"Aku pergi, Mas. Kamu jangan melakukan pekerjaan berat di kondisi seperti itu," gumamku.
"Iya, Dek. Mas akan jaga diri untukmu." Mas Zaki tersenyum. Namun, aku bisa merasakan kalau ada luka di baliknya.
"Aku akan mengurus adik ipar, Tyas. Jadi, kamu tidak usah pusing dan fokuslah bekerja." Mbak Utami mendekat ke arah Mas Zaki. "Zaki itu masih anaknya ibu, kami keluarga dan tidak mungkin membiarkannya kesulitan."
Ibu dan Mas Bayu mengangguk setuju. Aku tersenyum menatap mereka, juga kepada Lia. Sekalipun hati tahu betul mereka bersandiwara demi uang, tetap saja aku harus tenang dan dabar. Pintu mobil sudah terbuka, aku masuk beriring air mata yang segera diseka.
"Mama jangan lama!" pinta Lia dengan senyum polosnya. Anak berusia dua tahun bagaimana mungkin secepat itu mengerti. Huh, entahlah.
Dada seperti dihantam batu besar. Aku kesulitan bernapas bahkan untuk membuka mata pun perih sekali. Seandainya waktu bisa berhenti, aku ingin merasakannya. Tangisan Lia yang mulai terdengar membuat hati panas dan ingin memeluknya.
Mobil perlahan melaju meninggalkan halaman rumah. Aku melambai dengan hati bak tercabik belati seribu kali. Perjalanan ini lumayan jauh dan aku harus menyusun strategi begitu sampai. Aku belum pernah melihat wajah Tuan Edbert atau mengetahui berapa usia dan bagaimana wataknya. Semoga tidak seperti mafia yang kejam dan beringas.
"Pak, bagaimana menurut Bapak tentang Tuan Edbert?" Aku berusaha memecah hening sekaligus mencari jawaban dari teka-teki yang membuat kepala pusing.
Supir itu mendesah berat. "Panggil saja Pak Damar. Tuan Edbert itu seperti memiliki kepribadian ganda, bisa jadi di waktu pagi perilakunya sangat lembut, tetapi ketika matahari meninggi semua akan berubah. Kita tidak bisa menebak bagaimana situasi hatinya sehingga harus selalu berhati-hati. Tuan Edbert bahkan pernah hampir membunuh perempuan yang menjadi kekasihnya lima tahun silam."
Ini benar-benar menjadi tantangan. Sepertinya Tuan Edbert tidak mudah ditaklukkan seperti prasangkaku sebelumnya. Aku yakin dia tegas dan pemarah, tetapi Pak Damar bilang seperti memiliki kepribadian ganda dan itu akan menjadi kesempatan besar untuk mendekatinya.
Perlu diingat kalau aku melakukan ini semua demi suami dan anak sematawayang kami, bukan ibu mertua dan dua ular berbisa itu. Hati yang terluka perlahan sembuh ketika dendam sudah terbalaskan. Aku tersenyum getir, bisa kulihat Pak Damar melirik di spion dalam.
"Apa Ibu sudah tahu bekerja sebagai apa?"
"Wanita simpanan. Itu yang dikatakan mertuaku."
"Semoga Ibu betah karena Tuan Edbert itu terkadang kasar pada perempuan sekalipun dicintai. Satu yang Tuan tidak suka, yaitu perempuan berpenampilan seksi di hadapannya dan semua orang."
Aku menatap Pak Damar dengan raut wajah bingung. Jika Tuan Edbert tidak suka perempuan seksi, lantas mengapa mencari wanita simpanan? Apakah ada misi yang sedang dijalankan atau berusaha merebut hati orangtuanya untuk menyerahkan hak waris? Entahlah, yang pasti aku sudah terjebak dalam permainannya.
"Kalau Ibu melakukan kesalahan, tidak perlu jujur atau akan terluka. Kalau Tuan ada masalah atau menitikkan air mata, jangan pernah bertanya keadaannya." Lagi, Pak Damar menjelaskan tentang Tuan Edbert yang sama sekali belum kukenal, tetapi akan menjadi wanita simpanannya dalam beberapa jam.
Mobil melaju semakin kencang ketika memasuki tol, matahari pun semakin meninggi. Sayup-sayup terdengar suara Mas Zaki memanggil namaku. Tepatnya sebuah ilusi karena rindu yang terpatri dalam hati. Aku jadi tidak yakin bisa pulang setiap pekan begitu tahu Tuan Edbert sikapnya seperti itu.
Namun, apa yang bisa aku harapkan? Bukankah orang kaya yang terpandang selalu bersikap seenak mereka karena ada uang yang dikantongi? Sepertinya aku salah dalam melangkah.
