Aisyah segera menundukkan kepalanya, saat melihat ada mantan suaminya ternyata, di ruangan itu."Jadi Mas Farhan juga mengikuti acara ini?" gumam Aisyah, merasa masih belum siap jika bertemu dengan lelaki yang telah memberinya 3 anak itu.Aisyah rasanya ingin segera pulang saja, dan pergi dari tempat itu.Tapi walau bagaimanapun, ia juga harus bersikap profesional, karena sudah di percaya untuk mengurus konsumsi makan, di acara itu.Bahkan Bu Leni sang pemilik acara, memintanya sendiri kepadanya, tempo hari."Acara itu sangat penting Bu Aisyah, jadi saya mohon, saya ingin Bu Aisyah sendiri yang menanganinya nanti.Tak mau terlihat oleh mantan suaminya, Aisyah beranjak pergi ke belakang, berkumpul bersama dengan pekerjanya yang lain.Acara terus berjalan, dan kini tibalah waktu untuk makan siang.Farhan yang pagi tadi hanya sempat sarapan sekedarnya saja, sudah merasa sangat lapar.Saat memasuki ruang prasmanan, aroma masakan yang lezat, segera menguar, menerbitkan liur dalam mulutnya,
Akhirnya Aisyah menyerah, melihat putranya yang sakit dan terus memanggil Abinya, hatinya serasa hancur."Apa yang telah aku lakukan terhadap putraku? kenapa aku tak pernah menanyakan bagaimana perasaan mereka, yang jauh dari Abinya sendiri?" tangisnya, pilu."Sudah Aisyah, semua sudah terjadi. Sekarang anak-anak sudah mulai tumbuh besar, sudah waktunya kau pertemukan mereka dengan Abinya.Cobalah sekarang kamu hubungi mantan suamimu itu.Aku yakin, sekarang ini Abinya juga pasti sangat merindukan anak-anaknya." ucap Aminah, mengusap punggung sahabatnya itu, untuk menenangkan.Aisyah mengangguk, kemudian segera mengusap wajahnya yang basah, karena air matanya sendiri, dan mengambil ponselnya.Dari luar ruangan, Hanan tampak memperhatikan segala gerak-gerik Aisyah.Lelaki itu merasa iba dengan ibu tiga anak itu.Ia sudah mendengar semua tentang nya, dari Aminah dan juga uminya."Aisyah adalah wanita sholeha, tapi suaminya sungguh tega menyakitinya, hingga sedemikian rupa." ucap uminya
"Tolong suster!" teriak Hanan, yang tengah membopong Aisyah yang masih belum juga sadar.Dua orang perawat dengan sigap segera membawakan brankar, dan membawa Aisyah ke ruang ugd.Arash yang mengikuti Uminya dari belakang, tidak di perbolehkan masuk ke ruangan oleh para perawat, karena segera menutup pintunya."Ini istrinya kenapa Pak?" tanya perawat yang memberikan tindakan..Dikatakan istrinya, Hanan tampak sedikit memerah wajahnya."Tidak tahu suster." jawab Hanan, sambil memperhatikan suster yang tengah memeriksa."Tolong kerudung istrinya di buka dulu Pak, biar tidak terlalu gerah." perintah salah satu suster yang sedang mencari urat pergelangan tangan Aisyah, untuk ia pasangkan jarum infus."Tttapi.." Hanan tampak ragu untuk melakukan itu, tapi ia lihat kedua perawat itu tampak sibuk dengan tugasnya masing-masing.Hanan menghela nafasnya panjang."Maafkan aku Aisyah. Aku terpaksa melakukannya. Andai kamu tidak terima jika aku telah melihatmu tak berhijab, aku bersedia kok, untu
Keesokan harinya, Aisyah sudah mendingan, jadi dia meminta kepada suster, untuk mencabut jarum infusnya.Semalaman Hanan tak pulang, karena kasihan kepada Arash, yang terus menjaga Uminya itu."Beneran sudah tidak apa-apa Ustadzah?" tanya Hanan, menatap Aisyah yang bersikeras ingin segera melihat kondisi Akbar.Aisyah mengangguk, "Iya Ustadz, saya sudah sehat kok." jawab Aisyah, segera menunduk, saat Hanan terus memperhatikan dirinya."Ya sudah, nanti saya antar ke ruangan Akbar, karena tadi malam, dia sudah di pindahkan ke ruang paviliun oleh Abinya." ucap Hanan, yang belum memberitahukan hal itu, kepada Aisyah."Ooh, jadi sudah di pindahkan ya?" Aisyah mengulang ucapan Hanan, dan merasa maklum, mantan suaminya pasti merasa tak nyaman berada di ruang perawatan kelas 2 tadi malam."Arash mana?" tanya Hanan, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan UGD, yang terlihat kosong."Katanya mau mandi tadi, Ustadz." jawab Aisyah, merasa canggung karena hanya berduaan saja dengan Hanan."Ust
