Share

2. Perubahan Aturan

Author: Nanda Safitri
last update Last Updated: 2025-07-02 13:14:39

Ros berlari cepat menghampiri Radha, dia menarik tangan sahabatnya itu. “Ada motor, Ra!” serunya tergesa-gesa.

Radha terhempas ke pelukan Ros. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat ulah motor ugal-ugalan yang hampir saja menabraknya. Ros menarik napas sejenak, dia melepas tangan Radha. “Hampir aja kamu tertabrak,” ujarnya buru-buru.

Radha masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Dia mengelus dadanya sendiri dan menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. “Makasih, Ros. Aku ngga tau kalo ngga ada kamu, mungkin aku ngga akan selamat.”

“Iya, Ra. Lain kali jangan berdiri terlalu dekat dengan jalan, ya,” ujarnya sembari tersenyum.

Ros kembali mengingat alasan dia menghentikan langkahnya. Dia menatap Radha di depannya dengan tatapan lembut seperti kapas. “Lain kali jangan gitu ke orang yang ngga dikenal, ya. Kalau mau begitu jangan pas sama aku.”

“Iya, ngga lagi, kok,” jawabnya dan menatap teman di depannya itu polos.

Ros pun luluh, tatapan polos Radha selalu berhasil meluluhkan hatinya. “Ya, sudah, ayo pergi, sebentar lagi ada perkumpulan di aula,” ucapnya, lalu merangkul tangan Radha. Radha mengangguk dan mengikuti ke mana temannya itu melangkah.

***

“Baiklah, kami akan membacakan peraturan perlombaan ini!” Suara perempuan bersuara cempreng dengan rok coklat yang setia naik 3 cm setiap dia berjalan—membuyar keheningan.

Radha dan Ros duduk berdampingan. Degup jantung mereka nyaris seirama—bukan karena cinta, tapi karena satu harapan: hobi jadi uang.

“Ngga usah tegang, Ra! Semua pasti berjalan dengan lancar.” Ros menggenggam tangan Radha yang sudah mengeluarkan keringat dingin.

Radha mengangguk, lalu kemudian tersenyum. “Makasih, Ros. Aku ngga tegang, kok,” ujarnya tanpa menoleh pada Ros sama sekali. Ros hanya mengangguk paham, lalu kembali fokus ke depan.

“Saya tidak akan membacakan semua peraturan yang sudah tertera di portofolio kalian. Kali ini saya akan menyampaikan bahwa ada satu peraturan penting yang harus kalian patuhi mau tidak mau.” MC bertubuh pendek itu sesekali membenarkan roknya yang selalu saja tertarik ke atas.

Dia diam sejenak, lalu kembali melanjutkan ucapannya. “Dan peraturan khusus lomba tahun ini adalah... setiap penulis wajib berpasangan dengan satu illustrator. Karya kalian harus ditampilkan dalam bentuk visual skrip dan mock-up panel, seolah siap dijadikan komik atau webtin meskipun penilaian utamanya tetap skenario film. Komplain? Silakan kirim ke email yang tidak akan kami balas.”

Semua orang yang duduk di kursi merah tanpa penutup kain dan meja sontak terkejut. Padahal, mereka mengira hari ini adalah akhir perjuangan, setelah sekian lama menyusun kata sebanyak berpulu-puluh ribu.

“Kami di sini mau ikut lomba menulis, bukan mewarnai!” Seorang pria dari belakang berdiri dan berteriak sedikit keras.

Semua mengangguk, tak ada yang menyukai peraturan tersebut. Tak menunggu waktu lama, keributan pun terjadi, semua orang mengeluarkan opininya secara bersamaan. Membuat riuh ruangan berukuran besar itu.

“Benar, ‘kan, Ra. Kita harus melawan Illustrator,” ujar Ros di tengah bisingnya suara orang-orang.

“Ini, sih, bukan melawan, Ros. Tapi, kerja sama.” Suara Radha mencuat di tengah riuhnya gedung tua yang sudah dialihkan fungsi itu.

Ros hanya mengangguk, dia sendiri sebenarnya tidak keberatan dengan peraturan tersebut. “Bagus juga kalau kita kerja sama dengan illustrator. Jadi, kita bisa saling bertukar pendapat.”

Radha menoleh cepat pada Ros. Untuk yang satu ini mereka selalu berbeda. “Aku tidak mau, ya! Kamu ngga usah bahas illustrator, pelukis, penggambar, atau apalah namanya itu. Pokoknya tidak boleh!” rungut Radha.

