Share

Bab 2

last update Last Updated: 2021-09-19 02:33:46

“Dewi, kamu bener-bener keterlaluan!” bentak Ibu mertua. Aku baru saja sampai di rumah pulang kerja, sudah dapat bentakan. Ini rumahku, warisan orang tuaku, tapi terasa aku yang numpang di sini, sudah kayak di neraka. Yang kata orang ‘rumahku surgaku’ tidak denganku, semenjak kedatangan Ibu.

 

“Apalagi, sih, Bu? Aku capek, bisa nggak ngomong itu yang lembut?” jawabku melepas sepatu dan kaos kaki.

 

“Bisa-bisanya kamu berangkat kerja, tanpa nyiapin makanan, atau setidakya ninggalin duitlah, biar ibu dan suamimu bisa deliveri order makanan!” lagi-lagi dia merasa nyonya besar di rumahku. Memang, hari ini aku berangkat lebih pagi dan makan di kantin kantor. Sengaja.

 

“Salah siapa, Bi Ijah di pecat? Sudah enak-enak waktu itu ada Bi Ijah, makan tinggal makan, ya sekarang Ibu lah yang masak!” jawabku santai sambil melepas jas ku, bersandar di sofa empuk. 

 

“Dosa nyuruh orang tua! Kamu kira Ibu babu!” sungut Ibu. Ku pejamkan mataku. Ini rumah apa neraka?

 

“Siapa juga yang bilang Ibu babu? Kan sudah aku siapkan ART, tapi Ibu sendiri yang mecat! Bukan salahku dong?” jawabku dengan gaya ku buat santai memainkan gawai. Sebenarnya hatiku bergemuruh hebat. Pengen aku kasih sianida ini orang. Tapi aku masih mikir dosa dan penjara.

 

“Ibu mecat Ijah, biar kamu ngerti kerjaan rumah, biar kamu bisa masak, bisa melayani suami dengan baik!” ucap Ibu berdiri tepat di depanku.

 

“Duduk dulu, Bu! Biar nggak kena asam urat!” sahutku mengalihkan pembicaraan. Berdiri di depanku sudah kayak rentenir nagih hutang saja. 

 

“Nggak usah basa basi kamu, Dewi! Sekarang siapkan Ibu dan suamimu makanan! Atau kalau kamu capek, belikan kami makanan yang enak!” perintahnya tanpa merasa bersalah, apalagi malu.

 

“Ok!” jawabku sambil menekan-nekan gawaiku. Menghubungi salah satu nomor. Terhubung.

 

[Iya, Mbak Dewi, ada apa?] sahut Mang Udin seraya bertanya di seberang sana. Mang Udin adalah tukang sayur yang biasa keliling kompleks.

 

[Mang, bisa anter sayuran nggak?] jawabku singkat.

 

[Bisa, Mbak, sayur apa?] tanyanya lagi.

 

[Terserah, Mang Udin, yang penting sayuran dan lauk ya, Mang, terserah lah apa saja] 

 

[Ok, Mbak Dewi]

 

[Ok, Mang, ditunggu ya?]

 

Tit. Kumatikan gawaiku. 

 

“Kok, malah nelp, Mang Udin?” tanya Ibu mendelik.

 

“Lha katanya minta di orderkan makanan?” jawabku masih dengan gaya santai. Membuat Ibu semakin geram. Karena males gaya ngotot, buang-buang energi saja.

 

“Iya, makanan yang sudah jadi tinggal makan, perut sudah melilit ini, bukan bahan mentah!” lagi-lagi dia berkata dengan gaya tak tau malu. Memang benar-benar benalu. 

 

“Ada apa, sih, ribut-ribut?” Mas Angga ikut bergabung. Duduk disebelahku. Wajahnya kusut. Ibu terdiam melongo.

 

“Kamu habis dari mana, Mas?” tanyaku penasaran. Tak memperdulikan ucapan Ibu.

 

“Mancing.” Jawabnya lesu. Aku sedikit terkejut.

 

“Lihat! karena nggak kamu siapin makanan dan juga nggak kamu tinggalin duit, suamimu sampe mancing, nyari ikan untuk lauk!” Ibu menimpali. Aku malah melebarkan tawaku. Membuat ibu semakin tak suka.

 

“Mancing? Mana ikannya?” tanyaku masih dengan tawa lepasku.

 

“Nggak dapet.” Jawabnya loyo.

