Suara yang tidak terdengar asing, mendengung di telinga Ros. Dia langsung menoleh cepat. Seseorang berdiri di belakang mereka—berbaju putih yang sedikit basah dengan tatapan penuh tanya. Payung berwarna perak, sedikit menutupi bagian wajahnya.
Radha tak membuka mata. Bibirnya mulai bergerak dan langsung melontarkan tanya dengan suara lirih. “Siapa itu, Ros?” Ros tidak menggubris pertanyaan Radha. Dia malah fokus pada pria yang datang tiba-tiba. “Krisna?” Mata Ros terbuka lebar kala mendapati pria itu berdiri di belakang. “Kenapa bisa di sini?” tanyanya. Dengan tenang pria itu menjawab, namun matanya tertuju pada wanita yang sedang meraup kenyamanan di bahu Ros. “Baru saja. Apa dia selalu selemah ini setelah lomba?” tanyanya lagi. “Aku juga ngga tahu, kayaknya Radha kelelahan,” jawab Ros seadanya. Sadar ada yang membicarakan dirinya, Radha pun membuka mata. Dia menatap Ros dengan tatapan penuh tanya. “Siapa, Ros?” “Krisna, Ra,” jawab Ros. Mendengar nama itu, Radha pun langsung bangun dari bahu Ros. Dia menoleh pada pria berbadan proposional tersebut. Rasa malu menelusup begitu cepat, seakan menghapus semua rasa sakit. Ingatannya mundur ke beberapa menit yang lalu—tepat saat dia tahu siapa partner lombanya. “Kamu?” Mata Radha membelalak. Dia tidak pernah menyangka pria itu adalah partner lomba yang dimaksud panitia. “Kenapa? Aku bukan orang yang kamu harapkan?” Alis sebelah kanan pria itu sedikit terangkat. Dia membenarkan lengan bajunya yang terlipat sebelah. Mata Radha tidak berkedip, dia teringat pada lukisan abstrak yang dia ketahui adalah milik pria itu. Kalau dia jadi partnerku, belum sempat menulis prolog, aku sudah mati duluan, monolognya dalam hati. Melihat Radha yang diam terpaku, Krisna pun keheranan. Pria tinggi itu berdiri sembari memasukkan kedua tangannya pada saku celana. Krisna berjalan perlahan. Langkah sepatunya beradu dengan lantai, menimbulkan bunyi pelan. Setelah sampai, pria berparas campuran tersebut, melambaikan tangan di depan wajah Radha. “Hei, apa aku seburuk itu, sampai kamu shock begini?” Lambaian tangan Krisna tidak membuyarkan lamunan Radha. Bahkan, perempuan itu semakin hanyut dalam pikirannya sendiri. Ros yang melihat interaksi antara Radha dan Krisna pun menghampiri mereka. “Ra!” Dengan suara sedikit keras dia menepuk pundak Radha. Membuat sang empunya sontak terkaget. “Astaga!” Pundak Radha terangkat. Dia terhuyung ke depan dan jatuh tepat di dada bidang pria di depannya. Mata keduanya pun bertemu. Tatapan terkejut Krisna bercampur dengan tatapan malu Radha. Entah kenapa terasa sedikit nyaman ketika berada di pelukan pria itu. “Buset! Ganteng banget!” serunya tanpa sengaja. Dahi Krisna mengkerut, namun setelah menyadari apa yang diucapkan Radha barusan membuat Krisna sedikit menyeringai. “Memang ketampananku sudah diakui di seluruh dunia,” ujarnya datar, namun terasa begitu dalam. Mata Radha mengerjap. Dia gegas menjauh dari pria tersebut. “Dih, apaan? Aku bukan muji kamu. Tapi …” Ucapan Radha terhenti sejenak. Dia menoleh ke sana kemari, mencari alasan yang logis untuk mengelak. Hingga perempuan berambut sebahu itu, menemukan alasan yang pas dan tanpa menunggu lebih lama, dia pun melontarkannya. “Aku lagi muji bapak itu!” Radha menunjuk salah satu pria paruh baya berkumis yang duduk paling ujung. Mata Krisna mengikuti ke mana arah telunjuk wanita tersebut. Sontak dia langsung tertawa, karena yang dipuji tampan oleh Radha adalah bapak-bapak yang hampir mendekati ajal. Ros yang masih berdiri di belakang Radha pun ikut tertawa. “Astaga, Ra. Gantengan juga Mas ini,” ujarnya tanpa rasa malu. Radha menggertak, dia memainkan matanya pada Ros seolah menyuruh perempuan itu diam. Dia langsung menarik sahabatnya dan beranjak dari sana sekarang juga. Kejadian memalukan yang sangat susah dihilangkan dari pikiran Radha. Seharusnya dia tidak mengucapkan kalimat tersebut. “Pergi sana, jangan ganggu kami!” Radha menepis tangan Krisna yang entah sejak kapan menyentuh dahi wanita itu. “Suhu tubuh kamu panas banget. Sebaiknya kamu istirahat sebentar, di rumahku!” Radha membelalak, dia sangat terkejut kata terakhir pria itu. “Rumahku?” Radha membuka mulut, siap