"Aku ikut."Aku menoleh ke arah suara. Dua ransel berukuran sedang milikku telah kuangkat keluar.Tak jauh dari tempatku berdiri, terlihat pemandangan yang membuat panas hati. Masih pagi, tapi sudah bikin naik tensi. Apalagi kalau bukan Tiara serta Hadi. Wanita itu memeluk Hadi dari arah belakang. Sementara Hadi berdiri menghadap ke arahku. Asem!Seolah tak mendengar obrolan mereka. Aku berpura-pura sibuk memainkan ponsel di teras. Sengaja kupilih bangku yang agak menjorok ke dalam, agar mataku bisa terlindungi dari kemesraan yang tak kira-kira itu."Lho. Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?" Suara Hadi terdengar kemudian."Keberatan kalau aku mau ikut?""Bukan keberatan, Sayang. Aku malah senang kalau kamu ikut. Hanya di sana nanti kamu tau, kan, jika orang tua serta mertuaku juga ikut serta. Terus kamu gimana?"Aku memasang telinga baik-baik. Ingin mengetahui jawaban Tiara."Ya, aku akan berusaha bersikap layaknya orang asing nanti. Janji, deh, aku ngga akan membuat keributan dan kekac
Aku yakin wanita itu sangat kesal. Ya ampun, demi apa hatiku sesenang ini. Mesem-mesem terus, nih, dari tadi."Sayang, tapi jangan sampai cium-cium kening, ya, di depanku," ucap Tiara lagi. Ternyata wanita itu belum juga lelah mengajukan keberatan."Sayang, kumohon. Jangan ajukan persyaratan yang berat. Aku ngga tau nanti bagaimana. Karena kalau di depan keluarga aku harus bersikap baik pada Nadia.""Ah! Serah, deh!"Aduh, Tiara. Belum juga dimulai, tapi kamu sudah uring-uringan saja.Tak ada lagi yang berkomentar. Mobil melaju kencang di jalan raya. Kami harus cepat tiba di bandara. Para orang tua telah menunggu lama di sana.Beberapa saat kemudian, mobil yang kami tumpangi tiba di bandara. Aku dan Tiara mengikuti arahan Hadi untuk turun dari mobil. Sementara ia berlalu ke arah parkiran. Setelah memarkirkan mobilnya lelaki itu berjalan ke arahku dan meninggalkan Tiara di belakangnya."Ayo!" Ajaknya entah pada siapa. Aku pura-pura tidak mendengar dan berjalan mendahului. "Hei! Nadia!
Apa sebenarnya yang diingin lelaki itu?Dulu dia bersikeras ingin berpisah denganku, tapi sekarang malah melarang agar aku jangan pernah berpikir untuk lari darinya. Dia pikir dengan statusnya sebagai suami, lalu bisa memerintah sesuka hati? Statusnya saja suami, tapi perlakuannya tidak!"Sini!" serunya sambil meraih tanganku. Tak kugubris. Mataku mengembun membuat penglihatanku mengabur.Lelaki itu menggenggam jemariku dan sebelah tangannya lagi memijit pergelangan tanganku.Tanpa kata, hanya sentuhannya yang berbicara di tengah laju taksi yang membelah jalan raya."Maaf jika selama ini aku terlalu kasar."Kalimat yang ia lontarkan berhasil membuat air mataku mengalir sempurna."Kenapa meminta maaf? Apa kamu sudah lelah menyakitiku?" tanyaku lugas. Meski air mata tak henti mengalir, tapi tak ada isak dalam suaraku."Aku ingin kita berdamai. Mungkin itu lebih baik." Hadi kembali bersuara."Kamu kesambet apa?" tanyaku sambil menyeka air mata.Kurasakan Hadi semakin kuat meremas jemarik
Entah kenapa kakiku bergerak menyusul wanita itu. Dari jendela kamar kami, aku bisa melihat Nadia berjalan di pasir pantai. Jilbab putihnya menari digerakkan angin sepoi.Aku menuruni anak tangga untuk tiba di tempat Nadia berada. Dari jarak yang tak terlalu dekat, aku bisa melihat wanita berkerudung itu sedang melampiaskan kekesalannya. Ia melemparkan karang-karang kecil yang berserakan di pasir ke segala arah. Aku menegurnya. Dan ternyata membuat ia kaget. Entah kaget karena melihatku yang tiba-tiba saja berada di sana atau kaget karena aku berbicara tiba-tiba."Kamu beneran Hadi?"Pertanyaan yang konyol kurasa!"Lalu, kamu pikir aku siapa?" balasku sambil menaikkan segaris alis."Ya, mungkin saja kamu sedang kemasukan makhluk ghaib penghuni tempat ini."Wah! Mulai berani dia. Hmm, maksudku dia makin berani saja. "Boleh kita ngobrol sebentar?""Untuk apa? Nanti nenek lampir itu marah," katanya sambil mendelikkan mata. Entah kenap juga aku tidak ikut emosi seperti biasanya."Nenek