Akhirnya Akbar pun sembuh, tapi begitu sembuh, dia meminta kepada Uminya, untuk pulang ke rumah Abinya yang dulu."Kita ikut pulang ke rumah Abi kan, Umi?" tanya Akbar dengan wajah polosnya.Farhan yang mendengar itu, hanya diam tak berani berkomentar apapun, takut salah di mata Aisyah.Aisyah menghela nafasnya sejenak."Akbar sayang? Akbar ingin ikut pulang ke rumah Abi?" tanya Aisyah, kemudian duduk di hadapan putranya itu, dan mengelus kepalanya lembut.Akbar segera mengangguk dengan cepat."Mainan Akbar kan masih di rumah Abi semua.." ucapnya."Jadi karena mainan? kalau hanya karena mainan? Umi juga bisa belikan Akbar mainan yang baru." jawab Aisyah, sedikit merasa lega.Akbar segera menggeleng."Tapi Akbar juga kangen dengan kamar Akbar yang dulu, terus kangen teman-teman Akbar juga." jawab anak 9 tahun itu, tampak memohon kepada Uminya.Farhan sangat senang, karena putranya itu ingin ikut dia pulang. Tapi dia tak berani berkomentar apapun, sementara ini, ia ingin tahu, apa jawab
"Putra gak di ajak Mas?" tanya Gendis, yang melihat suaminya itu tengah bersiap, untuk mengajak Akbar dan Arash, jalan-jalan sore itu.Akbar dan Arash sudah hampir satu minggu berada di rumah Abinya, dan dua hari lagi mereka sudah harus kembali bersama Uminya, karena sekolah sudah akan kembali masuk."Ikut saja kalau kamu mau." jawab Farhan, sembari menyisir rambutnya, kemudian mengenakan jaket, hadiah ulang tahun dari Aisyah dulu."Jaket sudah kusam begitu, masih saja di pakai." ucap Gendis, terlihat tak suka dengan penampilan suaminya."Kamu mau ikut atau tidak?! Aku mau ajak Akbar dan Arash untuk mencari peralatan sekolah mereka, dan juga nonton pertandingan bola di stadion!" ucap Farhan kesal, karena istrinya mencela penampilannya.Gendis mengerucutkan bibirnya malas. Ia paling tidak suka dengan pertandingan bola, dan lagi suaminya hanya akan mencarikan peralatan sekolah untuk anak-anaknya."Jangan terlalu malam pulangnya Mas!" peringat Gendis, kemudian keluar dari kamar, dan meli
"Ibu Gendis! Adek Putra berdarah-darah!" teriak Akbar yang siang itu tengah bermain di ruang tengah, bersama Kakak dan Putra juga.Gendis yang tengah tiduran sambil bermain ponsel terkejut mendengar teriakan Akbar.Bergegas dia bangkit dari tempat tidurnya, menuju tempat Putra bermain tadi."Apa yang kalian lakukan terhadap anakku!" teriak Gendis, segera mendorong Akbar dan Arash yang ingin membantu Putra.Tanpa mendengar penjelasan dari Arash dan juga Akbar, Gendis segera menelepon suaminya yang pergi ke kantor."Mas! cepatlah pulang, huhuhu... Putra Mas, Putra di pukuli oleh anak-anak kamu hingga berdarah-darah!" tangis jerit Gendis, saat menelepon suaminya.Farhan yang mendengar ucapan istrinya terkejut."Bagaimana mungkin?" serunya tak percaya."Cepatlah ke rumah sakit sekarang juga, aku sudah pesan taksi untuk ke rumah sakit." seru Gendis, kemudian menutup teleponnya.Sebelum berangkat, ia menatap tajam Arash dan Akbar yang terlihat ketakutan, karena telah di tuduh menyakiti Putr
Hanan tak dapat memejamkan mata nya malam ini. Karena besok adalah waktu yang ia tunggu-tunggu, untuk jawaban lamarannya terhadap Aisyah.Memang setelah itu, ia jadi kerap menyambangi rumah panti, untuk sekedar bermain bersama anak-anak, dan juga Fatimah, yang semakin hari semakin lengket saja dengannya.Hanan sungguh merasa gemas dengan gadis kecil berusia 3 tahun itu, tingkahnya selalu saja membuatnya tertawa..Tetapi, walau ia sering berkunjung ke Panti, Aisyah tidak mau menemuinya secara khusus. Jika kebetulan bertemu, perempuan itu hanya akan menyapa sekedarnya saja.'Ahh, lagipula apa yang kau harapkan Hanan! dia kan masih orang asing untukmu!' gerutu Hanan dalam hati, saat melihat Aisyah yang selalu terkesan acuh kepadanya."Ya Allah, mudah-mudahan engkau mudahkan jalan kami, agar bisa berjodoh selamanya." gumamnya dalam hati, menantikan hari esok, yang rasanya begitu panjang menurutnya.Sebelas dua belas dengan Hanan, Aisyah sendiri juga tampak gelisah malam itu.Pikirannya b