menolak. Tapi sebelum sempat berkata apa-apa, Krisna sudah membalikkan badan dan berjalan sambil berkata: "Ayo, sebelum kamu pingsan di sini." Terus kami harus jalan hujan-hujanan?” Teriakan Radha tenggelam di tengah derasnya deru air. Ros mengangguk, dia mengusap punggung Radha. “Sabar, Ra. Jangan teriak-teriak, ingat kamu lagi sakit.” Radha menghela napas jengah. Dia memutar mata malas. “Ini orang bikin emosi mulu, Ros!” Krisna berbalik, dia kembali ke halte. “Maaf! Aku lupa. Artistik mendominasi otak pintarku ini.” Mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan oleh Krisna, seketika raut Radha langsung berubah. Dia seakan dibuat teringat akan suatu hal yang bahkan sudah dikuburnya dalam-dalam. Ros yang menyadari perubahaan ekspresi itu melambaikan tangan di depan wajah Radha. “Ra, kamu nangis?” serunya. Cuma satu kata, tapi cukup untuk mengaduk semua luka yang sudah dia tekan selama bertahun-tahun. Alis Radha terangkat, hidungnya kembang kempis, bersiap meledakkan larva panas yang seakan tercekat di kerongkongan. Radha membeku. Matanya kosong sejenak, sebelum merah menjalar ke pipinya. "Jangan ucapkan kata itu di depanku!" bentaknya, seperti petir yang menyambar. Radha berdiri, dia nekat berjalan dan membelah deras hujan. Kakinya yang semula lemah, seakan berubah kuat. Tak peduli apa yang dia lewati, yang Radha pikirkan hanya menjauh dari sana secepat yang dia bisa. Hujan menyamarkan air mata Radha. Ekspresinya mendadak kaku. Satu kata itu menyeretnya kembali ke luka lama. “Ra … tunggu!” Ros berlari, seakan ikut menyelam pada kesedihan sang sahabat. Sementara itu, Krisna masih diam terpaku. Apa aku menyinggung perasaannya? monolognya. Hatinya mulai gelisah, dan untuk pertama kalinya, dia merasa perlu bertindak. Lelaki itu pun ikut berlari dan menyusul dua orang sahabat tersebut. Radha berhenti, tiba-tiba kakinya terasa melemah. Kekuatan yang tadinya membara kini hilang entah ke mana. Dia berdiri seakan terpaku pada inti bumi. Kepalanya menunduk, bulir-bulir bening jatuh dari rambutnya yang lepek karena basah. Tolong … jangan ingatkan aku … hal menyakitkan itu lagi! monolog Radha. Dunia mulai kabur. Napasnya pendek. Suara hujan memekakkan telinga. Radha pun terjatuh, hujan turun seperti cambuk, menghardik tubuh kecil yang tak sanggup berdiri lagi. Melihat Radha tergeletak di tengah jalan, Mata Ros langsung nyalang. Dia berteriak histeris dan mempercepat laju kakinya. “Radha!”Denting suara piring yang beradu dengan sendok dan garpu, mengisi keheningan meja makan dengan hidangan yang cukup sederhana. Tak ada yang berbicara, hingga akhirnya Ros memutuskan untuk buka suara. “Ra, udah, dong. Jangan sedih gitu. Semua pasti ada jalannya, kok.” Suapan terakhir berhasil masuk ke dalam mulut Ros. Dia menaruh sendoknya dan meminggirkan piring agak ke tepi. Perempuan yang sudah lama bersahabat dengan Radha itu, menatap wanita di depannya intens. Radha tidak menyentuh makanannya sama sekali. “Ngga ada gunanya juga kamu sedih kayak gini. Toh, semuanya udah terjadi, ‘kan?” Radha yang sedari tadi hanya mengaduk-ngaduk makanannya, menghentikan kegiatannya. Dia menoleh pada Ros, tatapan perempuan itu terlihat sendu dan wajahnya pun tampak sangat lesu. “Ros, apa benar aku dikutuk atau semua ini cuman mimpi aja, ngga mungkin banget hal kayak gini terjadi, ‘kan?” tanya Radha yang masih ragu dan tak percaya. Ros menggeleng cepat
Krisna berdiri diam di depan cermin setelah beberapa jam berusaha mencerna apa yang telah terjadi. Dia berulang kali menepuk pipinya agar tersadar dari mimpi buruk ini. “Ayo sadar Krisna … ngapain kamu bayangin wajah wanita keras kepala itu, sih?” Krisna tak hentinya menepuk pipi mulus dan mungil itu berulang kali. Pria tinggi yang sangat tertarik dengan dunia artistik pun memutuskan mencubit pipi gembul nan lembut tersebut lumayan keras. “Aduh!” Krisna meringis, rasa panas menjalar di pipi sebelah kanannya. Rasa sakitnya terasa sangat nyata. Jadi, dapat disimpulkan ini bukanlah mimpi. Dia terlalu fokus pada perubahan wajahnya yang begitu drastis. Sehingga, pemuda tampan kekar tersebut tidak menyadari bahwa postur tubuhnya juga sudah mengalami perubahan yang sangat tidak masuk akal. Krisna menunduk, matanya tertuju pada dada yang terlihat bertambah volume, hingga persis seperti dada perempuan. Manik indah Kri
