Ada dua jenis orang di dunia ini setelah menutup telepon penting.
Jenis pertama bakal langsung buka media sosial, cari distraksi, atau mungkin bikin teh hangat buat nenangin diri.
Jenis kedua... bakal langsung merakit bom.
Alina Cantika Dewi jelas-jelas masuk kategori kedua.
Begitu sambungan telepon dengan Revan terputus, ia tidak diam. Ia tidak merenung. Ia tidak panik.
Energi di dalam studio kecil di Bintan itu berubah total.
Kalau lima menit yang lalu tempat ini adalah surga seorang seniman, sekarang tempat ini adalah markas komando. Meja gambarnya bukan lagi kanvas, tapi meja strategi perang. Dan pensil di tangannya bukan lagi alat untuk menggambar, tapi tongkat komando.
Hal pertama yang ia lakukan?
Ada dua jenis orang di dunia ini setelah menutup telepon penting.Jenis pertama bakal langsung buka media sosial, cari distraksi, atau mungkin bikin teh hangat buat nenangin diri.Jenis kedua... bakal langsung merakit bom.Alina Cantika Dewi jelas-jelas masuk kategori kedua.Begitu sambungan telepon dengan Revan terputus, ia tidak diam. Ia tidak merenung. Ia tidak panik.Energi di dalam studio kecil di Bintan itu berubah total.Kalau lima menit yang lalu tempat ini adalah surga seorang seniman, sekarang tempat ini adalah markas komando. Meja gambarnya bukan lagi kanvas, tapi meja strategi perang. Dan pensil di tangannya bukan lagi alat untuk menggambar, tapi tongkat komando.Hal pertama yang ia lakukan?
Alina masih berdiri di depan meja gambarnya.Aroma arang dari pensil dan kertas terasa pekat di udara. Di hadapannya, terhampar sketsa sebuah benteng yang lahir dari amarah.Suara Revan di seberang sana terdengar jauh. Seperti suara dari dunia lain. Dunia penuh jas mahal, pendingin udara sentral, dan pengkhianatan yang dibungkus senyum."...kita punya tantangan baru."Alina menarik napas pelan. "Tantangan?" tanyanya, mencoba menjaga suaranya tetap stabil. "Tantangan macam apa yang bisa muncul dari rapat dewan yang membosankan?"Di seberang sana, Alina bisa mendengar Revan menghela napas. Suara yang terdengar lelah, tapi bukan kalah."Pamanku," kata Revan, langsung ke intinya. "Dia mencoba bermain cantik."
Hening.Di dalam ruangan yang harganya lebih mahal dari gabungan harga rumah seluruh karyawannya itu, satu-satunya suara adalah dengung pelan pendingin udara.Dengung yang terdengar seperti hitungan mundur sebelum bom meledak.Semua mata—mata licik, mata penasaran, mata takut—semuanya tertuju pada satu orang.Revan Adhitama.Umpan dari Hariman sudah dilempar dengan begitu cantiknya ke tengah meja."Hanya untuk... 'membantu'."Sebuah bantuan yang rasanya seperti tamparan. Sebuah kepedulian yang baunya seperti penghinaan.Siapapun yang punya otak di ruangan itu tahu ini bukan usul. Ini adalah tes. Sebuah gertakan.
Kalau surga itu punya bau, mungkin baunya seperti udara Bintan di pagi hari. Campuran wangi garam laut, tanah basah, dan embun.Kalau neraka punya bau, baunya persis seperti udara Jakarta di jam pulang kerja. Campuran asap knalpot, debu konstruksi, dan ambisi yang membusuk.Revan Adhitama sedang menghirup dalam-dalam bau neraka itu sekarang.Ia duduk di kursi belakang mobilnya yang melaju pelan, terjebak di tengah lautan lampu merah dan klakson.Kontrasnya begitu menusuk.Beberapa jam yang lalu, ia masih berdiri di balkon, menatap lautan biru yang tenang. Sekarang, ia menatap lautan beton yang kacau balau.Ponsel di tangannya bergetar pelan. Ia membukanya lagi.Pesan dari Alina.
Hening.Itu hal pertama yang Alina sadari setelah telepon ditutup.Hening yang tadinya terasa damai, sekarang malah terdengar mengancam.Suara jangkrik di luar jendela yang tadinya kayak musik alam, sekarang malah terdengar kayak lagi menertawainya.Ponsel di tangannya terasa dingin dan berat.Kayak sebatang logam dari neraka.Paman Hariman.Sialan.Baru juga beberapa jam yang lalu ia merasa menemukan dunianya.Baru juga beberapa jam yang lalu ia merasa aman.Rasanya... kurang ajar banget.Tempat yang baru aja ia anggap 'rumah', tempat amannya, tahu-tahu rasany
BAB 53 : Telepon dari Kandang SerigalaSetiap hal indah pasti ada tanggal kedaluwarsanya.Gelembung kecil yang mereka ciptakan di studio Revan itu, dengan wangi kopi dan keheningan yang nyaman, ternyata punya masa berlaku yang sangat singkat. Cuma beberapa jam.Perpisahan mereka di lobi hotel terasa canggungnya minta ampun. Nggak ada pelukan dramatis ala film-film. Nggak ada ciuman perpisahan yang bikin lutut lemas. Yang ada cuma dua orang yang mendadak nggak tahu harus menaruh tangan di mana."Aku akan telepon kalau sudah sampai," kata Revan. Kalimat standar yang entah kenapa terdengar aneh keluar dari mulutnya."Oke," jawab Alina singkat.Revan menatapnya sejenak, seolah mau bilang sesuatu lagi, tapi nggak jadi. Akhirnya, ia cuma mengangguk kaku, lalu berbalik dan masuk ke dalam mobil hitam yang sudah menunggunya.Dan begitu saja. Pria itu pergi.Alina ditinggal sendirian di lobi yang megah, dengan kunci studio Revan di sakunya yang terasa berat dan panas.Rasanya aneh. Kosong.Sete