"Gimana kalau kita ke Jepang juga? Barengan Hanin dan suaminya?" Hadi tersenyum di balik kemudi. Ia mengangguk, tapi tetap fokus ke jalan raya. Sebentar lagi kami akan tiba di masjid tempat akan nikah digelar. Belum terlambat.Mobil memasuki pelataran masjid menuju parkiran. Tampak banyak sekali mobil berjejer rapi di sini. Hadi mencari tempat kosong untuk memarkirkan mobil. Setelah selesai, kami turun dan memasuki masjid bersama.Setiba di dalam. Aku dan Hadi harus berpisah. Ia menuju tempat duduk para lelaki, sementara aku menuju barisan perempuan. Masjid telah dipenuhi oleh puluhan orang untuk menyaksikan ijab qabul Hanin dan suaminya.Tak susah mencari keberadaan Hanin. Ia duduk di barisan paling depan perempuan menghadap ke arah meja wali nikah.Aku mendekat sambil melihat-lihat yang mana calon Hanin? Belum jelas melihat, aku melihat Hanin menoleh ke arahku. Wanita itu tersenyum lebar dan memanggiku menggunakan tangannya."Kamu dampingin aku di sini," ucap Hanin setelah aku bers
Bukanlah kesabaran, jika masih mempunyai batas dan bukanlah keikhlasan jika masih merasakan sakit. (anonymous)***Aku bahagia atas pernikahan Azzam dan Hanin. Sebuah kelegaan hadir di dalam jiwa ketika melihat sahabatku bisa berjodoh dengan seorang lelaki baik. Begitu juga Azzam, aku bersyukur karena pada akhirnya dia menikah juga. Sehingga Hadi tak perlu lagi merasakan cemburu yang berlebihan."Kalau tau dia jadi calon suaminya Hanin, aku ngga mau kasih kado honeymoon untuk mereka. Mendingan kasih cangkir plastik," ujar Hadi dengan raut wajah ditekuk. Kami sudah berada di dalam mobil menuju rumah.Resepsi digelar minggu depan. Otomatis, rencana untuk berbulan madu ke Jepang ditunda dulu hingga acara selesai."Sayang. Kita batal saja ke Jepang, ya. Masih banyak negara lain yang lebih bagus, kok. Belanda misalnya." Hadi kembali mengeluarkan pendapatnya.Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah suamiku tersebut. Hal apa yang membuat ia sangat tidak suka melihat Azzam?"Apa karena Azzam
Silakan! Jika memang ingin menikah lagi, itu adalah hak dia sepenuhnya. Kularang pun tak bisa. Toh, dia memang tidak mencintaiku. Di dalam hatinya hanya ada satu nama yang tidak akan pernah terganti. Meskipun Hadi telah menikahiku, bukan berarti aku bisa menggeser posisi Tiara di hatinya. Wanita yang telah lama menjadi tambatan rindu suamiku. Di saat mereka sedang merangkai impian untuk hidup bersama, aku datang sebagai perebut calon suami orang.Aku dan Hadi terpaksa menikah karena dijodohkan. Orang tuaku dan orang tua Hadi telah lama bersahabat. Tanpa diketahui mereka telah menjodohkan kami jauh hari saat aku dan Hadi masih remaja. Setelah kami menyelesaikan pendidikan dan Hadi telah mapan, akhirnya pembahasan itu pun dibuka. Acara lamaran dan pernikahan akan segera dilangsungkan.Bukan aku tidak menolak, apalagi membayangkan Azzam yang sedang berada di Turki. Kami telah berjanji untuk saling setia menanti, apa pun yang terjadi tidak boleh seorang pun mendua hati. Di lain sisi, Umi
Aku terbangun agak telat pagi ini. Semalaman aku tidak tertidur, menghabiskan waktu membaca buku serta salat malam. Entah kenapa perkataan Hadi tadi malam begitu mengganggu pikiran. Seberapa persen lelaki itu serius untuk menikah lagi? Tahukah dia seperti apa resiko ke depan jika pernikahan tersebut tetap dilangsungkan.Akan banyak pihak yang tersakiti, terutama orang tuanya serta orang tuaku juga. Umi pasti akan sangat terpukul melihat nasib anak perempuannya yang malang. Masih muda sudah menyandang status sebagai istri tua, itu pun jika aku sanggup bertahan dan melanjutkan status pernikahan kami, jika tidak tentu aku akan menjadi janda. Apa nanti kata orang-orang?Sementara Hadi memintaku untuk menyembunyikan tentang rencana pernikahan mereka. Sampai kapan rahasia itu bisa ditutupi? Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya pasti jatuh juga. Namun, aku tidak boleh banyak bicara, biarkan saja ia menikahi Tiara, nanti dia sendiri yang akan menanggung segala resiko yang sedang menanti d
