"I-iya, Tuan," jawabku lirih dengan kepala yang semakin menunduk.
Derap langkah Tuan Edbert semakin dekat, aku meremas jari ketakutan. Entah bagaimana tampangnya, jika wajah dipenuhi jenggut aku bisa saja melompat ketakutan.
"Katakan dengan keras, aku bahkan tidak suka pada perempuan yang berbicara tanpa melihat mataku. Angkat wajahmu!" Suara berat itu menembus masuk ke ulu hati menyisakan luka hingga aku hampir menitikkan air mata.
Perlahan aku mengangkat wajah menatapnya. Hati berdesir begitu melihat wajah yang terpahat sempurna. Hidung yang menjulang, bibir tipis berhias kumis tipis bahkan sedikit berwarna merah muda. Kulitnya putih tanpa jenggut. Rambutnya kecoklatan bahkan mungkin bisa dibilang serupa pangeran.
Tuan Edbert terkesan masih sangat muda, aku tidak bisa menebak umur jika melihat wajahnya. Apakah mungkin kukatakan sembilan belas tahun? Tubuh yang tinggi dengan suara berat tidak cocok dengan wajahnya yang hampir dikata baby face.
"Iya, Tuan. A-aku adalah Tyas," jawabku dengan suara pelan.
Tuan Edbert mengangguk-angguk, kemudian matanya memindai tubuh kecil ini dari bawah ke atas. Aku bisa merasakan bagaimana kesal hatinya jika harus memiliki wanita simpanan yang kucel karena dilihat dari penampilan, dia orang yang sangat berkelas.
"Maria, antar perempuan ini ke ruanganku!" titah Tuan Edbert sambil melangkah cepat meninggalkan kami.
Aku menatap pada Maria, dia tersenyum ramah. Lega, bahkan aku merasa punya teman. Dia memintaku mengikutinya ke ruangan yang dimaksud Tuan Edbert. Rumah ini sangat megah, lantainya pun begitu licin dan mengkilap. Furniture berwarna keemasan menyilaukan mata.
Beberapa langkah kemudian, kami telah sampai di depan pintu yang sangat tinggi dan tertutup rapat berwarna cokelat. Maria mengetuk dua kali, kemudian pintu itu terbuka lebar. Aku bisa melihat Tuan Edbert duduk di meja kerjanya. Ruangan yang sangat luas ini begitu indah dan nyaman.
Mataku memindai sekeliling. Ada sofa, vas bunga dan ....
"Apa kamu akan terus melihat ruangan ini?" tegur Tuan Edbert.
Aku mengerjap, kemudian duduk di kursi ketika tangannya memberi isyarat. Sementara itu, Maria dan pelayan yang membuka pintu tadi ke luar meninggalkan kami. Aku takut Tuan Edbert melakukan sesuatu.
"Sudah tahu tugasmu?"
Pertanyaan itu terdengar memalukan karena aku merasa seperti perempuan murahan yang menjual dirinya. Seandainya saja belum bersuami, mungkin akan terpikat pada lelaki tampan dan menawan di depanku.
"Wanita simpanan." Aku menjawab dengan penuh kehati-hatian.
"Salah!" Tuan Edbert tersenyum sinis, dia kemudian berdiri dari kursinya melangkah entah ke mana. Aku hanya bisa mematung tanpa ingin menoleh. "Kamu akan menjadi istri simpananku, Tyas!"
Kedua mataku membulat sempurna. Jika menjadi istri, apakah aku harus melakukan poliandri yang jelas dilarang dalam agama? Ah, berbicara tentang agama aku bahkan tetap akan melakukan dosa jika berzina karena pekerjaan laknat ini.
Satu yang menjadi pertanyaan adalah apakah Tuan Edbert sudah beristri dan tahu aku ini perempuan bersuami?Tangan Tuan Edbert tiba-tiba memegang kedua pundakku dari belakang menciptakan desiran hebat dalam dada. Memang tidak mencintai, tetapi sentuhan dari lawan jenis tentu berbeda.
"Aku sudah menikah dengan Aluma, Tyas. Hanya saja istriku itu tidak mau punya anak karena menjaga kecantikannya. Kamu paham maksudku?" bisik Tuan Edbert setelah menyapu rambutku. Geli.
"Tuan mau aku melahirkan anak Tuan?"
Daguku dicolek sekilas. "Benar sekali. Aku ingin punya anak, tetapi tidak dengan Aluma.""Kita akan melakukan itu?" tanyaku dengan bibir gemetar.
Tawa Tuan Edbert menggema di dalam ruangan. Aku takut, jantung pun berdebar semakin cepat. Tiba-tiba lelaki tampan itu kembali duduk di kursinya sehingga mata kami beradu seperti tadi.
