Share

Anak Yatim

Author: Mommy Alkai
last update Last Updated: 2024-10-24 06:22:00

"Kerja di sini? Beneran, Bang?" Rasti kembali memastikan. Sudah lama dia menginginkan pekerjaan yang bisa membawa putranya ikut serta.

Sayangnya, tidak semua orang berpikiran sama. Beberapa kali Rasti menawarkan jasa cuci gosok, tapi ditolak begitu mengetahui kalau dia membawa anak.

"Iya, Mbak bisa bantuin kita nimbang terigu atau gula ke dalam plastik sesuai timbangan." Ahmad yang mulai paham, kini aktif kembali.

"Tapi ... saya minta izin suami dulu. Kalau boleh tahu, saya dapat bayaran berapa? Maaf soalnya takut suami tanya."

"Dua puluh lima ribu sehari, bagaimana?" tanya Arfan.

Mendengarnya, Ahmad sibuk menyenggol lengan Arfan yang pura-pura tidak menyadarinya. Bagi Ahmad, uang segitu terlalu kecil.

Akan tetapi, tidak demikian dengan Rasti. Matanya terlihat berbinar dengan nominal yang disebutkan Arfan.

"Benar, Mas?"

"Iya. Mungkin segitu gaji pertama." Arfan menjawab dengan perasaan campur aduk.

"Tapi Mbak, biar silaturahmi kita nggak terputus—"

"Saya nggak punya, Mas!" potong Rasti cepat.

"Bercanda. Yang mau aku tanyain nama Mbaknya, siapa?"

"Rasti, Bang."

Arfan yang awalnya menunduk, langsung mendongak mendengar Rasti . Orang yang selama ini dia perhatikan ternyata bernama Rasti. Sebuah nama yang menurutnya indah dan sederhana, sesederhana orangnya.

Rasti pulang dengan secercah harapan. Berharap suaminya memberi izin agar memiliki penghasilan. Untuk sekadar bisa mencicipi bakso atau mie ayam yang sering lewat di depan rumah, tapi tak pernah bisa membelinya.

"Kamu yakin mau kasih dia segitu, Fan?" cecar Ahmad begitu Rasti hilang dari pandangan keduanya.

"Jadi gini, Mat! Mbak itu ... siapa namanya tadi?"

"Segala pura-pura lupa kamu, Fan. Padahal udah ke-save di dalem hati!"

"Ya itu Mbak Rasti."

"Nah, kan, inget."

"Kamu lihat sendiri, kan, dia itu mau minta izin sama suaminya dulu. Kamu yakin, suaminya itu nantinya nggak akan minta jatah?"

Ahmad tampak berpikir sambil manggut-manggut.

"Masa masih diminta juga, sih?"

"Makanya saya nggak mau kasih tahu dia dulu kalau gajinya lebih dari itu. Biar nanti dikumpulin sampai akhir bulan, dan dia bisa membeli apa yang dia mau." Arfan berucap dengan mata menerawang dan senyum kecil menghiasi wajahnya.

Sementara itu di rumah Rasti, dia langsung menyampaikan niatnya untuk bekerja setelah Wandi pulang.

"Nanti kalau kamu kerja, apa kata orang? Dipikir aku nggak cukup menafkahi kamu." Rasti ingin marah dan berkata bahwa selama ini Wandi menafkahinya asal-asalan. Gemas, tapi tak boleh gegabah. Apapun yang terjadi dia harus bekerja. Dan ini adalah satu-satunya kesempatan.

"Banyak kok, istri lain yang bekerja bantu suaminya. Di pabrik juga ada perempuannya, kan? Bedanya aku bukan kerja di kantor atau di pabrik, tapi di toko."

"Kalau begitu, aku nggak perlu kasih kamu uang belanja lagi? Katanya mau membantu?" Liciknya Wandi mulai keluar.

"Tapi itu kan, kewajiban kamu, Mas! Dosa nggak menafkahi istri!"

