Share

BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN
BEKERJA SEBAGAI ISTRI SIMPANAN
Author: Bintu Hasan

Bab 1

"Tidak! Aku tidak mau jadi wanita simpanan, Bu!" pekikku di depan ibu mertua sambil menutup wajah dengan telapak tangan.

"Dengarkan ibu, Tyas. Zaki itu cacat, dia gak bisa kerja lagi karena lumpuh total kata dokter. Sementara Tuan Edbert itu orang kaya, dia butuh seseorang di sampingnya," tutur ibu mertua lembut. Aku malah muak mendengarnya.

"Aku tidak peduli!" teriakku, lalu beranjak pergi dari kamar ibu.

Kami masih satu atap karena Mas Zaki tidak pernah mau meninggalkan ibunya sejak dulu, sedangkan bapaknya sudah meninggal setahun yang lalu. Aku tidak bisa berbuat banyak karena rumah ini dibeli bukan hasil dari kerja kerasku.

"Tyas?"

Aku menoleh, suara itu jelas milik Mas Zaki. Tatapan matanya menyiratkan tanda tanya. Aku yakin, dia tidak akan setuju bahkan marah besar jika tahu ibu memaksa menantu sendiri untuk mengkhianati putranya.

Jujur saja, walau sudah lumpuh dan hanya bisa duduk di kursi roda, aku tidak pernah ada niat untuk meninggalkan Mas Zaki apalagi mencoba untuk menikah lagi. Aku tidak mengenal siapa Tuan Edbert yang ibu sebut tadi.

"Iya, Mas? Butuh sesuatu?" tanyaku berusaha menerka apa yang akan dilontarkan Mas Zaki. Pasalnya dia datang dari arah dapur yang letaknya tidak jauh dari kamar ibu.

"Tadi mas dengar suara kamu teriak-teriak. Ada apa, Dek?" Raut wajah Mas Zaki bingung, aku jadi bimbang antara jujur dan tidak. 

Rumah yang tidak dilengkapi pengedap suara membuat Mas Zaki bisa mendengar semua. Bisa jadi dia bertanya hanya untuk mengetes apakah istrinya ini masih terbuka atau menyimpan rahasia. Aku mendekat, berusaha mengikis jarak di antara kami.

Air mata berlinang, lalu jatuh membentuk anak sungai. Tanpa mampu kucegah, kini tangisku pecah ketika bersimpuh di hadapan suami sendiri. Bagaimana mungkin aku bekerja sebagai wanita simpanan, sementara dia berjuang untuk sembuh di rumah?

"Tyas?" panggilnya lagi, tangannya mengelus rambutku.

"Ibu, Mas. Ibu memintaku menjadi–"

"Menjadi asisten rumah tangga di rumah Tuan Edbert. Kamu kenal, 'kan? Edbert Addison," sela ibu memotong pembicaraan kami.

Ibu pasti tidak mau kalau Mas Zaki tahu istrinya ingin dipekerjakan sebagai wanita simpanan atau jangan-jangan budak s*x. Astagfirullah, walau bukan lulusan pesantren, tetap saja aku tahu kalau hal itu perbuatan dosa apalagi sudah bersuami.

"Kamu tidak mau jadi asisten rumah tangga, Dek?" Tatapan Mas Zaki berubah sendu. "Maafkan mas hanya bisa duduk di rumah dan tidak menafkahimu, sekarang pun bergantung ke Mas Bayu yang istrinya kerap kali mengomeli kita. Hutang ada di mana-mana. Andai saja ...," lanjut Mas Zaki, tetapi menggantung kalimat akhirnya karena bulir bening itu sudah jatuh membasahi pipi.

Jika sudah seperti ini, aku jadi menimbang-nimbang antara menerima tawaran walau berselimut dosa atau menolak dan tetap terlilit hutang sekaligus mendapat hinaan dari saudara ipar dan mertua sendiri. Benar kata Mas Zaki, kami selalu diomeli laiknya anak kecil ketika meminjam uang sepuluh ribu untuk membeli kebutuhan Lia–anak kami yang masih berusia dua tahun.

Aku menarik napas panjang beriring air mata karena dada seperti dihantam batu besar. Kasihan sekali Mas Zaki yang tidak tahu kebenaran ini. Ingin jujur, tetapi teringat ancaman ibu tadi sebelum mengutarakan keinginannya. Aku takut Lia akan dijual pada orang-orang yang mencari tumbal pesugihan.

