Share

Nahkoda

Hari berganti hari. Matahari demi matahari yang kian terasa panjang karena pandemi yang menyengsarakan segala aspek kehidupan kini mulai terasa jadi sahabat. Masker, alkohol, menjaga jarak, protokol kesehatan, aturan pemerintah dan segala acara prevented lainnya yang melelahkan.

          Di kasurnya yang tebal dan empuk ini Arya masih terlelap dengan telungkup. Punggungnya yang lebar juga berotot tercetak dari kaos yang ia gunakan selama tidur. Setelah setahun belakangan ini, Arya tidak pernah merasa dirinya selelah ini. Jiwa dan raganya serasa diperas sekering-keringnya.

          Rasa lelap Arya kini terusik karena merasa badannya cukup terisi baterai. Matanya yang terpejam perlahan terbuka. Sebelum menegakkan badannya, kepala Arya melirik ke arah kasur di sebelahnya. Kosong. Mila sudah pergi untuk bekerja.

          Arya melirik jam di ponselnya yang semalaman menyala, 7.30 tercetak jelas disana. Teringat jika tengah hari nanti ia harus kembali mengurus pengiriman untuk keluar negeri. Ponselnya juga sudah berisik karena Lukman yang terus mengirimnya pengingat agar tidak terlambat.

          Arya mengusap wajahnya sembari terduduk di kasur, lalu berdiri dan berjalan menuju dapur. Rumah tipe klasik modern hasil karya seorang Arya juga bantuan seorang arsitek atas dasar dream house istrinya kini terasa kosong.

          “Selamat pagi Pak.” sapa Mpok Mae yang baru selesai mengepel lantai.

          “Pagi Mpok.” Arya menjawab sapaan Mae sembari meminum segelas air putih hingga tak bersisa. “Gak pulang Mpok?”

          “Idih Pak Arya mah pelupa. Kan Bapak bilang disini seminggu abis itu baru pulang.” jawab Mae dengan logat betawinya. Arya hanya menjawab dengan mengangguk lalu tertawa karena kebodohannya bisa lupa hal sepele ini.

          “Pak, Bu Mila kok ngantor mulu ya?” sambung Mae yang baru saja kembali dari gudang untuk menyimpan peralatan kebersihan.

          Arya menggeleng sembari kembali meminum air putih yang sudah ia pegang di dalam gelas. “Saya gak sempet nanya Mpok. Mungkin dia punya jabatan baru di sekolah.”

          “Aneh saya Pak sama Bu Mila. Anak bungsu Mpok aja sekolah di henpon  loh Pak. Gurunya juga jarang ke sekolah. Mereka pake wassap aja sekolahnya. Tapi kok Ibu ngantor terus. Apa muridnya sekolahnya normal gitu ya?” tanya Mae sedikit mengorek informasi.

          “Itu semua begitu Mpok? Anaknya Lukman juga sekolahnya di rumah.” tanya Arya yang basa basi. Padahal ia tahu persis regulasi yang mengatakan jika pembatasan segala pertemuan kecuali mendesak.

          “Anak Mpok ke sekolah cuma seminggu sekali. Hari Jumat atau Kamis Pak. Ngasih tugas doang. Mana banyak.” cerocos Mae tak berhenti.

          “Gurunya?”

          “Ya gurunya mah, Mpok gak tahu.”

***

          Hari berbalas hari, minggu kian terus berganti. Pandemi belum juga menemui ajalnya. Kerja terus dilakukan di rumah, lockdown terus menerus, bahkan perekonomian rakyat makin tiarap. Arya yang sedikit demi sedikit mengepakkan sayapnya kini harus menekuknya kembali. Aturan PPKM yang mengharuskan diam di rumah membuat geraknya kembali terbatas. Ia hanya bisa membuat janji dengan para rekan, kolega bisnis, juga customernya lewat jaringan internet. Bahkan janji temu hanya dilakukan seminggu sekali. Kantor di rumahnya kini sangat berguna sekali.

          Arya baru saja menyelesaikan janji meeting online dengan Lukman, Brandon, dan juga yang lain untuk membahas tentang renovasi rumah seorang selebgram yang banyak maunya. Selebgram itu ingin custom beberapa furniture agar rumahnya terlihat berbeda. Karena keinginannya yang sulit direalisasikan, maka dari itu meeting online ini diperlukan meskipun 2 atau 3 hari ke depan mereka akan mendiskusikan ulang segala konsepnya secara tatap muka.