"Ya sudah, begini saja. Aku tetap kasih kamu sepuluh ribu sehari, dan sebagai gantinya, kamu yang beli token, bagaimana?"

Pengeluaran mereka setiap bulan untuk membeli token listrik sebesar seratus lima puluh ribu. Biasanya, Wandi langsung mengisinya setiap habis gajian. Kalau dihitung-hitung, Rasti hanya harus mengumpulkan lima ribu rupiah setiap harinya dari gaji yang diberikan toko Arfan. Masih ada sisa dua puluh ribu.

"Aku setuju."

"Ya sudah, tapi Faiz diajak, kan?"

"Iya, Mas."

***

Sorenya saat membeli rokok, Wandi memastikan sendiri pada Ahmad dan Arfan perihal istrinya yang minta izin bekerja. Dia masih belum percaya Rasti mendapat bayaran segitu.

"Jadi gimana, Pak? Istrinya dibolehin kan, kerja di sini?" tanya Ahmad sambil menyerahkan rokok yang dibeli Wandi.

"Apa nggak bisa naik bayarannya itu?"

"Bisanya segitu, Pak. Kan kerjanya juga ringan. Cuma nimbang-nimbang sekalian bersih-bersih toko!" sahut Arfan.

"Kalau kalian tambahin, mau juga dia cuci gosok."

"Kami belum perlu, Pak."

"Masak pun enak sebenarnya." Wandi mengambil satu puntung rokok dan menyalakannya.

"Kami hanya perlu untuk bantu-bantu di toko, Pak!"

"Ah ya sudahlah!" Wandi menyerah saat dia tak berhasil membujuk Arfan dan Ahmad.

Sementara itu di rumahnya, Faiz berlari-lari menghampiri Rasti yang sedang memasak.

"Ibu?"

"Hmm."

"Zafran dapat uang lagi, Bu. Ada kaos sama kotak makan juga."

"Iya, Iz. Itu rezekinya Zafran."

"Kenapa Faiz nggak dapat juga?" sesal Faiz.

Senyum Rasti melebar melihat ekspresi anaknya.

"Zafran itu anak yatim, Iz!"

"Anak yatim itu apa, Bu?" Faiz bertanya dengan wajah polosnya.

"Nanti Ibu jelasin," kata Rasti sambil mengangkat wajan panas bekas menggoreng telur dan meletakkannya ke tempat cuci piring.

Rasti berpikir, dia tidak boleh setengah-setengah memberi tahu Faiz. Khawatir putra semata wayangnya itu akan menyakiti perasaan temannya.

"Bapak ke mana, Bu?"

"Beli rokok."

"Oh."

Rasti melanjutkan mencuci perabot kotor. Dia mengira, Faiz akan kembali bermain dengan teman-temannya. Tapi ternyata, dugaan Rasti salah. Faiz malah menyusul bapaknya ke warung untuk membeli jajanan yang dia inginkan.

"Ngapain ke sini? Udah dibilangin nggak boleh nyusul Bapak kalau lagi di warung!" omel Wandi ketika melihat Faiz datang menyusul.

"Mau itu!" Faiz menunjuk freezer tempat es krim. Dia sangat penasaran dengan rasa es yang dibeli Zafran tadi.

"Nggak cukup uang Bapak," bohong Wandi.

Tentu saja Arfan dan Ahmad kesal mendengarnya. Jelas-jelas tadi membeli rokok dengan uang seratus ribuan. Tapi saat anaknya minta jajan, malah bilang begitu.

Faiz kecewa. Dia tahu bapaknya tidak akan memberikan jajanan yang dia inginkan. Padahal, sudah lama Faiz ingin mencicipi.

"Ayo pulang!" ajak Wandi sambil menyalakan rokok.

"Pak!"

"Hmm ...?"

"Faiz mau jadi anak yatim aja, Pak. Kaya Zafran."

