Home / Romansa / BENIH 2 MILIAR / 3. Kesempatan

Share

3. Kesempatan

Author: Dwrite
last update Last Updated: 2022-11-13 09:41:58

"Da, Nasi Padang-nya bungkus tiga, ya!"

"Yang biasa, Mbak?"

"Iya. Satu paru, satu babat, satu lagi ayam."

"Siap."

Sembari menunggu pesanan siap, di depan Warung Nasi Padang Uda Rahmat aku duduk di bangku sebelah pria tua yang sialnya kukenali sebagai tetangga.

"Orderan sepi hari ini, Neng? Tumben pulang cepet."

Kurapatkan jaket yang membungkus pakaian terbuka di dalam sana. "Bukan urusan bapak."

Dia tersenyum miring sembari menyesap kembali rokok yang terselip di sela jarinya. "Kalau harga tetangga, bisa kena berapa kira-kira?" Mata cabul itu menatapku dari atas ke bawah.

Kupejamkan mata, lalu mengembuskan napas panjang setelahnya. Memang sulit menjelaskan pada Lalat bahwa bunga lebih berharga daripada sampah. Terkadang Lalat-lalat ini hanya peduli tentang apa yang menarik di matanya, bukan bagaimana konsekuensinya.

"Inget umur, Pak. Kasian bini yang tiap hari nunggu di rumah," jawabku sekenanya.

"Munafik. Belum aja lo diusir sama warga."

Aku tertawa pelan. Satu lagi hal yang kubenci dari para lelaki yang tak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Terkadang mereka bukan hanya menyerang fisik, tapi juga mental. Beberapa warga di daerah sama yang mengenalku sebagai seorang P$K, kerapkali melontarkan kalimat sama bila aku tak mau memenuhi keinginan mereka.

"Ini Jakarta, Pak. Di sini saya punya rumah dan nggak pernah minta makan dari belas kasihan warga. Lagian tempat ini bukan punya nenek moyang Bapak. Punya hak apa usir-usir saya?"

"Goblok. Lonte nggak be--"

"Mbak Nindi! Pesanannya udah siap." Panggilan Uda Rahmat menyelamatkanku dari mulut comberan aki-aki yang haus belasan wanita.

Aku mengambilalih kantong kresek yang disodorkan dan membayar pas sejumlah harga yang sudah kuhapal di luar kepala, lalu bergegas meninggalkan warung nasi di mana lelaki tua itu berada.

"Lama-lama lo bakal kena tulahnya, Nindi! Hidup nggak selalu adil buat para pendosa."

Aku menghentikan langkah, lalu menatap nyalang ke arahnya.

"Sejak kapan hidup pernah adil buat pada para pendosa? Bukannya hidup yang memaksa mereka buat bertahan di tengah kerasnya dunia?"

Tua bangka itu kehabisan kata. Dari balik kaca aku melihat Uda Rahmad hanya bisa menatap dengan mata sayunya. Isyarat itu seolah memerintahkanku untuk bergegas pergi dan tak perlu meladeni pria tak tahu diri ini.

***

"Ma!" Sekejap tarikan tangan mungil itu berhasil menarikku dari semua ingatan menyakitkan.

Kutatap wajah polos bocah berumur tujuh tahun yang dengan lahap menyantap ayam goreng dan nasi padang yang kubawa.

"Ya, Sayang?"

"Papa kapan pulang? Kata nenek ini tahun kelima papa nggak pulang. Nana pengen lebaran tahun ini kita bisa kumpul sama-sama."

Bagai palu godam yang menghantam, aku hanya bisa terbungkam. Pertanyaan yang kerap kali keluar dari bibir mungil itu, tak ubah membuatku kelabakan.

Tak seperti caraku memaki dunia yang kejam, mulutku terlalu kelu untuk mengungkapkan kebenaran pada bocah yang hanya tahu makan dan jajan.

Aku terlalu pengecut untuk mengatakan dengan lantang bahwa bajingan yang dia panggil Papa mungkin tak akan pernah kembali. Mungkin bajingan yang sudah melemparku ke jurang dengan segudang beban tengah menikmati kebahagiaan dengan istri barunya yang kaya.

