Aku menutup mulut saking terkejutnya. "Bapak di penjara?""Ssst! Ngomong opo, kamu itu?" Kakek langsung menyergah, "nyuwun sewu, tolong njenengan semua pulang, Nggih! Biar mantuku ndak kesesaken," pinta Kakek sedikit mengusir. Para tetangga yang kebanyakan ibu-ibu itu lekas membubarkan diri. Mereka pulang ke rumah masing-masing."Mas ... Mas ...." Perlahan Ibu sudah mulai terlihat sadar. "Mak, mana Mas Abdul?" tanya Ibuku pada Nenek."Sing sabar, Ti." Nenek cuma bisa mengelus rambut Ibu."Mas Abdul ...." Ibu meratap sedih."Rini.""Nggih, Mbah Kung," responsku begitu dipanggil."Jaga adikmu! Embah mau ke rumah Juragan Ngarso," pamit Kakek menyebut pemilik pabrik tahu tempat Bapak bekerja."Nggih, Mbah." Aku mengiyakan dengan patuh.Kakek lekas berlalu. Pria sepuh itu akan menempuh jarak sekitar satu setengah kilometer hanya dengan berjalan kaki. Karena kami memang tidak punya kendaraan. Bulan lalu sepeda satu-satunya kepunyaan kami dijual Bapak untuk berobat adikku yang paling kecil
Aku tersentak mendengar pernyataan pria beruban itu. Sebagai anak berumur delapan belas tahun tentu saja kata-kata bapak itu sungguh menakutkan. Apalagi saat orang itu tersenyum lebar. Di mataku dia terlihat seperti menyeringai. Persis serigala yang siap menerkam mangsanya. Refleks tanganku memegang lengan Kakek."Coba lihat rumah ini, Nduk!" Tangan laki-laki itu menyapu sekeliling. "Kamu akan tinggal di rumah besar ini kalo kamu bersedia--""Mbok sing eling, Yang." Lelaki muda itu langsung menyela, "Eyang ini sudah sepuh. Sudah gak pantes nikah lagi. Apalagi calonnya masih bocah begini," cerocos pemuda itu menggebu-gebu.Kepalaku refleks mengangguk. Memberikan dukungan pada omongan cucu pria tua itu."Owalah, Le ... Le." Juragan Ngarso tertekekeh geli. Hal itu tentu saja membuatku dan cucunya dilanda binggung. "Yo sopo sing mau nikah? Wong Eyang ki wis tua, sudah waktune mikir akhirat. Mosok kepengen nikah," tuturnya sembari memukul pundak cucunya dengan gemas."Lah terus sapa yang
"Nggih, insya Allah, Gan." Kakek mengangguk, "kalo begitu kami permisi dulu.""Oh ya ya. Biar nanti si Parjo tak suruh ngantar kalian."Juragan Ngarso menepati janjinya. Pria itu menyuruh sopirnya untuk mengantar kami. Saat itu untuk pertama kalinya aku merasakan naik mobil. Bukan kendaraan umum seperti bus atau colt pick up. Seperti orang kampung kebanyakan lainnya, baik aku dan Kakek terkena mabuk.Kakek bahkan langsung muntah begitu kami turun dari mobil. Aku sendiri merasakan sakit kepala yang lumayan berat. Beruntung ada Arif yang menolong. Dia baru saja pulang sekolah bersama Sarita."Kamu tolong Embah saja, Rif," suruhku saat Arif menggandeng."Oh iya." Arif sigap menuntun Kakek."Rif, kita jadi belajar kelompoknya kan?" Sarita mengingatkan."Maaf, Sar, hari ini aku lagi malas ngajari kamu," jawab Arif tanpa tedeng aling-aling."Ish ... kamu!" Sarita cemberut. Gadis itu menghentakkan kakinya. Dia berlalu, tetapi tidak menuju motornya. Melainkan rumah Arif."Arif, Marini lagi k
"Cuma alasan itu, kamu tidak menyetujui perjodohan ini?" Aku memberanikan diri bertanya pada Ginanjar.Ginanjar langsung menatapku tajam. "Kamu bukan tipe aku."Aku lumayan tersentak mendengar jawaban Ginanjar. Tidak ada basa-basi sama sekali. Itu cukup melukai hati seorang wanita seperti aku."Kamu juga bukan tipe aku." Aku membalikan ucapannya dengan gesture tenang, "hanya saja aku gak bisa menolak perjodohan ini. Karena ini kunci satu-satunya bapakku bisa keluar dari penjara.""Ada banyak cara untuk mengeluarkan bapakmu tanpa kita harus menikah dulu." Ginanjar menukas langsung."Jika itu bisa, lakukanlah!" Aku menanggapi dengan kalem, "akan kupenuhi perintah kamu.""Itu soal gampang," sahut Ginanjar terdengar meremehkan, "dua hari lagi, Eyangku akan datang ke rumah kamu buat tanya keseriusan kamu. Dan kamu harus tegas menolaknya, karena kalo tidak ...." Ginanjar tidak melanjutkan ucapannya. Matanya terlihat memandang sesuatu.Aku menoleh untuk melihat siapa yang datang. Ternyata Ar
