Share

Bab 5

"Aku pergi, Mas. Kamu jangan melakukan pekerjaan berat di kondisi seperti itu," gumamku.

"Iya, Dek. Mas akan jaga diri untukmu." Mas Zaki tersenyum. Namun, aku bisa merasakan kalau ada luka di baliknya.

"Aku akan mengurus adik ipar, Tyas. Jadi, kamu tidak usah pusing dan fokuslah bekerja." Mbak Utami mendekat ke arah Mas Zaki. "Zaki itu masih anaknya ibu, kami keluarga dan tidak mungkin membiarkannya kesulitan."

Ibu dan Mas Bayu mengangguk setuju. Aku tersenyum menatap mereka, juga kepada Lia. Sekalipun hati tahu betul mereka bersandiwara demi uang, tetap saja aku harus tenang dan dabar. Pintu mobil sudah terbuka, aku masuk beriring air mata yang segera diseka.

"Mama jangan lama!" pinta Lia dengan senyum polosnya. Anak berusia dua tahun bagaimana mungkin secepat itu mengerti. Huh, entahlah.

Dada seperti dihantam batu besar. Aku kesulitan bernapas bahkan untuk membuka mata pun perih sekali. Seandainya waktu bisa berhenti, aku ingin merasakannya. Tangisan Lia yang mulai terdengar membuat hati panas dan ingin memeluknya.

Mobil perlahan melaju meninggalkan halaman rumah. Aku melambai dengan hati bak tercabik belati seribu kali. Perjalanan ini lumayan jauh dan aku harus menyusun strategi begitu sampai. Aku belum pernah melihat wajah Tuan Edbert atau mengetahui berapa usia dan bagaimana wataknya. Semoga tidak seperti mafia yang kejam dan beringas.

"Pak, bagaimana menurut Bapak tentang Tuan Edbert?" Aku berusaha memecah hening sekaligus mencari jawaban dari teka-teki yang membuat kepala pusing.

Supir itu mendesah berat. "Panggil saja Pak Damar. Tuan Edbert itu seperti memiliki kepribadian ganda, bisa jadi di waktu pagi perilakunya sangat lembut, tetapi ketika matahari meninggi semua akan berubah. Kita tidak bisa menebak bagaimana situasi hatinya sehingga harus selalu berhati-hati. Tuan Edbert bahkan pernah hampir membunuh perempuan yang menjadi kekasihnya lima tahun silam."

Ini benar-benar menjadi tantangan. Sepertinya Tuan Edbert tidak mudah ditaklukkan seperti prasangkaku sebelumnya. Aku yakin dia tegas dan pemarah, tetapi Pak Damar bilang seperti memiliki kepribadian ganda dan itu akan menjadi kesempatan besar untuk mendekatinya.

Perlu diingat kalau aku melakukan ini semua demi suami dan anak sematawayang kami, bukan ibu mertua dan dua ular berbisa itu. Hati yang terluka perlahan sembuh ketika dendam sudah terbalaskan. Aku tersenyum getir, bisa kulihat Pak Damar melirik di spion dalam.

"Apa Ibu sudah tahu bekerja sebagai apa?"

"Wanita simpanan. Itu yang dikatakan mertuaku."

"Semoga Ibu betah karena Tuan Edbert itu terkadang kasar pada perempuan sekalipun dicintai. Satu yang Tuan tidak suka, yaitu perempuan berpenampilan seksi di hadapannya dan semua orang."

Aku menatap Pak Damar dengan raut wajah bingung. Jika Tuan Edbert tidak suka perempuan seksi, lantas mengapa mencari wanita simpanan? Apakah ada misi yang sedang dijalankan atau berusaha merebut hati orangtuanya untuk menyerahkan hak waris? Entahlah, yang pasti aku sudah terjebak dalam permainannya.

"Kalau Ibu melakukan kesalahan, tidak perlu jujur atau akan terluka. Kalau Tuan ada masalah atau menitikkan air mata, jangan pernah bertanya keadaannya." Lagi, Pak Damar menjelaskan tentang Tuan Edbert yang sama sekali belum kukenal, tetapi akan menjadi wanita simpanannya dalam beberapa jam.

