"Ya, aku lebih pantas menjadi suami Kenanga!" sergah Devano.
Dion mengerutkan bibir geram, lalu sekuat tenaga mendorong tubuh security yang memeganginya. Melihat kemarahan Dion, Devano justru tertawa mengejek. "Brengsek kamu, Devano!" "Kamu lebih brengsek dariku, Dion. Menyesal aku mengenalkanmu pada Kenanga." Devano mendekati Dion dan menunjuk wajah temannya itu. Dion menepis kasar tangan Devano, lalu tersenyum mengejek. "Hah, tidak usah munafik, Dev! Bukankah kamu sendiri yang menyuruhku mendekati Kenanga untuk memenangkan taruhan itu?" balasnya. Devano terbelalak. Laki-laki itu reflek mengangkat tangannya yang terkepal kuat. Dion tidak mundur, tetapi justru tertawa mengejek melihat kepanikan di wajah Devano. "Kenanga adalah bahan taruhan kita, sadarilah itu, Dev! Dan akulah pemenangnya, bukan kamu! Bukan kamu Devano Rayyan Samudra!" teriak Dion. "Shut up! Tutup mulutmu, Dion! Tidak ada yang membuatnya tar--" "Taruhan? Taruhan apa, Kak?" tanya Kenanga dengan tatapan nanar dari teras. Dion segera mendekati Kenanga dan hendak memeluk istrinya itu. Namun, Kenanga segera mendorong tubuh Dion hingga terhuyung ke belakang. Tatapan Kenanga beralih pada Devano yang masih berdiri kaku di tempatnya. "Ken, masuklah!" titah Devano tanpa berani menatap Kenanga. "Taruhan apa, Kak? Dion? Jawab aku!" teriak Kenanga pada keduanya. Devano dan Dion saling pandang dengan sinis. Kenanga mengetatkan bibirnya yang bergetar menahan tangis. Ternyata kedua laki-laki yang memiliki ikatan emosional dengannya itu menyimpan rahasia. Taruhan? "Taruhan? Apa maksudnya? Taruhan ..." Kenanga terus mengulang kata itu sambil tertawa sumbang. Kenanga memegangi kepalanya yang berdenyut pusing. Pandangan wanita itu berkunang-kunang. Devano dan Dion tersentak ketika tiba-tiba tubuh Kenanga limbung. Beruntung Devano yang lebih dekat dengan sigap menangkapnya. "Jangan sentuh istriku!" cegah Dion sembari berusaha menepis tangan Devano. "Jangan banyak bicara! Sebaiknya kamu pergi, Dion!" usir Devano dingin. "Aku akan bawa Kenanga pulang. Lepaskan dia, Dev!" sergah Dion lagi. "Tidak usah mimpi. Pak, usir orang ini!" perintah Devano tanpa memperdulikan Dion. Security segera mencegah Dion yang berusaha mengambil alih Kenanga dari gendongan Devano. Dion tidak berkutik dan hanya bisa menatap geram pada Devano yang seenaknya membawa Kenanga. Sesampai di ambang pintu, Devano menoleh dan menyunggingkan senyum kemenangan pada Dion. "Cih!" Dion meludah sambil menunjuk wajah Devano. "Jangan merasa menang, Dev! Aku akan panggil polisi karena kamu telah berselingkuh dengan istriku!" ancamnya. "Simpan saja uangmu yang tidak seberapa itu. Bukankah Risma butuh nafkah darimu?" balas Devano mengejek, lalu menutup pintu dengan tumitnya. "Devanoooo! Awas kamu!" teriak Dion lagi. "Jangan membuat keributan, Pak! Sebaiknya Anda pergi, atau Mas Devano bertindak lebih kasar!" tegur security sembari menggelandang Dion menuju ke mobil. Diiringi sumpah serapah, Dion melajukan mobil meninggalkan depan rumah megah Devano. Namun, sesaat Dion menghentikan laju mobil ketika teringat kehamilan Kenanga. Laki-laki itu menjentikkan jarinya di atas setir seolah menemukan ide cemerlang. Dion segera mengambil handphone dan mengetik sebuah pesan