 

“Kamu bener-bener istri nggak ngerti tanggung jawab, ya?” ucap Ibu membantu anaknya, yang merasa aku remehkan dengan tawaku. Dari tadi aku berusaha menahan emosiku, tapi Ibu semakin menjadi-jadi ucapannya. Menjalar rasa panas penuh emosi, sampai ke ubun-ubun.

 

“Aku ini kerja, Bu! Capek pulang kerja, bukan main apalagi mancing!” jawabku mulai geram. Sengaja ku tekan kata mancing ke arah anaknya. Di sabar-sabarin nggak ngerti. Mas Angga melirikku tak suka.

 

“Kamu juga, Dek, harusnya sebelum berangkat masak dulu lah, atau tinggalin duit!” jawab Mas Angga dengan wajah bersengut.

 

“Hai, di kulkas ada telur dan sarden, beras juga ada? Ngapain bingung?” jawabku.

 

“Kamu ini perempuan, Dek! Harusnya mentingin kerjaan rumah dulu sebelum berangkat kerja!” jawab Mas Angga polos, seakan teraniaya.

 

“Terus kamu ngapain di rumah? Kerja cari duit aku, tugas rumah juga aku, kamu ngapain sebagai kepala rumah tangga?” tanyaku geram menyindir dalam. Yang di sindir nampak acuh saja.

 

“Dewi! Surga istri itu ada pada suami, yang sopan ngomong sama suami, bisa kualat kamu!” Ibu menyahut lagi, membela anakya. Ku tarik nafasku kuat-kuat melepaskan dengan kasar. Dasar benalu nggak tau malu. Ingin ku semprot gramaxon biar cepat musnah. Geram sangat.

 

“Surga suami ada pada Ibunya. Iya tau, sudah kesekian kali ibu bilang kayak gitu,” jawabku beranjak dari dudukku. Pengen dorong ibu rasanya, biar kena stroke. 

 

“Dari pada ribut terus, kita panggil Bi Ijah lagi,” ucap Mas Angga berusaha menjadi penengah.

 

“Kita? Duitku?” jawabku mendelik.

 

“Maksudmu apa, sih, Dek?” tanya Mas Angga, terlihat geram dengan keributan ini.

 

“Kemarin memang iya, Bi ijah aku yang gaji, itu sebelum Ibu mecat Bi Ijah. Sekarang kalau mau memperkerjakan Bi Ijah lagi, kalian yang bayar gajinya.” Jawabku geram. Kok enak saja. Giliran aku nggak sesuai keinginan mereka, mau manggil Bi Ijah lagi.

 

“Dek, kamu kok sekarang hitung-hitungan gitu, sih?” Mas Angga bertanya lagi. Seakan tak puas dengan jawabanku. Aku meyeringai mengejek.

 

“Assalamualaikum,” terdengar suara salam di ambang pintu. Suara Mang Udin. 

 

“Waalaikum salam, masuk Mang!” jawabku. Semua terdiam, sekan tak terjadi apa-apa.

 

“Ini, Mbak Dewi sayur dan lauk pesanan Mbak, semuanya enam puluh lima ribu, Mbak, sama daging ayam!” ucap Mang Udin meletakkan di lantai. Ku ambilkan duitku selambar warna merah dari dompetku. 

 

“Ini, Mang,” ucapku seraya menyerahkan uang warna merah itu,

 

“Nggak ada kembalian saya, Mbak,” jawab Mang Udin.

 

“Rejeki Mang Udin berarti,” jawabku.

 

“Enak saja, sini Mang! aku ada uang pas,” sahut ibu merampas duit merah itu. Memasukkannya ke kantong bajunya. Mengambil uang pas untuk Mang Udin dan menyerahkan. Aku hanya menggeleng. Sebenarnya punya duit, kok sayang untuk beli makan buat dirinya sendiri. Mang Udin hanya mengangguk.

 

“Ya sudah, Mbak Dewi, saya pulang dulu,” pamit Mang Udin, ku jawab dengan anggukan.

 

"Terimakasih ya, Mang!" Sahutku. Mang Udin hanya mengangguk dan tersenyum. Berlalu keluar menuju pintu.

 

“Sekarang Ibu masak! Dewi mau istirahat, nggak usah ganggu Dewi! Dewi sudah makan tadi di restoran, cumi saus tiram,” aku beranjak menuju tangga yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua. Ibu nampak melongo karena itu makanan kesukaannya. Padahal tidak, aku makan sate kambing kesukaanku. Hanya manas-manasin Ibu saja.

