Sebelum memasuki kamar tamu, Kenanga sempat menoleh pada Devano dan mendapati laki-laki itu masih berdiri di sana. Kenanga tersenyum simpul, kemudian mengikuti BI Ina memasuki kamar yang cukup luas itu.
"Silakan istirahat di sini, Nona! Jika perlu bantuan, tolong panggil kami!" ucap Bi Ina sembari meletakkan koper Kenanga di dekat tempat tidur. "Terima kasih, Bibi. Maaf ya, saya merepotkan," ucap Kenanga tidak enak hati. "Tidak apa-apa. Sudah tugas kami melayani tamu spesialnya Mas Dev!" sahut Bi Ina sembari tersenyum. "Oh, ya, kamar mandi di situ, semua keperluan di dalamnya masih baru. Boleh dipakai!" lanjut wanita setengah abad itu. Kenanga mengangguk. "Baik, terima kasih Bibi," ucapnya santun. Beberapa menit setelah kepergian Bi Ina, Kenanga tidak juga beranjak dari tempat tidur. Dia justru termenung seolah mencerna peristiwa beberapa jam lalu yang membuat dunianya jungkir balik. Kenanga lantas mengambil handphone yang berdering beberapa kali di dalam tasnya. Wanita itu membuang napas saat mengetahui si penelepon. Beberapa kali Kenanga menolak panggilan dari Dion. Hatinya terlalu sakit untuk sekadar mendengar suara laki-laki itu. [Kamu di mana, aku susul kamu!] Kenanga tidak menggubris. Dia segera memblokir nomor Dion dan mematikan handphone. "Tidak ada gunanya kamu menjelaskan, Dion. Tinggal tunggu waktu panggilan dari pengadilan agama," lirih Kenanga dengan dada terasa sesak. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, jika dia akan menyandang status janda di usia 27 tahun. Kenanga mengerjapkan mata beberapa kali menahan genangan air yang hendak jatuh ke pipi. Semenjak memutuskan mengakhiri pernikahannya dengan Dion, dia berjanji tidak akan menangis lagi. Kenanga mengusap perutnya yang masih rata sembari tersenyum miris. Kehadiran kehidupan baru di rahimnya pada saat ini, semakin membuat hati Kenanga teriris perih. Namun, dia bertekad merawat janin di dalam kandungannya meskipun tanpa kehadiran seorang suami. Entah pukul berapa Kenanga memejamkan mata. Wanita itu mengerjap berat ketika pintu kamar diketuk pelan oleh Bi Ina dari luar. Sembari menahan kantuk, Kenanga melangkah malas ke pintu dan membukanya pelan. Bi Ina berdiri di depan pintu lengkap dengan mukenanya. Wanita itu tersenyum canggung pada Kenanga, lalu menoleh sekilas ke arah mushala yang terletak di seberang ruang keluarga. "Maaf mengganggu, Neng. Kalau tidak berhalangan, Mas Dev mengajak kita shalat Subuh berjamaah!" ajak Bi Ina lirih. Kenanga tersenyum, lalu mengangguk. Dia pun bergegas mengambil wudhu dan mengikuti Bi Ina menuju ke mushala. Ternyata di sana sudah menunggu Devano, security, dan dua ART. Mendengar langkah mendekat, Devano lantas menoleh dan menatap pada Kenanga. Sikap laki-laki itu datar dan hanya mengangguk samar, lalu meminta Pak Security mengimami shalat. Kenanga hendak beranjak ketika shalat selesai, tetapi panggilan Devano menghentikan langkah wanita itu. Kenanga berbalik dan menatap Bi Ina yang masih duduk di tempatnya. "Apa kamu tidak membutuhkan do'a, sehingga cepat-cepat meninggalkan mushala, Ken?" Pertanyaan bernada sindiran itu, membuat hati Kenanga tertohok. Devano tersenyum satu sudut sekilas, lalu kembali memutar tubuh menghadap depan. Kenanga kembali duduk di dekat Bi Ina, lalu beberapa detik kemudian dia telah