
"Aku tidak bisa melihat rona bahagia di wajah Nona ketika bertemu Tuan Edbert. Apa terjadi sesuatu, Nona?" Maria menatapku lekat."Maria, aku mau pipis. Kamar mandinya di mana?" Aku sengaja menghentak-hentakkan kaki di lantai berulang kali agar pelayan itu percaya. Tangannya kemudian menunjuk dengan sopan.Parah, bahkan pintu kamar mandi lebih indah daripada pintu rumahku. Dalam kamar mandi ini tersedia bathtub tanam berwarna putih, juga terdapat tabung kaca lengkap dengan shower dan spa uapnya. Ada dudukan melingkar dari marmer di tengahnya.Kamar mandi yang berlapis marmer motif kaca pada dinding dan lantainya juga semakin mewah dengan hadirnya meja rias yang penuh dengan kosmetik. Ini mungkin terkesan sangat mewah. Aroma yang harum menusuk rongga hidung sehingga mandi pun akan terasa nyaman.Entah bagaimana mewahnya kamar pribadi Tuan Edbert.Setelah mencuci wajah dengan air yang sangat segar, aku kembali ke luar. Maria ternyata masih berdiri di luar. Dia kembali mengambangkan seny
Pertahananku luluh ketika melihat Mas Zaki dengan wajah penuh kerinduan duduk kursi roda yang selalu menemaninya. Dia ada di beranda pintu kamar, seperti habis mandi.Aku langsung menghambur dalam pelukannya. Dinding pemisah yang mereka ciptakan seperti rubuh berkeping-keping.Air mata semakin mengalir deras ketika bayangan Tuan Edbert melintas dalam pikiran. Pengkhianatan itu benar-benar terjadi."Mas kangen sama kamu, Tyas. Mas bahkan berpikir tidak akan melihatmu lagi. Ini kok bisa balik lagi?" Senyum itu merekah sempurna."Aku diberi waktu sepekan, Mas untuk belajar bagaimana bekerja dengan baik. Di rumah Tuan Edbert juga diminta menjaga penampilan sekalipun hanya pelayan."Aku menunduk ketika menjawab takut Mas Zaki melihat kebohongan di mata istrinya.Sayang sekali karena tangan Mas Zaki memegang daguku dan mengangkat wajah ini hingga kami beradu pandang. Kedua alisnya bertaut sempurna. "Tapi di sana kamu nyaman, 'kan?""Iya, Mas. Aku sudah punya teman, namanya Maria. Dia salah