"Uhuk!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Moelyanach Moelyanach
iya mending jd yatim
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • BERAS LIMA RIBU   RENCANA AHMAD

    "Ah itu ... Rasti cuma kepikiran siapa yang gantiin Ibu popok. Bukannya Ibu nggak nyaman kalau nggak sering-sering ganti?""Memang ... tapi kan, jadi menyita banyak waktu kamu?""Nggak masalah, selagi saya bisa. Cuma ya gitu, Rasti nggak bisa datang tepat waktu, Bu."Mata Sulastri mengembun. Segenap penyesalan menghampirinya. Bagaimana dia tidak bisa merasakan ketulusan Rasti?"Nanti kalau mau ke sini lagi, telepon Arfan saja.""Nggak perlu, Bu. Saya masih bisa sendiri. Kasihan kalau Bang Arfan harus ninggalin toko terus-terusan," kata Rasti sambil mulai membuka pakaian Sulastri. Tanpa sungkan, apalagi merasa jijik."Ibu juga nggak nyangka sama mereka berdua. Toko ini makin ramai setiap harinya. Mungkin, keduanya sudah butuh karyawan baru.""Di sini kan, nggak ada agen, Bu. Dan toko ini membedakan harga ecer dengan harga rencengan. Jadi pembeli yang mau selisih harga, pasti lebih memilih ke sini.""Ya, Ibu nggak ngerti soal begituan. Kamu juga. Katanya, laundryan kamu sekarang makin m

  • BERAS LIMA RIBU   PERHATIAN RASTI

    "Sudah jam berapa, Fan?" tanya Sulastri dengan wajah gelisah. Seperti sedang menunggu seseorang."Baru jam sepuluh, Bu. Ada apa?""Nggak apa-apa."Seingat Arfan, ini sudah ketiga kalinya Sulastri bertanya mengenai waktu Dan setiap ditanya kenapa, jawabannya juga selalu sama.Saat ini, Arfan begitu yakin kalau ibunya sedang menunggu kedatangan Rasti. Mungkin karena melihat ketulusan wanita itu saat mengurusnya tadi pikirannya berubah. Begitu dugaannya.Ada segelintir perasaan bahagia yang menghampiri Arfan. Mungkinkah ibunya akan segera merestui hubungannya dengan Rasti?"Ibu mau ke kamar mandi?" Arfan kembali bertanya untuk memastikan. Khawatir ibunya ingin buang air dan menunggu Rasti membantunya."Nggak, Fan ....""Terus, kenapa Ibu gelisah begitu?" Arfan makin penasaran dan berharap ibunya memberi jawaban sesuai harapannya."Nggak apa-apa.""Arfan sudah dapat nomor yayasan yang biasa menyalurkan ART untuk merawat lansia. Cuma masih dua hari lagi mungkin." Arfan kembali memancing p

  • BERAS LIMA RIBU   PENGORBANAN RASTI

    "Bang, jadi saat ini kita pacaran?""Terserah Dik Wita mau menyebutnya apa. Abang masih nggak percaya semua ini bisa terjadi dengan cepat.""Ya ampun, Bang. Wita juga nggak sesempurna yang Abang bayangin. Banyak kekurangan aku yang mungkin bikin Abang kaget nanti.""Apa?""Aku nggak pinter masak!""Abang cari pendamping, Dik, bukan cari tukang masak!""Yakin?""Serius.""Eh, bentar! Kata Mbak Rasti, Abang aktifin handphonenya!""Habis baterai. Kenapa memang?""Katanya, ibunya Bang Arfan jatuh di kamar mandi. Sekarang masih di klinik.""Inalillahi wa innailaihi rojiun ... terus, Mbak Rasti bilang apalagi? Keadaannya bagaimana?""Tadi masih diperiksa, Bang. Coba telepon Bang Arfan.""Kamu punya nomornya?""Nggak. Kan bisa minta sama Mbak Rasti.""Jangan!""Kenapa?""Abang takut kamu berubah pikiran.""Abang ... !!! Sini lihat mata aku! Aku tuh udah nggak naksir lagi sama Bang Arfan. Masa mikir gitu, sih?""Abang cemburu karena merasa jauh kalau dibandingkan sama Arfan.""Masya Allah Aba

