Share

7. Keputusan Gading

Penulis: Yenika Koesrini
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-19 10:29:39

"Bunga beneran bilang seperti itu?" tanyaku tidak percaya ketika Gading merampungkan ceritanya.

 

"Iya, Bu. Buat apa aku bohong?" sahut Gading terlihat jujur, "makanya setelah dengar pengakuan Bunga, aku memutuskan untuk berhenti kasih les ke dia."

 

"Bener-bener bocah nakal ya si Bunga itu," timpal Galang seraya geleng-geleng.

 

"Salah pergaulan kalo menurut aku." Gading menanggapi omongan adiknya.

 

"Kok kamu bisa tahu, Ding?" Kini aku yang penasaran.

 

"Walau gak begitu dekat, tapi aku tahu dengan siapa Bunga bergaul."

 

"Anak-anak nakal?" Aku dan Galang menebak bersamaan.

 

"Lebih tepatnya anak-anak yang kurang kasih sayang." Gading meralat.

 

"Elina, ketua gengnya Bunga setahuku anak broken home. Walau pun kedua orang tuanya berada, tapi selalu kesepian karena tinggal sendiri. Kalo Bunga ... kedua orang tuanya terlalu sibuk menurutku. Seperti gak punya waktu buat anaknya," jelas Gading menerangkan. Anak itu adalah guru privat keduanya, jadi wajar jika sedikit paham kondisi keluarga mereka. "Kasihan ... Bunga kurang didikan agama." Gading memungkas penuturan dengan menggeleng pelan.

 

"Eum ... memang apa pekerjaan ayah dan ibunya Bunga?" 

 

Gading dan Galang menatapku bersamaan. 

 

"Tadi aku sempet denger kalo Ibu dan kedua orang tua Bunga sudah kenal. Bener, Bu?" tanya Galang memastikan.

 

Aku berdeham kecil. "Dulu ibu dan Ibu Sarita adalah tetangga."

 

"Oh ...." Gading dan Galang menyahut berbarengan. 

 

"Berarti rumahnya dekat dengan rumah Mbah Uti dong," tebak Galang terlihat yakin.

 

"Cuma beda lima rumah saja dari rumah Mbahmu."

 

"Oh ...." Galang kembali manggut-manggut.

 

"Tadi kamu belum jawab pertanyaan ibu, Ding," ujarku mengembalikan topik, "apa pekerjaan orang tua Bunga sampai mereka gak punya waktu buat anaknya?"

 

"Mereka punya toko grosiran yang cukup ramai, Bu," terang Gading pelan, "terus Ibu Sarita setahuku juga konveksi gitu."

 

"Eh udah siang nih." Galang menyeletuk seraya melihat jam di pergelangan tangannya. Dia lalu menandaskan susu yang sudah dingin itu. "Aku ada kuliah pagi. Aku berangkat, ya Bu," pamitnya kemudian.

 

Galang menyalami tanganku. Dia juga berpamitan pada kakaknya. Pemuda itu berlalu menuju kamarnya untuk mengambil ransel dan helm. Setelah mengucap salam, Galang benar-benar meninggalkan rumah.

 

"Bu, tolong maafkan aku, ya," mohon Gading dengan wajah penuh penyesalan. Saat dia sungkem padaku, aku mengusap rambutnya.

 

"Kesalahan kamu memang fatal. Tapi ibu gak berhak menghakimi, karena di sini pihak perempuannya yang mengundang," tuturku mencoba bijak, "karena semua sudah terjadi, mau tidak mau kamu harus tanggung jawab, Ding. Kasihan Bunga kalo sampai harus menanggungnya sendiri," nasihatku lembut. Hilang sudah rasa marah selama ini begitu mendengar penuturan Gading barusan.

 

"Bukannya gak mau tanggung jawab, tapi Ibu denger sendiri kan pernyataan Ibu Sarita," tukas Gading terlihat galau, "belum lagi sikap sombong Bunga yang gak butuh tanggung jawab dari aku."

 

Aku menghela napas panjang. "Namanya juga masih kecil, pikiran Bunga belum dewasa, Ding."

 

"Tapi, aku mencintai Nona, Bu."