 

“Benar-benar mantu durhaka kamu, ya! makan enak nggak inget mertua dan suami! Di suruh order makanan siap makan, malah di belikan mentah!” gerutunya, tak ku tanggapi, tetap berlalu menuju kamarku. Rumah ini semakin hari semakin tak nyaman dengan adanya Ibu. Dulu aku mencintai Mas Angga, karena aku lihat, dia sangat baik. Sangat sayang dengan ibunya. Banyak orang yang bilang, kalau laki-laki sangat mencintai ibunya, itu sudah pasti akan sangat mencintai istrinya. Tapi buktinya? 

 

Padahal cinta-citaku selama ini, menikah sekali seumur hidup. Tapi kayaknya? 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BENALU   Bab 102 (Season Dua)

    Benalu part 102POV 3“Pi, motor Angga di bawa kabur mereka,” ucap Angga, dia masih sangat menyayangkan motornya yang belum lunas. Masih kredit.“Biar, Ga! motor bisa di beli lagi. Yang penting nyawa kamu selamat,” jawab Pak Faris bijak.Angga mendesah. ‘Untung nggak mau membawa mobil Papi, kalau sampai memenuhi keinginan Ibu untuk meminjam motor Papi, yang hilang mungkin mobil Papi. Harus dengan cara apa untuk menggantinya?’ lirih Angga dalam hati. Walau kondisinya sudah babak belur begitu, tapi dia masih bersyukur, karena bukan mobil mertuanya yang dia bawa.“Bagaimana keadaan sebenarnya, Ga? kok, kamu bisa sampai seperti ini?” tanya Pak Faris kepada menantunya.“Permisi,” Pak Faris dan Angga mengarah ke asal suara. Ternyata ada dokter dan Martina berjalan mendekat.“Saya periksa dulu, ya?” ucap dokter laki-laki paruh baya itu ramah. “Silahkan dok,” jawab Pak Faris mempersilahkan. Dokter itu menjalankan tugasnya. Memeriksa detak jantung dan yang lainnya. “Kepala saya pusing banget

  • BENALU   Bab 101 (Season Dua)

    Benalu part 101POV 3“Yaudah Om, Tante, Mita, kami pulang dulu. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Romi,” pamit Romi kepada semuanya.“Iya, Rom, pasti, kamu juga hati-hati di jalan,” balas Om Heru. Kemudian mereka beranjak dan keluar dari kamar Mita.Romi dan Dewi melewati lorong Rumah Sakit seraya bergandengan tangan. Dewi mengedarkan pandang. Matanya melihat sosok laki-laki yang menggunakan masker, kacamata hitam dan jaket, berjalan seraya tolah toleh. Mata Dewi menyipit. Langkah kakinya penuh curiga.“Mas, laki-laki itu, kok, jalannya ngendap-ngendap, ya?” tanya Dewi lirih dengan mata masih memperhatikan laki-laki itu. Romi akhirnya juga ikut menoleh ke arah yang di pandang Dewi.“Iya, mau ngapain, ya? tapi dia ke lorong sana?” sahut Romi lirih. Mata mereka masih fokus dengan laki-laki berjaket itu.“Iya, apa kita ikuti?” tanya Dewi kepada suaminya.Dreettt dreeerrrttt dreetttt gawai Dewi bergetar di dalam tasnya. Tak berselang lama berbunyi. Nada panggilan masuk. Dengan cepat De

  • BENALU   Bab 100 (Season Dua)

    Benalu part 100POV 3Ya, di sini, Rizka berpelukkan manja dengan Ibu mertuanya. Dan Rama berpelukkan haru dengan Ibu mertuanya. “Doakan, ya, Bu. semoga Rumah Tangga kami sakinnah ma waaddah wa rohmah,” pinta Rama kepada mertuanya.“Pasti, Nak. Pasti. Tanpa kalian minta, ibu pasti mendoakan kalian,” ucap Bu Sumi. Rama kemudian melepaskan pelukannya.“Pa, kapan Mama Dewi pulang?” tanya Mila tiba-tiba. Membuat Rama tidak bisa menjawabnya. Rama dan mertuanya saling beradu pandang. Rama menarik nafasnya kuat-kuat dan melepaskannya perlahan.“Papa juga nggak tahu, Sayang,” jawab Rama. Membuat bibir Mila cemberut.“Katanya Mama Dewi nggak lama-lama. Tapi, kok nggak pulang-pulang?” sahut Mila seraya bertanya.Mila memang sangat merindukan Dewi. Menunggu Dewi pulang terasa sangat lama baginya. Selalu menunggu hari esok, dengan harapan hari esok mama Dewinya pulang. “Urusan Mama Dewi belum selesai Sayang, makanya Mama Dewi belum bisa pulang,” jawab Rama santai, dengan selalu menyunggingkan s