  • BERAS LIMA RIBU   SIKAP BERBEDA

    lMenggigit ujung bibirnya, Rasti kebingungan harus menjawab apa. Haruskah mengatakan kalau dia juga merasa sangat kehilangan?Hanya dengan mengambil banyak orderan, dia bisa sedikit mengalihkan perasaan itu. Meski di dalam dirinya masih merasa hampa."Biasa saja," jawabnya berbohong. Bagaimanapun juga, Sulastri belum memberi restu. Dan Rasti tidak ingin jawabannya menyisakan harapan untuk Arfan."Nggak masalah."Rasti menoleh cepat. Kenapa Arfan merespon begitu?"Nggak masalah kalau saat ini kamu merasa biasa saja. Saya akan menunggu sampai kamu merindukan saya. Entah kapan.""Ka-kalau tidak pernah?""Tidak apa-apa. Saya akan terus menikmati perasaan ini. Anggap saja kamu masih bersama dia. Tak bisa digapai!" kata Arfan melebarkan senyumnya.Rasti bergeming. Kehabisan kata-kata untuk menanggapi pengakuan Arfan barusan. Padahal, dia sudah berusaha memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan isi hatinya."Jangan anggap pengakuan saya menjadi beban buat kamu sampai harus menghindar begi

  • BERAS LIMA RIBU   KEPUTUSAN AHMAD

    Pernyataan Faiz membuat Wandi terkejut bukan main. Matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang masih menyisakan rasa di dalam hatinya."Jadi kalian mau menikah? Kapan?" Wandi masih memburu pertanyaan dengan mata melotot tajam. Seolah tak peduli ada Santi dan Mak Saroh di samping kanan dan kirinya. Juga tetamu yang mungkin saja mendengarnya.Rasti tidak menjawab. Dia membiarkan saja Wandi bergelut penuh teka-teki. Meski selintas rasa tak enak pada Arfan yang berada di sampingnya."Doakan saja!" Arfan menimpali meski tak kuasa menahan tawa melihat ekspresi Wandi."Kalau kalian sampai menikah, aku akan ambil Faiz untuk tinggal sama kami!" ancam Wandi dengan emosi yang semakin menjadi-jadi. Entah apa yang membuatnya jadi marah begitu."Apakah ini sebuah ancaman, Mas? Kamu kan, sudah hidup bahagia dengan Santi. Kenapa harus mencampuri urusanku lagi?" Rasti tak mau kalah. Wandi sendiri yang membuatnya berubah menjadi perempuan kuat dan tidak menerima begitu saja perlakuan buruk yang men

  • BERAS LIMA RIBU   PENOLAKAN WANDI

    "Di sini?" Rasti menatap ke sekeliling. Syukurlah, mereka semua paham situasi. Satu persatu beranjak pergi menuju meja prasmanan supaya Rasti dan Arfan bisa bicara."Di mana lagi selain di sini? Kamu selalu menghindar belakangan ini," ceplos Arfan tak sabar melihat wanita yang dicintai kini ada di hadapannya.Wita yang datang menghampiri untuk mengajak mereka makan, justru mendengar perkataan Arfan. Dia bisa membaca situasi dan langsung menggandeng Faiz pergi ke tempat es krim, diikuti Ahmad yang mengekor di belakangnya."Bang Ahmad mau juga?" tawar Wita yang berbalik badan ketika menyadari Ahmad mengikutinya."Bo-boleh ...," jawab Ahmad gugup setelah 'tertangkap basah'.Wita lalu berjalan lebih dulu dan meminta tiga cup es krim untuk mereka. Setelah itu, baru kembali pada Ahmad dan Faiz."Bang, sebenarnya aku mau hubungin Bang Ahmad. Tapi malu, takut ganggu!" kata Wita jujur, sambil menyerahkan satu cup es krim pada lelaki yang wajahnya terlihat sangat gugup itu."Lho kenapa harus m

