"Ibu ... Ibu lagi gak bercanda kan?" cecar Nona masih gemetar."Apa untungnya ibu bohong sama kamu?" sergah Sarita secepatnya, "tadi kupingmu dengar sendiri kan kalo ibunya Gading mau membahas masalah Gading dan Bunga bukan dengan kamu."Manik Nona kini beralih ke Gading. "Mas, tolong katakan kalo ini semua adalah bohong," pintanya penuh pengharapan.Gading mendesah bimbang. "Apa yang terjadi tidak seperti yang kamu pikirkan, Non," ujar Gading tidak berdaya."Jadi benar kamu telah menodai adikku?!" sergah Nona mulai naik pitam."Bunga jebak aku, Non." Gading membela diri."Lelaki pengecut!" Sarita meradang, "bukannya minta maaf telah berbuat asusila, malah tega menuduh anakku yang tidak-tidak," makinya sembari menunjuk-nunjuk Gading dengan geram."Sarita, jaga bicaramu!" Mas Arif memperingatkan."Aku marah karena anak kita dihamili gurunya, apa itu salah?!" sahut Sarita ketus. "Bukan kah kita sudah sepakat untuk menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin?" Lagi-lagi Mas Arif meng
"Dari kecil aku sudah terbiasa dinomorduakan." Bunga bercerita dengan air mata yang terus luruh membasahi pipi. "Kalian selalu mendahulukan kepentingan Nona. Jika kami bertengkar aku yang disalahkan. Kalo ketahuan Nona yang salah, aku disuruh memaafkan dan mengalah. Di sini aku seperti anak pungut kalian," tuturnya berapi-api dalam kesedihan.Mas Arif, Sarita, dan Nona diam seribu bahasa. Tidak ada satu pun dari mereka yang menyangkal. Pertanda omongan Bunga adalah kebenaran."Apa pun alasannya, tindakan kamu ikut taruhan itu gak bener," ujar Mas Arif dingin."Kalo ayah beli apa yang aku minta aku juga gak bakalan mau ngelakuin itu." Bunga lekas merespon."Jangan-jangan ini bagian dari akalan kamu untuk menarik perhatian ayah dan ibu, benar?" Nona membuat asumsi.Bunga mengelak. "Gak juga, aku udah capek menarik perhatian mereka. Kejadian ini murni karena kebodohan aku." Bunga meraih tisu kembali. "Aku pikir gak papa ngelakuin itu karena gak bakalan hamil kalo cuma sekali. Ternyata ak
"Maaas! Sini naik cepetan!" Sarita berteriak dari atas. Mas Arif lekas bangkit. Pria itu setengah berlari menaiki tangga. Nona pun mengikuti ayahnya menyusul sang ibu. "Bungaaa, jangan main-main pisau!" Terdengar suara Mas Arif berseru. "Biarkan aku mati saja, Yah. Toh aku gak pernah dianggap juga," balas Bunga di sela isakannya. "Ding, kita lihat ke atas, yuk! Sepertinya Bunga berbuat nekat," ajakku dengan menarik lengan Gading. Gading melepas pegangan tanganku. "Biar saja, Bu. Itu bukan urusan kita," tolak Gading acuh tak acuh. "Kalo sampai terjadi apa-apa dengan Bunga bagaimana?" "Itu kemauan dia. Kita bisa apa?" sahut Gading datar. Sama sekali anak itu tidak tersentuh. Aku menghela napas. "Ibu tahu kamu sangat gedeg melihat kelakuan Bunga, tapi ada benihmu di rahimnya." Gading melengos. "Kamu sudah cukup salah dengan melakukan perzinahan kemarin. Sekarang jangan buat dosa lagi dengan menutup mata pada kondisi Bunga." Aku menasihati dengan lembut. "Bungaaa!" Teriakan dar
Aku tersenyum mendengarnya. Akhirnya ada sedikit kepedulian Sarita pada Bunga. "Terserah keluarga Bunga saja. Kami pihak laki-laki menurut saja.""Minggu ini konveksiku lagi banyak dapat orderan. Kalo memang keduanya mau diijabkan sebaiknya minggu depan saja." Sarita mengusulkan."Kami nurut, Mbak." Aku menyetujui."Dan ingat, ijab qobulnya jangan di sini. Tetangga kami akan curiga nanti." Sarita kembali memberi syarat."Boleh diselenggarakan di rumah saya." Aku memberikan penawaran.Pembicaraan sudah menemukan ujungnya. Aku dan Gading pun pamit undur diri. Apalagi waktu kian beranak malam.Dalam perjalanan pulang Gading memilih duduk di depan. Tidak di belakang menemaniku seperti saat berangkat. Anak itu memilih bungkam. Hingga sampai rumah Gading benar-benar tidak bersuara."Sudah pulang?" sambut Galang ketika membukakan pintu untuk kami. Aku tersenyum mengiyakan. Sementara Gading menerobos Galang dan langsung melenggang menuju kamarnya. Lelah membuatku menghempaskan tubuh di sofa.