 

"Memang kamu setuju Bunga gugurin kandungannya?"

 

Gading hanya terdiam.

 

"Kelakuan kalian memang bejat, tapi anak itu tidak bersalah."

 

"Sudah berapa kali aku bilang, aku di bawah kendali obat." Gading menukas cepat, "aku yakin Bunga mencampurkan sesuatu pada minuman yang aku buat untuknya."

 

"Terlepas dari apapun itu, Ibu tidak setuju kalau Bunga gugurin kandungannya," sahutku tegas. Gading menunduk diam. "Ada satu hal lagi yang ingin ibu tanyakan sama kamu, Ding."

 

Gading mendongak menatapku. "Apa?"

 

"Apa Bunga masih perawan saat itu?"

 

Raut muka Gading langsung berubah merah. Mungkin dia jengah. Pemuda itu hanya mengangguk sebagai jawaban.

 

"Saat kepergok ibu, apa kamu sudah klimaks?" 

 

Gading menelan ludah. Sepertinya dia merasa tidak nyaman diinterogasi seperti ini olehku. 

 

"Sudah." Gading menyahut jujur walau terdengar lirih.

 

"Berarti dia benar calon anakmu, Dong." Aku berkata dengan trenyuh, "tadinya setelah mendengar cerita kamu tentang karakter Bunga, ibu sempat su'udzon kalau anak itu bukan benih kamu."

 

Gading mendesah. Terlihat sekali jika dia tengah bimbang.

 

"Sudah siang, kamu pergi ngajar kan?" ujarku mengingatkan.

 

"Iya, Bu." Gading mengangguk pelan.

 

Lelaki bertubuh tegap itu meraih tas kerjanya. Seperti adiknya, dia pun takzim salim padaku. Kuantan anak itu sampai ke pintu.

 

Begitu Gading berlalu, aku menuju kamar. Kuganti bergo sederhana ini menjadi Khimar yang cukup syar'i. Setelah merasa rapi, aku keluar kamar dengan menenteng tas.

 

Keseharianku adalah berjualan di kios pasar. Almarhum suamiku meninggalkan dua buah kios. Kios baju dan sembako. 

 

Dari usaha tersebut aku mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Serta mampu memberikan pendidikan yang layak untuk kedua buah hati. Walau pun belum diangkat menjadi PNS, tetapi Gading adalah seorang lulusan sarjana pendidikan yang terbaik. 

 

Sementara Galang, kini sedang menempa pendidikan di universitas ternama di kota kami. Andai bapak mereka bukan orang berkecukupan, mungkin aku tidak mampu membiayai mereka hingga tahap ini.

 

Aku mengeluarkan motor matic warna hitam dari garasi. Semenjak ditinggal pergi untuk selama-lamanya oleh bapaknya anak-anak, aku dituntut untuk bisa serba sendiri. Beruntung pula di usia akhir empat puluhan ini aku masih bisa mengendarai motor.

 

"Bismillahirrahmanirrahim ... menjemput rejeki," niatku dalam hati.

 

Usai memakai helm, kulajukan motor  dengan kecepatan sedang menuju kios di pasar.

 

***

 

Tiga hari telah berlalu dari kejadian pelabrakan Sarita ke rumah. Pelan-pelan dan dari hati ke hati aku berbicara dengan Gading. Nasihatku tetap sama, yakni menyuruh Gading untuk bertanggung jawab.

 

"Terima Bunga, bimbing dia menjadi istri dan ibu yang baik untukmu dan anakmu," pintaku selepas makan malam.

 

"Bu ...."

 

"Cinta akan datang dengan sendirinya," ujarku mencoba menguatkannya. 

 

Gading mendengkus. "Andai bukan objek taruhan, tanpa ragu lagi aku juga pasti langsung bertanggung jawab."

 

"Tunjukkan kalau kamu adalah laki-laki gentleman, Ding." Aku menepuk pundak pemuda itu. "Walau pun nantinya nasab anak itu jatuhnya bukan anak kamu, tapi dia butuh figur seorang ayah. Dan demi menutup aib, menikahi wanita hamil di luar nikah itu dibolehkan. Asal dalam pernikahan tersebut kalian tidak bercampur."