"Aku akan menikahimu secara siri. Tidak masalah, bukan?"
"M-menikah?" Aku terperanjat. Benar, seorang perempuan akan melakukan poliandri.
"Benar, tetapi hanya orang di rumah ini yang tahu, keluargamu tidak perlu!"
Tuan Edbert pasti tidak tahu kalau aku telah menikah. Entah bagaimana awal cerita sehingga kami bisa bertemu seperti ini. Aku menunduk, air mata pun jatuh membasahi pipi tanpa permisi.
Mengkhianati Mas Zaki sekalipun dia sudah cacat adalah dosa. Aku mencintainya dengan tulus dan entah bagaimana perasaan suamiku itu jika sudah tahu kebenaran ini. Menyalahkan ibu juga takut, kami memiliki banyak hutang kala Mas Zaki masuk rumah sakit.
Aku menghela napas berat. "Aku tidak bisa menikah dengan Tuan."
"Tidak! Kamu harus menikah denganku. Selama ini jika aku menginginkan sesuatu, harus terwujud atau akan ada nyawa yang melayang!" Tuan Edbert menggrebek meja, sementara aku hanya bisa diam.
"Hari ini kamu tidak harus menginap karena melihat penampilanmu yang tidak layak bersanding denganku. Dalam sepekan kamu sudah harus cantik dan selalu berdandan demi aku," lanjut Tuan Edbert.
"Apa aku boleh bertanya sesuatu padamu, Tuan?" tanyaku lagi dengan perasaan sangat takut. Kedua tangan yang kuletak di meja sedikit gemetar.
"Tanyakanlah, apa pun!" jawab Tuan Edbert seraya memegang tanganku lembut.
Lidah tiba-tiba kelu dengan bibir terkatup rapat. Perlakuan Tuan Edbert bisa saja meruntuhkan pertahanan seorang perempuan lemah sepertiku. Aku kembali menghela napas panjang untuk menenangkan hati."Berapa lama aku harus menjadi istri Tuan?"
"Sampai kamu telah berhasil melahirkan anakku. Jadi, jika kamu ingin segera mengakhiri hubungan kita nanti, kamu harus hamil dalam waktu cepat."
Bagaimana mungkin aku mau hamil sekalipun itu keinginan Tuan Edbert? Mas Zaki pasti curiga ketika melihat perut istrinya membesar. Ingin di rumah ini sampai melahirkan juga tidak mungkin karena ada Lia yang merindukan ibunya.
Aku dilema, benar-benar bimbang. Andai saja ada pilihan lain, aku akan memilihnya. Ketika pandanganku mengarah pada jendela, hujan tiba-tiba turun sedikit deras. Mungkin saja langit memahami perasaanku.
"Jika aku tidak hamil, Tuan?" Pertanyaan itu akhirnya lolos juga.
"Hamil. Kita akan melakukannya secara rutin agar berhasil. Kamu juga harus meminum obat penyubur kandungan. Bagaimana pun caranya kamu harus hamil, aku bahkan tidak peduli jika menghabiskan banyak uang!" tegas Tuan Edbert semakin mengeratkan genggaman tangannya.
"Iya, Tuan." Aku menunduk.
"Tapi, apa kamu masih perawan?"
Pertanyaan itu kembali membuatku mengangkat wajah dengan mulut menganga. Sekalipun berbohong, pada akhirnya Tuan Edbert juga akan tahu. Tenggorokan rasanya tercekat, aku menggeleng pelan.
Tangan Tuan Edbert dilepas. "Bagaimana bisa? Apa kamu punya suami?" Dahinya mengkerut.
Sekarang aku bingung harus menjawab apa. Jika jujur, mungkin akan memancing kemarahannya dan aku bisa mati di tempat. Bukan hanya aku, juga Mas Zaki dan Lia.
"Tidak, Tuan. Aku hanya pernah melakukan itu dengan pacarku sekali. Namun, dia sudah meninggal sebelum kami menikah." Terpaksa aku berbohong.
"Baguslah karena aku tidak menginginkan perempuan yang sudah bersuami. Aku benci dengan mereka!"
"Jika aku telah bersuami, apa Tuan akan membenciku?"
