Pukul delapan pagi ibu menggedor pintu kamar. Aku sedih karena sampai sekarang hati merasa berat untuk menerima tawaran jahannam itu. Selain berharap ada keajaiban, aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Rencana sudah aku susun subuh tadi. Aku yakin jika tidak ada orang luar yang campur tangan, semua akan berjalan baik. Ah, sial sekali karena ketukan di pintu belum juga berhenti. Mas Zaki yang sejak tadi memangku Lia memintaku ke luar saja.
"Ada apa Bu?" tanyaku berusaha tenang.
Ibu gegas menyeretku ketika melihat Mas Zaki yang menatap kami. Pasti dia masih berusaha menyembunyikan kebenaran. Kalau saja bukan karena ancaman dari mereka, aku tidak akan mau diperlakukan seperti ini. Namun, lihat saja nanti siapa yang akan tertawa menang.
"Bagaimana? Kamu setuju dengan tawaran ibu, 'kan?"
"Tentu saja, Bu. Kenapa aku menolak jika bayarannya banyak. Tuan Edbert orang kaya, tentu saja untuk uang seratus juta itu kecil baginya." Aku menjawab enteng.
"Apa maksudmu?" Ibu memicingkan mata. Aku tahu dia tidak akan percaya semua ini.
Tiba-tiba, dari kamar depan keluar dua ular berbisa lainnya. Dia adalah Mas Bayu dan istrinya. Mereka berdua melipat tangan di depan dada seraya memberi senyum tipis. Pasti ada kebahagiaan yang menggelora dalam jiwanya.
"Aku setuju untuk menjadi wanita simpanan Tuan Edbert Addison. Seandainya aku belum menikah, jadi istri simpanan pun mau."
Mbak Utami menatapku tidak percaya, sementara ibu mertua menutup mulut dengan kedua tangannya. Dia mendekat dengan mata berbinar membayangkan uang yang banyak. Huh, mata duitan jika dipancing sedikit akan semakin menggila saja. Kasihan.
Aku masih berusaha bersikap tenang. Ketiganya mendekat, lalu membawaku ke depan rumah. Mungkin agar Mas Zaki tidak mendengar rencana busuk mereka. Tidak mengapa, nanti mereka juga akan mendapat balasan serupa.
"Kamu serius mau menjadi istri simpanan Tuan Edbert?" tanya ibu dengan senyum merekah seakan aku ini bukan istri dari anak kandungnya.
"Apa Ibu ini tidak waras? Mas Zaki itu masih suamiku dan apa pun yang terjadi, tidak boleh ada yang memisahkan kami. Tadi itu cuma perumpamaan." Aku tersenyum manis seakan hati baik-baik saja.
Air muka ibu seketika berubah masam. Berbeda dengan Mas Bayu, dia sejak tadi memicingkan mata. Aku tidak tahu ada apa, tetapi mungkin berusaha mencari sesuatu yang menjadi teka-teki sendiri. Tentu aku tertawa dalam hati.
Detik selanjutnya, Mas Bayu mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menelepon seseorang. Dia menyebut nama Tuan Edbert. Wajah ibu begitu berseri, begitu juga Mbak Utami. Padahal mereka bertiga tidak tahu kalau ini adalah awal dari kehancurannya.
"Kalau kamu sudah kaya, jangan lupa sama kita, Tyas."
"Kenapa harus ingat sama kalian, Mbak?"
"Kamu mendapat pekerjaan ini karena kita, harus ingat jasa orang, dong!" Dia mulai sewot. Aku terkekeh pelan, lalu menyelipkan rambut ke belakang telinga.
Perlahan, tetapi pasti aku akan membuat mereka menyesal bahkan mungkin gila karena tidak bisa kembali ke masa lalu. Ibarat senjata makan tuan. Mereka memaksaku menjadi wanita simpanan tanpa memikirkan resiko yang terjadi ke depannya jika aku sudah memiliki banyak uang.
"Baiklah, aku akan sangat mengingat siapa yang menawarkan sekaligus memaksaku melakukan pekerjaan ini. Tunggu kejutan saja, ya, Mbak dan Ibu. Sebuah kejutan yang tidak akan kalian lupakan saking berharganya." Aku sekali lagi merekahkan senyuman.
Mereka mengangguk seraya mengacungkan kedua jempol. Entah berubah bodoh atau bagaimana, aku tidak peduli karena yang pasti rencana ini harus berhasil. Tuan Edbert yang akan melakukan semuanya, aku pastikan itu sekalipun kami belum pernah bertemu.