Ros terdiam dan mengangguk cepat sembari menyeringai. “Oke, Ra! Maafin, ya, aku keceplosan,” ujarnya. Setelah kalimat Ros. Mereka berdua pun kembali pada pikirannya masing-masing.

“Harap tenang semuanya! Kalau kalian tidak terima, silahkan keluar dari ruangan ini!” Satu kalimat dari MC cantik itu sukses membuat semua orang terdiam.

Semua saling adu pandang, ada beberapa yang keluar dan ada yang masih bertahan. Termasuk Radha dan Ros.

“Mau ngga mau kita harus ikuti peraturannya. Ini adalah satu-satunya cara agar aku bisa bekerja dan melakukan hobiku secara bersamaan,” ujar Radha yakin. Tekadnya sudah sangat bulat.

“Iya, Ra, aku juga. Kasihan adikku. Dia harusnya sekolah, bukannya bekerja untukku.” Ros menunduk lemah, dia jadi teringat pada sang adik.

“Di tangan saya sudah ada list nama dan pasangan kalian. Tidak boleh ada protes seperti tadi kalau kalian tidak mau lomba ini dibatalkan,” ujar pemandu acara itu. Semua orang terdiam dan mendengarkan dengan seksama.

List nama pun mulai dibacakan, beberapa dari mereka sudah mendapatkan pasangan dan juga sudah berkenalan. Sekarang giliran Radha dan Ros, mereka saling berpegangan tangan. Berharap mendapatkan pasangan yang sesuai dengan kriteria mereka.

“Radha dengan Krisna dan Ros dengan Ambon. Silahkan angkat tangan agar pasangan kalian mengenali satu sama lain.”

Pria berjaket hijau berkulit hitam mengangkat tangannya. “Aku Ambon!” serunya.

Ros menoleh, dia tersenyum. Pasangannya tidak terlalu buruk. Wanita itu menghampiri Ambon dan mulai berkenalan.

Semua orang sudah mengangkat tangannya. Pembawa acara pun sudah turun dari panggung. Tapi, pria bernama Krisna tak kunjung menampakkan diri. Radha melirik ke sana kemari, dia menyapu seluruh ruangan itu dan tak ada satu pun yang mengaku sebagai Krisna.

“Siapa di sini yang bernama Krisna?” teriaknya sedikit keras. Semua orang terdiam dan menoleh pada Radha.

“Ah, maaf!” serunya sedikit membungkuk ketika mendapati semua mata tertuju pada dirinya.

Tiba-tiba, secara perlahan satu tangan terangkat ke atas. “Aku Krisna.” Pria berkacamata hitam menoleh pada Radha yang berdiri sedikit jauh darinya.

“Kamu?” Mata Radha membelalak. Bagaimana semua ini bisa terjadi?

***

Radha dan Ros jalan beriringan. Bunyi klakson dan suara alat transportasi mendominasi sore itu. Radha menghela napas, entah kenapa hari ini udaranya terasa sangat panas.

“Kamu kenapa, Ra?” tanya Ros.

Radha menggeleng. “Ngga papa, kok, Ros,” ujarnya sembari tersenyum kaku.

Ros mengangguk, rambut pirangnya diterbangkan angin. Beberapa menit kemudian, langit berubah mendung. “Ra, ayo cepat! Kayaknya mau hujan panas.” Ros menarik Radha dan membawanya ke pemberhentian bus yang berada tak jauh dari sana. Mereka pun duduk di bangunan kecil yang hanya bermodal atap dan bangku sedikit panjang untuk sementara waktu.

Ros menoleh pada Radha yang terlihat sedikit pucat. “Ra, kamu pusing, ya?” tanya Ros. Tangannya terangkat guna memeriksa suhu tubuh wanita itu.

Radha menggeleng cepat, dia berbohong meski wajahnya sudah menjelaskan semua. “Ngga usah heboh, Ros!” kilahnya.

“Gila, Ra! Dahi kamu panas banget. Jangan pingsan di sini, dong!”

Hujan semakin lebat, panas yang tadinya mendominasi kini hilang tertutup awan hitam. Dua perempuan itu pun semakin bingung bagaimana caranya pulang. “Duh, Ra, kayanya ngga akan ada bus yang berhenti lagi, deh!” Kepala Ros menoleh ke sana kemari menyapu setiap inci jalanan yang terlihat semakin sepi.

