Share

7. Keputusan Gading

"Bunga beneran bilang seperti itu?" tanyaku tidak percaya ketika Gading merampungkan ceritanya.

 

"Iya, Bu. Buat apa aku bohong?" sahut Gading terlihat jujur, "makanya setelah dengar pengakuan Bunga, aku memutuskan untuk berhenti kasih les ke dia."

 

"Bener-bener bocah nakal ya si Bunga itu," timpal Galang seraya geleng-geleng.

 

"Salah pergaulan kalo menurut aku." Gading menanggapi omongan adiknya.

 

"Kok kamu bisa tahu, Ding?" Kini aku yang penasaran.

 

"Walau gak begitu dekat, tapi aku tahu dengan siapa Bunga bergaul."

 

"Anak-anak nakal?" Aku dan Galang menebak bersamaan.

 

"Lebih tepatnya anak-anak yang kurang kasih sayang." Gading meralat.

 

"Elina, ketua gengnya Bunga setahuku anak broken home. Walau pun kedua orang tuanya berada, tapi selalu kesepian karena tinggal sendiri. Kalo Bunga ... kedua orang tuanya terlalu sibuk menurutku. Seperti gak punya waktu buat anaknya," jelas Gading menerangkan. Anak itu adalah guru privat keduanya, jadi wajar jika sedikit paham kondisi keluarga mereka. "Kasihan ... Bunga kurang didikan agama." Gading memungkas penuturan dengan menggeleng pelan.

 

"Eum ... memang apa pekerjaan ayah dan ibunya Bunga?" 

 

Gading dan Galang menatapku bersamaan. 

 

"Tadi aku sempet denger kalo Ibu dan kedua orang tua Bunga sudah kenal. Bener, Bu?" tanya Galang memastikan.

 

Aku berdeham kecil. "Dulu ibu dan Ibu Sarita adalah tetangga."

 

"Oh ...." Gading dan Galang menyahut berbarengan. 

 

"Berarti rumahnya dekat dengan rumah Mbah Uti dong," tebak Galang terlihat yakin.

 

"Cuma beda lima rumah saja dari rumah Mbahmu."

 

"Oh ...." Galang kembali manggut-manggut.

 

"Tadi kamu belum jawab pertanyaan ibu, Ding," ujarku mengembalikan topik, "apa pekerjaan orang tua Bunga sampai mereka gak punya waktu buat anaknya?"

 

"Mereka punya toko grosiran yang cukup ramai, Bu," terang Gading pelan, "terus Ibu Sarita setahuku juga konveksi gitu."

 

"Eh udah siang nih." Galang menyeletuk seraya melihat jam di pergelangan tangannya. Dia lalu menandaskan susu yang sudah dingin itu. "Aku ada kuliah pagi. Aku berangkat, ya Bu," pamitnya kemudian.

 

Galang menyalami tanganku. Dia juga berpamitan pada kakaknya. Pemuda itu berlalu menuju kamarnya untuk mengambil ransel dan helm. Setelah mengucap salam, Galang benar-benar meninggalkan rumah.

 

"Bu, tolong maafkan aku, ya," mohon Gading dengan wajah penuh penyesalan. Saat dia sungkem padaku, aku mengusap rambutnya.

 

"Kesalahan kamu memang fatal. Tapi ibu gak berhak menghakimi, karena di sini pihak perempuannya yang mengundang," tuturku mencoba bijak, "karena semua sudah terjadi, mau tidak mau kamu harus tanggung jawab, Ding. Kasihan Bunga kalo sampai harus menanggungnya sendiri," nasihatku lembut. Hilang sudah rasa marah selama ini begitu mendengar penuturan Gading barusan.

 

"Bukannya gak mau tanggung jawab, tapi Ibu denger sendiri kan pernyataan Ibu Sarita," tukas Gading terlihat galau, "belum lagi sikap sombong Bunga yang gak butuh tanggung jawab dari aku."

 

Aku menghela napas panjang. "Namanya juga masih kecil, pikiran Bunga belum dewasa, Ding."

 

"Tapi, aku mencintai Nona, Bu."

 

"Memang kamu setuju Bunga gugurin kandungannya?"

 

Gading hanya terdiam.

