Share

Bab 6

"I-iya, Tuan," jawabku lirih dengan kepala yang semakin menunduk.

Derap langkah Tuan Edbert semakin dekat, aku meremas jari ketakutan. Entah bagaimana tampangnya, jika wajah dipenuhi jenggut aku bisa saja melompat ketakutan.

"Katakan dengan keras, aku bahkan tidak suka pada perempuan yang berbicara tanpa melihat mataku. Angkat wajahmu!" Suara berat itu menembus masuk ke ulu hati menyisakan luka hingga aku hampir menitikkan air mata.

Perlahan aku mengangkat wajah menatapnya. Hati berdesir begitu melihat wajah yang terpahat sempurna. Hidung yang menjulang, bibir tipis berhias kumis tipis bahkan sedikit berwarna merah muda. Kulitnya putih tanpa jenggut. Rambutnya kecoklatan bahkan mungkin bisa dibilang serupa pangeran.

Tuan Edbert terkesan masih sangat muda, aku tidak bisa menebak umur jika melihat wajahnya. Apakah mungkin kukatakan sembilan belas tahun? Tubuh yang tinggi dengan suara berat tidak cocok dengan wajahnya yang hampir dikata baby face.

"Iya, Tuan. A-aku adalah Tyas," jawabku dengan suara pelan.

Tuan Edbert mengangguk-angguk, kemudian matanya memindai tubuh kecil ini dari bawah ke atas. Aku bisa merasakan bagaimana kesal hatinya jika harus memiliki wanita simpanan yang kucel karena dilihat dari penampilan, dia orang yang sangat berkelas.

"Maria, antar perempuan ini ke ruanganku!" titah Tuan Edbert sambil melangkah cepat meninggalkan kami.

Aku menatap pada Maria, dia tersenyum ramah. Lega, bahkan aku merasa punya teman. Dia memintaku mengikutinya ke ruangan yang dimaksud Tuan Edbert. Rumah ini sangat megah, lantainya pun begitu licin dan mengkilap. Furniture berwarna keemasan menyilaukan mata.

Beberapa langkah kemudian, kami telah sampai di depan pintu yang sangat tinggi dan tertutup rapat berwarna cokelat. Maria mengetuk dua kali, kemudian pintu itu terbuka lebar. Aku bisa melihat Tuan Edbert duduk di meja kerjanya. Ruangan yang sangat luas ini begitu indah dan nyaman.

Mataku memindai sekeliling. Ada sofa, vas bunga dan ....

"Apa kamu akan terus melihat ruangan ini?" tegur Tuan Edbert.

Aku mengerjap, kemudian duduk di kursi ketika tangannya memberi isyarat. Sementara itu, Maria dan pelayan yang membuka pintu tadi ke luar meninggalkan kami. Aku takut Tuan Edbert melakukan sesuatu.

"Sudah tahu tugasmu?"

Pertanyaan itu terdengar memalukan karena aku merasa seperti perempuan murahan yang menjual dirinya. Seandainya saja belum bersuami, mungkin akan terpikat pada lelaki tampan dan menawan di depanku.

"Wanita simpanan." Aku menjawab dengan penuh kehati-hatian.

"Salah!" Tuan Edbert tersenyum sinis, dia kemudian berdiri dari kursinya melangkah entah ke mana. Aku hanya bisa mematung tanpa ingin menoleh. "Kamu akan menjadi istri simpananku, Tyas!"

Kedua mataku membulat sempurna. Jika menjadi istri, apakah aku harus melakukan poliandri yang jelas dilarang dalam agama? Ah, berbicara tentang agama aku bahkan tetap akan melakukan dosa jika berzina karena pekerjaan laknat ini.

Satu yang menjadi pertanyaan adalah apakah Tuan Edbert sudah beristri dan tahu aku ini perempuan bersuami?

Tangan Tuan Edbert tiba-tiba memegang kedua pundakku dari belakang menciptakan desiran hebat dalam dada. Memang tidak mencintai, tetapi sentuhan dari lawan jenis tentu berbeda.

"Aku sudah menikah dengan Aluma, Tyas. Hanya saja istriku itu tidak mau punya anak karena menjaga kecantikannya. Kamu paham maksudku?" bisik Tuan Edbert setelah menyapu rambutku. Geli.

"Tuan mau aku melahirkan anak Tuan?"

Daguku dicolek sekilas. "Benar sekali. Aku ingin punya anak, tetapi tidak dengan Aluma."