Jawaban Arif terdengar begitu manis. Namun, hatiku tidak membenarkan."Kelihatannya kamu gak suka dengan ideku, Rin?" terka Arif sedikit menunduk untuk menatap mataku."Apa itu gak berisiko, Rif?" tanyaku ragu."Apa pun risikonya kalo kita jalani berdua, Insya Allah tidak akan berat," balas Arif terdengar begitu percaya diri. "Kamu mau kan hidup bersama denganku?" Dia bertanya dengan serius.Aku hanya mengangguk kecil."Maka jangan pernah ragu jika kita mau bersatu." Arif pun merengkuh tubuhku. Tangannya mengusap pelan punggungku. Ketika rasa nyaman menjalari hati, aku menyandarkan kepala ini pada dadanya. Namun, semesta sepertinya tidak menyukai tingkah laku kami. Langit langsung memuntahkan isi. Hujan deras turun tanpa bisa dicegah. Kami berdua berlari-lari menembus hujan menuju rumah.*Waktu melompat dengan begitu cepat. Omongan Ginanjar terbukti. Dua hari kemudian, dia datang bertandang bersama dengan kakeknya. Para tetangga tampak takjub melihat kendaraan yang dibawa Juragan
"Saya terima nikah dan kawinnya Marini binti Abdullah. Dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan kalung emas lima puluh gram, dibayar tunai."Walau pun tampak tidak bersemangat dan bersuara lirih. Namun, Ginanjar mampu mengucap ikrar tersebut dengan lancar."Bagaimana saksi? Sah?" Penghulu menoleh pada saksi dari pihak Ginanjar. Lalu menengok pula ke saksi dari pihak aku sebagai mempelai wanita."Sah!""Sah!""Alhamdulillah!"Bapak dan Juragan Ngarso terlihat begitu semangat saat menyahut pertanyaan Penghulu. Sementara seulas senyum selalu menghiasi bibir Ibu dan Nenek. Keluargaku benar-benar bahagia.Berbanding terbalik dengan hatiku yang terasa membeku. Hampa. Sama sekali tidak ada gairah. Karena bukan pada Ginanjar hati ini tertawan. Namun, demi bakti pada kedua orang tua khususnya Bapak, aku rela menerima."Barakallahu laka wa Baraka alaika wa jama'a bainakuma fi Khair!""Hentikan! Pernikahan ini tidak sah!"Teriakan lantang itu membuat aku menengok. Sosok Arif sudah menjulang
Ketika pemuda itu diseret pulang, Arif menoleh padaku. Lagi-lagi tatapannya menyiratkan kekecewaan. Membuat rasa bersalah kembali menyerang dada.Acara kembali berlangsung setelah kepergian Arif. Sehabis pembacaan sighat taliq talak oleh Ginanjar, acara dilanjutkan dengan walimatul ursyi.Juragan Ngarso memberikan uang seserahan dengan sangat banyak pada Bapak. Sehingga acara syukuran ini dapat terselenggara dengan baik. Baik papan dan hidangan semua memadai. Bapak bahkan mampu merenovasi rumah kami sebelum acara akad kami dimulai.Sore harinya, Juragan Ngarso langsung memboyongku ke rumahnya. Tentu saja aku tidak bisa menolak. Air mata ini tidak bisa di cegah saat pamitan pada keluarga semua.Kesedihan ini kian menggerus saat akan menaiki mobil. Dari teras rumahnya, tampak Arif memandangi kepergianku. Tatapannya kosong dan hampa.Namun, aku harus menguatkan hati kalau kami tidak berjodoh. Aku sudah menikah dengan Ginanjar. Sedangkan Arif akan ditunangkan dengan Sarita. Itu sebagai sy
"Terima kasih," ucap Juragan Ngarso lemah. Pria itu baru saja menelan obat yang kusodorkan. Sejak tiga hari lalu asma Juragan kambuh kembali. Namun, baru kali ini dirinya mau beristirahat."Kalo bukan aku yang ngawasi pabrik, siapa lagi?" ujar Juragan Ngarso pelan, "Anjar masih belum bisa diandalkan. Kerjone dolanan ae," imbuhnya terlihat kesal. Aku sendiri memilih diam sembari memberesi gelas ke nampan."Pie, kamu sudah periksa lagi belum?" Juragan Ngarso bertanya lagi."Periksa apa, Yang?" Alisku bertaut karena bingung."Ya, itu ... periksa kandungan." Juragan Ngarso lantas menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi goyang. Kursi tersebut lantas bergerak pelan, "mosok udah mau setahun nikah, kamu belum isi juga." Bibir keriput itu mengerucut. "Aku yo pengen lihat anak kalian sebelum ajal menjemput." Lelaki itu terbatuk pelan, "Anjar gak nyuruh kamu pake KB, toh?" tebaknya terlihat curiga."Mbonten, Yang." Aku mengelak pelan, walau dalam hati menjerit. Ya ... aku baru saja berbo