Mbak Utami memelukku untuk pertama kalinya sejak Mas Zaki cacat, begitu juga dengan ibu. Sikap mereka yang dulu ketus kembali lembut bahkan aku merasa diperlakukan seperti menantu emas. Ya, menantu yang sebentar lagi dibuang ke dalam jurang kehancuran.
"Sebentar lagi supir Tuan Edbert akan datang menjemput!" tukas Mas Bayu ketika menutup teleponnya. Aku hanya bisa mengangguk pura-pura bahagia.
"Jadi ... Tyas akan ke sana hari ini? Pulangnya kapan?" Pertanyaan Mas Zaki menyayat hati. Sungguh aku tidak bisa meninggalkan suami dan anakku.
Dengan gemetar aku menghampirinya yang masih berusaha mendorong kursi roda, Lia duduk di pangkuannya. Luka merebak cepat, air mata tumpah tanpa permisi. Namun, aku harus bisa menguasai diri agar bisa mengembalikan nama baik kami sebelum meninggalkan rumah ini.
Apalagi tiga hari sebelumnya beberapa teman sudah menagih hutang yang aku pinjam untuk biaya operasi Mas Zaki. Jadi, mau tidak mau harus memilih jalan ini. Aku tidak mau Mas Zaki kepikiran untuk mencari pekerjaan di situasi sekarang. Lia mendekat, lalu mengecup lembut pipiku.
"Kamu akan jadi ART, Dek? Kapan pulangnya? Apa setiap hari?" Lagi, Mas Zaki mencecarku dengan banyak pertanyaan.
"Mama mau ke mana?" Air mata Lia menggenang di pelupuk matanya yang indah. Wajah polos itu akan sangat aku rindukan.
Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan. "Iya, Mas. Aku akan pulang setiap minggu menjenguk kalian. Walau belum tahu keadaan sebenarnya, aku akan membujuk Tuan Edbert." Aku beralih menatap Lia, lalu kembali membuka suara seraya memegang pipinya. "Mama mau kerja, Sayang. Demi Lia."
Lia langsung memeluk tubuhku, tetapi aneh sekali karena tidak menangis seperti biasa. Mungkin dia bisa merasakan apa yang ada dalam hati ibunya. Aku bangga dan berjanji akan menjaga Lia hingga dia menikah dengan lelaki yang keluarganya baik semua.
"Kamu baik-baik di sana, jaga kesehatan. Sekarang lebih baik kemasi barangmu, Dek. Mas hanya bisa berdoa di sini sekaligus menjaga anak kita. Mas akan selalu menunggumu, maafkan mas," lirih Mas Zaki. Kini air matanya tumpah.
Mereka keluarga yang aku cintai setelah orangtuaku di kampung. Semoga saja aku bisa bertahan dalam badai kehidupan ini, semoga pula Mas Zaki tidak pernah tahu kebenarannya. Aku harap Tuan Edbert bisa ditaklukkan.
Detik demi detik berlalu sangat cepat. Semua terasa menyakitkan begitu aku menyadari semua pakaian sudah masuk dalam koper besar karena pekerjaan ini katanya dikontrak untuk satu tahun. Aku tersenyum miris mengingat takdir yang sangat buruk ini.
Aku tidak ingin kehilangan Mas Zaki apalagi Lia, jadi siap melakukan apa saja. Andai boleh aku yang mati demi mereka, maka tidak apa-apa. "Mas, aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu, Dek. Sekali lagi maafkan mas yang tidak bisa mencari nafkah untukmu dan anak kita."
Aku meletakkan jari telunjuk di bibirnya. "Jangan pernah berkata seperti itu lagi. Tidak ada yang perlu kita sesali."
Mas Zaki tersenyum, tetapi hanya sekilas begitu mendengar teriakan Mas Bayu kalau supir itu sudah datang. Kini, kami berada di ambang perpisahan yang entah sementara atau bersifat selamanya. Kuharap takdir tidak selalu seburuk ini. Aku pergi, Mas! batinku tersiksa.