"Nggak apa-apa, Sayang. Di sana, kan papa cari uang, buat jajan dan sekolah Nana, buat berobat nenek, buat belanja Mama. Setelah Papa kerja tambang di Kalimantan hidup kita jauh lebih baik sekarang. Kita doain aja, ya. Semoga di mana pun berada, Papa baik-baik aja." Mataku memanas ketika melihat wanita tua itu membawa segelas air dan duduk di sebelahku. Mengusap kepala cucunya penuh sayang.

Ingin rasanya meneriakan bahwa kehidupan mereka yang layak sekarang bukan berkat Si Bajingan. Tapi berkatku.

Namun, aku terlalu pengecut untuk menorehkan luka di mata wanita tua pesakitan dan bocah tujuh tahun yang selama ini sudah kuanggap sebagai anak kandung sendiri.

"Aku permisi ke kamar sebentar!" Akhirnya aku memilih beranjak dari kursi ruang tamu menuju kamar. Menutup rapat pintu di hadapan dan menumpahkan tangis di baliknya.

Sejauh ini aku sudah berusaha kuat menjalani tiap kehidupan. Berbagai hinaan dan cercaan tak pernah membuatku gentar. Namun, saat melihat wajah-wajah tak berdosa yang menggantungkan harapan pada seorang bajingan yang telah meninggalkan. Aku tak berdaya.

Mereka adalah titik lemah yang membelengguku dalam sanggar. Merekalah yang membuatku terpaksa terus menjalani pekerjaan yang tak kuinginkan.

Kalau saja diberi kesempatan, yang kuharapkan hanyalah kebebasan.

"Semua orang punya pilihan, lo cuma perlu nunggu kapan kesempatan datang."

"Seandainya kamu diberikan satu kali lagi kesempatan, akankah kamu bersedia untuk keluar dari lingkaran setan?"

Tiba-tiba aku teringat ucapan Roy dan Si Tampan dalam waktu yang bersamaan.

Mereka benar, kalau aku tak menentukan pilihan dari sekarang, mungkin tak akan ada lagi kesempatan datang.

Sejenak kuseka air mata yang berguguran, lalu bangkit untuk meraih ponsel yang tergeletak di atas kasur. Bersamaan dengan itu kurogoh mantel yang semula dikenakan dan menemukan kartu nama lelaki bernama Khalid.

Dering mengalun beberapa kali. Sampai suara yang bisa menggetarkan iman itu akhirnya terdengar.

"Halo."

"Halo, Ganteng. Ini Nindi. Cewek seksi dan bahenol yang tadi. Bisa ketemu besok pagi?"

***

"Silakan tanda tangan di sini!" Aku tertegun saat melihat pria berusia tiga puluh dua tahun itu menyodorkan sebuah dokumen bersampul jingga.

Sebuah kontrak kerja sama yang akan mengikat kita dalam sebuah kesepakatan tertulis.

Saat ini aku dan Khalid sudah berada di sebuah kafe untuk membicarakan tentang penawarannya tempo hari.

"Saya tak ingin ada rahasia, jadi orang tua saya maupun orang tua istri saya juga akan mengetahui tentang kesepakatan ini. Dalam setahun kita bukan hanya terikat sebagai rekan kerja, tapi juga suami-istri." Dahiku mengernyit dibuatnya.

"Jadi, akan ada pernikahan nantinya?" potongku begitu saja.

Lelaki berjambang tipis itu mengangguk pelan.

"Hanya status. Tak akan ada kewajiban untuk menjalankan rumah tangga sebagai suami-istri pada umumnya. Papa dan Mama adalah orang yang cukup paham, mereka ingin status dan nasab cucunya jelas di mata hukum dan agama. Meskipun keluarga istri saya sempat menentang, mereka akhirnya bersedia setelah saya beritahu bahwa kesepakatan ini murni keputusan anak mereka."

Kuhela napas lega, tapi di satu sisi terasa ada yang menghimpit dada. Setelah lima tahun, aku kembali dihadapkan dengan komitmen dan pernikahan, walaupun hanya sementara.