Mobil melaju semakin kencang ketika memasuki tol, matahari pun semakin meninggi. Sayup-sayup terdengar suara Mas Zaki memanggil namaku. Tepatnya sebuah ilusi karena rindu yang terpatri dalam hati. Aku jadi tidak yakin bisa pulang setiap pekan begitu tahu Tuan Edbert sikapnya seperti itu.

Namun, apa yang bisa aku harapkan? Bukankah orang kaya yang terpandang selalu bersikap seenak mereka karena ada uang yang dikantongi? Sepertinya aku salah dalam melangkah.

"Pak Damar pernah dimarahi Tuan Edbert?"

"Iya, waktu dia masih kecil. Aku sudah lama bekerja di keluarganya, jadi sangat tahu bagaimana sifat Tuan Edbert. Di usia sekarang dia tidak banyak bicara apalagi marah, kecuali jika ada kesalahan pelayan yang mengganggunya. Ibu begitu cantik, aku yakin Tuan tidak akan bisa marah."

Aku tertawa kecil, lalu meminta Pak Damar memanggilku Tyas saja. Namun, dia menolak bahkan siap memanggil Nona Tyas jika sudah resmi menjadi wanita majikannya. Aku geleng-geleng kepala merasa tidak tega mengingat usia Pak Damar yang mungkin sudah menginjak usia enam puluh, sementara aku masih tiga puluh tahun.

Jalanan masih ramai, tetapi tidak menyebabkan macet. Tiba-tiba aku teringat pada Lia, biasanya dia akan merengek minta susu jam sekarang. Khawatir yang semakin meraja, aku mengecek ponsel dan mencari nomor Whats*pp Mbak Utami.

Aku : Mbak, apa Lia tidak merengek minta susu atau makan?

Utami : Aku sedang menyuapi keponakanku, kamu tidak perlu khawatir. Zaki juga sudah makan, dia kami rawat sepenuh hati.

Mbak Utami membalas setelah dua menit centang abu. Bahkan perempuan itu mengirim gambar sebagai bukti.

Aku : Terimakasih, Mbak.

Utami : Sama-sama. Kamu tidak perlu khawatir lagi dan fokus kerja, jangan lupa ingat jasaku yang menjaga keluargamu. Kalau sudah gajian, transfer ke nomor rekeningku yang BCA atau Mandiri.

Kali ini Mbak Utami mengirim foto yang berisi nomor rekeningnya dan Mas Bayu. Aku tertawa dalam hati, dia memang sangat mata duitan. Mereka menjaga Mas Zaki juga Lia itu karena ingin mendapat uang. Aku yakin, jika memberi kabar bahwa Tuan Edbert memecat diri ini, ketiganya pasti marah dan langsung melenyapkan suami serta anakku.

"Kenapa Ibu senyum-senyum begitu?" Pak Damar rupanya memperhatikanku sejak tadi.

"Anu, Pak ada penipu yang minta uang gratis. Dia pikir mencari uang itu semudah membalikkan telapak tangan." Aku terkekeh.

"Aku bisa merasakan luka Ibu Tyas. Dulu anak bapak juga sangat dibenci mertuanya sehingga melakukan hal di luar dugaan. Ya, dia bunuh diri apalagi tahu suaminya main perempuan." Pak Damar tersenyum tipis, lalu melanjutkan, "sebentar lagi kita akan sampai di rumah Tuan Edbert yang akan kamu tinggali, bersiaplah!"

Aku menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Jantung berdegup cepat terlebih ketika mobil belok ke halaman rumah yang sebesar istana, megah sekali. Pak Damar bilang kalau di rumah ini hanya ada Tuan Edbert dan sepuluh pelayannya.

Mobil berhenti, dua lelaki berjas hitam melangkah menghampiri kami dan membuka pintu mobil, sementara yang satunya mengambil koperku. Mereka tidak banyak bicara, hanya menunjukkan jalan ke pintu utama. Dengan perasaan ragu aku melangkah, tidak ada suara ribut di sini.

Pintu rumah terbuka, jantungku semakin memompa dengan cepat. Kepala menunduk takut. Pasti Tuan Edbert bertubuh tinggi dan kekar. Tangan dan kaki mulai dingin dan semakin gemetar.

"Jadi, kamu yang bernama Tyas?" Pertanyaan itu berhasil membuatku tersentak.

"Itu Tuan Edbert!" bisik pelayan yang mengantarku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status