Acara benar-benar berlangsung dengan sederhana. Penghulu memberikan wejangan sepatah dua patah kata untuk mempelai. Setelah itu para saksi dan Pak penghulu baru menikmati hidangan yang aku siapkan.Sementara Sarita langsung berlalu menuju kamarnya Galang. Dirinya sama sekali tidak melirik sajian yang sudah aku tawarkan. Wanita itu tampak cemas dengan keadaan putri sulungnya. "Aku juga mau lihat kondisi Nona, Bu," pamit Gading ketika kutawari makanan."Kamu temani istrimu makan dulu," suruhku saat melihat Bunga duduk sendirian. "Kasihan mungkin dia sudah kelaparan.""Tapi aku cemas dengan keadaan Nona, Bu." "Cemaskan saja istrimu. Dia lagi hamil muda. Kasihan kalo sampai kelaparan," tukasku sedikit memaksa.Gading mendesah pelan. Anak itu memang penurut. Walau pun sangat ingin melihat keadaan Nona. Namun, Gading tidak membantah. Pria yang kini resmi menyandang status suami itu mendekati Bunga. Gading mengambil makanan ala kadarnya. Lalu duduk di samping Bunga untuk makan bersama. B
Aku dan Galang mengantar kepergian kakak beradik itu hingga pintu. Masing-masing mengendarai motor. Ketika kami masuk terdengar suara Mas Arif. Ternyata pria itu sedang berbicara dengan Pak penghulu dan adik kandungnya.Mas Arif tampak menyerahkan amplop pada Penghulu tersebut. Tidak lama pria berpeci itu berpamitan pada kami. Mas Arif dan adiknya mengantar Pak Penghulu sampai ke luar. Ternyata pria itu sudah memesan taksi untuk pak penghulu. Aku dan Galang menuju ruang tengah kembali. Rupanya Nona dan Sarita sudah pindah duduk di situ. Gadis itu menyandarkan kepalanya pada pundak sang ibu."Mas, Nona minta pulang terus ini," kata Sarita begitu melihat suaminya kembali."Makan dulu, Mbak," tawarku hangat. Sementara Galang sudah melangkah pergi ke meja makan sendiri."Kami gak lapar," sahut Sarita tidak bersahabat."Tapi Mas Arif dan adiknya pasti lapar," balasku terus berusaha sabar."Betul, kami memang sudah lapar." Mas Arif menimpali omonganku. Sarita mencibir. Namun, wanita itu b
"Rif, itu ada Sari." Aku menunjuk gadis yang sedang melirik kami dengan judes itu. Sarita lalu bergegas melajukan kakinya ke rumah Arif yang letaknya persis di depan rumah kakekku.Arif menengok sekilas. "Biar saja. Paling juga mau ketemu emakku," tanggapnya cuek. Pemuda itu kembali menggambar pada kertas. Kami sedang bahu membahu membuat layang-layang untuk dijual. Hasilnya akan dibagi dua untuk tambahan uang jajan kami. Namun, seringkali Arif memberikan lebih. Alasannya tidak lain karena aku sering kekurangan uang. Adikku ada dua masih kecil-kecil. Bapak harus mencukupi kebutuhan kami sekeluarga plus kakek nenek seorang diri Padahal tugasku hanya membantu Arif saja. Karena di sini yang berbakat memang dia. Bahkan pemuda itu yang memodali usaha jualan layang-layang ini. "Rif, kok tiap bagi hasil kamu selalu ngasih lebih ke aku, kenapa?" tegurku sembari memotong kertas-kertas yang sudah digambari itu.Arif menghentikan gambarnya. Dia melemparkan senyum untukku. "Gak papa, kan kam
Aku menutup mulut saking terkejutnya. "Bapak di penjara?""Ssst! Ngomong opo, kamu itu?" Kakek langsung menyergah, "nyuwun sewu, tolong njenengan semua pulang, Nggih! Biar mantuku ndak kesesaken," pinta Kakek sedikit mengusir. Para tetangga yang kebanyakan ibu-ibu itu lekas membubarkan diri. Mereka pulang ke rumah masing-masing."Mas ... Mas ...." Perlahan Ibu sudah mulai terlihat sadar. "Mak, mana Mas Abdul?" tanya Ibuku pada Nenek."Sing sabar, Ti." Nenek cuma bisa mengelus rambut Ibu."Mas Abdul ...." Ibu meratap sedih."Rini.""Nggih, Mbah Kung," responsku begitu dipanggil."Jaga adikmu! Embah mau ke rumah Juragan Ngarso," pamit Kakek menyebut pemilik pabrik tahu tempat Bapak bekerja."Nggih, Mbah." Aku mengiyakan dengan patuh.Kakek lekas berlalu. Pria sepuh itu akan menempuh jarak sekitar satu setengah kilometer hanya dengan berjalan kaki. Karena kami memang tidak punya kendaraan. Bulan lalu sepeda satu-satunya kepunyaan kami dijual Bapak untuk berobat adikku yang paling kecil