          Earphone yang sedari tadi menutup telinga kini sudah Arya lepas. Sembari mengurut kulit di antara kedua alisnya, Arya sayup-sayup mendengar suara Mila sedang mengobrol. Hatinya berat sekali untuk menyimpan segala premis kecurigaan terhadap istrinya. Cukup mencari nafkah untuk menghidupi segala orang yang ia sayangi saja yang membuat ia sakit kepala.

          Keinginannya hanya sebatas ekspektasi, realitanya Arya harus membuat premis kecurigaan karena Mila kembali terdengar seperti orang yang sedang jatuh cinta di telepon kembali terjadi. Arya teringat harus membuat pilihan agar bahtera yang ia dan Mila tumpangi ini selamat. Arya tidak punya pilihan lain selain mencari bukti nyata jika benar Mila tak lagi setia akan janjinya, ia mengkhianati Arya untuk lelaki lain.

          Bahtera tidak akan bergerak jika tak ada angin maupun layar, tapi bahtera juga tidak akan bisa sampai ke tujuan jika tak ada nahkoda. Selain sebagai seorang kepala rumah tangga, Arya juga berlaku sebagai nahkoda yang dimana ia bertugas untuk memutuskan arah bahtera ini. Berat? Sangat. Tapi tidak ada pilihan lain selain menjadi tegas. Sembari menghembuskan nafasnya, Arya mengetukkan pulpen yang ia pegang 3 kali pada permukaan meja kerjanya sebari batinnya bergumam “Ayo kita buktikan kecurigaan ini.”

          Tindakan pertamanya saat ini Arya akan menanyakan tentang pekerjaan Mila. Sepengetahuannya, Mila sering sekali bercerita tentang pekerjaannya apabila Arya sedang beristirahat. Saling berbagi keluh kesah. Namun sudah kurang lebih sebulanan ini Mila tidak lagi melakukannya.

          Arya dengan sedikit kasar mendorong kursi yang menghimpit badannya dari meja kerja. Mengambil sebuah teapot dan berjalan keluar ruang kerjanya. Dari arah lubang pintu ruang kerjanya, Arya melihat istrinya yang tengah berbincang dengan seseorang di telpon sembari mukanya berseri-seri. Jika tidak mengenal istrinya dengan baik, Arya akan menyangka jika istrinya baik-baik saja.

          Arya mengenal Mila sangat baik, hingga Arya mengetahui bagaimana Mila akan datang bulan, mood swing, lapar, bosan, sakit, atau mungkin sedang bahagia. Raut muka Mila menunjukan jika ia sedang dalam mode bahagia yang memancarkan bunga-bunga di hatinya. Raut muka seperti ini mirip saat Arya mengucap akad di hadapan ayahnya.

           “Mil,” Suara Arya yang begitu jantan memanggil nama istrinya sedikit melembut.

Mendengar namanya dipanggil, Mila menoleh pada sumber suara, tak lain suara suaminya.

          “Kenapa, Bang?” Kentara sekali jika suara Mila terkaget. Mila buru-buru menutup sambungan teleponnya.

          “Siapa? Suaranya kayak cowok.” selidik Arya sembari menuang minuman dan mengambil cemilan dari arah dapur.

          “Mm.. iya Bang. Rekan kerja aku. Abis apa itu, mm.. konsultasi masalah anaknya.” Mila kembali tergagap.

          Arya melahap satu buah macaron yang ia pegang, “Anaknya kenapa?”

          “Anaknya kena mental illness. Hehe..” Kikuk, Mila menjawab pertanyaan suaminya. Bingung juga bagaimana ia bisa menutupi sebuah rahasia yang sedang ia sembunyikan dari suaminya.

          Dengan sisa remahan macaron yang ada pada ujung bibirnya, Arya membalas jawaban Mila dengan datar, sedikit emosi. "Kamu guru kelas kan? Bukan psikolog sekolah?”

          Mila mengangguk. Bingung kembali mendatanginya. “Terus siapa yang konsultasi masalah anak yang kena mental illness? Gak nyambung gitu.”

          “T-temen aku.” Mila menjilat bibirnya yang kering. Badannya sedikit panas dingin karena gugup.

          “Mil, are you cheating on me?” Arya langsung bertanya tanpa basa-basi.

          Mila terkesiap. Raut mukanya menunjukan sebuah keterkejutan. Mila menelan ludahnya segera sebelum bersuara. “Nggaklah, buat apa aku cheating dari Abang.”

          “Masa?” Arya kembali memasukan sebuah macaron ke dalam mulutnya. Melihat tingkah laku istrinya yang kian menggagap karena pertanyaanya semakin membuat Arya harus curiga.

