Share

Kesempatan

Author: Mommy Alkai
last update Huling Na-update: 2024-10-24 06:10:45

Menyibukkan diri dengan menghitung nota yang terkumpul, Arfan menghindari perkataan Ahmad soal tikung menikung.

"Fan?" Ahmad masih penasaran dengan respon Arfan.

"Istri orang, Mat! Kamu mau ibumu ditikung orang?"

"Lha suaminya modelan begitu, kamu mau ibumu makan terasi tiap hari?" Ahmad tidak mau kalah.

"Membantu nggak harus menikung juga, Mat! Kamu mau saya jadi perebut istri orang?"

"Aku sih setuju-setuju aja, Fan. Masalahnya, si Mbak itu suka nggak sama kamu?" kata Ahmad terkekeh, melihat raut serius teman seperjuangannya.

"Nah, makanya nggak perlu lari ke mana-mana. Cukup bantu. Udah!" Arfan kentara sekali terlihat kikuk.

"Tapi kok ada ya, wanita sesabar itu? Bertahan hidup dengan makan seadanya, dibawah tekanan suami pelit yang tidak menghargai seorang istri." Ahmad sengaja memancing lagi. "Kamu nggak mau menyelamatkan dia dari suami dzalimnya?"

"Apa yang harus diselamatkan, Mat. Siapa tahu di rumah dia bahagia."

"Mana mungkin bahagia? Suaminya saja tidak menghargai. Dibilang istri nggak ngapa-ngapain di rumah."

"Lha terus kamu mau saya gimana? Menikung istri orang? Ya nggaklah! Kita di sini cuma merantau, Mat. Harus pintar-pintar jaga diri."

"Ya sudah, nanti aku saja yang urus Mbak itu."

Arfan melirik kesal pada Ahmad. Mereka berdua saling bertatapan. Menyadari mata Arfan setengah melotot, Ahmad berkilah.

"Tenang, Fan. Aku nggak nikung kamu!" tandas Ahmad melihat perubahan pada raut wajah temannya.

"Mas beli sarden sama telor sekilo." Buru-buru Ahmad mengambil alih begitu ada pembeli yang datang.

"Wah Mbak Wita, baru keliatan!"

Sebuah senyum terukir di wajah Arfan melihat kelakuan temannya. Baru tadi bilang mau mengurus Rasti, sekarang sudah terlihat berbinar-binar melihat pelanggan wanita lainnya datang.

***

Keesokan harinya, Arfan kembali memikirkan Rasti. Kalau diingat-ingat dia sudah mulai mengagumi wanita itu sejak sebulan yang lalu.

Melihat pembawaannya yang lembut dihadapan Faiz sang putra dan penampilannya yang sangat sederhana dengan ua ng belanja tak lebih dari sepuluh ribu rupiah.

Awalnya Arfan berfikir kalau ua ng itu hanya untuk membeli beras dan telur, tapi karena di samping warung ini kakaknya Ahmad berdagang sayuran, dia tahu Rasti tak pernah berbelanja ke sana.

Dulu, saat masih berada di kampungnya, dia pernah menjalin hubungan dengan seorang wanita bernama Saskia, yang masih tetangganya. Namun sayang, perempuan itu memilih menikah dengan anak kepala desa yang terkenal kaya di kampungnya.

Sejak saat itulah, Arfan merasa kalau cintanya terhadap Saskia tak berarti apa-apa. Dia merasa kalau semua wanita menilai materi di atas segala-galanya. Untuk itulah, dia menerima tawaran Ahmad ikut kakaknya merantau dengan tabungan yang dijadikan modal bersama.

Ketika melihat Rasti dan segala kesederhanaannya, Arfan sadar kalau masih banyak perempuan yang bisa menerima laki-laki apa adanya.

Dari mulai kagum, lama kelamaan timbul perasaan suka. Akan tetapi, Arfan masih tahu batasan. Dia sadar kalau Rasti adalah wanita bersuami yang tidak seharusnya dia sukai.

Dan sekarang, saat tahu Rasti disia-siakan oleh suaminya, perasaannya semakin dalam. Bahkan terbesit keinginan untuk membahagiakan Rasti.

"Astaghfirullah!" Arfan mengucap istighfar saat menyadari pikirannya mulai ke mana-mana.

Bagaimanapun, Rasti tetap istri orang. Dan tidak sepantasnya dia memiliki perasaan itu.

Di tengah kemelut melawan perasaannya sendiri, Rasti datang seperti biasanya.

"Bang, berasnya lima ribu sama telur dan kerupuk."

"Si kecil nggak di bawa, Mbak?" serobot Ahmad mendahului.

"Iya, main sama temannya, Bang."

"Ini ada susu kotak sama wafer buat si kecil."

"Nggak cukup ua ng saya."

"Ini bonus, Mbak."

"Kok bisa?"

"Satu kardus ada bonus dua, Mbak. Kami sudah dapat untung, makanya buat si Faiz," jawab Arfan yang melihat Ahmad kebingungan.

