Rasa lapar membuat Kei harus keluar dari persembunyiannya. Sudah berjam-jam, ia bahkan sempat tertidur di ruang ganti, dan terbangun karena perutnya keroncongan.Dengan langkah pelan, ia menuruni anak tangga satu per satu. Harusnya ia cukup makan dan beristirahat, tubuhnya bahkan masih lemah, tapi pulang ke rumah ia justru mendapatkan drama terbaru dari Arka dan kekasihnya.Suara tawa Clara dan Arka terdengar bersahutan. Mereka terlihat begitu bahagia, tak memperdulikan Kei yang kini tengah menatap ke arah mereka.Kei kita Clara sudah pulang, ternyata perempuan itu masih berada disana. Ia mencoba tak perduli meski pemandangan itu begitu menyakitkan, ia acuhkan dengan terus melangkah menuju dapur."Heh, Jalang! Siapa yang menyuruhmu keluar?!" Teriak Clara, karena Arka mengatakan padanya Kei di kurung agar tak menampakkan dirinya pada Clara yang akan membuat mood perempuan itu berubah buruk.Kei terus melangkah, ia berpura-pura tak mendengar teriakan Clara. "Wanita sialan! Dia harus ak
Hiko mengepalkan tangannya saat ia melihat Clara berada di rumah Arka, lagi-lagi Arka pasti menyakiti Kei. Ia mengedarkan pandangannya, tak ada Kei di sana. Ia pun masuk meski Arka tak menyadari kedatangannya.“Dimana Kei?”Pertanyaan itu membuat Arka menoleh, raut wajahnya tampak terkejut dengan kedatangan Hiko. Ia berdiri, menghampiri Hiko dan berdiri di hadapan pria itu, “Untuk apa menanyakannya. Duduklah dulu, sudah lama kita tidak duduk bersama.” Ucapnya, kerena sejak Hiko tahu Arka kerap menyakiti Kei, Hiko tak seperti dulu. Persahabatan mereka merenggang, Hiko pun bicara pada Arka hanya seperlunya saja, sebatas membicarakan pekerjaan mereka. Di luar dari pekerjaan, Hiko menghindarinya.“Aku datang kesini untuk Kei, bukan untukmu atau perempuan simpananmu,” ucap Hiko.Arka tentu tak suka dengan jawaban Hiko, tatapannya menajam, apalagi Hiko bicara tegas bahwa Hiko datang hanya untuk Kei, ada rasa panas yang menjalar di hatinya. “Dia istriku!” ucapnya dengan penuh penekanan, ia b
"Kei, pergi bersamaku." Pinta Hiko, ia menatap Kei dengan tatapan sendu. Tak sanggup rasanya melihat Kei terluka lagi.Kei menggeleng, setetes air mata kembali membasahi pipinya, ia balas menatap Hiko, "Aku tidak bisa, Hiko.""Kei, jika cinta itu hanya melukai mu, maka lepaskan lah." Hiko kembali mengobati luka di pelipis Kei, membuat perempuan itu meringis dan Hiko sigap meniupinya. "Tahan sedikit," pintanya."Aku belum siap, Hiko." Kei ingin mencari tahu lebih dulu apa yang terjadi dengan Starla dan Cio, apa benar Cio tak bertanggung jawab atas kehamilan Starla? Kei sendiri tidak percaya Cio melakukan itu. Kakaknya bukan pria brengsek yang tega merusak seorang gadis. Tapi tentu ia juga harus mencari bukti, jika Cio memang bersalah, ia sendiri yang akan meminta maaf pada Starla."Kei..""Hiko, biarkan aku menyelesaikan masalah dalam rumah tanggaku dengan caraku sendiri. Jika aku sudah benar-benar tidak kuat, aku pasti akan pergi."Hiko menghela nafas panjang, ia menatap ke sembarang
Cio menatap foto seorang gadis cantik yang dulu pernah menyatakan perasaan padanya, namun Cio menolak karena saat itu ia sendiri masih tak tahu dengan perasaannya sendiri. Entah mencintainya atau tidak, yang Cio rasakan adalah kenyamanan saja. Starla, gadis itu bernama Starla. Mereka bertemu di kampus tempat mereka menimba ilmu. Sampai akhirnya mereka berteman dekat dan Starla menyatakan perasaannya pada Cio. Cio yang saat itu memang tak ingin menjalin hubungan percintaan dengan siapa pun menolak. Ia ingin fokus kuliah dan mengejar cita-citanya menjadi seorang pengusaha hebat seperti sang papa.Entah karena sakit hati atau cinta, suatu malam Starla menjebak Cio, mengundang pria itu ke suatu tempat yang jauh dari kota Jakarta. Atas alasan persahabatan, Starla mengundang Cio makan malam di villa pribadinya. Cio memang sempat curiga, jika hanya untuk makan malam saja, kenapa Starla memilih tempat yang begitu jauh. Namun saat itu ia percaya dengan alasan Starla yang mengatakan ia ingin m