 

"Kelakuan kalian memang bejat, tapi anak itu tidak bersalah."

 

"Sudah berapa kali aku bilang, aku di bawah kendali obat." Gading menukas cepat, "aku yakin Bunga mencampurkan sesuatu pada minuman yang aku buat untuknya."

 

"Terlepas dari apapun itu, Ibu tidak setuju kalau Bunga gugurin kandungannya," sahutku tegas. Gading menunduk diam. "Ada satu hal lagi yang ingin ibu tanyakan sama kamu, Ding."

 

Gading mendongak menatapku. "Apa?"

 

"Apa Bunga masih perawan saat itu?"

 

Raut muka Gading langsung berubah merah. Mungkin dia jengah. Pemuda itu hanya mengangguk sebagai jawaban.

 

"Saat kepergok ibu, apa kamu sudah klimaks?" 

 

Gading menelan ludah. Sepertinya dia merasa tidak nyaman diinterogasi seperti ini olehku. 

 

"Sudah." Gading menyahut jujur walau terdengar lirih.

 

"Berarti dia benar calon anakmu, Dong." Aku berkata dengan trenyuh, "tadinya setelah mendengar cerita kamu tentang karakter Bunga, ibu sempat su'udzon kalau anak itu bukan benih kamu."

 

Gading mendesah. Terlihat sekali jika dia tengah bimbang.

 

"Sudah siang, kamu pergi ngajar kan?" ujarku mengingatkan.

 

"Iya, Bu." Gading mengangguk pelan.

 

Lelaki bertubuh tegap itu meraih tas kerjanya. Seperti adiknya, dia pun takzim salim padaku. Kuantan anak itu sampai ke pintu.

 

Begitu Gading berlalu, aku menuju kamar. Kuganti bergo sederhana ini menjadi Khimar yang cukup syar'i. Setelah merasa rapi, aku keluar kamar dengan menenteng tas.

 

Keseharianku adalah berjualan di kios pasar. Almarhum suamiku meninggalkan dua buah kios. Kios baju dan sembako. 

 

Dari usaha tersebut aku mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Serta mampu memberikan pendidikan yang layak untuk kedua buah hati. Walau pun belum diangkat menjadi PNS, tetapi Gading adalah seorang lulusan sarjana pendidikan yang terbaik. 

 

Sementara Galang, kini sedang menempa pendidikan di universitas ternama di kota kami. Andai bapak mereka bukan orang berkecukupan, mungkin aku tidak mampu membiayai mereka hingga tahap ini.

 

Aku mengeluarkan motor matic warna hitam dari garasi. Semenjak ditinggal pergi untuk selama-lamanya oleh bapaknya anak-anak, aku dituntut untuk bisa serba sendiri. Beruntung pula di usia akhir empat puluhan ini aku masih bisa mengendarai motor.

 

"Bismillahirrahmanirrahim ... menjemput rejeki," niatku dalam hati.

 

Usai memakai helm, kulajukan motor  dengan kecepatan sedang menuju kios di pasar.

 

***

 

Tiga hari telah berlalu dari kejadian pelabrakan Sarita ke rumah. Pelan-pelan dan dari hati ke hati aku berbicara dengan Gading. Nasihatku tetap sama, yakni menyuruh Gading untuk bertanggung jawab.

 

"Terima Bunga, bimbing dia menjadi istri dan ibu yang baik untukmu dan anakmu," pintaku selepas makan malam.

 

"Bu ...."

 

"Cinta akan datang dengan sendirinya," ujarku mencoba menguatkannya. 

 

Gading mendengkus. "Andai bukan objek taruhan, tanpa ragu lagi aku juga pasti langsung bertanggung jawab."

 

"Tunjukkan kalau kamu adalah laki-laki gentleman, Ding." Aku menepuk pundak pemuda itu. "Walau pun nantinya nasab anak itu jatuhnya bukan anak kamu, tapi dia butuh figur seorang ayah. Dan demi menutup aib, menikahi wanita hamil di luar nikah itu dibolehkan. Asal dalam pernikahan tersebut kalian tidak bercampur."

 

Gading diam menerawang. "Baiklah ... besok malam kita temui keluarga Bunga, Bu," putusnya setelah cukup lama merenung.

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status