Share

Bab 4

Pukul delapan pagi ibu menggedor pintu kamar. Aku sedih karena sampai sekarang hati merasa berat untuk menerima tawaran jahannam itu. Selain berharap ada keajaiban, aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Rencana sudah aku susun subuh tadi. Aku yakin jika tidak ada orang luar yang campur tangan, semua akan berjalan baik. Ah, sial sekali karena ketukan di pintu belum juga berhenti. Mas Zaki yang sejak tadi memangku Lia memintaku ke luar saja.

"Ada apa Bu?" tanyaku berusaha tenang.

Ibu gegas menyeretku ketika melihat Mas Zaki yang menatap kami. Pasti dia masih berusaha menyembunyikan kebenaran. Kalau saja bukan karena ancaman dari mereka, aku tidak akan mau diperlakukan seperti ini. Namun, lihat saja nanti siapa yang akan tertawa menang.

"Bagaimana? Kamu setuju dengan tawaran ibu, 'kan?"

"Tentu saja, Bu. Kenapa aku menolak jika bayarannya banyak. Tuan Edbert orang kaya, tentu saja untuk uang seratus juta itu kecil baginya." Aku menjawab enteng.

"Apa maksudmu?" Ibu memicingkan mata. Aku tahu dia tidak akan percaya semua ini.

Tiba-tiba, dari kamar depan keluar dua ular berbisa lainnya. Dia adalah Mas Bayu dan istrinya. Mereka berdua melipat tangan di depan dada seraya memberi senyum tipis. Pasti ada kebahagiaan yang menggelora dalam jiwanya.

"Aku setuju untuk menjadi wanita simpanan Tuan Edbert Addison. Seandainya aku belum menikah, jadi istri simpanan pun mau."

Mbak Utami menatapku tidak percaya, sementara ibu mertua menutup mulut dengan kedua tangannya. Dia mendekat dengan mata berbinar membayangkan uang yang banyak. Huh, mata duitan jika dipancing sedikit akan semakin menggila saja. Kasihan.

Aku masih berusaha bersikap tenang. Ketiganya mendekat, lalu membawaku ke depan rumah. Mungkin agar Mas Zaki tidak mendengar rencana busuk mereka. Tidak mengapa, nanti mereka juga akan mendapat balasan serupa.

"Kamu serius mau menjadi istri simpanan Tuan Edbert?" tanya ibu dengan senyum merekah seakan aku ini bukan istri dari anak kandungnya.

"Apa Ibu ini tidak waras? Mas Zaki itu masih suamiku dan apa pun yang terjadi, tidak boleh ada yang memisahkan kami. Tadi itu cuma perumpamaan." Aku tersenyum manis seakan hati baik-baik saja.

Air muka ibu seketika berubah masam. Berbeda dengan Mas Bayu, dia sejak tadi memicingkan mata. Aku tidak tahu ada apa, tetapi mungkin berusaha mencari sesuatu yang menjadi teka-teki sendiri. Tentu aku tertawa dalam hati.

Detik selanjutnya, Mas Bayu mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menelepon seseorang. Dia menyebut nama Tuan Edbert. Wajah ibu begitu berseri, begitu juga Mbak Utami. Padahal mereka bertiga tidak tahu kalau ini adalah awal dari kehancurannya.

"Kalau kamu sudah kaya, jangan lupa sama kita, Tyas." 

"Kenapa harus ingat sama kalian, Mbak?"

"Kamu mendapat pekerjaan ini karena kita, harus ingat jasa orang, dong!" Dia mulai sewot. Aku terkekeh pelan, lalu menyelipkan rambut ke belakang telinga.

Perlahan, tetapi pasti aku akan membuat mereka menyesal bahkan mungkin gila karena tidak bisa kembali ke masa lalu. Ibarat senjata makan tuan. Mereka memaksaku menjadi wanita simpanan tanpa memikirkan resiko yang terjadi ke depannya jika aku sudah memiliki banyak uang.

"Baiklah, aku akan sangat mengingat siapa yang menawarkan sekaligus memaksaku melakukan pekerjaan ini. Tunggu kejutan saja, ya, Mbak dan Ibu. Sebuah kejutan yang tidak akan kalian lupakan saking berharganya." Aku sekali lagi merekahkan senyuman.