          “Ih, Abang nyebelin! Ngga lah Bang. Buat apa aku selingkuh kalau Abang juga udah perfect buat aku.” balas Mila disertai senyuman termanisnya. Arya tidak mampu menahan pesona senyuman itu. Hatinya melunak, namun logikanya berkata jangan. Arya hanya mengangguk sembari kembali mengisi perutnya dengan macaron satu persatu.

          “Kamu dapat jabatan penting ya di sekolah?” Mengalihkan topik pembicaraan memang hal yang benar saat ini. Ini adalah hal mendasar karena Mila sering pergi ke sekolah meskipun harus diperintahkan pemerintah untuk tetap bekerja di rumah. Kepergiannya ke tempat kerja merupakan kecurigaan mendasar yang Arya tangkap selama ini.

          “Kenapa emang Bang?” Informasi penting ini harus segera dibuktikan jika segala premis di kepala Arya ingin segera tuntas.

          “PPKM gini kamu ngantor terus. Kebanyakan kan pada di rumah.” Datar. Begitulah suara Arya saat ini.

          Sebelum menjawab pertanyaan sang suami di sampingnya, Mila menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Mm, iya Bang. Jadi bendahara para guru juga. Mila megang arisan sama uang buat study tour anak-anak tahun depan kalau pandemi udah gak parah.”

          Arya hanya mengangguk-anggukan kepalanya. “Masalah yang ngobrol sama kamu di telepon, temen kamu itu. Boleh Abang ketemu sama dia?”

          “B-buat apa Bang?”

          “Masalah yang kena mental illness itu, adiknya Brandon psikolog. Barang kali bisa bantu.” Arya tersenyum setelah menjawab pertanyaan Mila.

          “Oh iya, nanti aku kasih tahu dia. Kalau gak sibuk dianya, aku juga ajak ketemuan sama Abang.” balas Mila dengan tersenyum gugup. Kecurigaan Arya meningkat sepuluh kali sekarang.

          “Abang gak balik kerja? Katanya ada big package buat ke Korea?” Pengalihan topik terjadi kembali.

          “Oh iya, Abang balik kerja dulu.” Arya berdiri dari posisi duduknya, melangkah ke arah kantornya. Sebelum mendekat ke lubang pintu, Arya berbalik.

          “Mil, sekiranya Abang gak memberikan kamu sesuatu yang berarti, atau kamu kekurangan sesuatu bilang ya. Jangan sampai ada kecurigaan antara kita. Abang sayang sama kamu.” Arya kembali membalikkan badannya. Meneruskan perjalanan ke kantornya untuk kembali bekerja.

          Pandangan Mila mengantarkan Arya masuk ke kantornya. Terlihat dari sorot matanya ada perasaan bersalah. Tapi entahlah. Akal dan perasaan sering berbanding terbalik.

          Ponsel Mila kembali berdering, matanya yang sedari tadi melihat punggung lebar Arya, sekarang mengintip pada layar ponselnya. Panggilan telepon dari orang ini yang sudah membuat Mila mabuk kepayang akan indahnya dunia yang tidak pernah ia rasakan bersama Arya. Namun, rasa bersalah pada Arya yang mencurigainya mendua lebih besar dari keinginannya mengangkat telepon tersebut.

          Mila menatap layar TV yang tidak menyala dihapadannya dengan kosong. Kebingungan jelas tercetak dalam raut wajahnya. Mila mematung, menyelaraskan pikiran dan perasaannya yang saling berkecamuk memenarkan suatu paham yang bertentangan.

***

          Di dalam kantornya, Arya duduk nyaman menatap monitor komputernya. Sembari mendengarkan presentasi dari Lukman dan David, pikiran Arya berkelana. Sebuah gertakan berselimutkan pengingat kepada istrinya telah dilayangkan. 

          Selesai presentasi yang memerlukan banyak basa-basi, tuntas juga keputusan yang Arya buat di kepalanya. Fokus Arya yang terbelah tidak sia-sia. Ia harus mengutamakan mencari fakta agar bahteranya ini tetap bisa berlayar tanpa gangguan. Entah akan ada rintangan dan hambatan apa nantinya, Arya harus tetap menerjang semua. Alasannya hanya sederhana, ia tidak ingin rumah tangganya yang kurang lebih 8 tahun ini berakhir begitu saja. Menyisakan kesakitan yang mendalam, penyesalan yang tiada akhir, maupun dendam yang tersisa. Arya tidak ingin ada semua itu.

          Arya kembali mengambil pulpennya, lalu mengetukkan ke permukaan meja kerja sebanyak 3 kali. Secara resmi, Arya mendeklarasikan jika dirinya sebagai nahkoda rumah tangganya, akan mempertahankan rumah tangganya dari segala godaan yang ada. Baik itu gelombang, penumpang gelap, ataupun bajak laut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status