"Aku pergi, Mas. Kamu jangan melakukan pekerjaan berat di kondisi seperti itu," gumamku."Iya, Dek. Mas akan jaga diri untukmu." Mas Zaki tersenyum. Namun, aku bisa merasakan kalau ada luka di baliknya."Aku akan mengurus adik ipar, Tyas. Jadi, kamu tidak usah pusing dan fokuslah bekerja." Mbak Utami mendekat ke arah Mas Zaki. "Zaki itu masih anaknya ibu, kami keluarga dan tidak mungkin membiarkannya kesulitan."Ibu dan Mas Bayu mengangguk setuju. Aku tersenyum menatap mereka, juga kepada Lia. Sekalipun hati tahu betul mereka bersandiwara demi uang, tetap saja aku harus tenang dan dabar. Pintu mobil sudah terbuka, aku masuk beriring air mata yang segera diseka."Mama jangan lama!" pinta Lia dengan senyum polosnya. Anak berusia dua tahun bagaimana mungkin secepat itu mengerti. Huh, entahlah.Dada seperti dihantam batu besar. Aku kesulitan bernapas bahkan untuk membuka mata pun perih sekali. Seandainya waktu bisa berhenti, aku ingin merasakannya. Tangisan Lia yang mulai terdengar membua
"I-iya, Tuan," jawabku lirih dengan kepala yang semakin menunduk. Derap langkah Tuan Edbert semakin dekat, aku meremas jari ketakutan. Entah bagaimana tampangnya, jika wajah dipenuhi jenggut aku bisa saja melompat ketakutan. "Katakan dengan keras, aku bahkan tidak suka pada perempuan yang berbicara tanpa melihat mataku. Angkat wajahmu!" Suara berat itu menembus masuk ke ulu hati menyisakan luka hingga aku hampir menitikkan air mata. Perlahan aku mengangkat wajah menatapnya. Hati berdesir begitu melihat wajah yang terpahat sempurna. Hidung yang menjulang, bibir tipis berhias kumis tipis bahkan sedikit berwarna merah muda. Kulitnya putih tanpa jenggut. Rambutnya kecoklatan bahkan mungkin bisa dibilang serupa pangeran. Tuan Edbert terkesan masih sangat muda, aku tidak bisa menebak umur jika melihat wajahnya. Apakah mungkin kukatakan sembilan belas tahun? Tubuh yang tinggi dengan suara berat tidak cocok dengan wajahnya yang hampir dikata baby face. "Iya, Tuan. A-aku adalah Tyas,"
Tentu saja. Aku bahkan bisa melenyapkan keluargamu kalau benar menipuku." Tuan Edbert tersenyum sinis, kemudian kembali berdiri mendekat padaku.Tangan kananku diraihnya, menuntun ke sofa dekat jendela. Kami duduk berhadapan dengan jarak yang sangat dekat. Tangan kekar Tuan Edbert menyibak rambutku, lalu mengelus leher ini sangat lembut."Kita harus terbiasa seperti ini agar kamu tidak malu jika sudah menjadi istriku. Setelah menikah, jangan memanggilku Tuan Edbert lagi. Aku ingin panggilan yang lebih romantis," bisik Tuan Edbert, lalu memberi gigitan kecil di telingaku.Jujur, ini sangat menggelikan. Seorang istri yang telah berkhianat pada suaminya yang lumpuh. Air mata jatuh membasahi pipi. Aku tidak bisa menerima perlakuan lelaki kaya di depanku hanya saja ... entahlah.Tuan Edbert memegang daguku, sehingga wajah kami saling berhadapan. Untuk sesaat aku sadar kalau dia mendekat hendak mencium bibir ini, beruntung aku lekas memalingkan wajah. Sekalipun nanti harus melakukan hal yan
"Aku tidak bisa melihat rona bahagia di wajah Nona ketika bertemu Tuan Edbert. Apa terjadi sesuatu, Nona?" Maria menatapku lekat."Maria, aku mau pipis. Kamar mandinya di mana?" Aku sengaja menghentak-hentakkan kaki di lantai berulang kali agar pelayan itu percaya. Tangannya kemudian menunjuk dengan sopan.Parah, bahkan pintu kamar mandi lebih indah daripada pintu rumahku. Dalam kamar mandi ini tersedia bathtub tanam berwarna putih, juga terdapat tabung kaca lengkap dengan shower dan spa uapnya. Ada dudukan melingkar dari marmer di tengahnya.Kamar mandi yang berlapis marmer motif kaca pada dinding dan lantainya juga semakin mewah dengan hadirnya meja rias yang penuh dengan kosmetik. Ini mungkin terkesan sangat mewah. Aroma yang harum menusuk rongga hidung sehingga mandi pun akan terasa nyaman.Entah bagaimana mewahnya kamar pribadi Tuan Edbert.Setelah mencuci wajah dengan air yang sangat segar, aku kembali ke luar. Maria ternyata masih berdiri di luar. Dia kembali mengambangkan seny