 

Gading diam menerawang. "Baiklah ... besok malam kita temui keluarga Bunga, Bu," putusnya setelah cukup lama merenung.

 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • BESANAN DENGAN MANTAN   85. Hamil Bareng-bareng

    Apa?" Aku, Mas Arif, dan Nona serempak bertanya."Itu ... eee ... Bunga ... Bunga hamil lagi, Bu, Yah," jawab Gading sedikit ragu. "Sudah delapan minggu.""Owalah mau ngomong itu aja lama bener," ujarku sambil menggeleng heran."Habisnya aku malu, Bu," aku Bunga sedikit menunduk."Malu kenapa?" Lagi-lagi kami bertiga menyahut kompak."Ya itu ... Fawwaz belum juga berumur dua tahun, malah sudah hamil lagi," tutur Bunga terlihat bersalah."Wong hamil punya suami kok malu." Mas Arif menanggapi dengan santai. Pria itu menyerahkan cucunya pada sang ibu. Dia mulai menikmati sarapannya sendiri."Oh ya ... aku juga ada yang mau disampaikan nih," kata Nona tersenyum manis."Apa?" Kami semua menoleh padanya."Jadi gini ...." Nona membasahi bibirnya dengan lidah, "malam Rabu besok Mas Haris akan bawa orang tuanya buat silahturahmi ke sini," terangnya malu-malu."Mbak Nona mau dilamar?" tanya Bunga antusias.Nona hanya mengangguk dengan pipi yang merona."Kamu sudah yakin dengan calonmu?" tanya M

  • BESANAN DENGAN MANTAN   84. Kedatangan Anak-anak

    Tidak terasa sudah empat bulan aku menyandang status sebagai Nyonya Arifin. Menjadi pengantin baru di usia yang hampir mendekati setengah abad tidak pernah sekalipun aku membayangkannya. Kadang masih tidak percaya jika Mas Arif sudah menjadi imam dalam hidupku. Sosok yang pernah sangat berarti, lalu karena keadaan kami terpisah jarak dan yang cukup lama. Dua puluh delapan tahun sendiri.Mungkin inilah yang dinamakan jodoh tidak akan lari kemana. Kami pernah membina rumah tangga masing-masing. Lalu karena campur tangan Allah, kami bertemu lagi.Kadang geli sendiri. Mas Arif memang sudah berumur. Dua tahun lagi usianya genap lima puluh tahun. Empat bulan lebih tua dariku. Namun, kelakuannya mirip anak tujuh tahun. Manjaaaa ... sekali.Mas Arif tidak akan pernah mau mandi jika tidak mandi bersamaku. Setiap hari sebelum dapat ciuman hangat, anak muda zaman sekarang bilang morning kiss lelaki itu akan berangkat kerja. Sarapan pun enggan jika belum aku suapi.Geli dan lebay ... memang! Tapi

  • BESANAN DENGAN MANTAN   83. Jodoh Takkan Kemana

    Sesuai rencana, satu minggu kemudian Gading dan Bunga melangsungkan akad ulang mereka. Keduanya tampak berseri. Mereka mengenakan jas serta kebaya pengantin enam bulan lalu. Walau begitu Gading dan Bunga terlihat bahagia.Jika dulu Gading tampak begitu terpaksa, tidak dengan hari ini. Suaranya yang lirih dulu saat mengikrarkan janji kini terdengar lebih lantang. Bahkan dia melafalkan hanya dengan satu tarikan napas.Sayangnya acara bahagia ini tidak dihadiri oleh Nona. Anak itu baru menjalani masa kurungan selama satu bulan. Tentu saja dirinya tidak diizinkan untuk datang.Walau begitu kebahagiaan ini tidaklah berkurang. Bahkan kian bertambah karena usai ijab qobul Gading dan Bunga, Mas Arif mengajukan lamaran untukku di hadapan tamu. Khususnya Ibu serta keluarga aku."Mak Siti, njenengan tahu kalo saya sama Marini sudah saling suka dari waktu kecil," ujar Mas Arif tenang di hadapan keluargaku dan keluarganya."Yo, tahu," sahut Ibuku juga tidak kalah tenang, "kalian bahkan pernah mau