Tentu saja. Aku bahkan bisa melenyapkan keluargamu kalau benar menipuku." Tuan Edbert tersenyum sinis, kemudian kembali berdiri mendekat padaku.Tangan kananku diraihnya, menuntun ke sofa dekat jendela. Kami duduk berhadapan dengan jarak yang sangat dekat. Tangan kekar Tuan Edbert menyibak rambutku, lalu mengelus leher ini sangat lembut."Kita harus terbiasa seperti ini agar kamu tidak malu jika sudah menjadi istriku. Setelah menikah, jangan memanggilku Tuan Edbert lagi. Aku ingin panggilan yang lebih romantis," bisik Tuan Edbert, lalu memberi gigitan kecil di telingaku.Jujur, ini sangat menggelikan. Seorang istri yang telah berkhianat pada suaminya yang lumpuh. Air mata jatuh membasahi pipi. Aku tidak bisa menerima perlakuan lelaki kaya di depanku hanya saja ... entahlah.Tuan Edbert memegang daguku, sehingga wajah kami saling berhadapan. Untuk sesaat aku sadar kalau dia mendekat hendak mencium bibir ini, beruntung aku lekas memalingkan wajah. Sekalipun nanti harus melakukan hal yan
"Aku tidak bisa melihat rona bahagia di wajah Nona ketika bertemu Tuan Edbert. Apa terjadi sesuatu, Nona?" Maria menatapku lekat."Maria, aku mau pipis. Kamar mandinya di mana?" Aku sengaja menghentak-hentakkan kaki di lantai berulang kali agar pelayan itu percaya. Tangannya kemudian menunjuk dengan sopan.Parah, bahkan pintu kamar mandi lebih indah daripada pintu rumahku. Dalam kamar mandi ini tersedia bathtub tanam berwarna putih, juga terdapat tabung kaca lengkap dengan shower dan spa uapnya. Ada dudukan melingkar dari marmer di tengahnya.Kamar mandi yang berlapis marmer motif kaca pada dinding dan lantainya juga semakin mewah dengan hadirnya meja rias yang penuh dengan kosmetik. Ini mungkin terkesan sangat mewah. Aroma yang harum menusuk rongga hidung sehingga mandi pun akan terasa nyaman.Entah bagaimana mewahnya kamar pribadi Tuan Edbert.Setelah mencuci wajah dengan air yang sangat segar, aku kembali ke luar. Maria ternyata masih berdiri di luar. Dia kembali mengambangkan seny
Pertahananku luluh ketika melihat Mas Zaki dengan wajah penuh kerinduan duduk kursi roda yang selalu menemaninya. Dia ada di beranda pintu kamar, seperti habis mandi.Aku langsung menghambur dalam pelukannya. Dinding pemisah yang mereka ciptakan seperti rubuh berkeping-keping.Air mata semakin mengalir deras ketika bayangan Tuan Edbert melintas dalam pikiran. Pengkhianatan itu benar-benar terjadi."Mas kangen sama kamu, Tyas. Mas bahkan berpikir tidak akan melihatmu lagi. Ini kok bisa balik lagi?" Senyum itu merekah sempurna."Aku diberi waktu sepekan, Mas untuk belajar bagaimana bekerja dengan baik. Di rumah Tuan Edbert juga diminta menjaga penampilan sekalipun hanya pelayan."Aku menunduk ketika menjawab takut Mas Zaki melihat kebohongan di mata istrinya.Sayang sekali karena tangan Mas Zaki memegang daguku dan mengangkat wajah ini hingga kami beradu pandang. Kedua alisnya bertaut sempurna. "Tapi di sana kamu nyaman, 'kan?""Iya, Mas. Aku sudah punya teman, namanya Maria. Dia salah
"Uang apa, Bu? Tyas gak ngirim kecuali buat bayar semua utangnya. Dia kan ngutang sama aku juga waktu Zaki kecelakaan itu!" cebik Mbak Utami kesal. Ibu menatap tidak percaya, baru saja aku ingin melangkah ke kamar tiba-tiba tangan ini dicekal kuat oleh mertua. Aku menoleh. "Ada apa, Bu?" "Zaki mana?" "Baru aja mandi tadi, kenapa?" "Lupakan masalah uang, ibu yakin kamu akan memberi jatah padaku nanti. Sekarang jawab dengan jujur, kamu tidak sedang kabur, kan?"Aku menggeleng. "Tidak. Aku tidak kabur, semua demi Mas Zaki dan Lia bukan kalian. Mereka berdua saja yang menganggap aku penting sementara kalian semuanya mata duitan dan Tuan Edbert tahu itu!" Satu tamparan berhasil lolos menyentuh pipiku. Hangat juga perih, tetapi lebih menyakitkan lagi jika kebenaran telah terungkap. Telunjuk ibu mengarah padaku. "Kamu itu menantu durhaka, Tyas! Awas saja kalau ngadu sama Zaki, nyawa kalian akan terancam. Ibu bisa saja melawan suami cacatmu itu, tetapi ada satu alasan sampai membiarkan
