Ros berlari cepat menghampiri Radha, dia menarik tangan sahabatnya itu. “Ada motor, Ra!” serunya tergesa-gesa.
Radha terhempas ke pelukan Ros. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat ulah motor ugal-ugalan yang hampir saja menabraknya. Ros menarik napas sejenak, dia melepas tangan Radha. “Hampir aja kamu tertabrak,” ujarnya buru-buru. Radha masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Dia mengelus dadanya sendiri dan menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. “Makasih, Ros. Aku ngga tau kalo ngga ada kamu, mungkin aku ngga akan selamat.” “Iya, Ra. Lain kali jangan berdiri terlalu dekat dengan jalan, ya,” ujarnya sembari tersenyum. Ros kembali mengingat alasan dia menghentikan langkahnya. Dia menatap Radha di depannya dengan tatapan lembut seperti kapas. “Lain kali jangan gitu ke orang yang ngga dikenal, ya. Kalau mau begitu jangan pas sama aku.” “Iya, ngga lagi, kok,” jawabnya dan menatap teman di depannya itu polos. Ros pun luluh, tatapan polos Radha selalu berhasil meluluhkan hatinya. “Ya, sudah, ayo pergi, sebentar lagi ada perkumpulan di aula,” ucapnya, lalu merangkul tangan Radha. Radha mengangguk dan mengikuti ke mana temannya itu melangkah. *** “Baiklah, kami akan membacakan peraturan perlombaan ini!” Suara perempuan bersuara cempreng dengan rok coklat yang setia naik 3 cm setiap dia berjalan—membuyar keheningan. Radha dan Ros duduk berdampingan. Degup jantung mereka nyaris seirama—bukan karena cinta, tapi karena satu harapan: hobi jadi uang. “Ngga usah tegang, Ra! Semua pasti berjalan dengan lancar.” Ros menggenggam tangan Radha yang sudah mengeluarkan keringat dingin. Radha mengangguk, lalu kemudian tersenyum. “Makasih, Ros. Aku ngga tegang, kok,” ujarnya tanpa menoleh pada Ros sama sekali. Ros hanya mengangguk paham, lalu kembali fokus ke depan. “Saya tidak akan membacakan semua peraturan yang sudah tertera di portofolio kalian. Kali ini saya akan menyampaikan bahwa ada satu peraturan penting yang harus kalian patuhi mau tidak mau.” MC bertubuh pendek itu sesekali membenarkan roknya yang selalu saja tertarik ke atas. Dia diam sejenak, lalu kembali melanjutkan ucapannya. “Dan peraturan khusus lomba tahun ini adalah... setiap penulis wajib berpasangan dengan satu illustrator. Karya kalian harus ditampilkan dalam bentuk visual skrip dan mock-up panel, seolah siap dijadikan komik atau w*****n, meskipun penilaian utamanya tetap skenario film. Komplain? Silakan kirim ke email yang tidak akan kami balas.” Semua orang yang duduk di kursi merah tanpa penutup kain dan meja sontak terkejut. Padahal, mereka mengira hari ini adalah akhir perjuangan, setelah sekian lama menyusun kata sebanyak berpulu-puluh ribu. “Kami di sini mau ikut lomba menulis, bukan mewarnai!” Seorang pria dari belakang berdiri dan berteriak sedikit keras. Semua mengangguk, tak ada yang menyukai peraturan tersebut. Tak menunggu waktu lama, keributan pun terjadi, semua orang mengeluarkan opininya secara bersamaan. Membuat riuh ruangan berukuran besar itu. “Benar, ‘kan, Ra. Kita harus melawan Illustrator,” ujar Ros di tengah bisingnya suara orang-orang. “Ini, sih, bukan melawan, Ros. Tapi, kerja sama.” Suara Radha mencuat di tengah riuhnya gedung tua yang sudah dialihkan fungsi itu. Ros hanya mengangguk, dia sendiri sebenarnya tidak keberatan dengan peraturan tersebut. “Bagus juga kalau kita kerja sama dengan illustrator. Jadi, kita