"Nggak apa-apa, ini?"

"Nggak apa-apa, rezeki si kecil." Jawaban Arfan menerbitkan senyum di wajah Ahmad.

"Ngomong-ngomong, suami Mbak suka beli rokok di sini ternyata." Ahmad sengaja basa-basi agar Rasti mau ngobrol.

"Oh, iya."

"Kerja di mana, Mbak?"

"Itu di pabrik sabun."

"Oh pantes nggak pernah beli sabun. Katanya sering dapat rijekan ya?"

"Iya, Bang."

"Gajinya besar, ya?" Ahmad masih penasaran.

Rasti mengangguk pelan sambil menggenggam ua ng sepuluh ribu di tangannya dengan erat. Sejak menikah dengan Wandi, dia hanya tahu besarnya gaji sang suami dari orang lain yang suaminya juga bekerja di sana.

"Sebenarnya, saya juga ingin kerja." Rasti akhirnya kembali berbicara.

"Kenapa nggak kerja, Mbak?" Lagi-lagi Ahmad menyerobot.

"Saya cuma lulusan SD, Faiz juga masih kecil."

"Faiz nggak bisa dititipkan ke orangtuanya Mbak?"

Rasti menggeleng.

"Saya sudah nggak punya orangtua, Bang. Dari kecil."

Arfan menelan ludah, begitu juga dengan Ahmad.

"Kalau saja ada pekerjaan yang bisa bawa Faiz, saya mau kerja."

Ucapan Rasti membuat Arfan langsung membuat keputusan cepat.

"Ada, Mbak, ada!" katanya penuh semangat.

Ahmad langsung menoleh.

"Kerja apa, Bang?" tanya Rasti.

"Nimbang si Mamat!"

Sontak jawaban asal Arfan membuat Rasti dan Ahmad memandanginya.

"Ma-maksud saya ... nimbang gula dan terigu."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Moelyanach Moelyanach
bnyk lki2 yg modelan siwandi ini
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • BERAS LIMA RIBU   RENCANA AHMAD

    "Ah itu ... Rasti cuma kepikiran siapa yang gantiin Ibu popok. Bukannya Ibu nggak nyaman kalau nggak sering-sering ganti?""Memang ... tapi kan, jadi menyita banyak waktu kamu?""Nggak masalah, selagi saya bisa. Cuma ya gitu, Rasti nggak bisa datang tepat waktu, Bu."Mata Sulastri mengembun. Segenap penyesalan menghampirinya. Bagaimana dia tidak bisa merasakan ketulusan Rasti?"Nanti kalau mau ke sini lagi, telepon Arfan saja.""Nggak perlu, Bu. Saya masih bisa sendiri. Kasihan kalau Bang Arfan harus ninggalin toko terus-terusan," kata Rasti sambil mulai membuka pakaian Sulastri. Tanpa sungkan, apalagi merasa jijik."Ibu juga nggak nyangka sama mereka berdua. Toko ini makin ramai setiap harinya. Mungkin, keduanya sudah butuh karyawan baru.""Di sini kan, nggak ada agen, Bu. Dan toko ini membedakan harga ecer dengan harga rencengan. Jadi pembeli yang mau selisih harga, pasti lebih memilih ke sini.""Ya, Ibu nggak ngerti soal begituan. Kamu juga. Katanya, laundryan kamu sekarang makin m

  • BERAS LIMA RIBU   PERHATIAN RASTI

    "Sudah jam berapa, Fan?" tanya Sulastri dengan wajah gelisah. Seperti sedang menunggu seseorang."Baru jam sepuluh, Bu. Ada apa?""Nggak apa-apa."Seingat Arfan, ini sudah ketiga kalinya Sulastri bertanya mengenai waktu Dan setiap ditanya kenapa, jawabannya juga selalu sama.Saat ini, Arfan begitu yakin kalau ibunya sedang menunggu kedatangan Rasti. Mungkin karena melihat ketulusan wanita itu saat mengurusnya tadi pikirannya berubah. Begitu dugaannya.Ada segelintir perasaan bahagia yang menghampiri Arfan. Mungkinkah ibunya akan segera merestui hubungannya dengan Rasti?"Ibu mau ke kamar mandi?" Arfan kembali bertanya untuk memastikan. Khawatir ibunya ingin buang air dan menunggu Rasti membantunya."Nggak, Fan ....""Terus, kenapa Ibu gelisah begitu?" Arfan makin penasaran dan berharap ibunya memberi jawaban sesuai harapannya."Nggak apa-apa.""Arfan sudah dapat nomor yayasan yang biasa menyalurkan ART untuk merawat lansia. Cuma masih dua hari lagi mungkin." Arfan kembali memancing p