Sementara itu, Radha menelan ludah. Tubuhnya goyah, pandangan mulai kabur. Perutnya melilit seperti diperas. Napasnya berat—berat sekali, seperti paru-parunya sedang dicengkeram dari dalam. Pasalnya, wanita itu belum makan sedari pagi, sangking semangatnya mengikuti lomba. “Ros, aku bersandar di pundak kamu bentar, ya,” ujarnya lirih.

Ros mengangguk, dia merangkul bahu Radha agar mendekat padanya. Radha pun mulai memejamkan mata dan mencari kenyamanan di bahu Ros.

Hujan membungkam jalanan. Ros menggerutu pelan, matanya sibuk mencari bantuan. Lalu, sebuah suara—dalam, tenang, dan asing—menembus deru air.

“Dia kenapa?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BERTUKAR TUBUH DENGAN MUSUHKU   24. Hampa

    Malam semakin larut, tak ada lagi suara yang terdengar kecuali suara jangkrik yang selalu menemani istirahat orang-orang. Bulan pun tampak malu-malu, tertutup kabut malam.Di satu tempat, terlihat Krisna yang masih fokus dengan telpon genggamnya. Menggulir layar cerah itu hampir ke akar tanpa henti. “Apa penulis artikel ini tau sesuatu?” gumamnya pelan. Sudah lama pemuda yang sudah memakai piyama itu terpaku di tempat yang sama. Hingga kantuk pun datang. Sambil menguap, Krisna beranjak dan berhambur ke tempat tidur. “Radha harus tau ini,” gumamnya, lalu kemudian mulai tertidur.Di sisi lain, terlihat Radha yang tengah fokus menggoreskan alat gambarnya pada kertas di atas kasur. Perempuan itu terlihat mengayunkan kakinya sambil tengkurap. “Gini bukan, sih?” tanyanya pada diri sendiri.Karena kurang yakin dengan karyanya sendiri, Radha pun kembali menghapus gambar yang sudah hampir selesai tersebut. “Susah banget gambar ginian doang!” keluhnya.Lama perempuan itu merenung, memandangi k

  • BERTUKAR TUBUH DENGAN MUSUHKU   23. Sedikit Rasa Nyaman

    Krisna menahan tawa ketika wajah Radha berlumuran lumpur. “Kalau makan coklat jangan kemaruk,” ejeknya. “Aku ngga makan coklat, loh, dari tadi.” Radha menggeram. Dia mengobrak-abrik tasnya guna mencari cermin kecil yang selalu dia bawa ke mana-mana. Ketika cermin itu menampakkan wajah Radha. Mata perempuan itu langsung menyalang, ada lumpur di hampir seluruh bagian mulutnya. “Apa-apaan ini!” “Kok bisa kamu ngga sadar, Ra?” Krisna terkekeh pelan. “Ya, aku fokus ngomong sama kamu,” kesalnya. “Ya, udah, sini aku bersihin!” Tangan pria itu terangkat. Hendak membersihkan lumpur yang berlumuran di sekitar mulut Radha. Radha diam terpaku, kenapa rasanya sedikit berbeda ketika disentuh oleh pria itu? Jantungnya pun berdetak lebih cepat dari biasanya. Elusan tangan Krisna, membuat perempuan itu merinding. Dengan cepat Radha menepis tangan Krisna dari mulutnya. “Biar aku aja yang bersihkan!” Krisna mengangguk paham, dia pun kembali duduk manis seperti sedia kala. Kemudian pria

  • BERTUKAR TUBUH DENGAN MUSUHKU   22. Sebuah Rencana

    Dunia langsung berubah gelap, ketika kepala Radha tersungkur masuk ke dalam ember berukuran sedang yang hampir menutupi seluruh kepalanya. Krisna yang berlari menghampiri Radha tak kuasa menahan tawa melihat Radha berkepala ember. “Makanya, Ra, jangan banyak tingkah.”“Tolongin dong! Jangan ketawa aja!” teriak Radha. Suara Radha terdengar samar karena tertutup ember.“Ha? Apa? Aku ngga denger,” teriak Krisna.Radha mendecak kesal, ember berwarna hitam itu sangat bau dan sempit. “Jangan becanda dulu, Kris!”“Ini ngga bisa secara manual, nih. Kayaknya harus panggil damkar,” celetuk Krisna asal.“Krisna! Kalau kamu ngga bantuin aku, aku ngga akan kasih tahu kamu sebuah info penting tentang kita,” ucap Radha penuh ancaman. Napasnya juga sudah mulai sesak dan bau yang tidak nyaman sangat menyiksa dirinya.Akhirnya, Krisna pun menurut, dia berusaha menarik ember yang menutupi kepala Radha de