  • BERAS LIMA RIBU   BERTEMU LAGI

    "Nggak tahulah, Mbak. Aku belum ada rasa.""Lebih baik dicintai daripada mencintai. Mbak yakin, Bang Ahmad orang yang baik."Semenjak mengetahui nomor teleponnya, Ahmad memang selalu mengirim pesan untuk sekadar memberi perhatian. Namun, Wita masih mengabaikannya begitu saja. Takut menghadirkan harapan palsu."Mbak, kenapa nggak diganti motor aja sih sepedanya? Kan lebih enak. Nggak capek juga." Wita mencoba mengalihkan. Begitu setiap kali membicarakan tentang Ahmad."Kamu kaya Bu Zaenal saja. Pasti nyuruh Mbak buat ganti motor terus. Mbak kan, nggak bisa naik motor, Wit!" "Belajarlah, Mbak! Aku kasihan lihatnya kalau lagi banyak kirim barang! Lagipula, kan lebih hemat waktu, Mbak. Kalau pakai motor jauh lebih cepat.""Nantilah Mbak pikir dulu. Tabungannya juga belum cukup untuk membeli motor. Mbak ada rencana mau sewa kios kecil di ujung jalan situ.""Wah ... makin besar usahanya, Mbak!""Alhamdulillah ... ini bisa juga jadi semangat juga supaya kamu nggak terlalu terpuruk karena la

  • BERAS LIMA RIBU   TAWARAN GILA

    "Coba lihat, Fan! Ini bukannya mantan suami Mbak Rasti ya?" kata Ahmad sambil menyerahkan undangan pernikahan yang baru saja dibagikan ketua RT."Iya." Arfan menjawab datar tanpa menoleh sedikitpun dari nota-nota yang dia kerjakan."Kira-kira Mbak Rasti bakal datang nggak ya? Kangen juga aku sama si Faiz."Mendengar Ahmad menyebut nama Faiz dan Rasti, mata Arfan mengembun. Ada rindu yang tak bisa dia ungkapkan saat ini.Meski Rasti berjanji akan main ke toko, nyatanya malah selalu menghindar setiap kali Arfan datang. Selalu saja pemilik kontrakan mengatakan Rasti sedang mengantar cucian atau pergi keluar.Ketika Arfan berinisiatif menemuinya di tempat Faiz bersekolah, pun tak ditemuinya Katanya, Faiz tak lagi bersekolah di sana.Arfan mundur perlahan. Bukan ingin menyerah, dia hanya takut keberadaannya menjadi beban untuk wanita yang dia cintai. Karena sampai saat ini juga, Arfan belum mengetahui perasaan Rasti terhadapnya. Apakah Rasti merasa terganggu oleh kehadirannya?Apakah wani

  • BERAS LIMA RIBU   UNDANGAN PERNIKAHAN

    "Bang, nggak bisa seperti ini!" Rasti masih terus berusaha, hingga dia menangkap Arfan mengedipkan matanya memberi isyarat pada Faiz.Kali ini Rasti tak boleh terkecoh. Dia harus terus berusaha menguatkan hatinya agar tidak terjebak perasaan yang semakin dalam."Faiz ke kamar lagi, ya? Nanti beli makanan sama Ibu," bujuk Rasti. Meski dia sebenarnya tak sampai hati melihat kekecewaan di wajah putranya.Meskipun menyukai Arfan, Faiz lebih mencintai ibunya. Dengan patuh, dia masuk ke dalam lagi dengan wajah ditekuk."Bang, saya belum resmi diceraikan. Ada banyak hal yang harus saya persiapkan untuk menerima semua ini. Tolong, untuk saat ini biarkan saya memilih jalan sendiri," pinta Rasti dengan suara tertahan. Bukan itu saja, dia juga mati-matian, berusaha mencegah airmatanya jatuh."Tapi kamu nggak harus berhenti kerja di toko, kan? Bersikap biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa.""Sedikit banyak, Abang tahu bagaimana saya selalu direndahkan karena hanya lulusan SD. Saya punya impia

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status