singkat untuk Devano. Sejenak, laki-laki berbadan tegap itu pun tersenyum satu sudut. "Kamu tidak bisa memiliki Kenanga, Dev. Aku akan membuat perhitungan denganmu!" ucap Dion sembari tersenyum penuh arti. Memang dia gagal membawa pulang Kenanga. Namun, Dion tidak akan menyerah karena yakin Kenanga tidak bisa menggugat cerai dirinya. * Devano menarik napas panjang berkali-kali saat menatap Kenanga yang masih berbaring lemah. Devano menoleh pada Bi Ina dan meminta wanita itu segera memanggil dokter. "Tidak perlu memanggil dokter, Bi! Saya baik-baik saja!" cegah Kenanga sembari berusaha duduk. Bi Ina bergegas membantu Kenanga bersandar di kepala ranjang. Devano menoleh ketika seorang ART mendekat sembari membawa teh hangat dan semangkuk kecil bubur ayam. Devano segera mengambil alih nampan dari tangan ART dan duduk di samping Kenanga. "Kamu harus sarapan, Ken!" pinta Devano sembari menyodorkan cangkir pada Kenanga. Kenanga menatap datar Devano dan gelas itu bergantian. Dia tidak berniat mengambil cangkir yang berisi teh hangat beraroma harum itu. Melihat sikap datar Kenanga, Devano terkekeh pelan. "Aku tidak menaruh apa pun di dalam teh ini. Dari semalam kamu belum makan apa-apa, kan?" tanya laki-laki tampan berkulit putih itu sambil mendekatkan cangkir ke arah Kenanga. "Bisa jelaskan tentang taruhan itu, Kak? Maksud kalian apa?" tanya Kenanga sambil meraih cangkir dari tangan Devano. Devano menatap Kenanga penuh arti, lalu menggeleng pelan. Berlama-lama menatap mata wanita cantik di depannya itu, membuatnya tidak punya keberanian untuk jujur. Devano takut jika Kenanga akan menjauh dan membencinya. "Kenapa diam, Kak? Aku dijadikan alat taruhan kalian, begitu?" desak Kenanga lagi. "Em, sebaiknya kamu sarapan dulu, Ken. Jangan sampai kamu sakit!" elak Devano lirih. Kenanga menyunggingkan senyum kaku, lalu mendengus lirih. "Baiklah, kalau Kakak tidak mau jujur. Aku akan cari tahu dari Dion!" ucapnya lalu melengos. Devano menelan ludah. Laki-laki itu lantas mengusap dahinya dengan gusar. Kenanga melirik Devano lalu mendengus lirih. "Kak, tolong jawab!" desak Kenanga tidak sabar lagi. "Baiklah, aku akan jelaskan, tapi kamu harus sarapan!" ucap Devano lalu mengambil mangkuk dan mengulurkan sendok ke arah bibir Kenanga. Kenanga justru membuang muka. "Aku bisa sendiri," tolaknya sembari menahan tangan Devano. "Sekali saja, setelah itu kamu makan sendiri!" Devano tersenyum manis, tetapi justru terlihat menyebalkan bagi Kenanga. "Kakak ingat, aku masih istri orang, jangan aneh-aneh! Lagi pula, Kakak kan sudah punya calon istri. Tidak usah genit!" sembur Kenanga mulai kesal. Devano terkekeh pelan. "Aku senang kamu sudah mulai cerewet, Ken," sahutnya santai. Kenanga mencebikkan bibir mendengarnya. Karena Devano terus memaksa, tidak ada pilihan bagi Kenanga selain membuka mulut. Beberapa detik Kenanga menunggu dengan tidak sabar penjelasan dari Devano. "Maafkan aku," ucap Devano pada akhirnya. "Apa yang dikatakan Dion benar. Awalnya kami taruhan. Jika dia mendapatkanmu, maka aku memenangkan uang dua ratus juta. Namun, jika dia tidak berhasil mendapatkanmu, maka aku yang harus membayarnya," jelasnya lalu menunduk dalam. Kenanga menggigit bibirnya menahan tangis dan kecewa. "Kenapa