Kelembutan senja memeluk ufuk barat langit Bali. Di tempat aku dan Nadia berada, aku terpana menyaksikan kebesaran Tuhan dalam tiap ciptaan-Nya. Kulihat Nadia memejamkan mata dan menengadah sembari merentangkan tangannya. Aku tersenyum dan merasa terpanggil untuk mengabadikan dua keindahan sekaligus yang ada di depan mata. Keindahan yang baru beberapa hari ini kusadari dari istri pertamaku juga keindahan swastamita* yang sebentar lagi akan berganti dengan gelapnya malam.Beberapa kali aku mengambil foto Nadia. Pantulan cahaa jingga membuat foto terlihat eksotik. Dia tidak tahu jika aku telah mengabadikan semuanya di dalam ponselku."Yuk. Magrib," ajak Nadia.Aku mengangguk dan beranjak dari sebuah bangku panjang. Tidak lagi terlihat orang tua serta mertuaku di bangku yang mereka duduki tadi. Juga Tiara, wanita itu pasti sudah masuk ke kamarnya.Kami berjalan beriringan tanpa suara. Sesekali aku melirik wanita mungil yang sedang menapaki anak tangga di depanku itu. Baju panjang serta j
"Sudah?" tanyaku sambil tersenyum-senyum. "Belum! Awas kalau ngintip!" Nadia mengancamku."Memang kenapa? Kamu istriku, loh! Aku beusaha mengganggunya. Dan benar saja, Nadia kembali mengancam akan meninjuku jika saja aku berani mengintip.Rasa geli akan tingkah Nadia semakin menggelitik. Wanita ini sangat menguji adrenalin. Sifatnya yang tidak mencla-mencle membuat naluri tertantang untuk mendalaminya lebih jauh. "Nanti malam aku tidur di mana?""Di extra bed!" serunya cepat."Masa di sana. Bukannya kita sudah berdamai?" Aku menolak sambil menunjuk ke arah bed kosong yang memang sudah disediakan di dalam kamar."Lalu?""Tidur di ranjang, dong, sama kamu. Tuh mawarnya masih rapi."Saat aku dan Nadia memasuki kamar yang di-booking siang tadi, di atas ranjang kamar dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar merah berbentuk love. Wajar, karena Nadia memesan kamar untuk pasangan yang ingin honeymoon agar para orang tua tidak menaruh curiga."Ya sudah. Kamu di ranjang. Aku di sana."Kuli
"Aku juga mau hamil! Aku mau punya anak dari kamu!"Tiara terus mengulang-ulang ucapannya. Susah payah aku merayu wanita itu agar bersikap tenang dan jangan gegabah. Namun, dia seperti sengaja ingin membuatku panik."Sekarang! Ayo!"Tiara memaksaku naik ke atas ranjang. Aku serba salah. Merasa sangat kasihan melihat wajahnya yang sembab, tapi tidak mungkin juga aku mengikuti ide tak sehatnya itu. Belum saatnya."Tiara. Kamu dengar aku, Sayang. Tolong jangan begini!" seruku tegas.Seperti menulikan telinga, ia tidak menggubris kata-kataku. Wanita berambut ikal kecokelatan itu membuka paksa bajunya. Beberapa butir kancing terlepas berjatuhan menyentuh lantai. Tiara menanggalkan satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya."Kamu ngga mau? Yakin?" tanyanya menantang.Kugunakan akal sehat melawan keinginan untuk memadu kasih bersama Tiara. Aku tidak bisa. Semuanya masih harus tersimpan rapat. Belum saatnya semua orang tahu jika aku beristri dua."Jangan sekarang, Tiara. Kumohon mengertil
POV NADIA***Aku harus bagaimana ini? Ya Tuhan!Lelaki itu pasti kesambet penghuni pantai ini. Buktinya semenjak kami tiba di sini dia jauh berubah. Biasanya sangar, eh, sekarang malah sering membuat hatiku berdebar.Hadi, plis, pindah ... pindah! Jangan duduk di dekatku begitu. Jantungku berdetak tak keruan ini. Jangan sampai dia mendengarkannya."Nadia, aku tau kamu belum tidur. Jika malam ini aku meminta secara baik-baik, maukah kamu memberikannya? Menunaikan tugasmu sebagai istri. Menyempurnakan separuh agamamu bersamaku?"Aduh!Hatiku! Tolong!Ini pasti mimpi. Aww! Sakit. Cubitanku di paha terasa sekali. Berarti bukan mimpi? Terus aku harus bagaimana, dong?"Mau tidak?" Hadi masih saja mengangguku. Sama sekali dia tidak beranjak dari pinggir ranjang. Kenapa aku tahu? Karena selimutku tertahan tak bisa ditarik ke atas. Lelaki itu mendudukinya."Aku sudah tidur! Jangan ganggu!" gerutuku pelan. Kubaik-baikkan suaraku agar tak terdengar panik. Padahal dalam hati? Jangan tanya. Aaaa