"Kita akan melakukan itu?" tanyaku dengan bibir gemetar.

Tawa Tuan Edbert menggema di dalam ruangan. Aku takut, jantung pun berdebar semakin cepat. Tiba-tiba lelaki tampan itu kembali duduk di kursinya sehingga mata kami beradu seperti tadi.

"Aku akan menikahimu secara siri. Tidak masalah, bukan?"

"M-menikah?" Aku terperanjat. Benar, seorang perempuan akan melakukan poliandri.

"Benar, tetapi hanya orang di rumah ini yang tahu, keluargamu tidak perlu!"

Tuan Edbert pasti tidak tahu kalau aku telah menikah. Entah bagaimana awal cerita sehingga kami bisa bertemu seperti ini. Aku menunduk, air mata pun jatuh membasahi pipi tanpa permisi.

Mengkhianati Mas Zaki sekalipun dia sudah cacat adalah dosa. Aku mencintainya dengan tulus dan entah bagaimana perasaan suamiku itu jika sudah tahu kebenaran ini. Menyalahkan ibu juga takut, kami memiliki banyak hutang kala Mas Zaki masuk rumah sakit.

Aku menghela napas berat. "Aku tidak bisa menikah dengan Tuan."

"Tidak! Kamu harus menikah denganku. Selama ini jika aku menginginkan sesuatu, harus terwujud atau akan ada nyawa yang melayang!" Tuan Edbert menggrebek meja, sementara aku hanya bisa diam.

"Hari ini kamu tidak harus menginap karena melihat penampilanmu yang tidak layak bersanding denganku. Dalam sepekan kamu sudah harus cantik dan selalu berdandan demi aku," lanjut Tuan Edbert.

"Apa aku boleh bertanya sesuatu padamu, Tuan?" tanyaku lagi dengan perasaan sangat takut. Kedua tangan yang kuletak di meja sedikit gemetar.

"Tanyakanlah, apa pun!" jawab Tuan Edbert seraya memegang tanganku lembut.

Lidah tiba-tiba kelu dengan bibir terkatup rapat. Perlakuan Tuan Edbert bisa saja meruntuhkan pertahanan seorang perempuan lemah sepertiku. Aku kembali menghela napas panjang untuk menenangkan hati.

"Berapa lama aku harus menjadi istri Tuan?"

"Sampai kamu telah berhasil melahirkan anakku. Jadi, jika kamu ingin segera mengakhiri hubungan kita nanti, kamu harus hamil dalam waktu cepat."

Bagaimana mungkin aku mau hamil sekalipun itu keinginan Tuan Edbert? Mas Zaki pasti curiga ketika melihat perut istrinya membesar. Ingin di rumah ini sampai melahirkan juga tidak mungkin karena ada Lia yang merindukan ibunya.

Aku dilema, benar-benar bimbang. Andai saja ada pilihan lain, aku akan memilihnya. Ketika pandanganku mengarah pada jendela, hujan tiba-tiba turun sedikit deras. Mungkin saja langit memahami perasaanku.

"Jika aku tidak hamil, Tuan?" Pertanyaan itu akhirnya lolos juga.

"Hamil. Kita akan melakukannya secara rutin agar berhasil. Kamu juga harus meminum obat penyubur kandungan. Bagaimana pun caranya kamu harus hamil, aku bahkan tidak peduli jika menghabiskan banyak uang!" tegas Tuan Edbert semakin mengeratkan genggaman tangannya.

"Iya, Tuan." Aku menunduk.

"Tapi, apa kamu masih perawan?"

Pertanyaan itu kembali membuatku mengangkat wajah dengan mulut menganga. Sekalipun berbohong, pada akhirnya Tuan Edbert juga akan tahu. Tenggorokan rasanya tercekat, aku menggeleng pelan.

Tangan Tuan Edbert dilepas. "Bagaimana bisa? Apa kamu punya suami?" Dahinya mengkerut.

Sekarang aku bingung harus menjawab apa. Jika jujur, mungkin akan memancing kemarahannya dan aku bisa mati di tempat. Bukan hanya aku, juga Mas Zaki dan Lia.

"Tidak, Tuan. Aku hanya pernah melakukan itu dengan pacarku sekali. Namun, dia sudah meninggal sebelum kami menikah." Terpaksa aku berbohong.

"Baguslah karena aku tidak menginginkan perempuan yang sudah bersuami. Aku benci dengan mereka!"

"Jika aku telah bersuami, apa Tuan akan membenciku?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status