Radha mengambil satu lukisan, melihatnya tajam, lalu menjatuhkannya dengan gemetar. “Begini rasanya dihina atas sesuatu yang kamu buat sepenuh hati? Rasain!” “Kurang ajar!” Suara Krisna mencuat di tengah hantaman hujan deras yang mengguncang atap seperti derap sepatu tentara. Lukisan itu jatuh tak berdaya seolah tak ada lagi harapan bagi karya seni tersebut untuk bertahan. Krisna berdiri diam, tangannya mengepal erat, semburat merah padam menjalar di seluruh wajahnya. Sebelum akhirnya dia berjalan buru-buru menghampiri wanita yang sudah dikuasai api kemarahan. Buk! Satu pukulan didaratkan Krisna pada dinding kamarnya. Nyaris saja pria itu memukul Radha. Radha tersudutkan, kepalan tangan milik Krisna hampir saja mengenai pipi mulus wanita itu. “Bodoh!” seru Krisna yang mulai tersulut emosi “Apa? Kamu mau marah, ha?” Wanita itu seperti tak ada takutnya sama sekali. Kepalanya mendongak, seperti ingin menantang pria di depannya berduel. Krisna menarik napas dalam. Dia berusaha menah
Hujan semakin deras, angin kencang menerbangkan rambut pendek Ros yang sudah separuh basah. Teriakan lirih wanita itu mencuat di tengah rintik air yang jatuh menimpa bagaikan gundam.Ros terduduk, dia tidak peduli jalanan yang kotor membasahi celananya. Dia mengangkat kepala Radha dan langsung memeluknya erat. Tak kuasa menahan tangis, tangan Ros bergetar seakan wanita itu ditinggal untuk selamanya.Beberapa saat kemudian, Krisna datang, dia memberikan payung pada Ros. “Pegang payungku. Biar aku yang mengangkatnya!” Ros mengangguk, dia menerima payung Krisna dan berdiri sedikit lebih jauh memberi ruang untuk pria itu.***Detik jarum jam yang tergantung di dinding kamar Krisna, mengiringi tangis Ros yang sedari tadi tidak kunjung berhenti. Tangannya tak pernah melepas tangan sang sahabat yang terbaring lemah di atas kasur.Suara langkah membuyarkan isakan wanita yang setia duduk di samping Radha. Dia sedikit mengecilkan suaranya, mengingat yang datang adalah pemilik rumah.“Sudah, di
Suara yang tidak terdengar asing, mendengung di telinga Ros. Dia langsung menoleh cepat. Seseorang berdiri di belakang mereka—berbaju putih yang sedikit basah dengan tatapan penuh tanya. Payung berwarna perak, sedikit menutupi bagian wajahnya.Radha tak membuka mata. Bibirnya mulai bergerak dan langsung melontarkan tanya dengan suara lirih. “Siapa itu, Ros?” Ros tidak menggubris pertanyaan Radha. Dia malah fokus pada pria yang datang tiba-tiba.“Krisna?” Mata Ros terbuka lebar kala mendapati pria itu berdiri di belakang. “Kenapa bisa di sini?” tanyanya.Dengan tenang pria itu menjawab, namun matanya tertuju pada wanita yang sedang meraup kenyamanan di bahu Ros. “Baru saja. Apa dia selalu selemah ini setelah lomba?” tanyanya lagi.“Aku juga ngga tahu, kayaknya Radha kelelahan,” jawab Ros seadanya.Sadar ada yang membicarakan dirinya, Radha pun membuka mata. Dia menatap Ros dengan tatapan penuh tanya. “Siapa, Ros?”“Krisna, Ra,” jawab Ros.Mendengar nama itu, Radha pun langsung bangun
Ros berlari cepat menghampiri Radha, dia menarik tangan sahabatnya itu. “Ada motor, Ra!” serunya tergesa-gesa. Radha terhempas ke pelukan Ros. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat ulah motor ugal-ugalan yang hampir saja menabraknya. Ros menarik napas sejenak, dia melepas tangan Radha. “Hampir aja kamu tertabrak,” ujarnya buru-buru. Radha masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Dia mengelus dadanya sendiri dan menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. “Makasih, Ros. Aku ngga tau kalo ngga ada kamu, mungkin aku ngga akan selamat.” “Iya, Ra. Lain kali jangan berdiri terlalu dekat dengan jalan, ya,” ujarnya sembari tersenyum. Ros kembali mengingat alasan dia menghentikan langkahnya. Dia menatap Radha di depannya dengan tatapan lembut seperti kapas. “Lain kali jangan gitu ke orang yang ngga dikenal, ya. Kalau mau begitu jangan pas sama aku.” “Iya, ngga lagi, kok,” jawabnya dan menatap teman di depannya itu polos. Ros pun luluh, tatapan polos Radha selalu berhas