  • BENALU   Bab 99 (Season Dua)

    Benalu part 99POV 3Anga sudah di periksa oleh dokter. Dia juga belum sadar. Martina dan orang tuanya menunggu di luar. Karena belum di ijinkan masuk. Karena Angga masih dalam penanganan.Martina masih terus menangis. Dia mondar mandir dengan hati yang cemas. Berkali-kali melirik ke pintu kamar di mana Angga di rawat. Berharap pintu itu segera di buka dan dokter segera menyampaikan kabar tentang kondisi suaminya.Yusuf sudah tenang. Dia tidur di pelukkan neneknya. Bu Intan juga nggak kalah paniknya. Hatinya juga berdegub nggak jelas. Selalu berdoa untuk kebaikan anaknya.“Dokternya kok, nggak keluar-keluar, ya?” celetuk Bu Intan. Dia juga nggak sabar menunggu dokter keluar.Bu Intan menyesal sekali, menyuruh anaknya membelikan dia makanan. Lebih tepatnya dia memaksa Angga untuk membelikan makan. Padahal waktu itu, kerjaan rumah di besannya masih banyak dan rumah juga masih berantakan. Makanan juga banyak. Hanya demi ingin pamer baju baru dan naik mobil besannya dia memaksa. Ternyata

  • BENALU   Bab 98 (Season Dua)

    Benlau part 98POV 3“Ma, tapi Mama dan Papa setujukan Mita nikah sama Gio?” tanya Mita kepada mamanya. membuat mamanya bingung menjawabnya. Langkah kaki Dewi langsung terhenti. Dari kemarin-kemarin dia cuma membayangkan saja, kalau Mita akan menikah dengan Pak Galih. Dan itu sudah membuatnya mual. Tapi, hari ini telinganya mendengar sendiri kalau adiknya ingin menikah dengan laki-laki yang selalu mual jika namanya di sebut. Kemudian Dewi berbalik badan, tak jadi keluar tapi malah menuju ke toilet yang ada di kamar rawat inap Mita. Membuat Tante Tika cemas juga dengan kondisi Dewi. Kemudian menyusul Dewi ke toilet. Memijit tengkuknya. Agar terasa enakkan.“Kamu masih sering muntah, Wi?” tanya Tante Tika dengan nada cemas. Walau dia sering melihat Dewi seperti itu, tapi tetap saja dia cemas dengan kondisi keponakannya.“Iya, Tante,” jawab Dewi dengan nada lemas. Dia sudah duduk di sofa ruang kamar Mita di rawat.“Ibu hami itu memang macam-macam, ada yang cuma trimester pertama, ada y

  • BENALU   Bab 97 (Season Dua)

    Benalu part 97POV 3Hati Martina semakin berdegub kencang saat kakinya melangkah menuju rumah Pak Agung. Dia sangat penasaran dengan keadaan suaminya, dan apa yang terjadi sebenarnya. Terus foto yang di berikan Haris itu, apa maksudnya? Dari mana dia mendapatkan foto itu? Semuanya masih menjadi tanya besar di benak Martina. dan sebentar lagi akan terjawab. ‘Mas Angga aku sudah dekat denganmu,’ lirih Tina lagi dalam hati.“Silahkan langsung ke kamar saja semuanya. Karena yang punya hape ini masih di dalam kamar dan belum sadar,” ucap Pak Agung. Semakin membuat hati Tina bergemuruh. Pintu kamar di buka oleh pemiliknya. Bu Intan juga berdebar hatinya, ingin segera melihat kondisi anaknya. Begitu juga dengan Jeng Sella dan Pak Faris. Tak kalah berdebar walau hanya anak mantu. Tapi, mereka benar-benar cemas. Martina masuk lebih di dalam kamar itu. Tak sabar rasanya, ingin melihat suaminya. “Itu, Mbak pemilik hape ini,” jawab Pak Agung seraya menunjuk ke ranjang. Di sana terbaring seso

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status