Pagi pertama setelah amendemen tak tertulis itu terasa… normal.Dan justru karena kenormalan itulah, semuanya terasa sangat aneh.Mereka sarapan bersama di meja makan. Benar-benar bersama. Tanpa koran, tanpa laptop, tanpa tablet. Hanya ada dua piring Nasi Goreng—kali ini permintaan Alina—dan keheningan yang nyaman di antara mereka.Revan bahkan bertanya pada Alina tentang rencananya hari ini untuk Cipta Ruang Estetika. Sebuah pertanyaan sederhana yang terasa seperti sebuah revolusi.Alina sedang menjelaskan tentang rencananya untuk memindahkan beberapa perabotan penting dari ruko lama, saat ponselnya yang tergeletak di meja bergetar.Nama "Deni" tertera di layar."Sebentar," kata Alina pada Revan, lalu mengangkat telepon itu. "Pagi, Den. Ada apa?"Ia berharap ini adalah panggilan koordinasi biasa. Tapi nada suara Deni di seberang sana terdengar berbeda. Bukan panik, tapi… ragu-ragu. Penuh kebimbangan."Pagi, Bu. Maaf sekali mengganggu sarapannya," sapa Deni. "Soal… soal kontrak dari A
Alina terdiam.Dunia di sekelilingnya seolah menjadi buram. Suara dengung AC di ruang kerja Revan, suara jam dinding yang berdetak pelan, semuanya lenyap. Yang tersisa hanyalah kalimat terakhir Revan yang terus bergema di kepalanya.Aku sedang membentengi kerajaan kecilmu.Amarahnya yang tadi membara kini padam total, meninggalkan abu penyesalan yang terasa dingin.Ia merasa seperti orang bodoh yang baru saja mencoba menyerang bentengnya sendiri. Semua energi yang ia habiskan untuk membenci dan melawan pria ini, ternyata sia-sia.Selama ini ia sibuk membangun pertahanannya sendiri, memasang perisai untuk melawan Revan. Tapi ternyata, di saat yang bersamaan, pria itu sedang membangun benteng yang jauh lebih besar di sekelilingnya, melindunginya dari musuh yang bahkan tidak ia sadari keberadaannya.Ia menatap Revan. Pria itu masih duduk dengan tenang, menunggunya bereaksi. Menunggu badai di dalam diri Alina reda.Alina menarik napas dalam-dalam, mencoba menata kembali dunianya yang baru
"Kau mencoba membeli loyalitas tim-ku. Itu tidak ada dalam kesepakatan kita, Revan."Tuduhan itu menggantung di udara, tajam dan penuh amarah.Alina berdiri di depan meja kerja Revan, napasnya sedikit memburu. Ia sudah siap untuk perang. Siap untuk semua argumen dingin dan logika bisnis yang akan dilemparkan Revan untuk membela tindakannya.Tapi Revan tidak melakukan itu.Pria itu hanya bersandar di kursinya, menatap Alina dengan tenang. Ia tidak terlihat marah. Ia tidak terlihat terkejut. Ia hanya menatap, seolah sedang menunggu badai di dalam diri Alina sedikit mereda.Keheningannya justru terasa lebih mengintimidasi daripada teriakan.Setelah beberapa saat yang terasa begitu panjang, Revan akhirnya berbicara. Suaranya tenang, nyaris tanpa emosi."Kau pikir ini tentang loyalitas tim-mu?"Alina mengerutkan kening. "Lalu tentang apa lagi? Kau mencoba mengikat mereka dengan kontrak Adhitama, dengan gaji dan tunja
Saat setelah pintu lift tertutup dan membawa Andra beserta timnya pergi, hanya suara dengung pelan dari server baru yang mengisi keheningan di antara Alina dan Deni.Ruang kantor yang tadinya terasa seperti sebuah mimpi yang menjadi nyata, kini terasa seperti sebuah panggung pertunjukan yang megah, di mana semua propertinya bukan lagi milik Alina.Deni masih berdiri dengan mata berbinar, menatap takjub pada laptop-laptop baru yang masih terbungkus plastik."Gila, Bu," katanya, suaranya penuh kekaguman. "Ini sih spek dewa! Render 3D paling berat juga bakal lewat ini, Bu! Kita nggak perlu lagi nunggu semalaman cuma buat satu gambar."Euforia. Kegembiraan.Itulah yang Deni rasakan.Tapi Alina, merasakan hal yang sebaliknya.Ia merasakan hawa dingin yang merayap di tulang punggungnya. Setiap laptop baru, setiap server yang berdengung pelan, terasa seperti mata-mata yang ditanam Revan di jantung perusahaannya.Ia menatap Deni, lalu membayangkan wajah Sinta. Tim kecilnya. Satu-satunya harta
Perasaan campur aduk itu, antara euforia dan rasa tercekik, terus menemani Alina sepanjang sisa hari itu.Ia kembali ke ruko tua Cipta Ruang Estetika sore itu seperti seorang astronot yang baru kembali ke bumi. Langit-langit yang rendah, dinding yang sedikit terkelupas, dan aroma kertas yang khas kini terasa begitu... sesak. Begitu kecil.Padahal, baru kemarin pagi, tempat ini adalah seluruh dunianya.Ia menatap Deni dan Sinta, dua karyawannya yang paling setia, yang sedang sibuk di depan komputer mereka masing-masing.Bagaimana cara memberitahu mereka? "Hei, kita dapat durian runtuh, kita akan pindah ke gedung pencakar langit besok"? Terdengar seperti lelucon.Malamnya, di rumah Revan, Alina tidak bisa tidur. Ia mondar-mandir di kamarnya, menyusun kata-kata di kepalanya. Ia har
Pagi pertama setelah kembali ke Jakarta terasa sangat aneh.Alina terbangun di kamarnya, tapi untuk pertama kalinya, ia tidak merasa seperti seorang penyusup. Ia merasa... seperti penghuni. Kesadaran bahwa Revan tidur di kamar tamu, bukan di sofa, entah kenapa memberikan sebuah rasa aman yang tidak bisa ia jelaskan.Saat ia turun ke ruang makan, Revan sudah ada di sana.Pria itu duduk di meja makan, bukan dengan tablet atau laporan bisnis, tapi dengan secangkir kopi hitam dan koran pagi yang terlipat rapi. Sebuah pemandangan yang anehnya terlihat sangat domestik.Bi Sumi sedang menata sarapan di atas meja. Kali ini, ada Lontong Sayur dengan aroma santan dan rempah yang menggugah selera. Wanita paruh baya itu melirik interaksi canggung antara tuan dan nyonya barunya dengan senyum tipis yang tersembunyi."Pagi," sapa Alina pelan, sambil menarik kursi."Pagi," balas Revan, matanya masih tertuju pada koran. "Tidurmu nyenyak?"Pertanyaan basa-basi itu terasa begitu tidak biasa keluar dari