"Ini uang muka 500 juta, setengahnya lagi akan saya sertakan sebagai mahar dalam bentuk dolar. Sisanya setelah kontrak kita selesai." Khalid menyodorkan koper sama seperti yang waktu itu dibawanya. Berisi sejumlah uang yang dia sebutkan.

Aku mengangguk pelan. Lalu mulai meraih bolpoin untuk membubuhkan tanda tangan.

"Sebentar!" Dia tiba-tiba menginterupsi.

"Ya?" Kuangkat kepala, lalu mengernyitkan dahi menatapnya.

"Apa kamu tak akan membacanya dulu?"

"Nggak perlu, wajahmu udah cukup meyakinkan. Kalau pun ada salah satu pihak yang melanggar, aku tinggal bawa kabur anak kalian."

Pria bersetelan formal itu kembali terdiam, kemudian mengambilalih dokumen yang selesai kutandatangan.

"Saya dan istri saya tinggal di Batam, begitu pun kamu dalam setahun ke depan. Segera kemasi barang, kita berangkat besok pagi!"

.

.

.

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BENIH 2 MILIAR   Kebahagiaan Sebenarnya

    "Silakan diminum dulu, Mas. Mumpung masih hangat." Mulut Khalid terbuka setengah, matanya nyaris tak berkedip saat mengitari seisi rumah mewah ini. Dia bahkan tak menanggapi seorang perempuan bercadar yang tengah hamil besar, sedang menyodorkan minum padanya.Di sebuah rak khusus dia melihat tumpukan brosur catering dan dekorasi, matanya juga tak berhenti menatap foto-foto pernikahan Roy yang terpajang di beberapa titik dalam ruangan. Saat melihatnya ternyata Khalid juga baru ingat kalau 'Berkah catering & decoration' adalah perusahaan WO yang sedang naik daun beberapa tahun belakangan. Jasanya banyak digunakan artis dan orang-orang penting, karena harga, rasa, kualitas, serta pelayanannya yang sama sekali tak mengecewakan."Kenalin, ini istri saya Ainun!" Ucapan Roy membuat Khalid kembali tersadar. Dia menatap pria yang tak percaya akan menyambutnya selayaknya tamu, setelah apa yang terjadi pada sahabat baiknya sewindu lalu.Namun, tak bisa dipungkiri. Tatapan Roy terlihat begitu taj

  • BENIH 2 MILIAR   Trauma dibayar Karma

    Roy berdiri terpaku di dekat brankar yang ditempati Nindi pasca persalinan yang perempuan itu jalani. Kedua tangannya terkepal, sementara air matanya terus mengalir memerhatikan perempuan yang berkaca-kaca menatap kedua bayi kembarnya dalam gendongan.Seolah masih lekat dalam ingatan Roy fakta demi fakta yang Nindi ungkapkan seiring dengan perutnya yang semakin membuncit"Setelah keguguran gue dan Bang Khalid pisah ranjang kurang lebih satu bulan, jadi sebelum sidang putusan cerai gue bisa dengan mudah mengidentifikasi dari mana benih yang mulai tumbuh di rahim gue berasal. Lucunya hidup ini ketika akhirnya gue sadar tengah mengandung anak dari keparat yang udah gue enyahkan. Kebetulan di hari yang sama saat tragedi itu terjadi, ternyata gue lagi ovulasi." Nindi menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Entah anugerah atau kutukan ketika Tuhan memberikan gue kesuburan, meski hanya dengan satu atau dua kali penetrasi ... benih-benih janin yang tak diinginkan tumbuh dengan mudah di r