  • BERTUKAR TUBUH DENGAN MUSUHKU   21. Penyihir

    “Apa jangan-jangan dia penyihir, dan dia yang udah sihir kamu sama Krisna,” tebak Ros asal. “Hus, ngga boleh gitu. Zaman sekarang mana ada yang kayak gitu, Ros.” “Tapi … bisa aja, ‘kan, Ra? Mungkin dia ada dendam sama kamu.” Ucapan Ros sukses membuat Radha berpikir ulang. Perempuan itu terdiam, apa yang dikatakan Ros tidak sepenuhnya salah. Bisa jadi memang seperti itu, mengingat Radha sempat membuat Raksa sakit hati. “Benar juga yang kamu bilang, Ros. Raksa sempat nembak aku, tapi aku tolak,” jelasnya. “Nah, mungkin karna itu, dia nyihir kamu!” “Oh, ya, aku jadi teringat soal perempuan yang datang ke rumah Krisna kemarin,” ucap Radha mengubah topik pembicaraannya. “Perempuan? Siapa? Pacar Krisna?” tanya Ros ingin tahu. Perempuan itu tampak sangat tertarik dengan pembahasan Radha. “Aku juga ngga tau, sih, Ros. Kemarin dia datang nangis-nangis. Trus, dia cerita kalau ibunya dirawat di rumah sakit jiwa, ayahnya bawa cewe ke rumah,” jelas Radha panjang lebar. Ros mengangg

  • BERTUKAR TUBUH DENGAN MUSUHKU   20. Satu Hal Yang Begitu Aneh

    “Ngga nyangka banget kita bakalan ketemu di sini Ra!” Pria berjas hitam, berambut pendek dan lurus terlihat sangat kegirangan. Dia bahkan sampai menjatuhkan kertas yang dipegangnya.Radha tersenyum canggung, sudah bertahun-tahun mereka tidak bertemu. “Raksa, kamu pemilik minimarket ini?”Pria bernama Raksa pun mengangguk. Dia berjalan cepat menghampiri Radha yang masih berdiri di ambang pintu. “Kamu sendiri ngapain? Apa kamu yang mau melamar kerja di sini?” tanya Raksa.“I-iya, aku dipaksa sama temanku,” jawabnya gugup.“Oh … nggak masalah, kok. Ya, udah, sekarang kamu diterima kerja,” ucapnya tanpa basa-basi.Sontak perkataan Raksa membuat Radha seakan tidak percaya. “Loh, apa ngga diinterview dulu?” tanya Radha basa-basi, meski perempuan itu tahu apa alasan yang membuat Raksa langsung menerima dirinya.“Udah lama aku cari kamu, Ra! Kabarnya kamu, adik, dan ibu kamu pindah rumah. Setelah aku dapat alamatnya, kamu malah ngga ada

  • BERTUKAR TUBUH DENGAN MUSUHKU   19. Mencari Kerja

    “Jadi Papa kamu bawa lima perempuan ke rumah?” Radha tampak sangat terkejut.Sambil berlinang air mata, perempuan itu mengangguk. “Mama aku sekarang ada di rumah sakit jiwa,” tambahnya lagi.“Apa? Jadi, gara-gara Papa kamu selingkuh, mama kamu jadi, maaf, gila?” Radha sungguh tidak habis pikir. Rupanya, kehidupan orang kaya tidak selamanya indah. Dilihat dari penampilan, perempuan itu sangat jauh dari kata kekurangan, tapi, cobaanya ada di keharmonisan keluarganya.“Lukisan yang kasih ke aku, rusak dirobek papa aku,” sambung perempuan itu lagi.“Lukisan?”“Iya, maaf, ya! Aku ngga bisa jaga lukisan kamu dengan baik,” ujarnya merasa sangat bersalah.“Ngga apa-apa, itu bukan salah kamu,” jawab Radha lagi.***Pagi ini dunia terasa begitu dingin, namun tidak ada hujan sama sekali. Hanya udara yang berhembus kencang. Matahari pun enggan menampakkan diri, Radha bergumul di dalam selimut tebal, dan seperti tidak mau bangun untuk melakukan aktivitas.“Dingin banget, latihan hari ini tunda aja

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status