bisa saling bertukar pendapat.” Radha menoleh cepat pada Ros. Untuk yang satu ini mereka selalu berbeda. “Aku tidak mau, ya! Kamu ngga usah bahas illustrator, pelukis, penggambar, atau apalah namanya itu. Pokoknya tidak boleh!” rungut Radha. Ros terdiam dan mengangguk cepat sembari menyeringai. “Oke, Ra! Maafin, ya, aku keceplosan,” ujarnya. Setelah kalimat Ros. Mereka berdua pun kembali pada pikirannya masing-masing. “Harap tenang semuanya! Kalau kalian tidak terima, silahkan keluar dari ruangan ini!” Satu kalimat dari MC cantik itu sukses membuat semua orang terdiam. Semua saling adu pandang, ada beberapa yang keluar dan ada yang masih bertahan. Termasuk Radha dan Ros. “Mau ngga mau kita harus ikuti peraturannya. Ini adalah satu-satunya cara agar aku bisa bekerja dan melakukan hobiku secara bersamaan,” ujar Radha yakin. Tekadnya sudah sangat bulat. “Iya, Ra, aku juga. Kasihan adikku. Dia harusnya sekolah, bukannya bekerja untukku.” Ros menunduk lemah, dia jadi teringat pada sang adik. “Di tangan saya sudah ada list nama dan pasangan kalian. Tidak boleh ada protes seperti tadi kalau kalian tidak mau lomba ini dibatalkan,” ujar pemandu acara itu. Semua orang terdiam dan mendengarkan dengan seksama. List nama pun mulai dibacakan, beberapa dari mereka sudah mendapatkan pasangan dan juga sudah berkenalan. Sekarang giliran Radha dan Ros, mereka saling berpegangan tangan. Berharap mendapatkan pasangan yang sesuai dengan kriteria mereka. “Radha dengan Krisna dan Ros dengan Ambon. Silahkan angkat tangan agar pasangan kalian mengenali satu sama lain.” Pria berjaket hijau berkulit hitam mengangkat tangannya. “Aku Ambon!” serunya. Ros menoleh, dia tersenyum. Pasangannya tidak terlalu buruk. Wanita itu menghampiri Ambon dan mulai berkenalan. Semua orang sudah mengangkat tangannya. Pembawa acara pun sudah turun dari panggung. Tapi, pria bernama Krisna tak kunjung menampakkan diri. Radha melirik ke sana kemari, dia menyapu seluruh ruangan itu dan tak ada satu pun yang mengaku sebagai Krisna. “Siapa di sini yang bernama Krisna?” teriaknya sedikit keras. Semua orang terdiam dan menoleh pada Radha. “Ah, maaf!” serunya sedikit membungkuk ketika mendapati semua mata tertuju pada dirinya. Tiba-tiba, secara perlahan satu tangan terangkat ke atas. “Aku Krisna.” Pria berkacamata hitam menoleh pada Radha yang berdiri sedikit jauh darinya. “Kamu?” Mata Radha membelalak. Bagaimana semua ini bisa terjadi? *** Radha dan Ros jalan beriringan. Bunyi klakson dan suara alat transportasi mendominasi sore itu. Radha menghela napas, entah kenapa hari ini udaranya terasa sangat panas. “Kamu kenapa, Ra?” tanya Ros. Radha menggeleng. “Ngga papa, kok, Ros,” ujarnya sembari tersenyum kaku. Ros mengangguk, rambut pirangnya diterbangkan angin. Beberapa menit kemudian, langit berubah mendung. “Ra, ayo cepat! Kayaknya mau hujan panas.” Ros menarik Radha dan membawanya ke pemberhentian bus yang berada tak jauh dari sana. Mereka pun duduk di bangunan kecil yang hanya bermodal atap dan bangku sedikit panjang untuk sementara waktu. Ros menoleh pada Radha yang terlihat sedikit pucat. “Ra, kamu pusing, ya?” tanya Ros. Tangannya terangkat guna memeriksa suhu tubuh wanita itu. Radha menggeleng cepat, dia berbohong meski wajahnya sudah menjelaskan semua. “Ngga usah heboh, Ros!” kilahnya. “Gila, Ra! Dahi kamu panas banget. Jangan pingsan di sini, dong!” Hujan semakin