Siang berganti petang, saat kupikir Khalid akan mengantarku ke unit apartemen yang dijanjikan, dia justru membelokkan kendaraan menuju komplek perumahan elite. Berhenti di sebuah rumah yang paling besar di sana, lalu membawaku masuk ke dalamnya.
Satpam, pelayan, dan asisten rumah tangga menyambut kami di depan. Dengan segala kemewahan yang terpampang, tak perlu kujelaskan lagi berasal dari keluarga macam apa dia. Konglomerat, hanya satu kata yang tercetus dalam benak."Aku akan membawamu menemui istriku!"Langkahku terhenti tiba-tiba. Akhirnya aku akan tahu siapa wanita yang memilih pelacur di antara sekian banyak wanita baik-baik di luar sana. Seorang istri yang rela berbagi suami hanya untuk mewujudkan satu-satunya harapan keluarga di tangan seorang wanita hina.Khalid mendorong pintu ganda yang terpampang di hadapannya. Setelah pahatan kayu itu terbuka, alih-alih wanita sehat yang berdiri menyambut kami. Yang kulihat justru wanita lemah yang terbaring tak berdaya di atas ranjang besarnya.Berbagai alat medis melekat. Bersama dengan penutup kepala dan pakaian yang kuterka tak pernah terbuka, selain di hadapan suaminya.Inaya Ammara Husein, gadis yang kupikir sempurna karena hampir memiliki segalanya. Anak dari pemilik yayasan panti asuhan di mana aku bernaung dulu. Lima belas tahun kami habiskan waktu bersama, berbagi banyak hal, bersenda-gurau. Sampai kusadari dunia kita berbeda, kasta membatasi kita.Masih lekat dalam ingatan saat dia pamit untuk melanjutkan study di luar negeri. Menangis di pelukanku. Dan berbisik di telinga, mengatakan bahwa kita saudara. Aku tak mengerti maksudnya, dan tak pernah mendapat jawaban akan penyataannya yang ambigu. Hingga sepuluh tahun berlalu aku tak pernah mendengar lagi kabarnya.Sampai akhirnya Khalid datang dan memberi penawaran itu."Setahun lalu Naya dinyatakan koma setelah melakukan prosedur pengangkatan rahim akibat tumor ganas yang menyerangnya. Sebelum rahimnya benar-benar diangkat dokter berhasil mengawetkan tiga sample sel telurnya. Satu sudah saya gunakan tanpa sepengetahuannya, tapi berakhir gagal. Hanya tersisa dua. Sebelum harapan kita benar-benar sirna, saya mengingat sebelum jatuh koma Naya pernah menitipkan pesan. Dia meminta saya untuk mencarimu. Awalnya saya sempat ragu, sangat ragu. Satu tahun bahkan sudah berlalu dan saya masih belum bisa juga mendapatkan jawaban itu. Tapi, entah kenapa, seminggu terakhir ini saya merasa benar-benar yakin padamu. Seperti yang Naya katakan sebelum koma, selain Tuhan mungkin kamulah satu-satunya harapan kami."***Hanya ada dua pertanyaan yang menggelayut dalam benak saat kulihat sosok yang terbaring koma di atas ranjangnya, yaitu istri macam apa yang merelakan suaminya menikahi seorang wanita yang seringkali kali orang anggap hina karena pekerjaan yang digelutinya? Calon ibu macam apa yang mengharapkan benihnya tumbuh di dalam rahim yang seringkali disinggahi cairan nista para lelaki durjana?Bahkan saat lelaki itu berhasil menarikku dari lubang neraka, aku tak pernah bisa benar-benar percaya. Berhubungan dengan kaum Adam selalu saja membawa petaka. Bagiku semua lelaki itu sama. Mereka yang terlalu mengandalkan logika kadang menyimpulkan sesuatu hanya berdasarkan egonya. Seperti cara mereka menatap dunia, dan wanita di dalamnya.Aku hanya bisa tertawa saat pertama kali dia datang, menawarkan sesuatu yang lebih berharga dari intan permata. Menceritakan tentang ketidakberdayaan istrinya, dan keputusasaan menghadapi masa depannya.Dia menjanjikan komitmen yang dibalut kesepakatan pernikahan. Kontrak setahun yang bernilai milyaran untuk mengandung anak yang kelak akan mewarisi banyak harta dari dua keluarga kaya yang diuji dengan ketidaksuburannya."Bisa kita mulai saja?" Pertanyaan dari lelaki berpeci, seketika membuyarkan lamunanku. Sudah sebulan sejak pertama kali Khalid datang membawa penawaran itu.Aku masih di sini, di ruangan sama di mana wanita itu terbaring koma. Disaksikan