Sambil menggendong Lia di pangkuan, aku terus memikirkan cara menyampaikan permintaan cerai agar Mas Zaki tidak tersinggung. Bagaimana pun juga tentu hal ini mengundang kecurigaan.Lelaki itu menatapku lekat penuh cinta dan kerinduan. Hati semakin bimbang, apalagi saat ini dia lumpuh, besar kemungkinan hadir prasangka lain dalam hatinya."Mas, aku ...." Kalimat itu sangat sulit untuk keluar."Kenapa, Dek?""Ada satu syarat, Mas untuk menjadi asisten di rumah Tuan Edbert. Mungkin kamu tidak akan setuju. Aku hanya mencoba menyampaikan siapa tahu ada solusi." Terpaksa aku memulai sebuah kebohongan."Syarat apa?"Aku menelan saliva. "Itu, Mas. Semua pekerja di sana diharuskan belum menikah atau tidak berkeluarga karena nanti kalau kerja bisa gagal fokus." Entah ini logis, aku hanya berharap Mas Zaki mengerti."Lalu?""Mas." Lelaki itu diam, mungkin mencoba menunggu kejelasan dengan sabar. "Apa Mas mau menceraikan aku demi pekerjaan–""Tidak!" tegasnya.Lia kubiarkan duduk di lantai memint
"Mas tahu kapan waktu berlalu begitu cepat?" tanyaku pada Mas Zaki yang sedang menidurkan Lia."Ketika bersamamu." Dia menjawab sambil memberi seulas senyum."Benar, Mas. Bahkan sepekan terasa satu detik." Aku menunduk dengan hati menyimpan perih.Kebahagiaan itu segera sirna karena pada kenyataannya Pak Damar sudah menunggu di ruang tamu. Aku menghela napas berulang kali. Dosa sebagai istri dan hamba masih terus berlanjut."Kamu semakin cantik, Tyas. Apa selama ini melakukan perawatan?"Mas Zaki memang tidak pernah bertanya aku hendak ke mana sepekan ini karena Mbak Utami rajin menemani. Namun, tetap saja perubahan warna kulit yang semakin cerah dan kenyal pun wajah sedikit glowing menimbulkan tanya di benak suamiku."Maafkan aku, Mas. Aku melakukan ini demi kamu agar bisa diterima bekerja di sana. Doakan aku pula agar Tuan Edbert mengerti keadaanku yang telah bersuami."Lelaki itu mengangguk sementara aku membuang pandangan sekilas meratapi diri yang mendapat takdir ini. Ingin beran
Pintu mobil terbuka, aku melangkah pelan menuju rumah yang sangat megah serupa istana itu. Masih menjadi pertanyaan dari mana kekayaan Tuan Edbert ini, mungkinkah karena orangtuanya?Pintu rumah yang tinggi menjulang itu terbuka pelan ketika aku sampai. Maria melangkah cepat menghampiriku dengan senyum merekah indah."Nona, Tuan Edbert sudah menunggu Anda sejak tadi. Silakan!" sambutnya dengan sopan.Aku melangkah mengikuti Maria. Seharusnya dia berdiri di belakang, tetapi aku masih belum hapal ruangan yang ada di sini atau akan tersesat.Maria berhenti melangkah di depan pintu berwarna emas. Aku bingung ini ruangan apa, tetapi sedikit malu untuk bertanya."Tuan Edbert sedang menunggu Nona di dalam," jelas Maria lagi, kemudian meraih handle pintu dan membukanya. Dia menyilakan aku masuk.Jantung berdegup cepat menghadapi kenyataan pahit. Aku melangkah sambil merapalkan doa seperti sedang melihat hantu. Rupanya ini adalah sebuah kamar milik Tuan Edbert. Sangat luas dan megah.Lelaki it
"Selesai," gumam Maria tersenyum lembut. Dia sudah berhenti memainkan sisir hitam itu.Cantik sekali, aku yakin perempuan ini lebih dari kata hebat. Rambut yang disanggul dengan model pita di belakang. Aku jadi terlihat seperti boneka."Sore nanti Nona harus mengubah warna rambut sesuai perintah Tuan Edbert.""Kenapa?""Aku tidak tahu."Tidak berapa lama kemudian, beberapa pelayan wanita masuk membawa paper bag yang banyak. "Simpan semuanya di lemari dan rak sepatu Nona Tyas!" perintah Maria.Mereka menurut, aku melihat beberapa tas branded dan juga sandal rumahan yang cantik dengan bulu-bulu halus. Salah satunya diletakkan Maria di dekat kakiku."Ayo, Nona. Aku mengantar Anda ke kamar Tuan Edbert!" ajak Maria masih dengan senyum manis."Ayo!"Aku berdiri dan melangkah canggung. Selama hidup aku tidak pernah berpenampilan seperti ini apalagi memang bukan dari golongan orang kaya. Semua kebaikan Tuan Edbert patut dihargai, dia tidak bersalah karena mengira diri ini perempuan lajang.Se