"Pak Damar pernah dimarahi Tuan Edbert?"
"Iya, waktu dia masih kecil. Aku sudah lama bekerja di keluarganya, jadi sangat tahu bagaimana sifat Tuan Edbert. Di usia sekarang dia tidak banyak bicara apalagi marah, kecuali jika ada kesalahan pelayan yang mengganggunya. Ibu begitu cantik, aku yakin Tuan tidak akan bisa marah."
Aku tertawa kecil, lalu meminta Pak Damar memanggilku Tyas saja. Namun, dia menolak bahkan siap memanggil Nona Tyas jika sudah resmi menjadi wanita majikannya. Aku geleng-geleng kepala merasa tidak tega mengingat usia Pak Damar yang mungkin sudah menginjak usia enam puluh, sementara aku masih tiga puluh tahun.
Jalanan masih ramai, tetapi tidak menyebabkan macet. Tiba-tiba aku teringat pada Lia, biasanya dia akan merengek minta susu jam sekarang. Khawatir yang semakin meraja, aku mengecek ponsel dan mencari nomor Whats*pp Mbak Utami.
Aku : Mbak, apa Lia tidak merengek minta susu atau makan?
Utami : Aku sedang menyuapi keponakanku, kamu tidak perlu khawatir. Zaki juga sudah makan, dia kami rawat sepenuh hati.
Mbak Utami membalas setelah dua menit centang abu. Bahkan perempuan itu mengirim gambar sebagai bukti.
Aku : Terimakasih, Mbak.
Utami : Sama-sama. Kamu tidak perlu khawatir lagi dan fokus kerja, jangan lupa ingat jasaku yang menjaga keluargamu. Kalau sudah gajian, transfer ke nomor rekeningku yang BCA atau Mandiri.
Kali ini Mbak Utami mengirim foto yang berisi nomor rekeningnya dan Mas Bayu. Aku tertawa dalam hati, dia memang sangat mata duitan. Mereka menjaga Mas Zaki juga Lia itu karena ingin mendapat uang. Aku yakin, jika memberi kabar bahwa Tuan Edbert memecat diri ini, ketiganya pasti marah dan langsung melenyapkan suami serta anakku.
"Kenapa Ibu senyum-senyum begitu?" Pak Damar rupanya memperhatikanku sejak tadi.
"Anu, Pak ada penipu yang minta uang gratis. Dia pikir mencari uang itu semudah membalikkan telapak tangan." Aku terkekeh.
"Aku bisa merasakan luka Ibu Tyas. Dulu anak bapak juga sangat dibenci mertuanya sehingga melakukan hal di luar dugaan. Ya, dia bunuh diri apalagi tahu suaminya main perempuan." Pak Damar tersenyum tipis, lalu melanjutkan, "sebentar lagi kita akan sampai di rumah Tuan Edbert yang akan kamu tinggali, bersiaplah!"
Aku menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Jantung berdegup cepat terlebih ketika mobil belok ke halaman rumah yang sebesar istana, megah sekali. Pak Damar bilang kalau di rumah ini hanya ada Tuan Edbert dan sepuluh pelayannya.
Mobil berhenti, dua lelaki berjas hitam melangkah menghampiri kami dan membuka pintu mobil, sementara yang satunya mengambil koperku. Mereka tidak banyak bicara, hanya menunjukkan jalan ke pintu utama. Dengan perasaan ragu aku melangkah, tidak ada suara ribut di sini.
Pintu rumah terbuka, jantungku semakin memompa dengan cepat. Kepala menunduk takut. Pasti Tuan Edbert bertubuh tinggi dan kekar. Tangan dan kaki mulai dingin dan semakin gemetar.
"Jadi, kamu yang bernama Tyas?" Pertanyaan itu berhasil membuatku tersentak.
"Itu Tuan Edbert!" bisik pelayan yang mengantarku.