  • BESANAN DENGAN MANTAN   82. Nonton Bioskop

    Bibir Mas Arif masih mengembangkan senyum. Sementara matanya terus menatapku intens. Aku sampai risih dibuatnya."Sudah, Mas, jangan pandangi aku terus. Malu!" tegurku benar-benar jengah, "sudah dimakan itu pesanan kamu!"Mas Arif kian meringis. "Rin, tolong cubit lenganku," pintanya sembari menyodorkan tangan.Alisku bertaut. "Kok minta dicubit?""Enggak ... aku cuma mau memastikan bahwa ini tuh nyata, real. Kamu menerima pinangan aku."Kali ini aku yang tersenyum. "Sudah gak usah lebay gitu, Mas. Ingat kita ini pasangan kakek nenek lho, bukan anak muda lagi!" tuturku mencoba mengingatkan."Kata siapa kita sudah tua?" Mas Arif langsung menukas, "belum juga lima puluh tahun. Kata orang kita lagi di puncak kematangan hidup.""CK ... udah itu bakmine nanti dingin." Aku mengalihkan perhatian dengan menunjuk mangkok berisi bakmie kepunyaan Mas Arif.Mas Arif mulai membubuhkan saos. Setelah itu dia mengaduk makanan panjang itu dengan sumpit. Lelaki itu menyicipi kuahnya dengan sendok.Tiba

  • BESANAN DENGAN MANTAN   81. Bersedia

    Aku tersentak saat mendengar suara kondektur yang menyuruh penumpang turun di terminal daerah Ibu. Hebat! Tiga jam perjalanan aku sama sekali tidak mengantuk. Waktuku habis hanya untuk memikirkan Mas Arif.Turun dari bus aku langsung mencari tukang ojek. Begitu dapat kusuruh lelaki berhelm itu untuk mengantar ke TPU. Hanya butuh waktu sepuluh menit, aku sudah tiba di makam Bapak dan juga kakek.Bunga-bunga yang kubeli di toko tadi, kutaruh pada kedua makam tersebut. Usai memanjat doa dan menyiram air bunga, aku melangkah pergi. Tukang ojek masih menunggu.Pria itu mengantar aku hingga tiba di depan rumah Jani. Ketika aku membayar lebih, lelaki seumuran Pak Kus mengucapkan banyak terima kasih.Jani menyambut kedatanganku dengan senang. Wanita itu menyiapkan makan siang untukku. Kami makan siang bertiga Ibu. Anak-anak Jani dan suaminya belum ada yang pulang."Sebenarnya maksud kedatangan aku ke sini adalah ingin meminta saran dari kalian," ungkapku usai makan siang bersama."Kamu mau ce

  • BESANAN DENGAN MANTAN   80. Pencarian Jawaban

    "Mas, ini tuh--""Saya kasih kamu waktu untuk berpikir, Rin," sela Mas Arif segera, "silakan berpikir matang-matang agar nanti tidak ada penyesalan di kemudian hari," tuturnya terdengar bijak."Terima kasih banyak, Mas." Aku tersenyum senang."Ya sudah kalo sudah tidak ada lagi yang dibicarakan, saya pamit pulang saja," izin Mas Arif selanjutnya."Tapi, Yah, kita kan belum bahas rencana nikah ulang aku dan Mas Gading." Bunga langsung mencegah kepergian ayahnya."Lho bukannya nanti bareng sekalian sama nikahannya ayah dan Ibu Rini," sahut Mas Arif santai."Cieee!" Gading dan Galang sontak meledek. Membuat pipiku terasa hangat.Bunga tertawa. "Tapi kalo ayah ditolak lagi bagaimana?""Gak papa ... toh setidaknya ayah pernah berusaha keras mengejar cinta pertama ayah." Mas Arif menjawab dengan sok bijak."Cieee!" Lagi-lagi Gading dan Galang menanggapi dengan ledekan."Kalian berdua apa sih dari tadi cie-cie saja?" Aku menegur dengan sedikit gondok. Namun, baik Gading maupun Galang tetap s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status