dua anggota keluarga yang membuktikan bahwa pernikahan ini sah di mata hukum dan agama, tanpa paksaan dan tanpa cinta demi kesepakatan bersama-- kulihat lelaki yang sebentar lagi menjadi suami dari dua wanita berbeda, mengusap wajahnya, lalu mengangguk pelan.Dia menatapku sejenak, kemudian menjabat tangan pria paruh baya yang diketahui sebagai seorang penghulu."Saya nikahkan dan kawinkan Anda, saudara Khalid Prasetya bin Muhammad Ali Prasetya dengan saudari Nindia Putri Zaelani binti Lani dengan maskawin tujuh puluh U.S dolar. Tunai!""Saya terima nikah dan kawinnya Nindia Putri Zaelani binti Lani dengan maskawin tersebut. Tunai!""Bagaimana saksi?""Sah!"***Mungkin kalian berpikir bahwa pernikahan adalah kesempatan paling berharga bagi seorang pelacur yang dibuang ibunya di panti asuhan. Jalan keluar paling efektif untuk wanita yang sudah terlalu lama terjebak dalam kesesatan. Nyatanya komitmen dan pernikahan tak selalu mampu mengubah seseorang.Di tengah gemerlapnya ibukota. Dalam sisi kelam kehidupan keras di Jakarta. Ini bukan pertama kalinya aku terikat dengan pria.Aku sudah pernah merasakan kehidupan berumah tangga. Menemukan satu-satu tempat berlindung. Memiliki seseorang yang kupikir rumah, rupanya lebih menyeramkan dari penjara. Dia cinta dan patah hati pertama yang membuatku tak lagi percaya dengan omong kosong cinta dan merasa telah dipecundangi dunia yang orang lain puja. Dari sanalah awal aku mulai membenci lelaki, lelaki yang hanya memanfaat wanita sebagai pemuas nafsu, lelaki yang hanya memanfaatkan wanita sebagai babu, dan lelaki yang menganggap wanita hanya sebagai mesin pencetak anak.Di tepi ranjang aku menatap jenis lelaki ketiga. Seorang anak tunggal dari keluarga kaya raya yang sayangnya menikahi seorang wanita yang tak sempurna. Segala cara dia lakukan agar benihnya tumbuh menjadi seorang anak yang sudah keluarga mereka dambakan sejak lama."Kalau dia menginzinkanmu menikahiku, kenapa dia nggak mengizinkanmu menyentuhku? Bukahkan lebih mudah melakukannya dengan cara alami daripada teknologi yang memakan banyak waktu dan biaya?" Pertanyaan itu tercetus begitu saja, saat kulihat dia hendak beranjak pergi setelah menjelaskan segala hal tentang aturan kontrak ini.Khalid berbalik menatapku."Naya tak pernah melarang saya menyentuhmu, Nindi. Sayalah yang memutuskan untuk tak melakukan itu. Ini satu-satunya kesempatan kami untuk punya anak dengan DNA kami sendiri."Aku tersenyum miring mendengarnya."Mungkin satu-satunya kesempatan dia, bukan kesempatan kamu. Dokter bilang kamu sehat, berarti tanpa dia kamu masih bisa punya anak dari wanita lain. Harusnya dia nggak egois, karena aku tahu setiap lelaki pasti butuh. Khususnya kamu yang udah lebih dari setahun nggak menerima hak itu.""Jangan salah paham. Saya menikahimu atas persetujuannya. Tanpa dia pernikahan ini mungkin tak akan pernah terjadi. Kami hanya ingin anak yang kamu kandung nanti jelas nasabnya, jelas siapa ibu dan bapaknya. Dengan atau tanpa pernikahan saya sudah berkomitmen tak akan pernah mengkhianati Naya. Dengan menyentuhmu sudah termasuk pengkhianatan bagi saya. Jadi, tolong mengerti. Jangan pancing saya. Anggap kamu bekerja untuk saya, dan kamu dibayar untuk itu. Jadi, tolong ikuti saja aturan saya."Aku memalingkan muka, lalu tertawa. Sebenarnya apa yang dia kata masih terbilang biasa, tapi entah kenapa mendengar langsung dari mulutnya, malah menimbulkan rasa nyeri yang sulit kumengerti."Oke, kalau kamu punya aturan, aku pun demikian. Membayar atau dibayar kita sama-sama punya hak dan kewajiban!"Khalid terdiam."Aku nggak akan memacing, tapi kalau kamu terpancing berarti imammu lemah, keyakinanmu goyah. Kita liat saja sampai kapan sabarmu berubah jadi pasrah!"Kutarik selimut, lalu terbaring dalam posisi menyamping. Dari sudut mata kulihat dia beranjak pergi dan menutup pintu dengan hati-hati....Bersambung.Khalid menempatkanku di sebuah apartemen mewah di pusat Kota Batam. Sesuai kesepakatan