  • BERAS LIMA RIBU   PENGORBANAN RASTI

    "Bang, jadi saat ini kita pacaran?""Terserah Dik Wita mau menyebutnya apa. Abang masih nggak percaya semua ini bisa terjadi dengan cepat.""Ya ampun, Bang. Wita juga nggak sesempurna yang Abang bayangin. Banyak kekurangan aku yang mungkin bikin Abang kaget nanti.""Apa?""Aku nggak pinter masak!""Abang cari pendamping, Dik, bukan cari tukang masak!""Yakin?""Serius.""Eh, bentar! Kata Mbak Rasti, Abang aktifin handphonenya!""Habis baterai. Kenapa memang?""Katanya, ibunya Bang Arfan jatuh di kamar mandi. Sekarang masih di klinik.""Inalillahi wa innailaihi rojiun ... terus, Mbak Rasti bilang apalagi? Keadaannya bagaimana?""Tadi masih diperiksa, Bang. Coba telepon Bang Arfan.""Kamu punya nomornya?""Nggak. Kan bisa minta sama Mbak Rasti.""Jangan!""Kenapa?""Abang takut kamu berubah pikiran.""Abang ... !!! Sini lihat mata aku! Aku tuh udah nggak naksir lagi sama Bang Arfan. Masa mikir gitu, sih?""Abang cemburu karena merasa jauh kalau dibandingkan sama Arfan.""Masya Allah Aba

  • BERAS LIMA RIBU   SIKAP BERBEDA

    lMenggigit ujung bibirnya, Rasti kebingungan harus menjawab apa. Haruskah mengatakan kalau dia juga merasa sangat kehilangan?Hanya dengan mengambil banyak orderan, dia bisa sedikit mengalihkan perasaan itu. Meski di dalam dirinya masih merasa hampa."Biasa saja," jawabnya berbohong. Bagaimanapun juga, Sulastri belum memberi restu. Dan Rasti tidak ingin jawabannya menyisakan harapan untuk Arfan."Nggak masalah."Rasti menoleh cepat. Kenapa Arfan merespon begitu?"Nggak masalah kalau saat ini kamu merasa biasa saja. Saya akan menunggu sampai kamu merindukan saya. Entah kapan.""Ka-kalau tidak pernah?""Tidak apa-apa. Saya akan terus menikmati perasaan ini. Anggap saja kamu masih bersama dia. Tak bisa digapai!" kata Arfan melebarkan senyumnya.Rasti bergeming. Kehabisan kata-kata untuk menanggapi pengakuan Arfan barusan. Padahal, dia sudah berusaha memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan isi hatinya."Jangan anggap pengakuan saya menjadi beban buat kamu sampai harus menghindar begi

  • BERAS LIMA RIBU   KEPUTUSAN AHMAD

    Pernyataan Faiz membuat Wandi terkejut bukan main. Matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang masih menyisakan rasa di dalam hatinya."Jadi kalian mau menikah? Kapan?" Wandi masih memburu pertanyaan dengan mata melotot tajam. Seolah tak peduli ada Santi dan Mak Saroh di samping kanan dan kirinya. Juga tetamu yang mungkin saja mendengarnya.Rasti tidak menjawab. Dia membiarkan saja Wandi bergelut penuh teka-teki. Meski selintas rasa tak enak pada Arfan yang berada di sampingnya."Doakan saja!" Arfan menimpali meski tak kuasa menahan tawa melihat ekspresi Wandi."Kalau kalian sampai menikah, aku akan ambil Faiz untuk tinggal sama kami!" ancam Wandi dengan emosi yang semakin menjadi-jadi. Entah apa yang membuatnya jadi marah begitu."Apakah ini sebuah ancaman, Mas? Kamu kan, sudah hidup bahagia dengan Santi. Kenapa harus mencampuri urusanku lagi?" Rasti tak mau kalah. Wandi sendiri yang membuatnya berubah menjadi perempuan kuat dan tidak menerima begitu saja perlakuan buruk yang men

  • BERAS LIMA RIBU   PENOLAKAN WANDI

    "Di sini?" Rasti menatap ke sekeliling. Syukurlah, mereka semua paham situasi. Satu persatu beranjak pergi menuju meja prasmanan supaya Rasti dan Arfan bisa bicara."Di mana lagi selain di sini? Kamu selalu menghindar belakangan ini," ceplos Arfan tak sabar melihat wanita yang dicintai kini ada di hadapannya.Wita yang datang menghampiri untuk mengajak mereka makan, justru mendengar perkataan Arfan. Dia bisa membaca situasi dan langsung menggandeng Faiz pergi ke tempat es krim, diikuti Ahmad yang mengekor di belakangnya."Bang Ahmad mau juga?" tawar Wita yang berbalik badan ketika menyadari Ahmad mengikutinya."Bo-boleh ...," jawab Ahmad gugup setelah 'tertangkap basah'.Wita lalu berjalan lebih dulu dan meminta tiga cup es krim untuk mereka. Setelah itu, baru kembali pada Ahmad dan Faiz."Bang, sebenarnya aku mau hubungin Bang Ahmad. Tapi malu, takut ganggu!" kata Wita jujur, sambil menyerahkan satu cup es krim pada lelaki yang wajahnya terlihat sangat gugup itu."Lho kenapa harus m

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status