kalian lakukan ini?" tanyanya dengan suara bergetar. "Aku punya alasan kuat melakukan itu, Ken! Aku tidak asal memberikanmu pada Dion. Apa kamu pikir aku rela, hah?" "Tapi kenapa, Kak? Apa alasanmu melakukan ini? Aku yakin ini bukan tentang uang, kan?" kejar Kenanga sambil menangis. "Memang bukan tentang uang semata. Tapi tentang ..." Devano memejamkan mata menahan air yang mulai mengambang. "Jahat banget kalian." "Ken, jika aku berkata jujur apa kamu masih bisa berkata begitu?" ****Kenanga tersenyum tulus. “Tentu aku ridha dan bahagia, Kak,” jawabnya, lalu mendongak menatap Devano. “Kita lanjutkan hidup ini dengan saling memaafkan dan menjadi keluarga, ya, Sayang!” lanjut Kenanga sambil mengusap lengan Devano dengan lembut. Dion bisa melihat tatapan penuh cinta Kenanga pada Devano. Tidak bisa dipungkiri, ada perasaan cemburu yang masih bercokol di hati menyaksikan kebahagiaan Kenanga dan Devano. Namun, berkali-kali Dion menyadarkan diri jika membiarkan rasa cemburu itu sesuatu yang salah. Kenanga benar, mereka harus melanjutkan hidup dengan pasangan masing-masing. Seketika, Devano mengangguk menyetujui ucapan istrinya. “Tentu saja. Tidak mungkin kita musuhan terus, apalagi ada Carla di antara keluarga ini, kan? Katakan padaku, Yon, kapan kalian menikah. Kami yang siapkan tempat resepsinya.” “Em, biar Risma yang menentukan, Dev,” jawab Dion sembari menatap Risma. “Aku tidak ingin pesta mewah, lebih baik uangnya untuk keperluan Carla nanti,” ucap Risma s
Tiba-tiba perasaan takut itu memenuhi relung hati Kenanga. Dia menunduk, menatap Dzevad yang masih menyusu. Sedangkan Mbak Ayu masih berdiri di ambang pintu menunggu perintah dari bosnya. Dia juga ikut sedih jika Carla dibawa pergi oleh orang tua kandungnya.Pasalnya, kehadiran Carla di dalam keluarga kecil Devano, menjadi hiburan tersendiri. Terlebih ketika Dzevad belum lahir. Merawat Carla dari usia bayi, tentu menimbulkan kedekatan batin pada Devano dan Kenanga. Itu juga yang dirasakan para ART.Mereka juga menganggap Carla seperti anak sendiri, tanpa memandang masa lalu orang tua bocah itu. Bahkan, Devano dan Kenanga dengan bangga memajang foto keluarga bersama Carla di dalamnya.“Apa yang harus kulakukan, Mbak?” tanya Kenanga lirih.Momen ini cepat atau lambat pasti terjadi. Namun, Kenanga tidak menyangka jika mereka datang begitu cepat. Rasanya Kenanga belum siap kehilangan Carla. Dan mungkin tidak pernah siap.“Bu, mungkin mereka hanya ingin melihat baby Dzevad. Rasanya tidak m
"Carla pas ulang tahun nanti minta kado apa, Sayang?” tanya Kenanga sambil mengusap rambut putri cantiknya.Beberapa hari lagi, usia Carla tepat tiga tahun. Bocah berwajah cantik itu menatap polos pada Kenanga, lalu jari telunjuknya mengetuk dagu dengan gerakan ala orang dewasa yang sedang berpikir.Melihat tingkah lucu Carla, Kenanga tertawa kecil, kemudian memeluk bocah itu. Seperti biasa, Carla selalu menghadiahi ciuman gemas di pipi setiap mendapat pelukan dari mamanya.Sejenak, senyum Kenanga memudar ketika teringat sesuatu. Hari ini Risma mendapat kebebasan bersyarat dari tahanan. Sedangkan Dion justru sudah bebas beberapa Minggu yang lalu. Itu artinya? Kenanga menggeleng tanpa sadar jika mengingat keberadaan Carla. Ya, sesuai perjanjian dulu, Dion dan Risma bisa mengambil Carla kapan pun setelah mereka bebas.Namun, hari ini menjelang ulang tahun yang ke-3 Carla, Kenanga akan kehilangan anak asuhnya itu. Ada rasa takut dan tidak rela Carla pergi dari kehidupan mereka. Kenanga