lebat, panas yang tadinya mendominasi kini hilang tertutup awan hitam. Dua perempuan itu pun semakin bingung bagaimana caranya pulang. “Duh, Ra, kayanya ngga akan ada bus yang berhenti lagi, deh!” Kepala Ros menoleh ke sana kemari menyapu setiap inci jalanan yang terlihat semakin sepi. Sementara itu, Radha menelan ludah. Tubuhnya goyah, pandangan mulai kabur. Perutnya melilit seperti diperas. Napasnya berat—berat sekali, seperti paru-parunya sedang dicengkeram dari dalam. Pasalnya, wanita itu belum makan sedari pagi, sangking semangatnya mengikuti lomba. “Ros, aku bersandar di pundak kamu bentar, ya,” ujarnya lirih. Ros mengangguk, dia merangkul bahu Radha agar mendekat padanya. Radha pun mulai memejamkan mata dan mencari kenyamanan di bahu Ros. Hujan membungkam jalanan. Ros menggerutu pelan, matanya sibuk mencari bantuan. Lalu, sebuah suara—dalam, tenang, dan asing—menembus deru air. “Dia kenapa?”Denting suara piring yang beradu dengan sendok dan garpu, mengisi keheningan meja makan dengan hidangan yang cukup sederhana. Tak ada yang berbicara, hingga akhirnya Ros memutuskan untuk buka suara. “Ra, udah, dong. Jangan sedih gitu. Semua pasti ada jalannya, kok.” Suapan terakhir berhasil masuk ke dalam mulut Ros. Dia menaruh sendoknya dan meminggirkan piring agak ke tepi. Perempuan yang sudah lama bersahabat dengan Radha itu, menatap wanita di depannya intens. Radha tidak menyentuh makanannya sama sekali. “Ngga ada gunanya juga kamu sedih kayak gini. Toh, semuanya udah terjadi, ‘kan?” Radha yang sedari tadi hanya mengaduk-ngaduk makanannya, menghentikan kegiatannya. Dia menoleh pada Ros, tatapan perempuan itu terlihat sendu dan wajahnya pun tampak sangat lesu. “Ros, apa benar aku dikutuk atau semua ini cuman mimpi aja, ngga mungkin banget hal kayak gini terjadi, ‘kan?” tanya Radha yang masih ragu dan tak percaya. Ros menggeleng cepat
Krisna berdiri diam di depan cermin setelah beberapa jam berusaha mencerna apa yang telah terjadi. Dia berulang kali menepuk pipinya agar tersadar dari mimpi buruk ini. “Ayo sadar Krisna … ngapain kamu bayangin wajah wanita keras kepala itu, sih?” Krisna tak hentinya menepuk pipi mulus dan mungil itu berulang kali. Pria tinggi yang sangat tertarik dengan dunia artistik pun memutuskan mencubit pipi gembul nan lembut tersebut lumayan keras. “Aduh!” Krisna meringis, rasa panas menjalar di pipi sebelah kanannya. Rasa sakitnya terasa sangat nyata. Jadi, dapat disimpulkan ini bukanlah mimpi. Dia terlalu fokus pada perubahan wajahnya yang begitu drastis. Sehingga, pemuda tampan kekar tersebut tidak menyadari bahwa postur tubuhnya juga sudah mengalami perubahan yang sangat tidak masuk akal. Krisna menunduk, matanya tertuju pada dada yang terlihat bertambah volume, hingga persis seperti dada perempuan. Manik indah Kri
Radha mengambil satu lukisan, melihatnya tajam, lalu menjatuhkannya dengan gemetar. “Begini rasanya dihina atas sesuatu yang kamu buat sepenuh hati? Rasain!” “Kurang ajar!” Suara Krisna mencuat di tengah hantaman hujan deras yang mengguncang atap seperti derap sepatu tentara. Lukisan itu jatuh tak berdaya seolah tak ada lagi harapan bagi karya seni tersebut untuk bertahan. Krisna berdiri diam, tangannya mengepal erat, semburat merah padam menjalar di seluruh wajahnya. Sebelum akhirnya dia berjalan buru-buru menghampiri wanita yang sudah dikuasai api kemarahan. Buk! Satu pukulan didaratkan Krisna pada dinding kamarnya. Nyaris saja pria itu memukul Radha. Radha tersudutkan, kepalan tangan milik Krisna hampir saja mengenai pipi mulus wanita itu. “Bodoh!” seru Krisna yang mulai tersulut emosi “Apa? Kamu mau marah, ha?” Wanita itu seperti tak ada takutnya sama sekali. Kepalanya mendongak, seperti ingin menantang pria di depannya berduel. Krisna menarik napas dalam. Dia berusaha menah