kami tinggal di gedung apartemen yang sama, tapi unit yang berbeda. Sepertinya dia memang sengaja membatasi diri sejauh itu untuk menghindari hal-hal yang diinginkan. Sudah tiga pekan sejak kesepakatan dan aturan yang dia kemukakan. Selama itu aku menjalani hari-hari yang membosankan sebagai pengangguran. Nonton, makan, dan tiduran. Sesekali dia menghubungi hanya untuk menanyakan apakah aku sudah selesai menstruasi atau melewati masa ovulasi agar proses surogasi bisa segera dilakukan.Seharusnya kalau dia memang benar-benar ingin tahu kenapa tidak langsung datang dan memastikannya sendiri?Tok! Tok! Tok!"Mbak, Mbak Nindi!"Suara ketukan diiringi panggilan dari arah pintu menyentak lamunanku, sejak pindah ke sini aku memang sulit tidur dan seringkali terbangun lebih pagi. Padahal sebelumnya aku nyaris tak pernah menyentuh sinar matahari pagi, karena aktifitas padat yang dilakukan di malam hari."Bent
Sepeninggal Khalid, aku memerhatikan Dokter Antoni yang tengah mengotak-atik komputernya. Tatapanku tertuju pada beberapa formulir yang terdapat di meja kerjanya. Beberapa sampulnya bertuliskan Surrogate Mother dan In Vitro Fertilization. Atau yang biasa kita kenal dengan metode kehamilan Ibu Pengganti dan Bayi Tabung.Merasa ada pertanyaan yang janggal sejak menjalankan segala prosesi medis ini, sebagai orang awam aku berinisiatif untuk bertanya."Dok!" Dokter Antoni mengalihkan pandangannya dari layar komputer, kemudian menatap ke arahku."Ya?""Sebenarnya program Ibu Pengganti ini apa, sih, Dok? Apa masih sama dengan metode Bayi Tabung? Bukannya keduanya sama-sama perlu tindakan medis?"Dokter Antoni tersenyum. Kali ini dia benar-benar menghadap ke arahku."Saya jelaskan sedikit, ya, Bu. Untuk seorang perempuan bila harus memilih antara rahim dan indung telur, jelas indung telur yang harus dipertahankan. Karena produksi hormon itu dari indung telur, bukan dari rahim. Jadi, bila ad
Khalid Prasetya adalah anak tunggal dari pasangan Muhammad Ali Prasetya dan Sarah Wijaya. Menurut keterangan Neli yang sudah lima tahun bekerja dengan mereka, Papa Khalid juga seorang anak tunggal sementara Mamanya punya satu adik perempuan. Keluarga Khalid mengelola perusahaan ekspedisi di Batam. Sebagai salah satu ekspedisi yang paling banyak digunakan di Kepulauan Riau, mereka langsung bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai dalam pengawasan barang yang masuk dan keluar dari perusahaannya. Menurut info yang kudapatkan, sebelum mengelola perusahaan ekspedisi kakek Khalid juga pernah menjadi salah satu petinggi Bea Cukai di Batam.Seperti yang kita tahu, wilayah Batam telah bermetamorfosis menjadi daerah yang padat industri. Keadaan ini pastinya tidak dapat dipisahkan dari peran serta kehadiran investor yang ada di Batam. Hal ini juga yang menjadi salah satu dasar mengapa pemerintah menetapkan Batam sebagai Kota bebas pajak, Bahkan menurut keterangan para pedagang, semua ke
"Jangan main-main, Nindi. Saya nggak suka!" Di tengah perjalanan pulang Khalid membuka percakapan setelah sebelumnya mendiamkanku tanpa alasan."Ya, maaf. Bercanda doang.""Jangan bercanda yang berhubungan dengan kesehatan, kamu tahu betapa berharganya--'"Calon anak ini," potongku mencibir."Bukan begitu," dalihnya yang tampak tak enak hati karena masa depannya dan Naya ada di dalam perutku saat ini."Ya, ya, udahlah. Aku ngerti dan nggak mau memperpanjang ini."Helaan napas panjang terdengar, kebiasaan yang baru aku tahu sering Khalid lakukan untuk meredam kekesalan karena ucapanku yang kadang sembarangan."Saya cuma nggak mau apa yang pernah terjadi pada Naya terulang lagi, Nindi.""Maksudnya?""Sebenarnya Naya dinyatakan koma setelah mengalami keguguran.""Apa?" Kubenahi posisi, lalu sepenuhnya menatap lelaki ini."Dokter Antoni mengatakan hal tersebut benar-benar mengejutkan, apalagi dengan riwayat penyakit Naya, dan prosedur Bayi tabung yang sempat gagal, seharusnya Naya mustah