"Tolong jujur, katakan yang sebenarnya. Apa yang terjadi tadi malam? Kenapa saya bisa tidak sadar. Tolong bantu saya pak, Bu."Cio tampak frustasi, ia memohon pada dua Art yang bekerja di villa itu agar mau bicara jujur. Cio yakin mereka tahu sesuatu, hanya saja, sudah beberapa kali bertanya, mereka tetap bungkam. Mungkin mereka takut pada Starla."Pak, Bu. Bagaimana jika hal ini terjadi pada keluarga kalian, saya mempertaruhkan nama baik saya dan keluarga saya. Saya yakin, jika hal ini menimpa keluarga kalian, atau anak-anak kalian, mereka juga akan melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan. Bantu saya, saya hanya tidak mau mencoreng nama baik orang tua saya. Jika saya benar-benar melakukan kesalahan, saya siap bertanggung jawab. Tapi jika tidak, apa kalian akan membiarkan seseorang yang tidak bersalah bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak dia lakukan?"Pak Bejo dan Bu Sarni saling menatap. Jika mereka punya pilihan, mungkin mereka akan memilih membantu Cio. Tapi mereka t
Suara denting sendok beradu dengan piring mendominasi ruangan itu. Sarapan pagi yang terasa dingin meski makanan yang tersaji masih hangat bahkan panas. Tak ada yang berbicara, baik Kei maupun Arka sama-sama fokus dengan makanannya.“Ambilkan aku air!” Arka memulai pembicaraan dengan kalimat perintah.Rumi yang memang berada disana mendekat hendak menuangkan air ke dalam gelas, namun Arka mengangkat tangan memberi isyarat agar gadis itu berhenti. Rumi pun menunduk lalu kembali mundur.“Biarkan istriku tercinta yang melayaniku,” ucap Arka.Kei yang semula menunduk menyantap makanannya mengangkat kepala, ia menatap Arka seolah bertanya untuk memastikan pendengarannya tak salah.“Kenapa menatapku? Apa kamu tidak mendengar? Ambilkan aku air!” sentak Arka.Kei sampai terjingkat kaget mendengar sentakan itu. Tak ingin berdebat di pagi hari, Kei memilih menuruti permintaan pria itu. Ia berdiri dan mengahampiri Arka lalu menuang air ke dalam gelas yang ada di samping pria itu.“Harusnya kamu
Tak seperti biasanya, Arka pulang lebih awal dengan perasaan bahagia. Mendengar suara Starla benar-benar membuat moodnya sangat baik. Bagaimana tidak, sudah sangat lama ia tak bicara dengan sang adik, tak bercengkrama, bahkan Starla tak mengenalinya. Tapi hari ini, Arka bisa mendapat kabar baik dan harapan untuk kesembuhan perempuan itu.Senyum pria itu terus tampak, membuat Kei yang baru saja turun dari tangga mengerutkan dahinya. Apakah Arka tersenyum padanya? Karena pria itu terakhir memberikan senyumnya saat resepsi pernikahan mereka. Setelah itu, Kei tak perbah lagi melihat senyum tampan pria itu.“Mas, sudah pulang?” Tanya Kei setelah pria itu berada di hadapannya.Arka mengangguk, “Jangan menggangguku, aku sedang bahagia, jadi kali ini aku tidak akan mencari masalah denganmu.”Kei tersenyum, ia mengangguk lalu pergi ke dapur. Ia kira Arka tersenyum padanya, ternyata karena perasaan pria itu tengan bahagia, mungkin bahagia karena Clara, begitu pikir Kei.Membuka lemari es, Kei c
Arka pulang tepat saat jam makan malam, pria itu lekas pergi ke kamar untuk membersihkan dirinya. Pekerjaan hari ini cukup padat dan membuatnya lelah, perutnya pun sudah keroncongan meminta jatah, namun Arka tak terbiasa makan saat tubuhnya masih terasa lengket karena berkeringat. Hanya membutuhkan waktu Lima belas menit saja, Arka sudah kembali keluar kamar. Langkahnya lebar menuruni anak tangga menuju ke meja makan. Meja makan masih kosong, itu artinya Kei belum turun. Pria itu lalu bertanya pada salah satu pelayan yang tengah bersiap melayaninya mengambilkan makanan, “Dimana Kei?”“Mungkin masih di kamarnya, Tuan. Dari pagi tadi nyonya belum keluar kamar,” jawab sang pelayan. Karena saat sarapan pun perempuan itu tak turun.“Apa dia juga tidak makan siang?”Pelayan itu mengangguk, karena Kei memang tak makan siang meski beberapa kali pelayan memanggilnya untuk makan. Kei juga tak memakan makanannya saat pelayan mengantarkan makanannya ke kamar.“Panggilkan dia, katakan aku menung