Hujan semakin deras, angin kencang menerbangkan rambut pendek Ros yang sudah separuh basah. Teriakan lirih wanita itu mencuat di tengah rintik air yang jatuh menimpa bagaikan gundam.Ros terduduk, dia tidak peduli jalanan yang kotor membasahi celananya. Dia mengangkat kepala Radha dan langsung memeluknya erat. Tak kuasa menahan tangis, tangan Ros bergetar seakan wanita itu ditinggal untuk selamanya.Beberapa saat kemudian, Krisna datang, dia memberikan payung pada Ros. “Pegang payungku. Biar aku yang mengangkatnya!” Ros mengangguk, dia menerima payung Krisna dan berdiri sedikit lebih jauh memberi ruang untuk pria itu.***Detik jarum jam yang tergantung di dinding kamar Krisna, mengiringi tangis Ros yang sedari tadi tidak kunjung berhenti. Tangannya tak pernah melepas tangan sang sahabat yang terbaring lemah di atas kasur.Suara langkah membuyarkan isakan wanita yang setia duduk di samping Radha. Dia sedikit mengecilkan suaranya, mengingat yang datang adalah pemilik rumah.“Sudah, di
Suara yang tidak terdengar asing, mendengung di telinga Ros. Dia langsung menoleh cepat. Seseorang berdiri di belakang mereka—berbaju putih yang sedikit basah dengan tatapan penuh tanya. Payung berwarna perak, sedikit menutupi bagian wajahnya.Radha tak membuka mata. Bibirnya mulai bergerak dan langsung melontarkan tanya dengan suara lirih. “Siapa itu, Ros?” Ros tidak menggubris pertanyaan Radha. Dia malah fokus pada pria yang datang tiba-tiba.“Krisna?” Mata Ros terbuka lebar kala mendapati pria itu berdiri di belakang. “Kenapa bisa di sini?” tanyanya.Dengan tenang pria itu menjawab, namun matanya tertuju pada wanita yang sedang meraup kenyamanan di bahu Ros. “Baru saja. Apa dia selalu selemah ini setelah lomba?” tanyanya lagi.“Aku juga ngga tahu, kayaknya Radha kelelahan,” jawab Ros seadanya.Sadar ada yang membicarakan dirinya, Radha pun membuka mata. Dia menatap Ros dengan tatapan penuh tanya. “Siapa, Ros?”“Krisna, Ra,” jawab Ros.Mendengar nama itu, Radha pun langsung bangun
Ros berlari cepat menghampiri Radha, dia menarik tangan sahabatnya itu. “Ada motor, Ra!” serunya tergesa-gesa.Radha terhempas ke pelukan Ros. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat ulah motor ugal-ugalan yang hampir saja menabraknya. Ros menarik napas sejenak, dia melepas tangan Radha. “Hampir aja kamu tertabrak,” ujarnya buru-buru.Radha masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Dia mengelus dadanya sendiri dan menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. “Makasih, Ros. Aku ngga tau kalo ngga ada kamu, mungkin aku ngga akan selamat.”“Iya, Ra. Lain kali jangan berdiri terlalu dekat dengan jalan, ya,” ujarnya sembari tersenyum.Ros kembali mengingat alasan dia menghentikan langkahnya. Dia menatap Radha di depannya dengan tatapan lembut seperti kapas. “Lain kali jangan gitu ke orang yang ngga dikenal, ya. Kalau mau begitu jangan pas sama aku.” “Iya, ngga lagi, kok,” jawabnya dan menatap teman di depannya itu polos.Ros pun luluh, tatapan polos Radha selalu berhasil me