"Mas, aku ... bukan begitu sebenarnya." Aku menunduk sambil menggigit bibir karena tidak sanggup menyampaikan kebenaran ini. Apalagi mata ibu langsung melotot tadi.

"Kenapa, Dek? Kalau kamu memang berat melakukannya, tidak apa-apa. Mas akan berusaha untuk mencari pekerjaan, demi kamu dan anak kita." Senyum Mas Zaki menyayat hati.

Aku tahu itu bukan ancaman, tetapi kenyataan karena sebelum menikah itu Mas Zaki berjanji pada ayah bahwa dia akan menjagaku hingga akhir hayatnya bahkan tidak membiarkan luka hadir di hati kecil ini walau sebentar. Nyatanya, takdir berkata lain dan memang hidup tidak selalu sesuai rencana.

Ibu mertua tersenyum manis melihatku yang mulai bingung. Aku yakin dia akan sangat bahagia ketika aku memberi anggukan tanda setuju. Tuan Edbert yang katanya kaya pasti memberi ibu banyak uang jika berhasil menemukan wanita simpanan untuknya. Jika benar merasa butuh, kenapa tidak menikah saja dengan sesama lajang?

"Bagaimana, Tyas? Apa kamu setuju dengan tawaran ibu untuk bekerja dengan Tuan Edbert? Lihat saja suamimu, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Jangankan bekerja, berdiri saja tidak sanggup. Siapa yang mau mempekerjakan orang cacat sepertinya?" Ucapan ibu menusuk hati. Aku melihat Mas Zaki membuang pandangan.

"Bukannya tadi Ibu bilang Tuan Edbert mencari wanita–"

"Iya, wanita yang bisa memasak dan bersih-bersih. Kenapa?" Tatapan ibu kini berubah tajam. Aku tahu, ada makna tersendiri di balik itu semua.

Aku mengusap wajah gusar. Sungguh, kali ini berada di pilihan yang sangat sulit. Andai ibu tidak di sini, sudah pasti aku mengatakan yang sebenarnya pada Mas Zaki. Namun, kasihan juga kalau dia kena batunya.

"Dek, jawab ibu!" titah Mas Zaki lembut.

Sifat lembut itulah yang membuatku jatuh cinta pada Mas Zaki dulu. Kami bertemu di depan warkop saat motorku mogok dan dibantu olehnya. Dia lelaki yang bertanggung jawab sampai Tuhan harus mengambil segalanya. Pekerjaan juga harta yang tiba-tiba hilang entah ke mana.

Aku yang manja begitu disayang. Gajinya bahkan tidak pernah disembunyikan, selalu aku yang menyimpan semua. Akan tetapi, ketika dokter bilang bahwa kaki Mas Zaki tidak akan sembuh, paman yang merupakan pemilik perusahaan langsung memecat dengan tidak hormat. Mas Bayu dan istrinya pun berubah kejam padahal sebelumnya kami baik-baik saja dalam satu atap termasuk ibu mertua.

"Biar ibu yang membujuk istrimu, tepatnya meyakinkan." Ibu mertua kembali bersuara.

"Keputusan tetap ada di tangan Tyas, Bu," lirih Mas Zaki.

Ibu tersenyum manis, lalu menuntunku masuk kamarnya. Namun, ketika berada di ruangan yang lumayan besar itu dan pintu tertutup rapat, senyumnya memudar. Aku takut bahkan sangat takut. Perempuan yang selama ini aku anggap ibu ternyata iblis.

"Ibu tidak mau mendengar kata penolakan dari mulutmu, Tyas. Kalau kamu sayang pada suami dan anakmu, maka lakukan pekerjaan itu. Kalau tidak ...." Ibu seperti sengaja menggantung kalimatnya.

"Kalau tidak?"

"Mereka berdua akan ibu siksa, lalu menjual organ tubuh Zaki, sedangkan anakmu jadi tumbal. Ibu butuh uang, tidak ada salahnya membuang sampah dari rumah ini." Ucapan itu benar-benar menohok hati.

Tega sekali ibu mengatai anak dan cucunya sebagai sampah. Mungkin ini salah satu dari ciri-ciri orang yang buta karena uang. Aku mengepal tangan karena kesal, lalu berteriak, "kenapa bukan ibu saja yang melakukan pekerjaan itu?!"

Satu tamparan berhasil mendarat di pipi kananku. Perih, tetapi belum mengalahkan luka di hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status