larut dalam do'a. Devano memberi isyarat pada Bi Ina untuk mengikutinya meninggalkan mushala dan membiarkan Kenanga larut dalam do'anya. Dia ingin memberi kesempatan pada Kenanga menumpahkan segala rasa sakit dan kecewanya di situ. Benar saja, meskipun berusaha untuk kuat, nyatanya Kenanga begitu hancur. Tangisnya kembali tumpah sampai dadanya terasa sesak. "Sesakit ini rasanya, ya, Allah. Sakit banget!" lirih Kenanga sembari menutup wajah dengan telapak tangan. Bahunya bergetar karena tangis. Beberapa meter di belakangnya, Devano menatap miris pada sahabatnya itu. Devano berdehem, hingga membuat Kenanga menoleh ke arahnya. "Maaf kalau aku mengganggumu, Kak," ucap Kenanga sambil menyeka air matanya. Dia pun segera melipat sajadah, lalu bangkit sembari menundukkan wajah. Devano mengikuti pergerakan Kenanga dengan pandangannya. "Sudah berkali-kali kamu minta maaf, tapi tidak tahu kesalahan apa yang kamu lakukan. Menangis adalah cara terbaik untuk membuang segala beban di hatimu. Apa kamu sudah lebih baik sekarang?" tanya Devano yang membuat langkah Kenanga terhenti. Wanita itu mengangguk pelan, lalu mengikuti Devano duduk di sofa ruang keluarga. Tidak berapa lama, seorang ART mendekat membawakan dua cangkir lemon tea hangat. Keduanya masih terdiam meskipun sang ART beranjak dari mereka. "Aku harus pergi hari ini, Kak," ucap Kenanga lirih. Ucapan tiba-tiba itu, sukses membuat Devano menatapnya dalam. "Apa kamu yakin pergi dalam keadaan kacau dan jelek begini, Ken?" tanya laki-laki itu setengah bercanda. "Aku memang jelek, makanya suamiku selingkuh dengan Kak Risma!" sahut Kenanga sembari tersenyum getir. "Tapi aku tidak sependapat denganmu, Ken. Suami pengkhianat tidak memandang istrinya jelek atau secantik bidadari. Aku tidak izinkan kamu pergi dalam keadaan begini. Bagaimana jika Om Setyo tahu jika hubunganmu dengan Penghianat itu berakhir?" Kenanga terdiam tanpa berani menatap Devano. Dia hanya bisa mengangguk-angguk sembari menangkup wajahnya dengan telapak tangan. Devano menarik napas pelan melihat keadaan Kenanga. Laki-laki itu tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan untuk sekadar menyentuh bahu Kenanga. "Aku sangat menyedihkan. Biar aku cari kesempatan bicara dengan Papa. Mungkin bukan hari ini. Cepat atau lambat, Papa akan tahu rumah tanggaku sudah hancur, Kak!" Devano kembali menarik napas pelan. "Ya, tapi sebaiknya kamu menenangkan diri dulu di sini, Ken!" pintanya lagi. "Aku akan merepotkanmu, Kak. Dan bagaimana dengan pandangan orang jika aku tinggal di sini terus?" "Pikirkan dirimu sendiri, Ken, jangan pedulikan pandangan mereka! Nanti sore, kita jalan-jalan supaya kamu lebih tenang. Sekarang, kamu kembalilah istirahat, atau mau jogging denganku?" "Kak, tapi aku ..." "Jangan berpikir macam-macam, Ken! Aku pergi dulu!" sahut Devano tanpa menerima bantahan. Kenanga mendengus lirih sembari menatap punggung tegap Devano yang menjauhi ruang keluarga. Rupanya, laki-laki itu kembali ke kamar hanya untuk berganti baju. Tidak berapa lama, Devano sudah kembali menuruni anak tangga dan hanya melambaikan tangan pada Kenanga. Kenanga tidak berkutik dengan sikap Devano. Segera, Kenanga pun kembali ke kamarnya. Namun, langkah wanita itu terhenti ketika mendengar suara ribut-ribut di luar sana. "Devano! Keluar