  • BENIH 2 MILIAR   Memulai Hidup Baru

    Di sebuah desa kecil yang terselip di antara gemerlap hijaunya alam, anak-anak kecil berlarian di bawah langit senja, gembira dan bersemangat mengikuti tradisi yang telah diteruskan dari generasi ke generasi. Mereka melantunkan sholawat sembari menyusuri jalan berkerikil dengan langkah kecil yang penuh semangat menuju masjid terdekat.Di sela-sela ladang hijau yang melambai-lambai sejalan dengan angin, para petani yang menjadi mata pencaharian utama di desa, juga terlihat berbondong-bondong pulang dari ladang membawa hasil panen yang diangkut menggunakan kendaraan roda dua, roda empat, maupun gerobak melewati jalan utama. Peluh, lapar, serta dahaga tak lagi dirasa mengingat ada sebuah keluarga yang menunggu untuk disambung hidupnya."Mas Roy! Wes mandi langsung ke masjid ae, ya! Ditunggu karo Budhe Lala buat buka puasa bersama!"Salah satu petani yang mengangkut hasil panennya menggunakan mobil bak terbuka langsung menyenggol sang sopir untuk menghentikkan laju kendaraannya."Sek, sek!

  • BENIH 2 MILIAR   Harga Sebuah Pengorbanan

    Konflik rumah tangga antara Khalid dan Nindi berakhir di meja pengadilan agama. Setelah tiga bulan serangkaian proses berjalan, kedu belah pihak tetap tak menemukan titik terang. Mereka sudah sepakat berpisah. Hari ini, 15 Desember waktu setempat, sidang putusan perceraian mereka berlangsung di Pengadilan Agama Batam. Pengunjung yang menghadiri kebanyakan didominasi oleh pihak keluarga penggugat. Semua orang yang memenuhi ruang sidang seolah tak bisa memalingkan pandangan dari kedua pasangan yang duduk di depan meja hakim. Pasangan suami istri yang pernah saling memiliki itu terlihat menunjukkan ekspresi yang berlawanan.Nindi duduk dengan tenang di sisi kanan, wajahnya menunjukkan ekspresi datar yang sulit diartikan. Namun, mata bulatnya seolah memancarkan kepedihan mendalam yang dengan sempurna dia tutupi dalam kebungkaman.Sementara di sisi kiri, Khalid duduk dengan tegang, di tempatnya dia tampak gelisah, bahkan tak henti menoleh pada sosok di sebelahnya. Rahang kokoh itu mengeta

  • BENIH 2 MILIAR   Keputusan

    Sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami-istri dan dua anak itu tengah menatap api unggun yang berkobar di depan tenda mereka. Warnanya berubah-ubah dari merah, putih, hingga oranye dengan menyebarkan kehangatan untuk orang-orang di sekelilingnya. Mereka terlihat bersuka-cita menghabiskan waktu akhir pekannya, meski hanya berkemah di belakang rumah.Suara riang sepasang anak yang hanya selisih kurang dari setahun itu memecah keheningan malam. Keduanya tampak bercanda dan berlari kecil mengelilingi api unggun. Derai tawa menggelora, kebahagiaan sederhana itu dirasakan mereka saat mengejar api kecil yang melompat-lompat dari perapian."Sayang, ya si Neli nggak ada di sini." Nindi menyenggol lengan Khalid saat keduanya tengah memerhatikan anak-anak yang asik bermain, sembari menusuki marshmallow yang siap dibakar."Bukannya lebih bagus kalau nggak ada Neli? Jadi, kita bisa bebas ngapain aja tanpa perlu denger sindirannya yang kadang bikin risi?" Khalid terkekeh sembari melingkark

  • BENIH 2 MILIAR   Mediasi

    Langit mendung menyelimuti kota Batam. Sebuah pemakaman yang tak biasa digelar, dihadiri oleh banyak kolega, teman-teman, bahkan sampai awak media. Mereka semua berkumpul untuk mengucapkan selamat jalan pada Vincent Benedict Tjahjono, pengusaha juga anak konglomerat yang telah berpulang akibat sebuah tragedi.Di tengah kerumunan, Khalid hadir, meski dia harus menjaga jarak dari keluarga mendiang. Dia tahu bahwa kedatangannya di sini adalah sebuah tindakan yang berani, mengingat situasi yang tengah dihadapinya. Namun, mengingat hubungannya dengan keluarga Vincent selama ini telah berjalan cukup baik, dia merasa perlu memberikan penghormatan terakhir.Mrs. Diane yang menyadari kehadiran Khalid di tengah kerumunan, mencoba menutupi kesedihan dan berniat menghampirinya dengan hati-hati agar tak disadari oleh sang suami.Begitu wanita paruh baya itu sampai di hadapan, Khalid langsung meraih tangannya."Bu, saya sangat menyesal atas apa yang terjadi," ucapnya dengan suara lirih dan Bahasa In