"I-iya, Tuan," jawabku lirih dengan kepala yang semakin menunduk. Derap langkah Tuan Edbert semakin dekat, aku meremas jari ketakutan. Entah bagaimana tampangnya, jika wajah dipenuhi jenggut aku bisa saja melompat ketakutan. "Katakan dengan keras, aku bahkan tidak suka pada perempuan yang berbicara tanpa melihat mataku. Angkat wajahmu!" Suara berat itu menembus masuk ke ulu hati menyisakan luka hingga aku hampir menitikkan air mata. Perlahan aku mengangkat wajah menatapnya. Hati berdesir begitu melihat wajah yang terpahat sempurna. Hidung yang menjulang, bibir tipis berhias kumis tipis bahkan sedikit berwarna merah muda. Kulitnya putih tanpa jenggut. Rambutnya kecoklatan bahkan mungkin bisa dibilang serupa pangeran. Tuan Edbert terkesan masih sangat muda, aku tidak bisa menebak umur jika melihat wajahnya. Apakah mungkin kukatakan sembilan belas tahun? Tubuh yang tinggi dengan suara berat tidak cocok dengan wajahnya yang hampir dikata baby face. "Iya, Tuan. A-aku adalah Tyas,"
Tentu saja. Aku bahkan bisa melenyapkan keluargamu kalau benar menipuku." Tuan Edbert tersenyum sinis, kemudian kembali berdiri mendekat padaku.Tangan kananku diraihnya, menuntun ke sofa dekat jendela. Kami duduk berhadapan dengan jarak yang sangat dekat. Tangan kekar Tuan Edbert menyibak rambutku, lalu mengelus leher ini sangat lembut."Kita harus terbiasa seperti ini agar kamu tidak malu jika sudah menjadi istriku. Setelah menikah, jangan memanggilku Tuan Edbert lagi. Aku ingin panggilan yang lebih romantis," bisik Tuan Edbert, lalu memberi gigitan kecil di telingaku.Jujur, ini sangat menggelikan. Seorang istri yang telah berkhianat pada suaminya yang lumpuh. Air mata jatuh membasahi pipi. Aku tidak bisa menerima perlakuan lelaki kaya di depanku hanya saja ... entahlah.Tuan Edbert memegang daguku, sehingga wajah kami saling berhadapan. Untuk sesaat aku sadar kalau dia mendekat hendak mencium bibir ini, beruntung aku lekas memalingkan wajah. Sekalipun nanti harus melakukan hal yan
"Aku tidak bisa melihat rona bahagia di wajah Nona ketika bertemu Tuan Edbert. Apa terjadi sesuatu, Nona?" Maria menatapku lekat."Maria, aku mau pipis. Kamar mandinya di mana?" Aku sengaja menghentak-hentakkan kaki di lantai berulang kali agar pelayan itu percaya. Tangannya kemudian menunjuk dengan sopan.Parah, bahkan pintu kamar mandi lebih indah daripada pintu rumahku. Dalam kamar mandi ini tersedia bathtub tanam berwarna putih, juga terdapat tabung kaca lengkap dengan shower dan spa uapnya. Ada dudukan melingkar dari marmer di tengahnya.Kamar mandi yang berlapis marmer motif kaca pada dinding dan lantainya juga semakin mewah dengan hadirnya meja rias yang penuh dengan kosmetik. Ini mungkin terkesan sangat mewah. Aroma yang harum menusuk rongga hidung sehingga mandi pun akan terasa nyaman.Entah bagaimana mewahnya kamar pribadi Tuan Edbert.Setelah mencuci wajah dengan air yang sangat segar, aku kembali ke luar. Maria ternyata masih berdiri di luar. Dia kembali mengambangkan seny
Pertahananku luluh ketika melihat Mas Zaki dengan wajah penuh kerinduan duduk kursi roda yang selalu menemaninya. Dia ada di beranda pintu kamar, seperti habis mandi.Aku langsung menghambur dalam pelukannya. Dinding pemisah yang mereka ciptakan seperti rubuh berkeping-keping.Air mata semakin mengalir deras ketika bayangan Tuan Edbert melintas dalam pikiran. Pengkhianatan itu benar-benar terjadi."Mas kangen sama kamu, Tyas. Mas bahkan berpikir tidak akan melihatmu lagi. Ini kok bisa balik lagi?" Senyum itu merekah sempurna."Aku diberi waktu sepekan, Mas untuk belajar bagaimana bekerja dengan baik. Di rumah Tuan Edbert juga diminta menjaga penampilan sekalipun hanya pelayan."Aku menunduk ketika menjawab takut Mas Zaki melihat kebohongan di mata istrinya.Sayang sekali karena tangan Mas Zaki memegang daguku dan mengangkat wajah ini hingga kami beradu pandang. Kedua alisnya bertaut sempurna. "Tapi di sana kamu nyaman, 'kan?""Iya, Mas. Aku sudah punya teman, namanya Maria. Dia salah