kamu!" teriak suara yang begitu familiar di telinga Kenanga. Devano yang saat itu memang hendak jogging hanya menggeleng samar mendengar suara Dion. Tampak Dion memberontak ketika security berusaha mengamankannya. "Mana Kenanga? Kamu sembunyikan di mana istriku, Dev?" teriak Dion lagi. Devano tersenyum miring. "Istri? Bukankah istrimu itu Risma dan Kenanga hanya kamu jadikan alat saja? Laki-laki pengecut sepertimu tidak pantas menjadi suami Kenanga!" ejeknya. "Oh, jadi, kamu lebih pantas menjadi suami Kenanga, gitu?" sentak Dion tak terima. "Ya, aku lebih pantas membahagiakan Kenanga! Kenapa tidak?" ****Kenanga tersenyum tulus. “Tentu aku ridha dan bahagia, Kak,” jawabnya, lalu mendongak menatap Devano. “Kita lanjutkan hidup ini dengan saling memaafkan dan menjadi keluarga, ya, Sayang!” lanjut Kenanga sambil mengusap lengan Devano dengan lembut. Dion bisa melihat tatapan penuh cinta Kenanga pada Devano. Tidak bisa dipungkiri, ada perasaan cemburu yang masih bercokol di hati menyaksikan kebahagiaan Kenanga dan Devano. Namun, berkali-kali Dion menyadarkan diri jika membiarkan rasa cemburu itu sesuatu yang salah. Kenanga benar, mereka harus melanjutkan hidup dengan pasangan masing-masing. Seketika, Devano mengangguk menyetujui ucapan istrinya. “Tentu saja. Tidak mungkin kita musuhan terus, apalagi ada Carla di antara keluarga ini, kan? Katakan padaku, Yon, kapan kalian menikah. Kami yang siapkan tempat resepsinya.” “Em, biar Risma yang menentukan, Dev,” jawab Dion sembari menatap Risma. “Aku tidak ingin pesta mewah, lebih baik uangnya untuk keperluan Carla nanti,” ucap Risma s
Tiba-tiba perasaan takut itu memenuhi relung hati Kenanga. Dia menunduk, menatap Dzevad yang masih menyusu. Sedangkan Mbak Ayu masih berdiri di ambang pintu menunggu perintah dari bosnya. Dia juga ikut sedih jika Carla dibawa pergi oleh orang tua kandungnya.Pasalnya, kehadiran Carla di dalam keluarga kecil Devano, menjadi hiburan tersendiri. Terlebih ketika Dzevad belum lahir. Merawat Carla dari usia bayi, tentu menimbulkan kedekatan batin pada Devano dan Kenanga. Itu juga yang dirasakan para ART.Mereka juga menganggap Carla seperti anak sendiri, tanpa memandang masa lalu orang tua bocah itu. Bahkan, Devano dan Kenanga dengan bangga memajang foto keluarga bersama Carla di dalamnya.“Apa yang harus kulakukan, Mbak?” tanya Kenanga lirih.Momen ini cepat atau lambat pasti terjadi. Namun, Kenanga tidak menyangka jika mereka datang begitu cepat. Rasanya Kenanga belum siap kehilangan Carla. Dan mungkin tidak pernah siap.“Bu, mungkin mereka hanya ingin melihat baby Dzevad. Rasanya tidak m
"Carla pas ulang tahun nanti minta kado apa, Sayang?” tanya Kenanga sambil mengusap rambut putri cantiknya.Beberapa hari lagi, usia Carla tepat tiga tahun. Bocah berwajah cantik itu menatap polos pada Kenanga, lalu jari telunjuknya mengetuk dagu dengan gerakan ala orang dewasa yang sedang berpikir.Melihat tingkah lucu Carla, Kenanga tertawa kecil, kemudian memeluk bocah itu. Seperti biasa, Carla selalu menghadiahi ciuman gemas di pipi setiap mendapat pelukan dari mamanya.Sejenak, senyum Kenanga memudar ketika teringat sesuatu. Hari ini Risma mendapat kebebasan bersyarat dari tahanan. Sedangkan Dion justru sudah bebas beberapa Minggu yang lalu. Itu artinya? Kenanga menggeleng tanpa sadar jika mengingat keberadaan Carla. Ya, sesuai perjanjian dulu, Dion dan Risma bisa mengambil Carla kapan pun setelah mereka bebas.Namun, hari ini menjelang ulang tahun yang ke-3 Carla, Kenanga akan kehilangan anak asuhnya itu. Ada rasa takut dan tidak rela Carla pergi dari kehidupan mereka. Kenanga