“Tunggu, Sayang!” pinta Devano ketika melihat Kenanga bersiap kembali turun.Devano meraih tangan Kenanga dan memintanya duduk di sisi tempat tidur. Laki-laki itu mengambil sesuatu dari dalam laci nakas sebelah kiri ranjang. Lantas dia ikut duduk di samping Kenanga.Pandangan Kenanga tertuju pada kotak berwarna biru navy di pangkuan Devano. Tidak ingin istrinya penasaran terlalu lama, Devano membuka kotak itu.Ternyata isinya satu set perhiasan emas putih dan sebuah display key mobil mewah. Devano meraih tangan Kenanga dan meletakkan kotak perhiasan itu di sana.“Ini hadiah pernikahan dariku, kamu yang simpan. Kamu nyonya rumah ini, jadi, mulai sekarang jangan canggung lagi!”Kedua mata Kenanga berkaca-kaca. Tidak hanya diperlakukan seperti ratu, tetapi dimanjakan dengan berbagai kemewahan dari Devano.“Aku akan mengikuti semua aturan kepala keluarga di rumah ini, selagi itu benar. Kuharap ini adalah pernikahan terakhir kita, Mas,” ucap Kenanga, lalu memeluk erat Devano.Di bahu Kenan
Langkah Risma diikuti oleh tatapan sendu Kenanga. Wanita itu mengusap matanya yang memanas. Devano merangkul bahu sang istri dengan perasaan bersalah.“Maafkan aku, Sayang,” ucap laki-laki itu lirih.“Aku tidak mempermasalahkan itu, Mas. Cuma merasa aneh saja, kenapa dia langsung menganggapmu special someone?” tanya Kenanga bingung.Memang aneh, jika Risma tidak mengenali Kenanga. Namun, justru merasa begitu dekat dengan Devano. Padahal, dulu Risma sangat membenci Kenanga dan selalu membuat ulah dengan Devano.“Aku juga merasa aneh.” Devano melirik sekitar, kemudian mengajak Kenanga memasuki mobil.Dia tidak ingin Risma kembali melihatnya dan membuat ulah. Sesampai di dalam mobil, Devano tidak juga menjalankan mobilnya. Namun, dia justru menatap ke arah bangunan rumah sakit jiwa itu.“Aku harus mencari cara supaya mendapatkan informasi detail mengenai Risma.”Kenanga langsung menoleh pada suaminya. “Maksud Mas apa?” tanya wanita itu heran.“Sayang, apakah kamu tidak melihat kejanggala
Deburan ombak di laut lepas sana yang tanpa henti, seolah ikut mengiringi kebahagiaan dua orang di atas tempat tidur itu. Seperti biasa, Devano selalu memuja setiap inci tubuh Kenanga dengan hati-hati. Dia perlakukan Kenanga begitu lembut. Itulah janji Devano, dia memang ingin memperlakukan Kenanga layaknya ratu hingga wanita itu melupakan semua rasa sakit yang pernah ada. Kenanga tersenyum dan sesekali memejamkan mata, ketika ciuman Devano menghujani wajah lembabnya. Udara di sekitar pantai memang dingin kala malam hari. Namun, tidak bagi pasangan suami istri itu. Tubuh mereka justru basah oleh keringat. Devano menyingkirkan anak rambut Kenanga yang terjuntai ke pelipis, lalu mencium kening wanita itu. “Terima kasih, ya, Mas,” ucap Kenanga dengan tatapan dalam. Sebelah tangan Kenanga memeluk bahu tegap Devano. Keduanya saling pandang penuh cinta dan sesekali balas tersenyum. Devano sedikit menoleh, melirik jam digital di atas nakas. Laki-laki itu terkekeh pelan menyadari waktu s