Pertahananku luluh ketika melihat Mas Zaki dengan wajah penuh kerinduan duduk kursi roda yang selalu menemaninya. Dia ada di beranda pintu kamar, seperti habis mandi.Aku langsung menghambur dalam pelukannya. Dinding pemisah yang mereka ciptakan seperti rubuh berkeping-keping.Air mata semakin mengalir deras ketika bayangan Tuan Edbert melintas dalam pikiran. Pengkhianatan itu benar-benar terjadi."Mas kangen sama kamu, Tyas. Mas bahkan berpikir tidak akan melihatmu lagi. Ini kok bisa balik lagi?" Senyum itu merekah sempurna."Aku diberi waktu sepekan, Mas untuk belajar bagaimana bekerja dengan baik. Di rumah Tuan Edbert juga diminta menjaga penampilan sekalipun hanya pelayan."Aku menunduk ketika menjawab takut Mas Zaki melihat kebohongan di mata istrinya.Sayang sekali karena tangan Mas Zaki memegang daguku dan mengangkat wajah ini hingga kami beradu pandang. Kedua alisnya bertaut sempurna. "Tapi di sana kamu nyaman, 'kan?""Iya, Mas. Aku sudah punya teman, namanya Maria. Dia salah
"Uang apa, Bu? Tyas gak ngirim kecuali buat bayar semua utangnya. Dia kan ngutang sama aku juga waktu Zaki kecelakaan itu!" cebik Mbak Utami kesal. Ibu menatap tidak percaya, baru saja aku ingin melangkah ke kamar tiba-tiba tangan ini dicekal kuat oleh mertua. Aku menoleh. "Ada apa, Bu?" "Zaki mana?" "Baru aja mandi tadi, kenapa?" "Lupakan masalah uang, ibu yakin kamu akan memberi jatah padaku nanti. Sekarang jawab dengan jujur, kamu tidak sedang kabur, kan?"Aku menggeleng. "Tidak. Aku tidak kabur, semua demi Mas Zaki dan Lia bukan kalian. Mereka berdua saja yang menganggap aku penting sementara kalian semuanya mata duitan dan Tuan Edbert tahu itu!" Satu tamparan berhasil lolos menyentuh pipiku. Hangat juga perih, tetapi lebih menyakitkan lagi jika kebenaran telah terungkap. Telunjuk ibu mengarah padaku. "Kamu itu menantu durhaka, Tyas! Awas saja kalau ngadu sama Zaki, nyawa kalian akan terancam. Ibu bisa saja melawan suami cacatmu itu, tetapi ada satu alasan sampai membiarkan
Sambil menggendong Lia di pangkuan, aku terus memikirkan cara menyampaikan permintaan cerai agar Mas Zaki tidak tersinggung. Bagaimana pun juga tentu hal ini mengundang kecurigaan.Lelaki itu menatapku lekat penuh cinta dan kerinduan. Hati semakin bimbang, apalagi saat ini dia lumpuh, besar kemungkinan hadir prasangka lain dalam hatinya."Mas, aku ...." Kalimat itu sangat sulit untuk keluar."Kenapa, Dek?""Ada satu syarat, Mas untuk menjadi asisten di rumah Tuan Edbert. Mungkin kamu tidak akan setuju. Aku hanya mencoba menyampaikan siapa tahu ada solusi." Terpaksa aku memulai sebuah kebohongan."Syarat apa?"Aku menelan saliva. "Itu, Mas. Semua pekerja di sana diharuskan belum menikah atau tidak berkeluarga karena nanti kalau kerja bisa gagal fokus." Entah ini logis, aku hanya berharap Mas Zaki mengerti."Lalu?""Mas." Lelaki itu diam, mungkin mencoba menunggu kejelasan dengan sabar. "Apa Mas mau menceraikan aku demi pekerjaan–""Tidak!" tegasnya.Lia kubiarkan duduk di lantai memint
"Mas tahu kapan waktu berlalu begitu cepat?" tanyaku pada Mas Zaki yang sedang menidurkan Lia."Ketika bersamamu." Dia menjawab sambil memberi seulas senyum."Benar, Mas. Bahkan sepekan terasa satu detik." Aku menunduk dengan hati menyimpan perih.Kebahagiaan itu segera sirna karena pada kenyataannya Pak Damar sudah menunggu di ruang tamu. Aku menghela napas berulang kali. Dosa sebagai istri dan hamba masih terus berlanjut."Kamu semakin cantik, Tyas. Apa selama ini melakukan perawatan?"Mas Zaki memang tidak pernah bertanya aku hendak ke mana sepekan ini karena Mbak Utami rajin menemani. Namun, tetap saja perubahan warna kulit yang semakin cerah dan kenyal pun wajah sedikit glowing menimbulkan tanya di benak suamiku."Maafkan aku, Mas. Aku melakukan ini demi kamu agar bisa diterima bekerja di sana. Doakan aku pula agar Tuan Edbert mengerti keadaanku yang telah bersuami."Lelaki itu mengangguk sementara aku membuang pandangan sekilas meratapi diri yang mendapat takdir ini. Ingin beran