“Tunggu, Sayang!” pinta Devano ketika melihat Kenanga bersiap kembali turun.Devano meraih tangan Kenanga dan memintanya duduk di sisi tempat tidur. Laki-laki itu mengambil sesuatu dari dalam laci nakas sebelah kiri ranjang. Lantas dia ikut duduk di samping Kenanga.Pandangan Kenanga tertuju pada kotak berwarna biru navy di pangkuan Devano. Tidak ingin istrinya penasaran terlalu lama, Devano membuka kotak itu.Ternyata isinya satu set perhiasan emas putih dan sebuah display key mobil mewah. Devano meraih tangan Kenanga dan meletakkan kotak perhiasan itu di sana.“Ini hadiah pernikahan dariku, kamu yang simpan. Kamu nyonya rumah ini, jadi, mulai sekarang jangan canggung lagi!”Kedua mata Kenanga berkaca-kaca. Tidak hanya diperlakukan seperti ratu, tetapi dimanjakan dengan berbagai kemewahan dari Devano.“Aku akan mengikuti semua aturan kepala keluarga di rumah ini, selagi itu benar. Kuharap ini adalah pernikahan terakhir kita, Mas,” ucap Kenanga, lalu memeluk erat Devano.Di bahu Kenan
Langkah Risma diikuti oleh tatapan sendu Kenanga. Wanita itu mengusap matanya yang memanas. Devano merangkul bahu sang istri dengan perasaan bersalah.“Maafkan aku, Sayang,” ucap laki-laki itu lirih.“Aku tidak mempermasalahkan itu, Mas. Cuma merasa aneh saja, kenapa dia langsung menganggapmu special someone?” tanya Kenanga bingung.Memang aneh, jika Risma tidak mengenali Kenanga. Namun, justru merasa begitu dekat dengan Devano. Padahal, dulu Risma sangat membenci Kenanga dan selalu membuat ulah dengan Devano.“Aku juga merasa aneh.” Devano melirik sekitar, kemudian mengajak Kenanga memasuki mobil.Dia tidak ingin Risma kembali melihatnya dan membuat ulah. Sesampai di dalam mobil, Devano tidak juga menjalankan mobilnya. Namun, dia justru menatap ke arah bangunan rumah sakit jiwa itu.“Aku harus mencari cara supaya mendapatkan informasi detail mengenai Risma.”Kenanga langsung menoleh pada suaminya. “Maksud Mas apa?” tanya wanita itu heran.“Sayang, apakah kamu tidak melihat kejanggala
Deburan ombak di laut lepas sana yang tanpa henti, seolah ikut mengiringi kebahagiaan dua orang di atas tempat tidur itu. Seperti biasa, Devano selalu memuja setiap inci tubuh Kenanga dengan hati-hati. Dia perlakukan Kenanga begitu lembut. Itulah janji Devano, dia memang ingin memperlakukan Kenanga layaknya ratu hingga wanita itu melupakan semua rasa sakit yang pernah ada. Kenanga tersenyum dan sesekali memejamkan mata, ketika ciuman Devano menghujani wajah lembabnya. Udara di sekitar pantai memang dingin kala malam hari. Namun, tidak bagi pasangan suami istri itu. Tubuh mereka justru basah oleh keringat. Devano menyingkirkan anak rambut Kenanga yang terjuntai ke pelipis, lalu mencium kening wanita itu. “Terima kasih, ya, Mas,” ucap Kenanga dengan tatapan dalam. Sebelah tangan Kenanga memeluk bahu tegap Devano. Keduanya saling pandang penuh cinta dan sesekali balas tersenyum. Devano sedikit menoleh, melirik jam digital di atas nakas. Laki-laki itu terkekeh pelan menyadari waktu s