  • BENIH 2 MILIAR   Fitnah

    Hampir sebulan berlalu, proses visum sudah Nindi jalani setelah dia berhasil memberi keterangan yang meyakinkan pada pihak penyidik. Kemungkinan akan diadakan mediasi bila Vincent berhasil sadarkan diri.Hari-hari yang Nindi lewati tak berjalan semestinya. Nasibnya tak pasti, dia seperti ada di tepi jurang yang siap dilompati bisa seseorang dengan sengaja mendorongnya dari belakang. Perempuan itu seolah sudah pasrah dengan keadaan. Untuk sekarang Nindi hanya merindukan anak-anaknya, teman-teman juga waktu kebersamaan yang tak yakin bisa kembali dia lalui."Mbak, liat, Mbak!" Neli menepuk bahu Nindi. Dari balik jendela dia melihat sebuah mobil memasuki pelataran.Seketika semangat Nindi kembali saat melihat Khalid pulang setelah hampir dua minggu suaminya nyaris tak ada kabar. Nindi tak tahu apa yang sudah lelaki itu lewati selama dua pekan terakhir ini.Nindi langsung memeluk Khalid begitu lelaki itu memasuki ruangan. Dia kesampingkan ego dan menelan bulat-bulat rasa kecewanya sendir

  • BENIH 2 MILIAR   Terguncang

    Perempuan dengan pakaian serampangan dan hanya kerudung yang disampirkan itu duduk di salah satu bangku ruang tunggu sebuah rumah sakit ternama di kota Batam. Satu setengah jam lalu ambulans mengantar lelaki yang terkapar tak sadar dengan luka serius di kepala. Ruangan itu dipenuhi dengan atmosfer tegang, dan perempuan berusia 31 tahun tersebut justru tenggelam dalam kecamuk pikirannya yang kacau.Beberapa kali dia meremas kedua tangan, tubuhnya gemetar. Ibu dua anak itu tertunduk dalam memerhatikan pijakkan, mencoba menenangkan diri dan perasaan yang sulit dideskripsikan.Dia berharap semua yang terjadi hanya mimpi. Mulai dari pertemuan kembali dengan sosok dari masa lalu yang membangkitkan kenangan kelam yang coba dia kubur dalam, lalu kontrak tak masuk akal yang terpaksa ditandatangani, hingga kesepakatan yang seharusnya tak pernah terjadi. Dia merasa seperti telah terjebak dalam perjanjian yang menjadi pemicu keretakan rumah tangganya dengan sang suami.Imbas dari semua yang terja

  • BENIH 2 MILIAR   Kesalahan Fatal

    Suara hujan yang lembut mengalir di luar jendela, seperti melodi kenangan yang berputar di kepala. Di ruang tengah aku duduk sendiri, menatap benda persegi yang membawa kembali ingatan akan momen-momen tak terlupakan dalam empat tahun kebersamaan kami di Lumajang. Kusaksikan kembali tubuh kembang Alid dari mulai tengkurap, merangkak, berjalan, sampai berlari. Begitu juga dengan proses hijrahku yang dibimbing oleh orang-orang ahli yang sukarela mengajari tanpa menghakimi.Seolah masih lekat dalam ingatan saat aku dengannya berbagi tawa dan tangis dalam setiap lembar cerita. Kala itu, hidupku terasa begitu ringan, meski beban yang kupikul sangatlah berat. Kami optimis mampu mewujudkan mimpi dan harapan di tengah terpaan cobaan.Namun, kini aku duduk di sini, dengan rasa berat di dada. Hidup telah membawaku ke dalam peran yang jauh dari apa yang kumimpikan. Pernikahan yang diawali dengan cinta, kini terasa seperti penjara yang mengekangku dalam dilema. Harapan-harapan yang dulu begitu ce

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status