Mereka mengangguk seraya mengacungkan kedua jempol. Entah berubah bodoh atau bagaimana, aku tidak peduli karena yang pasti rencana ini harus berhasil. Tuan Edbert yang akan melakukan semuanya, aku pastikan itu sekalipun kami belum pernah bertemu.

Mbak Utami memelukku untuk pertama kalinya sejak Mas Zaki cacat, begitu juga dengan ibu. Sikap mereka yang dulu ketus kembali lembut bahkan aku merasa diperlakukan seperti menantu emas. Ya, menantu yang sebentar lagi dibuang ke dalam jurang kehancuran.

"Sebentar lagi supir Tuan Edbert akan datang menjemput!" tukas Mas Bayu ketika menutup teleponnya. Aku hanya bisa mengangguk pura-pura bahagia.

"Jadi ... Tyas akan ke sana hari ini? Pulangnya kapan?" Pertanyaan Mas Zaki menyayat hati. Sungguh aku tidak bisa meninggalkan suami dan anakku.

Dengan gemetar aku menghampirinya yang masih berusaha mendorong kursi roda, Lia duduk di pangkuannya. Luka merebak cepat, air mata tumpah tanpa permisi. Namun, aku harus bisa menguasai diri agar bisa mengembalikan nama baik kami sebelum meninggalkan rumah ini.

Apalagi tiga hari sebelumnya beberapa teman sudah menagih hutang yang aku pinjam untuk biaya operasi Mas Zaki. Jadi, mau tidak mau harus memilih jalan ini. Aku tidak mau Mas Zaki kepikiran untuk mencari pekerjaan di situasi sekarang. Lia mendekat, lalu mengecup lembut pipiku.

"Kamu akan jadi ART, Dek? Kapan pulangnya? Apa setiap hari?" Lagi, Mas Zaki mencecarku dengan banyak pertanyaan.

"Mama mau ke mana?" Air mata Lia menggenang di pelupuk matanya yang indah. Wajah polos itu akan sangat aku rindukan.

Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan. "Iya, Mas. Aku akan pulang setiap minggu menjenguk kalian. Walau belum tahu keadaan sebenarnya, aku akan membujuk Tuan Edbert." Aku beralih menatap Lia, lalu kembali membuka suara seraya memegang pipinya. "Mama mau kerja, Sayang. Demi Lia."

Lia langsung memeluk tubuhku, tetapi aneh sekali karena tidak menangis seperti biasa. Mungkin dia bisa merasakan apa yang ada dalam hati ibunya. Aku bangga dan berjanji akan menjaga Lia hingga dia menikah dengan lelaki yang keluarganya baik semua.

"Kamu baik-baik di sana, jaga kesehatan. Sekarang lebih baik kemasi barangmu, Dek. Mas hanya bisa berdoa di sini sekaligus menjaga anak kita. Mas akan selalu menunggumu, maafkan mas," lirih Mas Zaki. Kini air matanya tumpah.

Mereka keluarga yang aku cintai setelah orangtuaku di kampung. Semoga saja aku bisa bertahan dalam badai kehidupan ini, semoga pula Mas Zaki tidak pernah tahu kebenarannya. Aku harap Tuan Edbert bisa ditaklukkan.

Detik demi detik berlalu sangat cepat. Semua terasa menyakitkan begitu aku menyadari semua pakaian sudah masuk dalam koper besar karena pekerjaan ini katanya dikontrak untuk satu tahun. Aku tersenyum miris mengingat takdir yang sangat buruk ini.

Aku tidak ingin kehilangan Mas Zaki apalagi Lia, jadi siap melakukan apa saja. Andai boleh aku yang mati demi mereka, maka tidak apa-apa. "Mas, aku mencintaimu."

"Aku juga mencintaimu, Dek. Sekali lagi maafkan mas yang tidak bisa mencari nafkah untukmu dan anak kita."

Aku meletakkan jari telunjuk di bibirnya. "Jangan pernah berkata seperti itu lagi. Tidak ada yang perlu kita sesali."

Mas Zaki tersenyum, tetapi hanya sekilas begitu mendengar teriakan Mas Bayu kalau supir itu sudah datang. Kini, kami berada di ambang perpisahan yang entah sementara atau bersifat selamanya. Kuharap takdir tidak selalu seburuk ini. Aku pergi, Mas! batinku tersiksa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status