"Uang apa, Bu? Tyas gak ngirim kecuali buat bayar semua utangnya. Dia kan ngutang sama aku juga waktu Zaki kecelakaan itu!" cebik Mbak Utami kesal. Ibu menatap tidak percaya, baru saja aku ingin melangkah ke kamar tiba-tiba tangan ini dicekal kuat oleh mertua. Aku menoleh. "Ada apa, Bu?" "Zaki mana?" "Baru aja mandi tadi, kenapa?" "Lupakan masalah uang, ibu yakin kamu akan memberi jatah padaku nanti. Sekarang jawab dengan jujur, kamu tidak sedang kabur, kan?"Aku menggeleng. "Tidak. Aku tidak kabur, semua demi Mas Zaki dan Lia bukan kalian. Mereka berdua saja yang menganggap aku penting sementara kalian semuanya mata duitan dan Tuan Edbert tahu itu!" Satu tamparan berhasil lolos menyentuh pipiku. Hangat juga perih, tetapi lebih menyakitkan lagi jika kebenaran telah terungkap. Telunjuk ibu mengarah padaku. "Kamu itu menantu durhaka, Tyas! Awas saja kalau ngadu sama Zaki, nyawa kalian akan terancam. Ibu bisa saja melawan suami cacatmu itu, tetapi ada satu alasan sampai membiarkan
Sambil menggendong Lia di pangkuan, aku terus memikirkan cara menyampaikan permintaan cerai agar Mas Zaki tidak tersinggung. Bagaimana pun juga tentu hal ini mengundang kecurigaan.Lelaki itu menatapku lekat penuh cinta dan kerinduan. Hati semakin bimbang, apalagi saat ini dia lumpuh, besar kemungkinan hadir prasangka lain dalam hatinya."Mas, aku ...." Kalimat itu sangat sulit untuk keluar."Kenapa, Dek?""Ada satu syarat, Mas untuk menjadi asisten di rumah Tuan Edbert. Mungkin kamu tidak akan setuju. Aku hanya mencoba menyampaikan siapa tahu ada solusi." Terpaksa aku memulai sebuah kebohongan."Syarat apa?"Aku menelan saliva. "Itu, Mas. Semua pekerja di sana diharuskan belum menikah atau tidak berkeluarga karena nanti kalau kerja bisa gagal fokus." Entah ini logis, aku hanya berharap Mas Zaki mengerti."Lalu?""Mas." Lelaki itu diam, mungkin mencoba menunggu kejelasan dengan sabar. "Apa Mas mau menceraikan aku demi pekerjaan–""Tidak!" tegasnya.Lia kubiarkan duduk di lantai memint
"Mas tahu kapan waktu berlalu begitu cepat?" tanyaku pada Mas Zaki yang sedang menidurkan Lia."Ketika bersamamu." Dia menjawab sambil memberi seulas senyum."Benar, Mas. Bahkan sepekan terasa satu detik." Aku menunduk dengan hati menyimpan perih.Kebahagiaan itu segera sirna karena pada kenyataannya Pak Damar sudah menunggu di ruang tamu. Aku menghela napas berulang kali. Dosa sebagai istri dan hamba masih terus berlanjut."Kamu semakin cantik, Tyas. Apa selama ini melakukan perawatan?"Mas Zaki memang tidak pernah bertanya aku hendak ke mana sepekan ini karena Mbak Utami rajin menemani. Namun, tetap saja perubahan warna kulit yang semakin cerah dan kenyal pun wajah sedikit glowing menimbulkan tanya di benak suamiku."Maafkan aku, Mas. Aku melakukan ini demi kamu agar bisa diterima bekerja di sana. Doakan aku pula agar Tuan Edbert mengerti keadaanku yang telah bersuami."Lelaki itu mengangguk sementara aku membuang pandangan sekilas meratapi diri yang mendapat takdir ini. Ingin beran
Pintu mobil terbuka, aku melangkah pelan menuju rumah yang sangat megah serupa istana itu. Masih menjadi pertanyaan dari mana kekayaan Tuan Edbert ini, mungkinkah karena orangtuanya?Pintu rumah yang tinggi menjulang itu terbuka pelan ketika aku sampai. Maria melangkah cepat menghampiriku dengan senyum merekah indah."Nona, Tuan Edbert sudah menunggu Anda sejak tadi. Silakan!" sambutnya dengan sopan.Aku melangkah mengikuti Maria. Seharusnya dia berdiri di belakang, tetapi aku masih belum hapal ruangan yang ada di sini atau akan tersesat.Maria berhenti melangkah di depan pintu berwarna emas. Aku bingung ini ruangan apa, tetapi sedikit malu untuk bertanya."Tuan Edbert sedang menunggu Nona di dalam," jelas Maria lagi, kemudian meraih handle pintu dan membukanya. Dia menyilakan aku masuk.Jantung berdegup cepat menghadapi kenyataan pahit. Aku melangkah sambil merapalkan doa seperti sedang melihat hantu. Rupanya ini adalah sebuah kamar milik Tuan Edbert. Sangat luas dan megah.Lelaki it