Sudah satu jam lebih aku menunggu Hanin, akhirnya dia datang juga. Rasa kesalku sudah memuncak, mengingat perlakuan Hadi barusan. Jika saja tidak mengingat malu, sudah kuumpat lelaki itu kasar. Kulihat Hanin sedang menuju ke arah mejaku. Air mata sudah tergenang sejak tadi. Di depan Hadi aku berlagak kuat. Setetes air mata pun tak ingin kuperlihatkan di depannya. Sesakit apa pun kalimat yang ia keluarkan, aku tidak akan menangis di depan lelaki pengecut itu."Maaf, aku telatnya keterlaluan. Sengaja semua laporan kuselesaikan tadi, biar setengah hari ini bisa habiskan waktu sama kamu." Wanita yang masih setia melajang itu berkata sambil menjawit hidungku. Ah, mata sudah terlanjur berkabut, tak dapat kutahan, bulir bening itu luruh juga. Sontak saja Hanin terlihat kaget melihatku yang tiba-tiba menangis."Kamu kenapa? Aku minta Maaf! Kamu sudah menunggu lama!" seru gadis cantik itu lagi. Hanin adalah sahabatku sejak awal kuliah dulu. Banyak kenangan yang telah kami lalui bersama, suka m
"Assalamu'alaikum." Aku mengucapkan salam."Belum bisa pulang? Ibu mau datang," ujar lelaki itu dari seberang sana. Nada suaranya terdengar sinis. "Sebentar lagi aku pulang. Kamu tenang aja!"Panggilan telepon terputus tanpa ada ucapan salam. Aku menghela napas berat. Kepalaku sedikit berdenyut. Beban hidup ini terasa sungguh berat. Aku melihat ke arah Hanin. Wanita cantik itu menepuk pundakku, seolah memberikan semangat jika bukan saatnya untuk menyerah."Aku harus cepat, Nin. Ibunya Hadi sudah di jalan," ujarku pada Hanin sambil memeluk dirinya. Hanin membalas pelukanku dengan erat. Kemudian kami berjalan hingga ke parkiran dan berpisah di sana. Aku mengendarai sepeda motor dengan kecepatan standar. Kondisi jalan yang ramai membuatku berpikir dua kali untuk melaju kencang.Beberapa saat kemudian aku tiba di rumah. Kondisi dari luar terlihat masih sepi, dugaanku jika Ibu pasti belum sampai. Di depan pintu masuk, Hadi berdiri angkuh. Kedua tangannya menyilang di dada. Tatapnnya bagai
Kami menatap Hadi meminta penjelasan. Dengan berbagai macam pikiran tentunya. Kenapa Hadi membeli kondom? Toh selama menikah kami tidak pernah melakukan hubungan suami istri, jadi kondom yang di kamar mandi itu untuk siapa?"Jadi kalian pakai kondom?" tanya Ibu menatap lekat anaknya."Eh, iya, Bu. Sebenarnya Nadia nggak mau. Aku saja yang paksa." Dia berkata sambil menggaruk kepala. Sering kuperhatikan jika ia sedang berbohong, maka kebiasaan yang dilakukan adalah menggaruk kepala bagian belakang."Lha, kapan mau punya bebi, kalau pakai ginian!" seru Ibu sambil menghela napas.Tega sekali dia membohongi Ayah dan Ibu. Berapa banyak kebohongan demi kebohongan yang telah kami ciptakan. Telanjur berbohong dan akhirnya semakin larut dalam skenario yang entah kapan akan berakhir."Kamu belum mau punya momongan, Nadia?" Ibu beralih padaku, sementara Ayah memilih duduk di pinggir ranjang dan memperhatikan kami. "Mau, Bu. Mau banget," lirihku sambil menunduk. Sebenarnya siapa, sih, yang tidak
Aku mendorong tubuh Hadi menjauh. Namun, aku kalah kuat. Lelaki itu memeluk tubuhku dari belakang kemudian ditarik ke kamar. Pintu ditutup menggunakan kaki, sementara sebelah tangannya ia gunakan untuk mengunci pintu. "Apa-apaan, sih, kamu?" Aku menyikut perut lelaki itu. Ia mengaduh, tapi tetap tidak melepaskan pelukan. "Sakit tau!" Ia berseru dengan suara yang sepertinya sengaja ditahan. Mungkin saja biar Ayah dan Ibu tidak mendengar kegaduhan kami."Lepasin, nggak? Atau aku teriak biar heboh?"Hadi membekap mulutku dengan ke dua telapak tangannya dari arah belakang. Otomatis aku menjadi susah bernapas karena hidung juga ikut tertutup rapat. Terpaksa aku menggigit telapak tangan yang menekan mulut serta hidungku itu."Aww!" pekik Hadi sambil mengentakkan tangannya ke bawah. "Rasain!" Aku mendelik tajam ke arah lelaki berhidung mancung itu.Hadi memilih duduk di atas sofa sambil menekan-nekan telapak tangannya. Sedangkan aku berdiri tepat di depan lelaki itu. Rasa kesal serta emos