Tiba di apartemen, kami langsung disambut Neli yang membantu membawakan barang bawaan Khalid. Dia mengisi kamar di sebelah dan langsung meminta izin untuk beristirahat, karena penat menyetir sendiri seharian tadi.Setelah percakapan dalam perjalanan tadi aku sedikit mengerti dengan sifat Khalid. Ternyata dia bukan tipe orang yang dingin dan tertutup. Namun, cenderung terbuka dan apa adanya. Lelaki yang seperti ini biasanya memang terkenal jinak-jinak Merpati. Terlihat mudah didapatkan, tapi nyatanya sulit ditaklukan."Dari mana aja lu dari tadi susah dihubungin?"Aku mengusap dada saat melihat wajah Roy memenuhi layar ponsel sesaat setelah panggilan video call-nya kujawab."Periksa dedek, ketemu kakak madu, terus debat sama nenek lampir," sahutku apa adanya."Dih, gaya lu, Nindi." Roy mencibir dengan bibir dibuat kriting. "Jadi, sekarang perut lu udah ngisi?""Dari dulu juga udah ngisi kali. Lambung usus, ginjal, tai!""Astaga. Maksud gue zigotnya, Cewek Sinting!""Oh, bilang, dong da
"Kalau liat dia dengan posisi kayak gini, pengen melorotin sarungnya, nggak, sih?" Aku menyikut tangan Neli saat kami tengah memerhatikan Khalid yang terpaksa memasak malam ini.Lelaki itu tampak berdiri membelakangi kami, menghadap kompor dan panci, mengolah berbagai bahan mentah yang tersisa di lemari pendingin.Neli memelototiku."Ya ampun, Mbak Nindi.""Nggak usah pura-pura, Neli. Saya tahu kamu juga pasti demen sama yang modelan begini.""Tapi, saya udah punya laki, Mbak.""Eh, iyakah? Apa seganteng dia?""Ng, nggak juga, sih.""Kan. Bingung juga kita, dia apa aja bisa. Apa yang dia nggak bisa coba?""Mendua, Mbak.""Dih, Si Neli kalau ngomong suka bener."Prang!Aku dan Neli terlonjak saat Khalid dengan sengaja membanting spatula ke dalam panci berisi rebusan bayam "Saya bisa denger, Nindi!""Kok, cuma aku? Kan, aku gosipin kamu berdua sama Nel--""Mbak, tolong ...! Saya punya anak sama suami, ibu saya juga masih butuh biaya."Aku nyaris tertawa melihat ekspresi Neli yang sudah
Besoknya, untuk pertama kali sejak sebulan lebih tinggal di sini, aku bangun kesiangan karena makan kekenyangan semalam. Kusibak gorden golden rose di hadapan yang menampilkan view pusat Kota Batam dengan cahaya Matahari yang sudah meninggi.Setelah meregangkan otot yang tegang dan mencuci muka serta menggosok gigi. Baru kusadari ada roti sandwich dan susu yang sudah tersuguh di atas nakas samping tempat tidur.Tanpa basa-basi, aku langsung melahapnya saat itu juga."Amis." Dahiku mengernyit saat menyadari susu yang dikonsumsi tak seperti yang biasa dinikmati."Itu susu ibu hamil, Mbak. Makanya agak amis," sahut suara di belakang yang kukenali sebagai Neli.Aku menoleh, lalu kembali mengamati susu dalam gelas tinggi yang tersisa setengahnya."Pantesan. Tahu gitu nggak aku minum.""Abisin! Soalnya Pak Khalid sendiri yang bikin tadi.""Khalid?""Hooh," jawab Neli kemudian mulai beranjak untuk membereskan kamarku."Sandwichnya juga?" Aku bertanya lagi."Bukan cuma itu, bahkan dia yang an
"Boleh saya masuk?" Pertanyaan itu menyentak lamunanku, sesaat setelah membuka pintu. Berbagai pertanyaan berkecamuk menjadi satu memikirkan alasan yang menyebabkan orang penting sepertinya tiba-tiba datang menunda penerbangan."Khalid udah berangkat kerja, Pak," cetusku begitu saja, karena merasa dia datang untuk menemui menantunya."Saya datang bukan untuk menemui Khalid, tapi menemuimu."Deg!Oke, pernyataannya semakin membingungkan. Dan membuatku harus memutar otak memikirkan. Kucoba mengingat-ingat pertemuan kami akhir-akhir ini. Terhitung tiga kali, bahkan tak ada percakapan berarti yang terjadi. Dia lebih banyak menyimak dan memerhatikan, tak seperti istrinya yang seringkali menunjukkan sorot mata tajam. Pak Bayu cenderung hangat menatapku.Sedikit ketakutan bersarang, kemungkinan paling gila terpikirkan. Bagaimana bila tanpa sadar kami pernah bertukar keringat di atas ranjang?Aku menggeleng pelan, lalu menekan pelipis mencoba menepis khayalan. Tidak mungkin. Aku selalu ingat